Selasa, 19 Oktober 2010

Slutty Wife Tia 6: Satu di antara Tiga

SLUTTY WIFE TIA 6: SATU DI ANTARA TIGA

SINOPSIS
Kelanjutan kisah Tia sesudah traumanya disembuhkan Dr. Lorencia. Mang Enjup mulai melaksanakan rencananya terhadap Tia.

Story codes:
MF, MMF, FF, anal, bi, cons, DP, mc, reluc

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.

CREDITS
Terima kasih untuk Mr. Shusaku (KisahBB) yang memilihkan judul seri Slutty Wife Tia. Juga terima kasih untuk “Sarah” yang mengilhami satu adegan di cerita ini.

Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.

Slutty Wife Tia 6
Satu Di Antara Tiga

-Ninja Gaijin-

-ringkasan cerita sebelumnya-
Tia bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP Bram. Atas saran Citra kakak iparnya, Tia mencoba mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram, menjadi lebih seksi dan binal. Terjadi kesalahpahaman yang membuat Tia sempat ditangkap aparat karena disangka pelacur. Tia kemudian berkonsultasi dengan seorang psikolog, Dr. Lorencia, untuk menghilangkan shock yang dialaminya, tapi Dr. Lorencia ternyata bersekongkol dengan Mang Enjup, atasan Bram, yang ingin menjerumuskan Tia…

*****
Siang hari, sekitar pukul dua di suatu bangunan kecil di kompleks perumahan pinggir kota. Sehari-harinya tempat itu adalah salon, Salon Citra. Tapi pemiliknya tidak hanya menawarkan jasa perawatan kecantikan bagi wanita.

Di balik tirai yang memisahkan ruang belakang dengan ruang utama salon, pemilik salon itu, Citra, sedang duduk selonjor di atas tempat tidur yang biasa dipakai untuk luluran atau facial. Citra berpenampilan cantik seperti biasa, rambutnya yang hitam lurus sebahu tergerai. Pakaiannya juga seksi, seperti biasa. Citra mengenakan kaos tanktop putih yang ketat membungkus tubuhnya, juga rok mini kuning yang mencapai setengah pahanya saja tidak, dan di bawah roknya Citra mengenakan pantyhose nilon warna kulit. Kaki kanannya yang terbungkus nilon itu terjulur, mengelus-elus selangkangan celana seorang laki-laki bertubuh tegap yang duduk mengangkang menghadapinya di ujung lain tempat tidur.

“Jadi Mas Kris yang ngatur?” tanya Citra dengan nada manja.

Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Mas Kris itu mengenakan kaos hijau dan celana dinas tentara, dia memang salah satu beking Citra yang masih aktif sebagai perwira menengah di kesatuan setempat. Sambil menggumam keenakan merasakan burungnya mengeras dielus-elus kaki Citra, dia menjawab.

“Iya dong. Ngeberesin kroco sok jago seperti si Gde itu kecil. Apalagi zaman sekarang, bikin amuk massa itu gampang. Kamu udah lihat beritanya kan?” kata Kris.

“Ah, aku gak suka nonton berita Mas, bosen,” kata Citra.

“Mestinya kamu lihat, ha ha ha… Soalnya ada muka jelek si Gde babak belur dihajar massa, ampe berdarah-darah gitu. Kamu minta yang kayak gitu kan, minta yang setimpal buat dia? Habis ini juga si Gde bakal dipecat gara-gara bikin malu pemerintah. Salah sendiri, udah tahu ngadapin kumpulan orang marah, malah ndableg. Biar mampus dia.” Beberapa hari sebelumnya, terjadi insiden ketika satuan aparat yang dipimpin Gde melaksanakan penggusuran. Entah mengapa, warga setempat malah melawan aparat dengan membawa senjata tajam dan batu. Akibatnya terjadi perkelahian berdarah yang menyebabkan 1 orang warga dan 1 orang aparat tewas, dan puluhan orang luka berat termasuk Gde yang kepalanya bocor kena timpuk dan sempat digebuki ramai-ramai. Masyarakat dan media ramai menyalahkan, ada yang menganggap warga mengamuk karena kekesalan yang sudah menumpuk terhadap aparat yang biasa semena-mena.

Yang luput dari perhatian semua orang adalah bahwa amuk warga itu dipicu oleh beberapa provokator yang dikirim oleh Kris. Walaupun sama-sama aparat, memang kadang ada ketegangan antar kesatuan di balik permukaan, terutama dalam masalah urusan beking membekingi. Citra yang boleh dianggap pengusaha kecil bisnis esek-esek tidak lepas dari beking, dan dia cukup cerdik untuk tidak hanya memegang satu orang. Ketika Gde berlaku kelewatan terhadap dirinya dan Tia beberapa waktu lalu, Citra memutuskan untuk membalas lewat jalan lain: menyingkirkan Gde dengan menggunakan Kris, bekingnya dari kesatuan lain. Rupanya Kris memilih membuat kerusuhan kecil untuk menyakiti sekaligus menyingkirkan Gde.

Sambil Kris bercerita bagaimana dia merekayasa massa untuk menghajar Gde dan satuannya, kaki Citra terus mengelus-elus gundukan keras di balik selangkangan celana si perwira. Sementara itu Citra mengangkat sedikit demi sedikit tanktop-nya. Perlahan-lahan tampaklah sepasang payudara Citra yang bersahaja, dengan puting yang sudah mengeras. Kris menjulurkan tangan kanannya, menyentuh payudara Citra. Tangan Kris yang besar itu meremas kedua payudara Citra sekaligus, di bagian dalam tempat keduanya bertemu.

Kris membuka sendiri resleting celana dinasnya dan mengeluarkan penisnya dari balik celana dalam, sambil terus menggenggam kedua payudara Citra. Citra mulai mengeluarkan suara merintih-rintih nikmat. Citra mengangkat sedikit lututnya supaya kakinya bisa lebih enak membelai-belai kemaluan Kris yang sudah terbebas. Mata Kris tak lepas-lepas dari kaki nakal Citra di selangkangannya.

“Ughh…” Kris menggerung ketika ereksinya diinjak lembut oleh Citra, penisnya ditekan ke perut oleh sekujur kaki Citra yang seperti memeluk batang itu. Citra berposisi duduk mengangkang dan Kris bisa melihat bahwa di balik pantyhose Citra tak mengenakan celana dalam. Citra meningkatkan gesekan kakinya, dan melihat tubuh Kris yang besar itu belingsatan seperti kesetrum. Citra merasa menikmati posisi dominan itu, dia sebagai seorang perempuan bisa memain-mainkan tubuh seorang laki-laki yang kekar seperti Kris dengan kakinya, seolah seorang ratu dan budaknya.

“Ahh… Citra…” Kris terlihat tegang, wajahnya meringis. Citra merayu, “Udah mau keluar, Mas…?”

“Erghh sialannn… Sini!” Tanpa diduga, Kris bergerak. Tangannya yang dari tadi bermain di dada Citra kini merenggut tanktop yang sudah menyangsang di atas payudara, menariknya dengan kasar sehingga Citra dipaksa merunduk ke depan. Citra kaget, “MAS!!?? “

Dan teriakan berikutnya, “AHH JANGAN DI MUKA MASSS!!”

Citra, yang suka bersolek, memang tak suka orang berejakulasi di mukanya. Dia memang sudah pernah melakukan segala macam hal, tapi ada beberapa yang dia kurang suka, salah satunya adalah apabila mukanya dinodai sperma. Seperti yang terjadi saat itu. Kris menarik Citra sampai dia tersungkur ke depan, tertelungkup di alas tempat tidur dengan muka menoleh, lalu Kris menekan kepala Citra sambil berejakulasi di pipi Citra yang berbedak dan berperona. Kris tertawa puas melihat Citra yang tak senang.

Begitu dilepas, Citra langsung bangkit lagi, menyeka cairan berbau amis yang barusan mengotori pipinya, lalu menampar Kris.

“Sialan!” maki Citra, “Dari dulu kan gue udah bilang gak suka orang ngecrot di muka gue!” Wajah Citra berubah marah.

Kris tidak ikut marah, dia terus tertawa-tawa setelah si pemilik salon memakinya. Dengan kalem dia membalikkan kata-kata Citra. “Suka-suka aku mau ngapain kamu. Aku udah repot-repot ngebalesin dendam kamu sama si Gde kucrut itu, dan kamu tetep aja banyak maunya?”

Kris mendekat dan mencengkeram rahang Citra. “Hei, Citra,” katanya dengan dingin namun tegas. “Aku tahu. Pasti kamu juga ngelunjak begini sama Gde, kan? Aku nggak heran. Kamu tuh. Udah tau cuma lonte, tapi sombongnya kelewatan. Masih ngerasa kayak dulu ya?”

“Uhh…” Citra meringis, gentar. “Terserah Mas mau bilang apa. Urusanku sama Gde…”

“…sekarang jadi urusanku juga, kan?” Kris memotong. “Inget, kamu yang datang ke aku, ngerayu-rayu minta aku ngasih pelajaran ke si Gde. Aku udah kasih apa yang kamu mau. Jadi ya aku boleh ngapain aja, kan?”

Citra tertunduk. Sebetulnya dia kesal, tapi Kris memang benar. Lagi-lagi posisi tawar Citra lemah.

“Ngerti?” tanya Kris lagi. Citra mengangguk.

“Kalau ngerti… sekarang kamu nungging.”

Citra patuh, dia pun berubah posisi jadi menungging di atas tempat tidur sementara Kris turun dan berdiri di sampingnya. Kris mendekati bagian bawah tubuh Citra, meremas pantat Citra yang kencang dan masih terbungkus pantyhose itu. Kris terkekeh.

“He he he… Asyiik, pantat lonte.” Dia menampar pantat Citra dua kali. Citra mendengking kaget. Kris lalu memelorotkan pantyhose Citra sehingga pantat Citra tak lagi tertutupi, lalu kembali dia menampari pantat Citra. Setelah puas, tamparannya berubah menjadi elusan dan remasan. Kris lalu mengulum jarinya. Dengan membasahi jarinya seperti itu, sudah jelas apa yang mau dia lakukan.

Citra diam saja ketika satu jari Kris memasuki vaginanya. Kemudian tidak cuma satu, tapi dua jari Kris bergerak keluar-masuk kewanitaan Citra. Kris tersenyum puas melihat wajah Citra yang menatap kepadanya seolah memohon. Permainan jarinya membuat si pemilik salon itu terangsang.

“Ah… ahh…” Citra mulai mendesah-desah, wajahnya yang berias tebal berkerut menahan nafsu yang mulai meninggi. “Ahhh…”

Kris menjolokkan satu lagi jarinya, sehingga kini jari tengah, manis, dan telunjuknya keluar-masuk di kemaluan Citra. Kris merasakan bagian itu makin lama makin basah, pertanda pemiliknya sudah terhanyut oleh birahi. Kris makin kencang menyodok-nyodok Citra dengan ketiga jari tangan kanannya. Citra berusaha meraih ke belakang dan menahan agar tangan Kris jangan terlalu kasar.

“Eit, mau apa?” Tangan kiri Kris yang belum melakukan apa-apa gesit menahan tangan Citra. Citra tidak kuat melepaskan diri dari genggaman Kris. Kris meregangkan jari-jari tangan kanannya, berusaha membuat kemaluan Citra melebar. Citra mulai merasakan orgasme akan datang selagi cairan vaginanya membasahi jemari Kris. Kris tertawa dan memasukkan satu lagi, jari kelingkingnya, ke dalam sana. Lagi-lagi dia berusaha merentangkan celah sempit yang dimasukinya selagi dia mendengar nafas Citra memburu.

“Hehehe… Udah mulai longgar lu Cit. Empat jari gue bisa masuk. Lu kayaknya sebentar lagi kadaluarsa nih?” Kris berkomentar menghina.

“Bangke,” Citra balas memaki.

“Lonte,” hardik Kris, “Sekarang lu diem. Gue ga mau denger bacot lu, gue mau memek lu aja.” Kris naik ke tempat tidur ke belakang Citra, dan kemudian menyorongkan penisnya yang sudah tegak lagi ke hadapan vagina Citra. Di ujung penisnya menitik cairan bening, pertanda Kris pun sudah tak tahan ingin melampiaskan nafsu.

“Ah… Hanhhh!” Citra melontarkan desahan ketika kejantanan Kris menembus kemaluannya. Kontol Kris meluncur dengan mudah ke dalam celah yang sudah basah dan teregang itu, menembus sampai pintu rahim. Citra tak diam saja, dia mendesakkan pantatnya menikmati ereksi Kris.

“Haa… haaahhh…” Bibir merah Citra menganga, mengeluarkan suara-suara penuh nafsu. Tangannya mencengkeram seprai. Pinggul Kris maju-mundur mendongsok Citra. Kris makin bernafsu, dan dia berubah posisi. Tanpa mencabut penisnya, Kris turun dari tempat tidur sehingga dia berdiri di samping tempat tidur. Lalu kedua tangannya meraih kedua paha Citra, di bagian belakang lutut. Kris yang memang bertubuh kuat lalu mengangkut seluruh tubuh Citra, sehingga dia kini menggendong Citra di depan tubuhnya.

Keduanya melanjutkan persetubuhan dalam posisi yang tidak biasa itu. Citra sudah seperti boneka yang digendong Kris, pasrah dalam lengan-lengan perkasa Kris yang mengangkut kedua pahanya, punggungnya bersandar ke dada Kris. Tapi memang hubungan intim dalam posisi menggendong itu tidak gampang, karena penis Kris cuma bisa masuk sedikit, jaraknya terlalu jauh. Akhirnya Citra dia taruh lagi di atas tempat tidur.

“Hihihi… Sok jago sih,” goda Citra selagi Kris mencabut kemaluannya dari lubang Citra. “Kurang panjang tuh adeknya…” Citra saat itu berposisi menyamping dengan lutut tertekuk, pantatnya berada di pinggir ranjang. Dia melihat Kris masih ereksi dan siap memasukkan lagi… ke lubang pantat.

“Emm…” Citra mengernyit ketika Kris akhirnya menekankan kepala burung yang masih membesar ke pintu belakang. Memek Citra sudah basah karena baru di-invasi, tapi pantatnya tidak siap.

“Gue masuk ya… Uh! Ahh… Sempit!” kata Kris.

“Iiuhh!” Citra terengah ketika kepala burung Kris tiba-tiba memaksa menerobos lingkaran duburnya. Dia secara refleks berusaha menghindar, memang wajar kalau ada yang mencoba mendesakkan sesuatu ke dalam pantat. Tapi Citra tak bisa ke mana-mana selagi Kris mendorong pinggangnya ke depan sambil menggerung keras. Masuklah penisnya ke dalam lubang dubur yang tak sepenuhnya rela itu sedikit demi sedikit.

“Auh! Enak bangett! Pantat lu masih nggigit juga ya?” seru Kris sambil mengerang keenakan.

“Hssshh…” Citra mendesis, sakit campur enak, matanya berkaca-kaca ketika merasakan sepotong daging yang keras dan panas di saluran belakangnya. Kris mulai bergerak maju-mundur menggempur pintu belakang Citra tanpa ampun, kantong bijinya menampar-nampar belahan pantat Citra. Untungnya bagi Citra, setelah dua-tiga menit rasa sakitnya berkurang menjadi sekadar rasa kurang nyaman. Pantatnya sudah bukan perawan sejak lama, jadi sudah tahu mesti bereaksi apa.

“Enak gak Cit? Lu masih suka pantat lu dientot kan?” tanya Kris sambil terengah.

“Iyah… Terus! Teruus!” Citra mulai merasa enak. Bagian bawah perutnya mulai merasakan sensasi nikmat dan jantungnya berdebar. Kris melambat, menarik keluar penisnya pelan-pelan lalu ketika nyaris keluar dia masuk lagi dengan cepat dan kasar. Dan…

“Uh…hhh!”

Citra merasakan sesuatu yang panas menyembur di dalam pantatnya. Kris ejakulasi. Kedua tangan Kris mencengkeram belahan pantat Citra yang berada di atas, seolah mau menyempitkan saluran yang sedang dimasuki kejantanannya. Kris baru mencabut kemaluannya sesudah puas melampiaskan nafsu di dalam pantat Citra. Citra merasakan sebagian sperma Kris ikut meleleh keluar bersamaan dengan perginya penis Kris dari dalam pantatnya.

Citra tetap berbaring menyamping, tidak langsung bangun. Dilihatnya Kris mengambili tisu untuk menyeka badannya sendiri. Beking Citra itu kemudian membereskan lagi pakaiannya.

“Sesuai perjanjian kita kemarin, ya. Besok-besok kalau aku datang, kayak gini lagi ya.”

Citra dengan cepat mengambil selimut dan melilitkannya di sekeliling badan, lalu berdiri mengantar Kris yang beranjak ke pintu ruangan. Citra tersenyum sinis sambil menaruh tangannya di pundak Kris. “Oke boss,” katanya dengan genit. Kris membuka pintu, lalu berbalik dan mengecup pipi Citra. Laki-laki tegap itu kemudian menuju pintu keluar salon, tanpa mengacuhkan seorang laki-laki muda yang berdiri di tengah ruangan utama salon.

Citra melotot melihat laki-laki muda itu.

“Bram?”

Memang masih jam kantor, tapi entah kenapa, Bram ada di salonnya. Adik Citra itu memejamkan mata dan geleng-geleng kepala melihat kakaknya yang cuma terbungkus selimut dan tadi dicium seorang aparat berseragam.

“Ya ampun, Kak…” keluh Bram.

“Apa sih?” Citra menoleh ke kanan-kiri dengan cuek, melihat ada satu bungkus rokok di atas meja, mengambil sebatang dan menjepitnya di bibir, lalu sibuk mencari korek api. “Ada korek nggak?” tanya Citra kepada Bram.

“Kakak nggak pernah berubah, ya…” Bram tidak menanggapi pertanyaan kakaknya.

“Jangan sok kaget gitu lah,” kata Citra setelah menemukan korek gas di satu laci. Dia menyalakan rokoknya. “Eh bukannya ini masih jam kerja?”

“Kak,” kata Bram dengan nada serius. “Aku mau tanya. Soal Tia.”

Citra membelalak tanpa berkata apa-apa. Wajahnya berubah serius juga.

“…Kakak pake baju dulu deh, sebelum jawab,” usul Bram. Risi juga dia melihat kakaknya cuma berbungkus sehelai kain.

*****

Sejam kemudian…

Bram sudah kembali ke kantor setelah tadi mampir sebentar ke salon kakaknya, tanpa mampir ke rumah. Kepalanya terasa agak berat setelah dia mendengar jawaban Citra.

Tia, sedang apa kamu?

Tapi dia tahu sebagian penyebabnya adalah dirinya sendiri.

Begitu masuk kantor, Febby, sekretaris Mang Enjup, memanggilnya.

“Mas Bram! Dicariin bos,” kata perempuan berkacamata itu.

Bram langsung menuju ruangan Pak Jupri alias Mang Enjup, atasannya.

“Nah ini baru dateng anaknya. Ke mana aja kamu? Kenalin, ini Pak Enrico,” kata Mang Enjup yang sedang menghadapi seorang tamu yang berpenampilan pengusaha.

“Bram,” Bram memperkenalkan diri.

“Enrico,” kata orang itu.

Pembicaraan dimulai. Enrico rupanya sedang menggagas kerjasama dengan Mang Enjup untuk membuka perwakilan perusahaan itu di daerahnya. Menurut Enrico, produk perusahaan mereka belum banyak tersedia di sana. Mang Enjup sudah mengontak bagian-bagian lain perusahaan untuk menceritakan rencana Enrico, dan perusahaan menyetujui. Maka sekarang persiapan pembukaan cabang bisa dimulai.

“Jadi, saya ngundang Pak Jupri untuk berkunjung ke kota saya, biar bisa lihat sendiri keadaan di sana. Sekalian nanti saya kenalkan dengan rekan-rekan kita dan juga pihak berwenang di sana—lumayan, buat memperlancar urusan kita,” kata Enrico.

“Pak Enrico, terima kasih undangannya,” jawab Mang Enjup. “Saya senang sekali kalau bisa ke sana. Katanya di sana pembangunan mulai rame, ya? Pasti beda dengan waktu dulu saya masih muda ke sana—dulu sepi! Ah, tapi sayang saya lagi jalani pengobatan, tidak boleh pergi jauh-jauh untuk sementara waktu.”

Bram yang dari tadi mendengarkan langsung menoleh ke Mang Enjup. Dia tahu Mang Enjup sebenarnya tidak sedang menjalani pengobatan (masalah kesehatan Mang Enjup cuma ejakulasi dini saja). Kata-kata barusan itu sekadar alasan untuk…

“…jadi nanti biar yang ke sana Bram, sebagai perwakilan saya. Dia sudah biasa ngurus semuanya. Gimana Bram, kamu bisa kan?”

Bram tersenyum. “Bisa,” jawabnya pendek. “Kapan, Pak Enrico?”

“Dua hari lagi saya pulang ke sana. Barangkali kita bisa bareng. Kira-kira perlu berapa hari?” kata Enrico.

“Seminggu?” Mang Enjup langsung memotong sebelum Bram menjawab. Enrico mengangguk setuju. Seminggu sebenarnya terlalu lama—Bram membayangkan, sekadar survei lokasi dan berkenalan dengan orang-orang setempat paling-paling perlu tiga hari.

“Oke, kalau begitu nanti saya kontak lagi Pak Bram untuk persiapannya. Semuanya biar saya yang urus,” kata Enrico. Kemudian Enrico pamit dan pergi.

*****


Tia

Malamnya, di rumah Bram dan Tia…

“Mas mau pergi seminggu?” tanya Tia. Bram berbaring di tempat tidur, sementara Tia duduk di depan meja rias. Keduanya hendak beristirahat setelah seharian beraktivitas.

“Iya…” Bram menyebutkan nama kota tujuannya, yang terletak di pulau lain. Dilihatnya wajah Tia seperti kurang senang.

“Ajak dong Mas…” pinta Tia manja.

“Yah, gimana ya… kayaknya nanti bakal sibuk urusan kantor di sana. Ntar kamu malah nganggur di kamar hotel dong,” jawab Bram. “Nanti kalau sempat cuti deh, kita ke sana. Katanya sekarang di sana rame, banyak tempat wisata, soalnya pembangunannya maju. Kepala daerahnya hebat.”

“Iih, curang,” Tia merajuk. “Katanya cewek dari sana cakep-cakep, ya?”

“Terus?” Bram nyengir. Tapi dalam hatinya, dia mulai bisa membaca isi hati Tia, karena dia sudah mendengar penjelasan Citra. Makanya dia tidak heran melihat Tia bukannya membersihkan muka untuk persiapan tidur, malah memulaskan lipstik tipis saja di bibirnya.

“Pasti kamu mau ditraktir cewek di sana… Iya kan?” kata Tia sambil beranjak dari meja rias, lalu menghampiri suaminya di tempat tidur. Bram tersenyum melihat istrinya, perempuan cantik yang malam itu berdaster kuning, berias wajah tipis, dan berbau wangi. Jelas Tia tidak ingin langsung tidur… Tia berbaring menyamping, menghadap Bram, memberikan ciuman mesra kepada suaminya.

“Yah… kamu tahu kan, biasa orang bisnis, entertain-nya gimana,” Bram tidak berusaha mengelak. Toh Tia sudah tahu salah satu kelemahannya. Bram merasakan tangan Tia menyelip ke balik celananya. “Eh…”

Tangan Tia terasa licin. Licin dan mulai membelai-belai kemaluan Bram. Bram merangkul istrinya dan mencium kening Tia. “Hayo… mau ngapain tangannya di sana…” goda Bram.

Tia membalas dengan mengecup bibir Bram lalu menarik ujung kaos Bram, menyingkap tubuh atas Bram. Sementara itu Tia terus menciumi tubuh suaminya, dari bibir turun ke dagu, rahang, leher. Bram menahan nafas.

Bram sekarang paham sebagian besar ceritanya. Perubahan Tia sesudah memergoki kebiasaan buruknya itu sebagian disebabkan Citra juga. Citra bercerita bagaimana Tia minta saran agar Bram tidak perlu lagi melirik perempuan lain. Dan kakaknya itu, yah, sudah tahu apa yang Bram suka. Jadilah Citra membantu Tia membentuk-ulang dirinya agar lebih bisa memenuhi impian Bram. Misalnya seperti yang terjadi sekarang.

Sebelumnya, Tia sangat konservatif dan lebih banyak pasif di ranjang. Sekarang, Tia dengan genitnya merayu dan menggerayangi Bram. Aksinya sudah tidak kalah dengan perempuan-perempuan penghibur yang dulu (dan kadang sekarang) memberi Bram kenikmatan badan. Tia yang dulu tidak terpikir melakukan apa yang dilakukannya kini. Tangan Tia sudah menyentuh kemaluan Bram yang sedikit tegak, jari-jari Tia merangkum batang Bram. Tia mulai membelai-belai organ intim suaminya, dari bawah ke atas dan kembali lagi, dan membuatnya tegang sempurna. Bram tersentak sedikit ketika kocokan Tia makin cepat. “Ah…” Bram melihat istrinya melirik nakal dan kembali mencium bibirnya. Ah, betapa manis bibirnya. Ah… dia kok jadi jago ngocok juga?

“Pelan… sayang…” bisik Bram.

Tia mengabulkan permintaan itu dan mengurangi intensitas kocokannya. Bram tadi sudah nyaris keluar, tapi dia tidak ingin buru-buru. Tangan Bram mencengkeram lengan atas Tia, wajahnya terlihat berusaha menahan kenikmatan, sementara rambut panjang Tia menyapu hidung Bram selagi Tia mengulum salah satu telinga Bram. Beberapa waktu lalu, Tia sempat memberikan servis ‘mandi kucing’, dan Tia baru menemukan bahwa Bram punya titik sensitif di sana.

Bram mengerang keras selagi Tia kembali kencang mengocoknya. Percikan-percikan cairan hangat lengket melompat keluar dari ujung penisnya dan mendarat di mana-mana, di kaos dan dada Bram, di daster Tia, di seprei. Tia tak melepas dan terus mengocok sampai ejakulasi Bram selesai.

“Yah… berantakan nih. Kamu sih nakal, gak bilang-bilang dulu,” goda Bram sambil menikmati perasaan keenakan.

“Habisnya Mas Bram mau pergi… jadi ya mumpung sempat sama Mas Bram,” jawab Tia. Tia sendiri merasakan putingnya mengeras dan selangkangannya membasah. Membuat suaminya bisa orgasme dengan tangan sudah cukup merangsang baginya, dan andai Bram mau melanjutkan, dia merasa dia bisa langsung ‘dapat’.

Bram meraih wajah Tia. Ciuman yang menyusul sungguh panas. Lidah mereka berdua saling menjelajah, tetap seperti menemukan hal-hal baru walau keduanya sudah berkali-kali berciuman.

“Beresin dulu nggak?” goda Tia.

“Nggak usah, kan mau dilanjutin?” Bram menanggapi. Detik berikutnya Tia didorong sehingga telentang, kedua pergelangan tangannya ditahan kedua tangan Bram, kedua lutut Bram mengepit kedua pahanya.

“Aku kan masih dua hari lagi perginya, sayang,” kata Bram pura-pura tak butuh.

“Biarin aja… Mas…” Bram melihat Tia menggigit bibir kemudian kembali berkata. “Mas aku pengen…”

Bram tidak perlu diminta lagi. Sedetik kemudian tubuh keduanya sudah bersatu.

*****

Pagi, dua hari kemudian…

Bram mencium kening istrinya lalu masuk ke dalam mobil dan memundurkan mobil keluar garasi. Dalam beberapa menit, dia sudah di jalan menuju bandara, hendak berangkat ke kota tempat Enrico akan membuka cabang baru perusahaan. Diiringi lambaian tangan Tia, Bram meninggalkan rumah. Pinggang Bram terasa agak pegal dan matanya masih mengantuk. Kemarin malam dia tidak sempat cukup tidur karena Tia terus mengajaknya bercinta.

Dan pagi itu, dia jadi enggan meninggalkan istrinya yang cantik itu lama-lama. Tapi tugas kantor harus dijalankan.

Setibanya di bandara, Enrico sudah ada di sana dan menyambut Bram. Keduanya segera bergerak ke dalam untuk boarding. Satu jam kemudian Bram sudah duduk di pesawat, memejamkan mata dan berusaha memimpikan Tia.

*****

Dua, tiga jam sesudah Bram pergi, Tia resah sendiri di rumah. Bukan pertama kali dia ditinggal Bram pergi bertugas ke luar kota, tapi entah kenapa, kali ini terasa ada yang tak tertahan. Apalagi karena sejak dua hari lalu, malam-malam di kamar mereka tak pernah sepi… Entah kenapa, Tia merasa sangat bergairah dan terus berusaha mencari kenikmatan.

Itu semua terjadi sesudah Tia berkonsultasi dengan Dr. Lorencia, yang tanpa sepengetahuannya telah memperkuat sugesti yang ditanamkan Mang Enjup.

Sebelum Bram berangkat, tadi Tia masih sempat memberi kenikmatan kepada suaminya dengan memberi blowjob di kamar mandi. Hampir saja Tia membuat Bram telat pergi karena dia mengajak suaminya bercinta sekalian. Tapi Bram masih bisa mengendalikan keadaan dan mengingatkan Tia.

Tia menyentuh bibirnya sendiri dan mengulum jari telunjuknya, membayangkan kejantanan Bram yang tadi ada di dalam mulutnya, mengingat rasa benih suaminya yang tadi keluar di sana. Sambil duduk sendirian di sofa ruang tengah, Tia membayangkan adegan tadi pagi. Tangannya yang satu lagi bergerak ke kemaluannya sendiri untuk masturbasi. Celana dalamnya sudah basah lagi, terbawa khayalannya dan hasrat yang belum kesampaian.

“Emmh… Mas… Mas Bram…” Tia menggumamkan nama suaminya ketika dia merangsang dirinya sendiri, matanya setengah terpejam dan kepalanya rebah ke sandaran sofa selagi jari-jarinya bergerak keluar masuk liang kewanitaannya. Tapi Tia tak kunjung mendapat orgasme. Yang dia inginkan bukan jarinya sendiri, melainkan kejantanan, kejantanan Bram…

…atau siapapun.

“Ohh,” keluh Tia yang frustrasi, terhenyak di sofa dengan tak puas. Dia menyerah dan berusaha melupakan hasrat yang mengganggu pikirannya dengan melakukan kegiatan lain. Tia mulai membereskan rumah, menonton TV, menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Setidaknya ada kesibukan, walau perasaannya masih terasa terganjal. Seminggu. Tanpa Bram. Kenapa sekarang terasa susah sekali dilalui?

Jam-jam berlalu. Ada telepon dari Bram, mengabarkan dia sudah sampai di tujuan. Pembicaraan hanya singkat karena Bram keburu dijemput oleh rekan kerja di sana. Sesudahnya, Tia kembali bermasturbasi, tapi dia gagal lagi mencapai klimaks.

*****

Sore menjelang malam.

Tia makan malam sendirian. Sesudah makan, cuci piring, lalu beberes. Lalu… apa? Tia menyalakan televisi. Hanya berita atau sinetron. Tidak ada yang menarik untuk ditonton. Apa telpon Citra saja supaya ada teman bicara?

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Ada tamu?

Mengintip dari balik jendela depan, Tia melihat tiga orang keluar dari mobil itu. Salah seorangnya Mang Enjup. Ketiganya membuka pintu gerbang dan langsung menuju pintu rumah, lalu mengetok pintu. Tia yang sudah di dekat pintu langsung membukakan pintu.

“Puuunten,” Mang Enjup memberi salam.

“Eh, Mang Enjup. Ada apa, Mang, tumben mampir ke rumah? Ayo, ayo masuk.”

Mang Enjup didampingi dua anak buahnya—Danang yang urakan dan Reja yang tegap.

“Mangga calik,” Tia mempersilakan tamu-tamunya duduk. “Sebentar, saya bikin teh dulu.”

“Aduh, ngga usah repot-repot,” Mang Enjup berbasa-basi, tapi membiarkan saja Tia pergi ke belakang untuk membuatkan minum. Danang dan Reja duduk di sofa, senyam-senyum karena masih ingat apa yang terjadi terakhir kali mereka datang ke rumah itu.

Lima menit kemudian Tia keluar membawa baki dengan tiga cangkir teh hangat di atasnya. Dengan cekatan Tia menyuguhkan minum kepada ketiga tamunya. Ketika Tia duduk kembali, Mang Enjup langsung membuka pembicaraan. Mang Enjup sengaja menggeser posisi duduknya sehingga berada di sebelah tempat duduk Tia.

“Lagi sepi ya, si Aden baru pergi kan,” kata Mang Enjup, merujuk ke Bram. “Neng Tia enggak kesepian kan?”

“Ah, nggak Mang…” kata-kata Tia tidak sesuai dengan isi hatinya. “Udah biasa kan kalau Mas Bram pergi keluar kota.”

“Gini,” kata Mang Enjup. “Besok malam teh ada undangan dari Bapak Walikota. Pesta apa selametan atau semacamnya. Beliau ngundang orang-orang bisnis juga, termasuk dari perusahaan-perusahaan rekanan pemda. Perusahaan kita diundang juga.” Sebagai putri seorang pengusaha, Tia paham bahwa acara Walikota itu bukan pesta biasa, melainkan ajang lobi bisnis.

“Tadinya Mang mau ajak si Aden ke sana,” kata Mang Enjup, “tapi rupanya ada tawaran dari luar kota yang harus diurus juga, jadi Mang dan dia bagi tugas, dia keluar kota, Mang urus Pak Walikota. Cuma tadi teh Mang kepikiran, gimana kalau ajak Neng Tia sekalian? Kan Neng Tia juga penerus perusahaan kita, jadi ada baiknya mulai jalin kontak bisnis. Banyak gunanya buat nanti. Ya biar kenal sama sesama pengusaha, pejabat, anggota DPRD, dan pastinya Pak Walikota. Mau ikut kan?”

Tia mengangguk setuju. Kata-kata Mang Enjup memang masuk akal. Dia dan Bram sama-sama disiapkan untuk mewarisi perusahaan orang tua mereka, jadi sudah kewajibannya untuk mempersiapkan diri agar bisa melakukan tugas itu sebaik-baiknya.

Mang Enjup tidak berlama-lama. Sesudah berbasa-basi sedikit, dia pamit pulang. Mang Enjup bilang akan menjemput Tia besok sore. Tia mengantar para tamunya keluar sampai ke pintu pagar, lalu masuk kembali.

Di dalam mobil, Danang mengeluh kepada Mang Enjup. “Mang, udah begitu aja? Si Tia nggak kita apa-apain?”

“Hush!” Mang Enjup menghardik. “Ngga sabaran amat sih? Tunggu ajah. Nanti juga kalian kebagian lagi. Sekarang kita pulang. Reja! Ayo jalan.”

Mobil melaju meninggalkan rumah Tia.

*****

Besok sorenya…

Setelah menerima telepon dari Mang Enjup yang mengatakan akan menjemput dua jam lagi, Tia langsung bersiap. Penjelasan Mang Enjup kemarin membuatnya merasa bertanggungjawab untuk memberi kesan baik. Siapa tahu dari orang-orang yang ditemuinya malam itu, akan ada yang jadi rekan bisnis masa depan.

Mengenakan kebaya sutra tipis panjang bersulam warna emas di atas kemben berwarna sama, dipadu rok panjang batik yang tidak mengekang namun tetap bernuansa etnis, Tia tampak anggun menawan. Mang Enjup yang datang menjemputnya, lagi-lagi bersama Danang dan Reja, tidak bisa tidak menyatakan kekaguman.

“Uwaaah… meni geulis pisan euy, si Neng,” Mang Enjup memuji. Tia tersipu dipuji seperti itu. Mang Enjup langsung mengajak pergi. “Ayoh kita berangkat.”

Mang Enjup sendiri mengenakan kemeja batik dan celana panjang hitam, sementara Danang terlihat tidak cocok mengenakan kemeja putih lengan panjang, dasi, rompi, dan celana bahan. Reja hanya berkaos dan bercelana jeans—dia sadar bahwa sebagai sopir paling-paling dia cuma bakal menunggu di tempat parkir.

Malam itu rumah dinas Walikota menjadi ajang suatu pesta. Sebenarnya alasan pesta itu diselenggarakan tak begitu jelas, hanya saja melihat dari daftar tamu yang mencakup para pejabat, anggota DPRD, pengusaha, dan profesional, sebagian besar yang hadir sudah maklum bahwa pesta itu ada hubungannya dengan tender suatu proyek besar yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang. Suasana pesta yang formal namun akrab pun menjadi ajang penguasa dan pengusaha saling mendekat, menjalin hubungan, dan di balik itu semua berusaha mendapatkan keuntungan dengan cara halal maupun lainnya. Di antara dekorasi indah, karangan bunga, makanan lezat, dan minuman mahal, manusia-manusia berkepentingan saling berbaur dan berbincang. Tiada yang gratis di dunia, bahkan di tengah pesta.

Ini bukan pertama kali Tia hadir dalam pesta kalangan atas, tapi baru kali ini dia hadir sebagai seorang “ahli waris bisnis”. Dia memandangi orang-orang yang ada dengan antusias. Banyak sekali laki-laki berumur 40-an ke atas dalam setelan yang terlihat mahal atau batik sutra. Ada juga beberapa laki-laki muda yang terlihat perlente. Tamu-tamu perempuan yang hadir semuanya tampil gemerlap, dengan gaun mahal dan perhiasan berkilauan. Kebanyakan tamu perempuan juga berumur 40-an ke atas, mungkin mereka juga adalah pejabat atau pengusaha atau istri pejabat/pengusaha.

Kehadiran Tia sendiri justru menarik perhatian. Ketika Mang Enjup, Tia, dan Danang masuk ke ruangan, tetamu langsung menengok dan tidak bisa melepaskan pandangan dari perempuan anggun yang baru hadir. Tia yang anggun dalam kebaya emasnya langsung menjadi pusat perhatian, dan terdengar gumaman serta decak dari sebagian tamu. Dan entah berapa pembicaraan bisnis yang tersela, tergantikan kekaguman. Baik kekaguman yang menghormati, maupun yang membayangkan hal yang tidak-tidak.

Mang Enjup yang luas pergaulannya memperkenalkan Tia ke sana-sini. Ini anggota DPRD; ibu ini guru besar kedokteran di universitas; suami-istri itu pengusaha ekspor-impor; bapak itu kepala dinas. Semua perkenalan berlangsung singkat, Tia sampai kerepotan mengingat nama mereka semua. Setiap kali, Mang Enjup selalu memperkenalkan Tia sambil menyebut orangtuanya, Bram, dan orangtua Bram. Banyak yang langsung paham apa arti semua itu, dan biasanya mereka akan mengangguk-angguk setuju. Tia adalah calon penerus bisnis orangtuanya, salah satu bisnis besar di kota itu dan daerah-daerah lain.

“Hei, Tia!” terdengar panggilan akrab. Tia menoleh dan melihat Dr. Lorencia yang juga hadir di pesta itu. Dr. Loren memuji kebaya dan kecantikan Tia—sambil tangannya seperti mau menggerayangi Tia. Bagi yang tidak tahu orientasi si psikolog spesialis, kelihatannya seperti dua perempuan yang bersahabat akrab. Tapi sentuhan Dr. Loren jelas tidak cuma menyampaikan keakraban. Mang Enjup tidak menunjukkan bahwa dia kenal Dr. Loren, tapi sempat memberi isyarat kepada perempuan berkacamata itu agar tidak menahan Tia, karena ada urusan lebih penting. Tia dan Mang Enjup meninggalkan Dr. Loren, dan Tia bilang nanti dia akan ngobrol lagi dengan Dr. Loren. Tapi Danang, yang dari tadi mengintil Mang Enjup tanpa diperkenalkan ke siapa-siapa, tetap bersama Dr. Loren dan mengajak ngobrol. Mereka berdua sudah saling kenal rupanya.

Di tengah ruangan dalam rumah dinas Walikota, Mang Enjup mengantar Tia berkenalan dengan Pak Walikota. Tia sudah sering melihat wajah Pak Walikota di televisi dan koran, tapi dia merasa baru satu kali bertemu dengan pejabat itu. Pak Walikota bertubuh tegap dan besar; dia mantan perwira yang kemudian masuk ke partai politik dan memenangkan pemilihan kepala daerah tahun lalu. Umurnya kira-kira 50-an, dengan rambut mulai beruban, tapi wajahnya masih terlihat ganteng. Dia menjabat tangan Tia dan tersenyum lebar. Jabat tangannya erat dan lama sekali, seolah dia tak mau melepas tangan Tia; tindakannya itu disaksikan oleh seorang perempuan setengah baya bertubuh gemuk yang berdiri di sampingnya dan mengenakan kebaya mewah, dengan rambut disasak dan beruntai-untai kalung di lehernya. Perempuan itu istri Pak Walikota.

“Senang bisa kenalan dengan Bu Tia,” kata Pak Walikota.

“Sama-sama, Pak,” jawab Tia sopan.

“Bu Tia masih ingat tidak? Waktu Bu Tia menikah dengan Pak Bram, saya datang,” kata Pak Walikota. Tia diam saja, dia sendiri tak yakin apa dia ingat pernah bertemu dengan Pak Walikota sebelumnya. Pak Walikota terus berusaha memperpanjang pembicaraan, dengan menyebut bahwa dia kenal orangtua Tia dan Bram. Tia hanya mengangguk-angguk.

“…saya sudah lama tidak ketemu bapak Bu Tia. Tolong kasih tahu ya kalau Bapak sedang ada di sini. Saya pingin ajak ngobrol dia,” pinta Pak Walikota.

“Iya, Pak,” ujar Tia singkat.

“Tapi saya sudah senang kok bisa ketemu lagi dengan putrinya. Tidak sangka, ternyata cantik sekali. Bapak dan Ibu pasti bangga,” Pak Walikota berusaha memuji.

Mang Enjup masuk ke dalam pembicaraan, membawa topik tender proyek yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Pak Walikota dan Mang Enjup membahas itu, sementara Tia dan istri Pak Walikota jadi penonton. Lalu beberapa orang lain datang mendekat.

“Hai… Pak Jupri mau nyolong start rupanya,” kata seorang laki-laki bertubuh kecil, berkulit kuning, bermata sipit, yang datang dari belakang Mang Enjup. Dia merangkul Mang Enjup dengan gaya sok akrab, lalu menoleh ke Pak Walikota. Mang Enjup mengomentari orang baru itu.

“Hahaha… Koh Simon bisa aja. Kan tadi situ yang udah duluan ngobrol. Siapa dong yang nyolong start?” Mang Enjup menyindir laki-laki kecil itu, yang bernama Simon Sunargo, seorang pengusaha yang juga ikut tender proyek. Tapi selagi dua orang itu saling sindir, datang lagi seorang laki-laki berjas biru yang mengabaikan keduanya dan langsung menjabat tangan Pak Walikota.

“Selamat malam, Pak. Maaf saya baru datang. Biasa, gandengan saya kelamaan dandan,” kata laki-laki berjas biru itu, yang lebih muda daripada Mang Enjup dan Simon.

“Saya dari tadi udah tanya-tanya, Majed ke mana. Rupanya nungguin gandengan,” celetuk Pak Walikota menyambut laki-laki muda itu, yang bernama Majed. Majed berpenampilan seperti orang asing, tubuhnya jangkung, hidungnya mancung, wajahnya brewokan tapi ganteng. Kontras dengan Mang Enjup yang sudah tua dan gemuk, atau Simon yang kurus kecil. Dan Majed juga salah seorang peserta tender.

“Gandengannya ganti lagi, Jed?” komentar Pak Walikota melihat sosok yang menggelayut di lengan Majed. Seorang perempuan berkulit sawo matang, tapi tidak tampak seperti pribumi. Tubuhnya berbentuk seperti gitar Spanyol dengan dada besar, pinggang ramping, dan pinggul seksi. Perempuan itu berbicara sedikit ke Majed. Celetukannya, berbahasa Spanyol juga. Majed membisikkan sesuatu dan perempuan itu tertawa. Majed memperkenalkan gandengannya itu. “Kenalkan, Pak, ini Gaby. Lengkapnya Gabriela Iffa Almaraz. Latino tapi masih ada keturunan Timur Tengah, kayak penyanyi itu, Shakira. Dia dikirim sama kantor pusat di Amerika buat training setahun di kantor cabang Indonesia, terus saya yang suruh handle.” Majed memang mewakili perusahaan internasional yang juga bersaing dengan perusahaan orangtua Tia dan perusahaan Simon di tingkat lokal. Penjelasan Majed mengenai asal-usul Gaby terkesan dibuat-buat, tapi Pak Walikota tak memusingkan itu; dia sibuk memandangi rambut coklat panjang dan mata kelabu-biru Gaby.

Simon yang diserobot kesempatannya oleh Majed tiba-tiba mengangkat telepon selulernya, memencet satu nomor, lalu menelepon. Mang Enjup menguping pembicaraan singkat Simon. “Ada di mana… Ayo sini cepet!” yang kemudian dilanjutkan beberapa patah kata bahasa Cina. Tak lama kemudian muncullah seorang perempuan bertubuh langsing dan berwajah menarik, ras oriental. Dia mengenakan baju sutra longgar dan celana panjang, rambut hitamnya dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit besar berbentuk anggrek. Simon memperkenalkannya kepada Pak Walikota sebagai “asistennya yang baru”, Shenny. Dengan kehadiran Shenny, jadilah Pak Walikota dirubung tiga laki-laki, juga tiga perempuan cantik: Tia, Gaby, dan Shenny. Entah kapan, istri Pak Walikota sudah tidak berada di samping suaminya, memilih untuk mengobrol dengan sesama istri pejabat daripada harus menemani suaminya.

Tia menyimak obrolan Pak Walikota dengan Mang Enjup, Simon, dan Majed. Dia merasa perlu terlibat dengan urusan proyek itu. Ditangkapnya berbagai hal yang tersirat; bahwa ketiga orang itu sebelumnya bekerja sama melobi DPRD sehingga menggolkan proyek besar yang akan ditender, namun sekarang ketiga pihak akan melupakan kerjasama dan bersaing dalam tender. Ketiganya sama-sama licin dalam berkata-kata, hampir tak pernah keceplosan mengumbar maksud dan siasat di depan lawan-lawannya.

“Oke, keputusannya tiga hari lagi. Negosiasi final dengan Anda bertiga akan saya lakukan sehari sebelumnya. Nanti lokasi dan waktunya akan diberitahu asisten saya,” Pak Walikota menutup pembicaraan dengan mereka bertiga, lalu pamit untuk beralih mengobrol dengan tetamu lain. Bu Walikota entah sudah ada di mana. Tiga laki-laki dan tiga perempuan itu pun bubar.

“Neng, tadi ikut denger obrolan kita kan?” tanya Mang Enjup.

“Iya, Mang,” jawab Tia. “Perusahaan kita bakal bersaing dengan perusahaannya Pak Simon dan Pak Majed itu di tender.”

“Nah, Neng Tia, Mang tuh sebenarnya pengen minta bantuan. Selama ini Mang dan Bram sudah usaha keras supaya kita bisa menang. Sekarang tinggal satu tahap lagi. Kalau pertandingan bola, kita udah masuk final. Tinggal gimana supaya kita menang juga di final. Makanya… Bram kan lagi tidak di sini, padahal masih ada satu negosiasi lagi sebelum keputusan. Boleh tidak kalau Mang minta Neng Tia bantuin Mang di negosiasi terakhir itu?”

Mang Enjup mengatakan itu sambil menatap wajah Tia dan tangannya mengurut-urut lengan Tia; tanda dia menggunakan sedikit keahlian gendamnya. Tia merasa sudah sewajarnya dia ikut terlibat, jadi dia pun mengangguk setuju.

“Boleh Mang… Nanti Tia bantuin sebisanya, apa aja, supaya perusahaan kita yang dapat proyeknya,” ujar Tia.

“Hatur nuhun, geulis,” kata Mang Enjup. “Nah, ini sudah malam. Mang mau pulang. Tia mau pulang juga, atau masih mau di sini?” Mang Enjup melepas pegangannya dari Tia, menghentikan upaya mempengaruhi.

“Emm…” Tia memperhatikan sekelilingnya. Sebenarnya malam belum larut, baru sekitar pukul 9, dan dia juga kesepian di rumah. Tadi dia belum sempat ngobrol dengan Dr. Lorencia. “Tia belakangan aja deh, Mang.”

“Ya udah. Mang pulang dulu sama Reja, nanti Reja Mang suruh balik lagi ke sini buat nganter pulang Neng Tia. Danang mah biarin aja di sini dulu.”

Mang Enjup kemudian meninggalkan rumah dinas walikota untuk pulang bersama Reja ke rumahnya sendiri yang tidak jauh dari sana. Tia kembali beredar dan melanjutkan obrolan dengan beberapa orang di sana. Ada seorang temannya waktu kuliah yang hadir juga di sana, mendampingi suaminya yang menjadi pejabat menengah setempat. Temannya itu menanyakan Bram. Tia bilang Bram sedang tugas kantor di luar kota. Mereka mengobrol, memuaskan rasa kangen sesudah beberapa lama tak bertemu.

Di tempat lain, Danang memanfaatkan kesempatan mencicipi berbagai suguhan, termasuk minuman keras, di pesta itu. Sekarang efek alkohol dan membuat dia merasa gerah. Ditambah lagi, sedari tadi dia menyaksikan bahwa sebenarnya banyak juga “pemandangan indah” di pesta itu. Ada perempuan-perempuan muda dan cantik di antara para tetamu. Di antaranya Gaby Almaraz yang dibawa Majed, dan Shenny asisten Simon. Dan tentunya Tia.

Tadi Danang sempat mengobrol dengan Dr. Lorencia. Mereka berdua sudah kenal sebelumnya, karena Danang sering ikut ke mana pun Mang Enjup pergi. Termasuk ketika beberapa waktu lalu Mang Enjup meminta Dr. Loren menggarap kesadaran Tia. Danang tahu mengenai ilmu gendam Mang Enjup, bahkan dia pernah minta diajari, tapi ternyata dia tidak berbakat. Makanya dia iri kepada Dr. Loren yang bisa menyerap ilmu pamannya. Keduanya tadi mengobrol banyak, dan akhirnya mereka jadi saling tahu pengalaman masing-masing dengan Tia.

Danang masih penasaran dengan Tia. Kemarin dia kesal sekali waktu ikut datang ke rumah Tia tapi tidak terjadi apa-apa. Sekarang apalagi. Melihat Tia, ditambah efek alkohol, membuat Danang belingsatan menahan sange. Danang sebenarnya pengecut, dia tidak berani mengapa-apakan Tia kalau sendirian. Tapi begitu tadi bertemu Dr. Loren dan berbagi cerita, segera muncul rencana di kepalanya untuk bisa meniduri Tia malam itu. Dia tahu Dr. Loren juga berminat dengan Tia. Jadi, begitu melihat Tia ditinggal Mang Enjup, Danang langsung mendekati Dr. Loren lagi. Keduanya punya keinginan yang sama, jadi bisa bersepakat. Waktu Tia terlihat mendekati Dr. Loren, Danang menyingkir.

Tia dan Dr. Loren mengobrol lagi, agak berbisik-bisik. Dr. Loren menanyakan apakah Tia masih ada masalah dengan traumanya. Tia menjawab sudah tidak ada masalah. Obrolan mereka tidak berlangsung lama karena Dr. Loren bilang dia mau pulang, naik taksi. Tia menanyakan alamat rumah Dr. Loren; ternyata sama dengan tempat praktiknya. Karena arah pulang mereka sejalan, Tia menawari Dr. Loren pulang bareng. Dr. Loren menyanggupi. Tia melihat Danang tidak jauh dari sana lalu memanggil Danang, menanyakan apakah Reja sudah balik lagi dari mengantar Mang Enjup. Danang menelepon sebentar lalu bilang Reja sudah ada di tempat parkir lagi.

Sesudah berpamitan dengan Pak Walikota dan orang-orang lain, Tia menuju pintu keluar diikuti Dr. Loren dan Danang yang saling pandang sambil cengar-cengir. Tidak cuma Mang Enjup yang jago menjerat orang—mereka berdua juga bisa. Di depan pintu, Reja sudah menunggu dengan mobil Mang Enjup. Si sopir membukakan pintu belakang untuk Tia dan Dr. Loren, sedangkan Danang duduk di kursi depan. Mobil segera bergerak meninggalkan rumah dinas walikota.

Sambil jalan, Dr. Loren melanjutkan obrolan dengan Tia, sementara Danang dan Reja diam saja. Mobil menuju rumah Dr. Loren. Tapi Dr. Loren lantas bicara sambil tangannya menggenggam pergelangan tangan Tia.

“Tia, aku pengen mampir ke rumahmu, boleh nggak?” Sambil mengatakan itu Dr. Loren tiba-tiba menyentak halus tangan Tia—satu teknik untuk menjatuhkan sasaran ke dalam keadaan setengah terhipnotis.

“Iya… Boleh…” kata Tia. “Kita ke rumahku dulu deh…”

Danang menengok ke belakang dan nyengir. Reja mengarahkan mobil ke jalan menuju rumah Tia.

*****

Singkat cerita, mereka semua tiba di rumah Tia dan turun. Tia masih dalam keadaan setengah terhipnotis dan sama sekali tidak curiga akan maksud Danang dan Dr. Loren. Tadi di mobil, Dr. Loren sudah memberi sugesti, “Kamu mau turuti semua yang kami suruh, kan?” dan Tia menyanggupi. Dan sejak di mobil Dr. Loren sudah mulai menggerayangi Tia, mulai dari meremas-remas paha, meraba leher, sampai mengulum telinga Tia. Tia bereaksi dengan tertawa kegelian dan mendesah. Danang bolak-balik menengok untuk curi pandang, tapi Dr. Loren selalu memelototinya kalau dia ketahuan.

Waktu mereka masuk rumah, Tia sudah terangsang berat gara-gara Dr. Loren. Keadaan itu, ditambah pengaruh hipnotis, membuat dia mau saja disuruh menunjukkan kamar tidurnya. Dr. Loren menggiring Tia ke kamar tidur, diikuti Danang dan Reja.

Dr. Loren menengok ke arah dua laki-laki itu dan berkata, “Aku duluan, dan jangan coba-coba ikutan. Sori, aku nggak suka cowok. Kalau ada yang berani ikutan, bakal kuhipnotis jadi banci. Silakan nonton tapi jangan ada yang macam-macam.”

Danang nyengir mendengar ancaman itu, tapi menganggapnya serius, karena sudah melihat bagaimana Dr. Loren bisa membuat Tia mengikuti semua kata-katanya.

Tia duduk di pinggir tempat tidur, masih berkebaya lengkap. Loren menyuruhnya membuka baju. Dengan patuh, Tia membuka kebaya, rok panjang, dan kembennya, sampai hanya tersisa celana dalam G-string dan bra. Sementara itu Loren membuka-buka lemari pakaian Tia, mencari sesuatu.

“Tia,” kata Dr. Loren, “Merem.” Tia menurut dan memejamkan mata. Loren sudah mengambil beberapa syal dari dalam lemari, lalu mengikatkan satu syal sehingga menutupi kedua mata Tia. Loren lalu mendorong Tia sehingga Tia rebah di tempat tidur. Kemudian Loren mengikat kedua pergelangan tangan Tia dengan syal lain. Loren tersenyum dan menjilat bibir.

Loren kemudian membuka seluruh pakaiannya sampai telanjang, tanpa peduli Danang dan Reja berdiri menonton di belakangnya. Dia lalu berlutut di tempat tidur dan menyibak kedua paha Tia. Loren membungkuk ke depan, ujung-ujung jarinya menggerayangi leher Tia. Dia bisa merasakan nafas Tia mulai memburu. Jemari Loren terus menyusuri sekujur tubuh Tia, tanpa menyentuh payudara Tia. Lalu dengan cekatan Loren mencopot kancing bra Tia. Payudara Tia tumpah keluar. Loren menundukkan kepala, dan memasukkan satu puting Tia ke mulutnya.

Tia mengerang keenakan. Loren pindah ke payudara satunya sambil mengelus-elus sekujur tubuh Tia. Puting Tia mulai mengeras. Loren lalu beralih ke bagian bawah tubuh Tia dan melepas celana dalam Tia. Tia terus mendesah dan merintih, ingin lebih. Setelah membuka celana dalam Tia, Loren memperhatikan vagina Tia yang sudah basah. Loren memasukkan satu jari, kemudian dua jari ke sana. Tia bereaksi dengan menggerakkan panggulnya menanggapi colokan jari Loren. Loren mencabut jemarinya dan mulai menciumi perut Tia, makin lama makin ke bawah. Dia mencapai kemaluan Tia dan mulai menjilati klitoris Tia. Tia mulai tegang. Lidah Loren menjalar menyapu bibir kewanitaan Tia, kemudian keluar-masuk rekahannya. Makin lama suara Tia makin kencang. Dua jari Loren kembali masuk ke kemaluan Tia yang becek. Tia tersentak dan menjerit kaget, diikuti tarikan nafas panjang yang gemetar. Bibirnya tersenyum lebar.

“Mau diteruskan?” tanya Loren.

“Iya…” jawab Tia.

Loren mencium Tia, menghisap lembut bibir bawah Tia. “Baiklah, sayang,” kata Loren, sambil jari-jarinya beraksi di dalam vagina Tia. Loren merasakan kedua paha Tia bergerak hendak merangkul tubuhnya, dan pinggul Tia bergerak menanggapi tusukan jarinya. Dengan lembut, Loren terus merangsang klitoris dan vagina Tia. Nafas Tia makin memburu dan wajahnya memerah selagi dia mendekati orgasme. Akhirnya, Tia mencapai klimaks. Dia menahan nafas selagi sekujur tubuhnya bergetar, kemudian mengeluarkan lolongan panjang tanda kenikmatan.

“Oooo…. Eufhhh!!”

Dr. Lorencia mulai tak tahan, memandangi tubuh indah Tia yang menggelinjang karena nikmat di depannya. Dia mulai bermasturbasi, menjolokkan jari ke dalam vaginanya sendiri, merangsang kewanitaannya sampai basah. Kemudian dia bergerak sampai akhirnya berposisi mengangkangi dada Tia. Dr. Loren membuka penutup mata dan ikatan di tangan Tia, membisikkan perintah, lalu bergeser lagi, menyodorkan klitorisnya ke mulut Tia. Tia langsung melakukan apa yang tadi diperintahkan. Dia majukan kepalanya, dan melahap kemaluan Loren di depannya, menyedot klitoris Loren.

“Mmmmm… yes… oh… ayo terus mainin lidahnya…” ujar Loren saat dia mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur, mengentoti muka Tia. Tia tidak peduli apa yang terjadi… rasa, bau, dan gesekan vagina Loren saja yang penting baginya saat itu. Jari Tia pun ikut main di sana. Sugesti yang tadi Loren berikan membuatnya tidak canggung ketika bercinta dengan sesama wanita.

“Aku… ah… sebentar lagi… oh… ohh…”

Dan, segera setelah berkata seperti itu, tubuh si psikolog cantik mulai gemetar tak terkendali, makin cepat dan bergairah menggesek-gesekkan selangkangannya ke mulut Tia, seolah-olah mau memastikan rasa kewanitaannya akan menempel terus di mulut Tia sampai berjam-jam ke depan. Ketika akhirnya mencapai klimaks, Loren melolong dan mendesah, suaranya begitu bernafsu sampai-sampai Danang yang menonton merinding mendengarnya.

Tia pelan-pelan menjilati sisa-sisa orgasme Loren (yang masih mengangkangi mukanya, biarpun nyaris ambruk karena lemas) sampai bersih, membuat Loren terengah dan bergidik dengan tiap sapuan lidahnya. Loren akhirnya turun dari ranjang, lalu mencium bibir Tia dengan mesra. Dia tak menyangka percobaannya tadi dengan Tia berefek dahsyat kepada dirinya sendiri, dan dia puas dengan “mainan baru”-nya.

Sesudahnya, Dr. Loren menengok ke Danang dan Reja.

“Nih, silakan. Aku udah puas, sekarang aku mau pulang ya.”

Danang dan Reja sudah tidak peduli lagi dengan Dr. Lorencia. Tia—anak bos mereka—sudah ada di depan mereka dalam keadaan telanjang, terhipnotis, dan terangsang. Kapan lagi dapat kesempatan seperti ini? Tangan Danang langsung menjamah vagina Tia. Dia usapkan jari tengah sepanjang rekahannya, lalu dia tekuk jari itu dan celupkan ke dalam.

“Wuihh,” Danang berbisik di telinga Tia, “Basah kuyup memeknya. Udah sange’ berat ya, Tia?” Tia tidak menjawab; tapi jari Danang makin mudah bergerak di dalam kemaluannya. Danang menjilati kuping Tia dan membuat istri rekan kerjanya itu makin tegang. Bibir luar vagina Tia terentang ke luar tiap kali Danang menarik keluar jarinya, seolah-olah enggan melepaskan. Nafas Tia makin memburu, bibirnya mengeluarkan suara-suara merintih kecil. Danang terus menjolok-jolokkan jarinya di vagina Tia, sementara tangan satunya membuka celananya sendiri. Dengan tak sabar Danang memelorotkan celana dan celana dalamnya. Penisnya lepas dari kungkungan, berdiri mencuat di tengah rambut kemaluannya yang lebat.

“Kamu lihat kan ini, Tia? Doyan kontol kan sekarang? Sebentar lagi ini bakal masuk ke memek kamu, Tia. Punya Reja juga. Mulai sekarang kamu lonte kami, Tia. Memek kamu buat dimasukin titit semua orang. Nggak cuma Bram,” kata Danang, seolah meniru cara Dr. Loren mensugesti Tia. “Nih, buktinya memek kamu becek. Lihat nih jari gue.” Danang mencabut jari-jarinya dari vagina Tia, mengendusnya, lalu memeperkan cairan kewanitaan dari kemaluan Tia yang menempel di sana ke pipi kanan dan kiri Tia.

Danang mengambil bantal dan menaruhnya di bawah pantat Tia. Danang lalu menggenggam penisnya dengan satu tangan dan menusukkannya ke lubang Tia yang menghadap ke depan-atas. Tia tidak melawan sama sekali. Kedua pahanya tetap mengangkang menyambut Danang.

Kepala penis Danang menghilang dari pandangan, memasuki liang kenikmatan Tia. Tia merintih lembut dan menggerakkan pinggulnya, sehingga setengah batang Danang masuk ke saluran cintanya. Danang membungkuk dengan bertumpu ke kedua tangan di kiri-kanan tubuh Tia, perlahan-lahan memasukkan seluruh kejantanannya ke vagina Tia.

“Wuehh… Masih tetep enak memek luh Ti… sempit!” komentar Danang. Dia mulai bergerak keluar masuk beberapa kali. Penisnya basah terlumasi cairan kewanitaan Tia. Tia membalas tiap gerakan Danang. Dia menggerakkan pinggulnya, menyodorkan kehormatannya, membuka pahanya lebar-lebar agar Danang bisa mendorong sedalam mungkin.

“Sialan… rasanya enak banget,” Danang terus mencerocos. “Baru kali ini gue ngerasain memek lonte sempit kayak gini! Gratisan lagi!” Dia bergerak cepat untuk sejenak.

“Lu suka kan, Ti?” Danang bertanya dengan nada memaksa. “Ayo bilang!”

“Iyahh… aku suka dientoth…” kata Tia yang tubuhnya terguncang-guncang menerima genjotan.

“Enak gak kontolnya?”

“Enaa…kh… entot terus…”

Tia mengangkat kakinya memeluk tubuh Danang, lalu menggunakan kakinya untuk membantu mendorong tubuh Danang. Danang menengok ke Reja. “Mau ikutan nggak, Ja?” tanya Danang. Reja mengangguk. Sementara Reja membuka sepatu, baju, dan celana, Danang keluar dari vagina Tia dan mengubah posisi tubuh Tia. Tia ditarik dan ditelungkupkan sehingga bagian atas tubuhnya berbaring di atas tempat tidur, sementara pantatnya menungging ke arah Danang dan Reja. Kemaluannya terlihat dari belakang, merah dan basah. Danang kembali mencolokkan satu jari ke sana.

“Lu mau dientot lagi, Ti?” tanya Danang. “Sama Reja?”

“I… iya…” Tia berkata sambil terengah. Jari Danang menggosok daerah sekitar klitorisnya.

“Minta dia ngentot kamu,” suruh Danang.

“A-aaahhh…” Tia merajuk manja.

“Ayo, kalau nggak minta, kami cabut nih,” dorong Danang.

“…entot aku… Ja…”

“Yang keras! Yang jelas!”

“Entot aku… Reja, Danang… entotin aku… yah?” pinta Tia.

“Bagus… Gitu emang harusnya lonte,” kata Danang melecehkan. “Sok atuh, Ja, silakan dientot, dia udah minta.” Danang mencabut jarinya dari vagina Tia dan ganti menggerayangi pantat Tia.

Reja mendekat, menggenggam penisnya yang sudah tegak. Danang berkomentar, “Sialan, Ja, bikin iri aja barang lu.” Tanpa banyak bicara si sopir itu menusuk kemaluan Tia. Tia masih basah dan siap disetubuhi lagi. Reja mulai mendorongkan kejantanannya ke dalam Tia dari belakang, dorongan tubuhnya cukup kencang sehingga membuat pantat dan payudara Tia berguncang. Danang sudah pindahkan tangannya ke muka Tia, dan Tia mengulum jari Danang yang beberapa saat lalu ada dalam vaginanya. Danang duduk di tempat tidur dan memindahkan tubuh atas Tia ke pangkuannya, tepat di depan penisnya yang masih tegak karena belum ejakulasi. Reja tetap di dalam Tia selagi tubuh Tia berubah posisi, menggenggam pinggul Tia.

“Ayo, Tia, isep kontol gue. Emut tuh kontol gue…”

Sementara Reja mengentot Tia dari belakang, Tia mengulurkan tangan dan menggenggam pangkal kemaluan Danang. Tia menjulurkan kepalanya ke depan dan memasukkan penis Danang ke mulutnya. Tia mulai menggerakkan kepalanya naik-turun batang Danang. Danang berbaring dan membiarkan Tia menggarap kemaluannya. Tia tampak menikmati sekali: dia menyedot kepalanya, sampai pipinya mengempot. Gerakannya kadang cepat, kadang pelan menggoda.

“Ahh… Udah jago ya lu nyepong,” kata Danang. “Terus. Pake lidahnya lagi. Anjrit… Bisa cepet keluar nih gua. Jangan berhenti. Gue mau keluar di dalem mulut lu.”

Danang menggertakkan giginya dan memejamkan mata.

“Nah… oohhh… udah mau…” Danang mencerocos, “Udah mau! Keluarrr!...” Tubuhnya mulai menyentak. Dia mendorong pinggulnya, memasukkan penisnya sejauh mungkin di dalam mulut Tia. Tia mengeluarkan suara aneh, bunyi seperti meneguk minuman, dan kepalanya mundur, sehingga cipratan mani Danang mendarat di mukanya. Danang cepat-cepat mencengkeram belakang kepala Tia dan menariknya kembali ke batangnya. Tia tidak melawan dan mengulum kembali batang yang sedang menyemburkan isinya itu. Terdengar suara menelan, tapi sebagian semburan Danang tumpah keluar dan berleleran di bibirnya. Tia mengisap kepala penis Danang dan mengocok batangnya, mengosongkan isinya ke dalam mulut.

Tia merasakan Reja makin terangsang melihatnya mengisap ejakulasi Danang, lalu kembali memperhatikan senjata tumpul keras yang begitu nikmat membelah kemaluannya. Dia mendesak balik dorongan Reja, menginginkan lebih.

“Lu isep crot nya si Reja juga, ya,” perintah Danang. Dia menarik Tia ke depan, sehingga terlepas dari penis Reja, lalu mendorong kepala Tia ke arah reja. “Sono isep!”

Reja ikut duduk di tempat tidur. Tia merayap ke pangkuan Reja, payudaranya menekan paha Reja. Wajahnya masih belepotan cairan putih Danang. Tia memegang penis Reja dengan dua tangan—lebih panjang daripada penis Danang yang panjangnya hanya segenggaman Tia lebih sedikit—dan mengocok batang yang basah karena cairan vagina itu. Tia mengecup ujungnya, lalu mendorong mulutnya menyelubungi kepala penis itu. Dia melepas genggamannya dan terus memasukkan batang panjang itu sampai sedalam-dalamnya, sampai ujungnya menyentuh pangkal tenggorokan. Jari-jari Tia merangsang pangkal tebal batang Reja yang tak masuk ke mulutnya. Bibir Tia ketat menjepit penis Reja yang bergerak keluar-masuk mulut. Di dalam mulut, lidah Tia lincah mengelus-elus dan bermain-main di bagian bawah batang Reja.

Tia masih dalam keadaan akan mematuhi apapun yang diperintahkan kepadanya, jadi ketika Danang menyuruhnya menyepong Reja, dia pun berusaha sebaik mungkin. Dia hanya mengulum kepala burung Reja, mengisapnya, sambil tangannya mengocoki batang Reja. Kedua tangannya bermain, tidak hanya di batang tapi juga di kantong biji, memeras, menggelitik. Tia sudah siap dengan apa yang akan terjadi. Sperma Reja meletup keluar dari penisnya ke dalam mulut Tia. Tia menelan dan terus mengocok. Reja menembak beberapa kali lagi dalam mulut Tia, dan semuanya disedot habis oleh Tia.

Setelah Tia melepas penis Reja yang melemas, Danang menyuruhnya telentang dan merentangkan kedua lututnya. Danang kemudian mulai melahap vagina Tia, menjolokkan lidah ke dalam. Tia mengerang dan mencengkeram rambut Danang yang dicat merah, menekan kepala Danang ke selangkangannya. Danang menjilat sepanjang bagian luar vagina Tia, menelusuri bibir-bibir yang basah dengan liur campur cairan cinta. Dia menowel-nowel klitoris Tia dengan ujung lidahnya. Mulutnya menutup seluruh vagina Tia, tapi dari cara Tia menggeleng-gelengkan kepala, jelas di dalam sana lidahnya bermain-main menggoda. Tia merintih nikmat tanpa henti, tubuhnya gemetar akibat lidah nakal Danang. Lalu Danang berhenti.

“Ohh… jangan…” keluh Tia, “terusin…”

“Terusin apa?” Danang bertanya, pura-pura bego.

“Tia udah… dikit lagi…” pinta Tia. “Terusin… jilatin memek Tia…”

“Apa? Nggak kedengeran,” goda Danang.

“…Jilatin… memek Tia!” Tia berkata lebih keras.

“Nggak ah,” tolak Danang. Tia mengeluh, “Aa~aahh…”

“Gue gak mau jilat lu, tapi gue mau ngentot lu. Tapi lu mesti minta!” perintah Danang. “Ayo minta!”

“ento… ia…”

“Apa?”

“Entotin Tia…”

“Apa? Gak kedengeran!”

“ENTOTIN MEMEK TIA DONG… PLIS… TIA PENGEN BANGET NIH…!” Akhirnya Tia sampai berteriak, merendahkan dirinya sendiri demi kepuasan.

“Boleh aja,” kata Danang. “Tapi ada syaratnya! Lu mesti biarin gue dan Reja ngentot lu di bagian apa aja. Ngerti??”

“IYA!!... DUH… CEPETAN!!” Suara Tia makin putus asa.

“Oke,” kata Danang sambil menengok ke Reja. “Ayo barengan, Ja.”

“Sini, Tia,” panggil Danang. Dia telentang di tempat tidur. “Naik ke atas gue, terus lu masukin titit gue ke memek lu.” Tia bergerak menunggangi Danang. Danang menarik wajah Tia dan menciumnya, lidah mereka berdua saling jilat. Danang mengulurkan tangan dan meraih senjatanya, lalu memasukkannya ke celah di selangkangan Tia. Kepala burungnya masuk di antara bibir vagina, dan pelan-pelan sisanya menyusul. Danang menyodok sedikit-sedikit, sementara Tia mulai menggoyang pinggul, memutar penis Danang, sambil membiarkannya terus masuk. Akhirnya, batang Danang masuk semua. Lalu Tia mulai menggerakkan pinggulnya, bergerak naik turun dan memutar batang keras di dalam kemaluannya, menari di pangkuan Danang.

“Sekarang lu tusuk bokongnya, Ja,” kata Danang. Pantat Tia tepat di depan Reja, dan tangan-tangan Danang mencengkeram sambil melebarkan kedua belahannya, memperlihatkan lubang kecil di tengah.

“Lu suka kan,” Danang berbisik kepada Tia. “Awalnya sakit, tapi lama-lama enak.”

“Agghh,” Tia mengeluh halus ketika jari Reja mencolok lubang pantatnya. Danang menyuruh Tia tidak melawan, dan meskipun masih sempit, jari Reja bisa masuk sedikit demi sedikit sampai seluruhnya masuk di sana. Reja kemudian memutar-mutar jarinya. Setelah menyiapkan lubang itu, Reja mencabut lagi jarinya dari dalam sana.

Tia tidak bergerak selagi Danang terus menggenjot dari bawah dan merentangkan kedua bongkahan pantatnya yang bahenol. Reja maju dan meletakkan kepala burungnya di lubang belakang Tia, lalu mendorongnya.

“Ahh…hh!!” pekik Tia. “Gede… banget!!” Tia mencoba menghindar, tapi tidak bisa, bagian depannya sudah terpantek penis Danang, dan dari belakang senjata Reja menusuk tajam.

*****

Di jalan…

Dr. Lorencia tersenyum-senyum sendiri dalam taksi yang sedang membawanya pulang ke rumah. Dia sudah sukses membuat Tia menjadi perempuan binal hamba nafsu malam itu, dan memang itulah yang diinginkan Mang Enjup. Tadi dia mendapat penjelasan lagi mengenai rencana Mang Enjup, secara tidak langsung, ketika dia mengawasi gerak-gerik laki-laki tua itu bersama Tia di pesta. Dasar bajingan cabul, pikir Dr. Loren. Anak bos sendiri akan dikorbankan…

Tapi Dr. Loren tidak ambil pusing. Dia menyentuh kemaluannya sendiri di balik pakaian, mengingat bagaimana tadi Tia memberikan kenikmatan kepadanya. Andai saja dia lebih dulu kenal perempuan muda yang polos itu, dia pasti tidak akan segan merebut Tia dari suaminya dan menjadikannya budak seksnya sendiri.

Satu hal lagi yang dipikirkan Loren. Pengaruh hipnotisnya punya batas waktu. Dan sekarang waktunya hampir habis. Kalau Danang dan Reja sudah selesai sih tidak masalah, tapi apa jadinya kalau Tia sadar ketika sedang dicabuli dia laki-laki itu? Dr. Lorencia tersenyum nakal. Entah Tia akan memprotes dan melawan, atau terus berperan sebagai pelacur murahan. Tiba-tiba dia ingin balik lagi melihat apa yang terjadi. Tapi taksi sudah keburu mencapai rumahnya.

*****

Reja mendorong maju lagi, terus makin dalam ke lubang pantat Tia. Reja merasa saluran itu mulai menyerah terhadap desakan kepala burungnya.

“Auhh… Sakit!” Tia memekik. “Jangan… dimasukin… lagih! Ngga kuatt…! Sakii…tt!”

Sentakan rasa sakit itu juga membuat Tia sadar dari keadaan terhipnotis. Danang melihat perubahan di sinar mata Tia, yang tadinya sayu dan kosong kini terlihat seperti mendapat api-nya lagi.

Tia tersadar. Dan dia mendapati dirinya telanjang, terjepit di antara dua laki-laki dalam persetubuhan. Bukan dengan suaminya. Rasa nikmat campur sakit dari depan dan belakang. Refleksnya membuat dia meronta, tapi Danang dan Reja memeganginya kuat-kuat. Dia menjerit, tapi jeritan paniknya tercampur dengan jeritan nikmat ketika Danang mengemut putingnya dan Reja menciumi bahunya. Pikiran Tia kacau karena tidak menyangka tiba-tiba berada dalam keadaan seperti itu. Dan di dalam kepalanya, seperti terus bergema suara yang menyuruh dia menyerah saja dan menikmati keadaan. Menyuruh dia mengerti bahwa dia sebenarnya wanita jalang yang haus kenikmatan.

Jeritan dan gerakan Tia yang baru sadar disalahartikan oleh Danang dan Reja, mereka kira perempuan muda itu makin terangsang. Akibatnya makin hebat saja gempuran mereka terhadap Tia.

Reja sudah memasukkan setengah penisnya. Lingkaran otot dubur Tia mencengkeram erat di sekitar batang penis Reja yang mendesaknya. Reja memundurkan pinggul, menarik batangnya sampai batas kepala, dan mendorong maju lagi, lebih dalam daripada sebelumnya. Kali ini batangnya masuk dengan lebih mudah, biarpun saluran belakang Tia sangat sempit dan lebih melawan daripada vaginanya.

“Ah… gede banget…” keluh Tia. Dia belum sepenuhnya menguasai diri, kepalanya masih terlanda birahi membara. Reja mundur lagi sedikit lalu mendorong sisanya ke dalam dubur Tia. Tia meringis, kepalanya ambruk ke dada Danang.

“Yahh…!” Tia meringis. “Sakit… ahh….! Jangan… didorong… lagi!”

Reja diam beberapa saat, menikmati jepitan tabung pengeluaran Tia terhadap batang yang sudah dia susupkan seluruhnya ke dalam. Kemudian dia menggenjot pelan-pelan. Tubuh Tia mulai merasa lebih nyaman, tapi perasaannya tetap ingin berontak. Danang juga mulai bergerak lagi, seirama dengan Reja, masuk, keluar, masuk, keluar kedua lubang Tia. Tia hanya bisa menggelinjang dan mengeluarkan bunyi-bunyi tak jelas.

“Gimana Tia. Enak kan sekarang?” tanya Danang.

“Iyahh… mendingan… ayoh… lagi,” Tia menjawab sekaligus meminta.

Danang dan Reja menggenjot dengan penuh semangat. Tia membalasnya dengan mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.

“Yahh… ah… iya… ah… oh… enak banget… Oh… OH!... Sodok terus… Terus!”

Tia terjepit di antara dua laki-laki, menggelepar, menerima sodokan keras dan kencang dari dua arah. Dia makin bergairah dengan tiap gerakan. Dan dia sadar sepenuhnya apa yang dia alami. Dia sedang bersetubuh dengan dua laki-laki yang bukan suaminya. Tapi dia tak peduli. Yang menguasai kepalanya adalah keinginan untuk mencapai orgasme, untuk mencapai kenikmatan badan. Dan biarpun Bram baru pergi satu hari, tubuhnya sudah tak kuat menahan. Maka dia tidak pedulikan kalau yang menyetubuhinya bukan orang yang berhak. Sejak di pesta pun Tia sudah resah, karena dia menyadari bagaimana sebagian tamu memandangi dirinya penuh nafsu. Dia tahu di kepala mereka yang ada justru keinginan untuk menindihnya, merobek paksa bajunya, menggagahinya. Ditambah lagi, Mang Enjup tadi berkali-kali mencolek tubuhnya, terutama di bagian pantat. Dan dia malah merasa senang dilecehkan seperti itu.

Tia membungkuk, merapatkan tubuh memeluk Danang. Reja mendorong dari belakang, penisnya masuk semua ke lubang pantat. Disertai teriakan, Tia mengalami klimaks. Tubuhnya tersentak-sentak di tengah kedua laki-laki yang menghimpitnya.

“Ohhh…” Tia meringis dengan wajah menempel ke dada Danang. “Auhh… enak banget… unghh…” Tia terbenam dalam kenikmatan, mulutnya mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, dan saluran-salurannya menjepit kedua kejantanan di dalam tubuh. Reja juga merasa akan klimaks sebentar lagi, dia menghantam makin kencang keluar-masuk, mendorong sedalam-dalamnya kemudian menariknya keluar lagi. Sementara itu, ekspresi Danang berubah seperti menahan sakit dan tanpa banyak cingcong dia berejakulasi di dalam vagina Tia. Disusul Reja yang menghunjamkan penisnya dalam-dalam dan melepas pejunya ke dalam pantat Tia.

*****

Sesudahnya, Danang dan Reja pulang begitu saja, meninggalkan Tia yang menggeletak ternoda di atas tempat tidurnya sendiri. Danang dan Reja menyangka mereka meninggalkan Tia dalam kondisi masih terhipnotis, padahal sebenarnya tidak.

Tia meringkuk di tempat tidurnya… tersenyum merasakan cairan kelelakian Danang dan Reja di dalam rongga-rongga tubuhnya, mengingat orgasme dahsyat yang dia dapat, mengingat betapa bernafsunya kedua laki-laki tadi.

Entah kenapa, dia tidak lagi merasa bersalah seperti sesudah disetubuhi aparat sesudah kena ciduk. Sesuatu di dalam kepalanya—sugesti yang ditanamkan Dr. Lorencia—membuat dia merasa apa yang dia lakukan wajar saja. Peduli amat dengan statusnya sebagai istri Bram. Yang dipentingkannya hanya kenikmatan badan. Setiap hari. Dari Bram suaminya, atau dari siapapun.

Tia terjerumus makin dalam…

TAMAT BAB 6.

SELANJUTNYA…

Minggu, 08 Agustus 2010

Office Lady's Secret 1

OFFICE LADY’S SECRET 1

SINOPSIS
Setelah kepergok mengakses situs porno di kantor, seorang karyawati dijebak oleh dua rekan kerjanya untuk menjadi budak seks.

Story codes
MF, MMF, blackmail, humil, nc, reluc

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.

Cerita ini terilhami beberapa komentar di grup FB KBB.

Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis. Selamat membaca.

Diny Yusvita & Ninja Gaijin
*****

Office Lady’s Secret 1
Diny Yusvita & Ninja Gaijin


“Kenapa kamu mau pindah, bukannya enak di kantor akuntan?” tanya seorang wanita setengah baya.

“Saya ingin menangani 1 perusahaan saja Bu, kalau di K.A.P. harus menangani banyak perusahaan dalam satu waktu… lagi juga, umumnya orang bekerja di Kantor Akuntan hanya sebagai awal karier…bukan untuk penutup, seperti saya ini… ingin meng-akhiri karier di sebuah perusahaan,” jawab gadis berambut lurus sebahu.

“Oh, jadi di K.A.P hanya batu loncatan…belajar aja, udah pintar lalu keluar gitu?” sindir si wanita peng-interview, gadis itu tersenyum manis.

“Engga papa… wajar, kita harus mencari yang terbaik dalam hidup… iya kan? Oke, to the point aja, waktu saya ga’ banyak… saya sudah baca job desc di CV kamu, semua itu yang saya cari… saya perlu asistensi di pembukuan, staf disini kurang paham ekualisasi tax di financial report… saya butuh itu, saya ingin merapikan perpajakan. Oya, di sini masih cash basis… kamu bisa ya, merombak laporan menjadi accrual?”

“Tentu Bu, tidak masalah… itu standar nasional, sudah menjadi makanan saya sehari-hari, hehe,” gadis itu menjawab dengan mantap.

“Hahaha, ya-ya bagus kalau begitu… yah, sementara kamu rapikan aja tahun berjalan yang berhubungan dengan tahun sebelumnya…lalu beresin ke depan, baru tracing ke belakang pelan-pelan, perubahannya kita ambil meeting tiap bulan. Kapan kamu siap kerja?”

“Satu bulan after konfirmasi diterima, dan tentunya hitam di atas putih Bu.”

“Oke, kalo gitu nanti sore…atau paling lambat besok pagi, saya kasih khabar ke kamu ya Vita!”

“Baik Bu, terima kasih…saya tunggu kabar baik dari Ibu secepatnya.” Mereka berdua berjabat tangan, gadis bernama Vita itu keluar ruangan dengan wajah ceria, meluluhkan harapan calon pencari kerja lainnya.



*****
# 1 BULAN BERLALU…

Tok! Tok! Tok!

“Ya, masuk…”

“Pagi Bu…”

“Pagi, pagi… duduk Vit, oya… sebelumnya, selamat bergabung… dan baik-baik selama masa percobaan kerja yah.”

“Terima kasih Bu, baik… jadi… dari mana saya harus start?”

“Santai ajaa…” Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.

“Ya, masuk!”

“Morning Bu Brenda, ini ya… yang namanya Mbak Vita?” seorang gadis cantik datang menghampiri Vita.

“Kristin…” gadis yang menjabat sebagai staf HRD itu memperkenalkan diri.

“Vita…” mereka berjabat tangan.

“Ayo Mbak, kita keliling… caw dulu ya Bu…” Brenda, Finance & Accounting Manager yang merupakan atasan Vita mengangguk, senang bawahannya akan segera menjadi bahan perbincangan seluruh divisi.

Kristin mengajak Vita berputar-putar untuk tahu semua tempat, sekalian berkenalan dengan manusia di dalamnya. Terutama ke departemen-nya dahulu, finance & accounting. Vita diperkenalkan pada Flora, staf accounting, juga Daisy finance cashier perusahaan yang akan menjadi bawahannya.

“Pagi Bu Vita, Ibu Bos saya yang baru nih, hihihi,” canda gadis berambut pendek bernama Flora. Daisy, rekan kerjanya yang berpenampilan mirip penyanyi Rossa, menyenggol lengan Flora, mengingatkan agar jangan kelewat bercanda karena belum kenal.

“Pagi juga, yaa biasa ajalah… engga’ usah panggil Ibu, Mbak aja lah ya… belum tuir-tuir amat, hihihi,” ujar Vita santai agar hubungan mereka terasa lebih fleksibel, selain karena merasa masih seumuran.

“Oke, oke …” sahut Flora tersenyum, sementara Daisy menghela nafas lega tahu atasan barunya tidak ‘killer’.

Kristin mengajaknya lagi berkeliling, menemui satu per satu dari Top Manager hingga staf pantry juga satpam. Banyak staf pria menatap Vita ‘lapar’, barang baru yang akan segera menjadi incaran. Hanya beberapa saja yang ia anggap sopan, terutama laki-laki berkacamata tebal yang terakhir diperkenalkan. Walaupun wajahnya unik, tetapi justru mengundang kesan mendalam bagi diri Vita. Vita dan Kristin berbicara sambil berjalan di akhir perkenalan.

“Eh Kris… boleh ya aku panggil kamu Kris?” tanya Vita.

“Iya Mbak engga papa… kenapa?” Kristin bertanya balik.

“Itu tadi… siapa namanya?”

“Oo, si kacamata?”

“Hihihi…dipanggil gitu ya di sini?”

“Hihihi, iya… abis kacamatanya tebel amat seh… nyaingin orang IT, dibanding gaul sama anak-anak sini… dia lebih suka nyendiri dan baca.”

“Oo, engga’ ada yang mau nemenin di sini?”

“Bukan-bukan…dia-nya aja. Dia wakil manajer produksi di sini.”

“Oo, punya jabatan juga ya…”

“Yaa, dia udah lumayan lama di sini…udah 5 tahunan.”

“Ooo…”

“Gitu Mbak, namanya Andy… ciee ada apa nih? Baru-baru udah detail nanya-nya, hihihi…” ejek Kristin, pipi Vita merona.

“Bukan gitu…abis…mukanya lucu sih hihihi unik!”

“Hihihi, iya juga yah”, begitulah mereka terus berbincang dan mengakrabkan diri, hingga kembali ke meja kerja masing-masing.

*****

Agak siang, Kristin mampir ke meja Andy.

“Ndy,” sapa Kristin menepuk bahunya. “Tuh, lu ditanyain sama anak baru tadi…”

“Vita?” Andy menyahut tapi tidak menoleh ke arah Kristin, tak ingin hilang konsentrasi karena sedang mengoreksi desain produk baru.

“Ciee, dia inget namanya haha,” goda Kristin iseng. Andy tersenyum tapi terus menghadap ke kerjaannya.

“Nanyain apa dia?”

“Nanyain lu udah punya pacar apa belum gethu,” Andy menolehkan wajah, melihat Kristin tersenyum meledek ke arahnya.

“Becanda lu Kris, mana mau dia sama gua? Cantik gitu anaknya…”

“Waah!” Kristin tambah semangat. Rupanya Andy cuma kelihatan cuek… padahal diam-diam memperhatikan.

“Cie cieee… ‘Mas Andy, aku Vita, kenalan dooong’”, Kristin terus meledek.

“Udah ah… gua lagi dikejar deadline nih,” Andy berusaha menghindar. Kristin akhirnya berhenti juga setelah puas, dia pergi siap menggosip. Sementara pikiran Andy melayang ke sosok karyawati baru itu sejenak… Memang ada sesuatu yang berkesan pada diri Vita bagi Andy.

*****

Tak terasa, 5 dari 6 bulan masa percobaan Vita berlalu.

Ia semakin akrab dengan kedua anak buahnya, yang dianggapnya seperti kedua adiknya sendiri. Mereka jadi sering jalan bersama, ke Mall, Salon, 21 Cinema juga shopping di Sophie Martin. Atasan Vita senang sekali melihat itu. Selain performa kerja Vita sendiri bagus, kerja sama dengan tim asuhannya pun sangat memuaskan, always on-time dan up to date.

Bu Brenda selaku atasan bertindak cepat agar tidak kehilangan pekerja sebagus Vita, dia mengirimkan Memo Internal ke Manager HRD untuk pengangkatan status Vita menjadi tetap dan berhak atas fasilitas supervisor level pada bulan ke-enam. Namun sebuah tragedi melanda karyawati cantik tersebut.

*****
# 1st Week – Vita yang tergoda #

“Flora … hei!”

“Ups, Mbak… eh-oh,” Flora kepergok sedang membuka web bergambar laki-laki telanjang dada oleh Vita, dia gelagapan hingga salah menutup browser.

“Waah… lagi seru nih,” sindir Vita.

“Anuu… e-enggak Mbak… ada apa?” Flora berusaha menyembunyikan wajah malunya.

“Udah… ga’ papa Flo, aku engga’ masalah… tapi jangan lagi jam kerja, meskipun udah siang gini!”

“Maaf ya Mbak…tolong jangan bilang Bu Brenda!”

“Enggaklah… buat apa juga, oh ya… nih jurnal koreksi, salah jurnal kamu Nda!”

“Mana… oo, iya ya… sorry Mbak, oke deh aku kerjain.”

“Makanya, kerja jangan sambil buka gituan, hihihi,” ledek Vita.

“Iya deh, berarti sore-an boleh dong ya, hihihi,” ujar Flora meleletkan lidah.

Selagi Vita berjalan kembali ke meja kerjanya, bayang-bayang sosok lelaki negro kekar di komputer Flora merasuki pikirannya. Kehidupan Vita selama ini lurus, tetapi kehidupan tenang itu memendam gairah, libido, dan keinginan seks yang menggelora di tubuh indahnya. Vita hanya bisa menyalurkan fantasi lewat masturbasi, baik itu melalui objek gambar, cerita xxx, maupun chatting nakal dengan orang-orang tak dikenal. Dan anehnya, yang mengisi fantasi Vita tidak hanya pria tampan, pria berwajah kampung maupun berumur juga bisa membangkitkan gairah seksnya.

Sejak menjadi wanita karier yang sukses, Vita selalu gagal dalam menjalin hubungan. Ia terlalu menginginkan sosok pria sempurna. Berwajah tampan, berkendaraan sedan, juga menjabat pimpinan perusahaan alias mapan sandang pangan papan. Ditambah kurangnya percaya diri bahwa ia tidak lagi seorang virgin yang selalu dicari-cari lelaki, membuat Vita lebih cenderung ingin mengarungi hidup sendiri. Kecantikannya seringkali membuat orang tak percaya bahwa dirinya ‘still single’.

Diam-diam, setelah Bu Brenda pulang lebih dahulu dan ruangan kantor mulai sepi. Vita tergoda untuk membuka kembali web cerita seru yang sering dibukanya, http://kisahbb.wordpress.com . Ia tidak tahu, ada seseorang yang mengawasi gerak-gerik dan aktivitasnya.

# 2nd Week – Vita yang terjaring Laba-laba #

Senin sore, menjelang jam pulang di gedung bertingkat yang menjadi kantor pusat perusahaan besar itu, tepatnya di lantai 3. Vita sedang beres-beres bersiap pulang, namun tiba-tiba telepon di mejanya berdering.

“Halo… Mbak Vita? Saya Soleh dari bagian IT. Bisa ke tempat saya sebentar? Ada sesuatu yang penting!”

“Oh ya? Sebentar saya ke sana. Mas… siapa tadi, Soleh? Di ruangan mana ya?” jawab Vita.

“Di lantai 2, belok kiri keluar lift, ruangan paling ujung.”

“Oke deh saya ke sana dulu, tunggu yach,” kata Vita tersenyum dan menutup telepon. Karyawati itu lalu meninggalkan mejanya di pojok ruangan utama lantai 3 dan menuju lift. Tak lama kemudian Vita sampai ke lantai 2, terus menuju ruangan yang dimaksud. Dalam hatinya bertanya-tanya, ada urusan apa orang IT memanggilnya?

Ruangan paling ujung itu ternyata bukan ruang IT, melainkan ruang monitor CCTV… Vita sedikit merasa heran, apa Soleh salah memberitahu? Di kiri-kanan pintu logam yang berat itu tak ada jendela, jadi isi ruangan itu tak terlihat dari luar. Tapi dia tak curiga dan memasuki ruangan itu.

*****

“Permisi…” Vita memasuki ruang itu. Ruangan itu kecil, penuh dengan monitor-monitor CCTV yang menampilkan pemandangan yang diambil banyak kamera pengawas di seluruh bagian gedung. Di kantor perusahaan itu memang banyak dipasang kamera pengawas, karena alasan pengamanan gedung. Di dalam ruangan itu Vita melihat ada dua orang laki-laki. Satu orang berseragam satpam, bertubuh gempal dan berkulit hitam, dengan rambut cepak. Dia sedang berdiri sambil mengawasi satu monitor CCTV. Vita bisa melihat wajah si satpam yang bulat dan brewokan karena malas bercukur. Yang satu lagi duduk membelakangi Vita, menghadapi laptop di atas meja. Tubuhnya terlihat kurus, dalam kemeja dan celana panjang seperti biasanya karyawan.

“Mas Soleh yang mana yah? Tadi saya ditelpon dia disuruh ke sini,” kata Vita bernada ramah. Si satpam memandanginya dengan ‘lapar’.

Rambut Vita yang sebahu, digerai hingga menutupi kedua telinga. Wajah cantik alaminya dihias mata lebar dan pipi mulus, lengkap dengan bibir mungil menggemaskan meskipun polos. Di dalam ruangan dengan lampu kurang terang namun penuh pendar cahaya monitor, sesekali terlihat kilatan cahaya memantul dari liontin kalung perak yang dikenakan Vita.

Laki-laki yang menghadap laptop memutar kursinya sehingga Vita bisa melihat wajahnya yang kampungan. Dia berkacamata tebal, berambut acak-acakan dan tak terurus, berhidung pesek, dan secara umum memang kelihatan culun seperti biasanya seorang computer geek, memang cocok kalau bekerja sebagai staf IT. Tapi senyumnya sinis dan ekspresi wajahnya licik, sehingga Vita mulai curiga.

“Mbak Vita?” kata si laki-laki berkacamata. “Saya Soleh yang tadi nelpon. Ini teman saya, Junaedi. Dia penanggungjawab kamera CCTV di gedung ini. Kita emang kerja di satu gedung, tapi kami berdua kebagian ditempatkan di pojok gelap macam ini, makanya kami jarang kelihatan. Salam kenal,” kata Soleh sambil menjulurkan tangan, mengajak Vita salaman. Vita membalas uluran tangan Soleh. Junaedi si pengurus CCTV yang gempal juga mengajak salaman.

“Junaedi, panggil aja Bang Jun,” katanya sambil cengar-cengir. Vita melihat ekspresi Junaedi yang seolah menjurus mesum. “Boleh panggil Vita aja nggak?” tanya Junaedi.

“Emm ya… silahkan,” Vita mulai merasa tak nyaman. Apa urusannya dua orang aneh ini dengan dirinya? “Sekalian aja deh, tadi manggil ke sini katanya ada yang perlu aku lihat, itu apa ya?”

Junaedi dengan sigap berjalan mendekat ke Vita, ke arah satu monitor di sebelah pintu. Si satpam itu meminta Vita bergeser sehingga Vita menjauh dari pintu. Junaedi kemudian memencet beberapa tombol di salah satu perangkat CCTV di bawah monitor itu. Vita menengok, melihat ke arah monitor itu. Yang terlihat pertama adalah lobby kantor, lalu ruang di depan lift, dan kemudian beberapa ruangan dalam gedung. Soleh berdiri dari kursinya lalu bergerak ke sebelah Vita sehingga kini Vita diapit Junaedi dan Soleh di kiri-kanan. Vita masih belum tahu apa yang akan ditunjukkan kepadanya, ketika tiba-tiba muncul tayangan ruangan tempat Vita biasa bekerja… tepatnya di belakang posisi Vita. Di pojok kanan bawah monitor ada tulisan tanggal dan jam. Tiba-tiba Vita cemas.

Tanggalnya hari ini… dan jam 11…

Gambar CCTV tak begitu tajam, tapi cukup jelas menunjukkan Vita dari belakang, dengan baju persis sama seperti yang dia pakai sekarang, blazer hitam. Yang lebih membuat Vita cemas, layar monitornya juga kelihatan… dan di sana terlihat bahwa Vita sedang mengakses situs yang sepertinya menampilkan gambar laki-laki telanjang melintang di bagian paling atas.

Vita terpikir ingin segera keluar dari sana saja. Tapi rupanya tadi, Junaedi bukan sembarang minta bergeser; sekarang posisinya menghalangi pintu. Vita panik, dia tak tahu di belakangnya selama ini dipasang kamera.

“Itu kamu, kan?” komentar Junaedi sambil nyengir, sementara lengannya yang berbulu terjulur, tangannya menapak ke pintu seolah-olah menjaga supaya Vita tak bisa kabur.

“Lagi ngebuka situs apa Non? Bokep ya? Cerita seru?” ejek Soleh. Si satpam tertawa juga dengan wajah melecehkan.

“Err… Bukan… itu… komputerku kena virus, jadi tiap kali buka browser suka muncul begitu… mestinya memang dibetulkan, tapi aku belum sempat ngontak IT,” Vita berusaha mengelak.

“Ah masa’? Saya staf IT lho,” ujar Soleh sambil mengambil laptopnya. “Komputer Vita bersih kok. Kan saya yang tanggung jawab, jadi pasti tahu kalau ada yang kena virus. Semua aktivitas komputer karyawan kan saya tahu… Misalnya komputer Vita di keuangan, jam 8 tadi ngetik laporan, jam 10 ngeprint, jam 11 buka situs cerita beast, jam 1 sampai jam 3 dipake chatting… Tadi sih waktu ngelihat log chatnya kayaknya seru juga? Pake pura-pura dikemplangin sama lawan chat-nya?” Soleh tiba-tiba mencerocos sambil membuka banyak file sekaligus di laptopnya, catatan akses internet yang dilakukan Vita sepanjang hari.

“Eh, Mas… Mas, stop! Udah mas, jangan…” Vita semakin pucat karena semua kenakalannya ditelanjangi oleh kedua orang itu. ia melihat dirinya sendiri sedang chatting—tepatnya melakukan cyber sex—di tayangan CCTV. Isi chat-nya tidak terlihat di monitor CCTV, tapi bisa dilihat di file log yang disimpan Soleh. Soleh sengaja memperbesar tayangan monitor laptopnya sehingga kelihatanlah sebagian isi chat Vita:

Master99b: dasar slave nakal km mesti di HUKUM. ayo nungging!
vita_cute: ampun tuan xixixi saya memang nakal dan pantes dihukum…
vita_cute: *nungging ngebelakangin Master99b
Master99b: *tampar pantat vita_cute
Master99b: makan nih! PLAKK!
vita_cute: auhhh!
Master99b: mau lagi? nih! GEPLAKK! gw bikin merah bokong lu!
vita_cute: auww enak tuannn!

Soleh dan Junaedi sama-sama menyeringai menang melihat wajah Vita. Kepala mereka sudah penuh dengan rencana busuk. Awalnya, Junaedi yang bertugas mengawasi rekaman CCTV suatu hari kebetulan memergoki Vita sedang mengakses situs seperti yang dikunjunginya tadi. Junaedi jadi penasaran dan memeriksa rekaman sebelumnya dari lokasi yang sama, dan dia jadi sadar bahwa si karyawati memang punya kebiasaan seperti itu. Tapi Junaedi tidak tahu apa sebenarnya yang dilihat Vita, jadi dia memberitahu temannya, Soleh yang staf IT, tentang temuannya. Soleh jadi ikut-ikut penasaran dan mereka berdua akhirnya jadi menyusun rencana untuk menjerat Vita. Mereka kumpulkan segala hasil pengawasan mereka tentang Vita, lewat CCTV maupun lewat software pelacak yang Soleh pasang di komputer Vita. Setelah punya cukup banyak bukti, barulah mereka memanggil Vita.

“Jadi… kayaknya kita udah tahu Mbak Vita ngapain aja di kantor yah Jun,” kata Soleh sambil tersenyum sinis.

“Yo’i Sob, hehehe”.

“Tolong Mas… Bang… aku tahu itu salah… Tapi aku mohon… Tolong dihapus semua! Aku janji gak ngulangin lagi…” reaksi pertama Vita, meminta belas kasihan dari dua orang yang kerjanya ngintip lewat kamera dan komputer itu.

Vita bekerja dengan bagus dan tidak pernah bermasalah dengan atasannya, hanya saja tekanan pekerjaan yang berat membuat dia kadang-kadang suka keluyuran di situs-situs dewasa internet. Dari awalnya iseng membuka-buka cerita seru, sampai akhirnya melakukan cyber sex lewat chatting. Selama ini Vita merasa aman karena dia sendiri tahu sebagian kecil karyawan—termasuk bawahannya sendiri, Flora—juga suka membuka situs porno tapi tidak pernah dipermasalahkan. Jadi mana dia tahu kalau selama ini ada yang mengawasi tindakannya?

“Penggunaan internet kantor untuk selain urusan kantor sih resminya melanggar peraturan,” celetuk Soleh dengan gaya sok berwenang.

“Kalau atasan kamu tahu, kira-kira gimana yaaa…”

“JANGAN!” mata Vita sampai terbelalak ketika berteriak seperti itu.

“Please Mas Soleh, Bang Jun… jangan dibeberin…” Selama ini hubungan Vita dan atasannya sangat baik dan cukup akrab. Jadi Vita tahu betul atasannya itu—seorang perempuan yang masih melajang di umur 40—bersifat keras dan tidak toleran dengan kesalahan-kesalahan yang terkait moralitas. Vita tak berani membayangkan seperti apa reaksi Bu Brenda kalau sampai tahu masalahnya.

Soleh dan Junaedi saling pandang lalu memasang tampang bodoh, seolah-olah tidak mengerti permintaan Vita.

“Memangnya kenapa nggak boleh kita laporin? Kan ini pelanggaran peraturan. Kalau kita nutupin nanti kita kena juga dong. Ntar malah kita yang dipecat.” ujar Soleh, membuka ancaman sekaligus menakut-nakuti Vita.

“Mas… Bang… *hiks* saya mohon… tolong jangan kasih tahu siapa-siapa…” Vita tak kuat dan mulai menangis karena takut dipecat. Junaedi segera bertindak sok pahlawan dengan merangkul Vita sambil menyodorkan sapu tangan.

“Waduh… jangan nangis dong?”.

“Gini deh… Kami janji deh, semua yang sudah kami pegang, bakal kami simpan terus. Yang tahu cuma kita bertiga. Nggak ada orang lain. Gimana?”

Vita menyeka pipinya, menoleh ke Soleh yang sedang cengengesan.

“Bener mas?” tanya Vita tak percaya dengan hati sedikit lega.

“Hmm…” Soleh menggumam cukup lama. “Tapi… buat apa ya? Gak ada untungnya buat kita ya Sob?,” katanya sambil membelakangi Vita, Junaedi meng-amini dengan anggukan.

“Ah, Mas Soleeeh, jangan gitu dong…” rengek Vita. “Tolong Mas… saya janji gak ngulang lagi deh…”

“Terus… kita berdua dapat apa?” Soleh membuka negosiasi. Vita tertegun, sadar dirinya jatuh ke dalam jebakan. “Kamu pengen kami nutupin pelanggaran kamu… terus kamu bisa kasih apa?”

Ujung-ujungnya memang ke situ: Soleh dan Junaedi berencana menjebak Vita. Vita diam seribu bahasa.

“Kok diam aja?” tanya Junaedi. “Kalau nggak mau, ya udah, besok atasan kamu dapet paket khusus dari kami he he he…” ancam Soleh to the point.

“Kalian… mau uang berapa?” kata Vita.

“Waduh, Jun… kita disangka mao uang ha ha,” ejek Soleh.

“Engga salah juga sih sebenernya… Cuma yang saat ini kita butuhin bukan uang… ini nih Leh, huehehe” jari tengah Junaedi menunjuk daerah terlarang Vita ‘vagina’.

“Ja-jangan Bang Jun… Mas…” Vita bergerak mundur perlahan, kepalanya berlenggak-lenggok seakan mengatakan tidak karena bibirnya seperti membeku. Junaedi dan Soleh mendekat dengan wajah mesum.

“Betul itu… uang sih biasa Non… tapi memeek… luar biasa, hahaha!” ujar Soleh blak-blakan. Vita merasa punggungnya menghantam dinding, tanda ia telah tersudut.

“Gimana Non… pilih keluar ruangan tapi dipecat dan saya sebar rahasianya… atau…” Soleh memegang dagu Vita, sementara Junaedi tersenyum menyebalkan.

Vita sadar di posisi lemah, berhadapan dengan dua orang pemegang bukti yang menentukan nasib kariernya. Ia tak punya pilihan selain mengikuti apapun kemauan mereka, atau kehilangan pekerjaan.

“Oke, jadi mau kami begini,” Soleh beranjak meninggalkan Vita dan kembali ke kursinya, tersenyum lebar seperti habis menang taruhan.

“Anggap atasan kamu nambah dua orang lagi, saya dan Bang Jun. Mulai sekarang dan seterusnya ke depan… kamu harus lakukan semua yang kami perintahkan! Semuaa, ngerti?… Kalau nolak, Bu Brenda dan mungkin orang-orang yang posisinya lebih ke atas lagi bakal kami kirimi hasil penyelidikan kami. Gimana?”

Vita mau protes karena tuntutan mereka terlalu banyak. Melakukan semua perintah mereka? Ia bergidik ngeri membayangkan apa saja yang akan dilakukan dua otak pria cabul itu, tentu bertujuan ke arah seks.

Satu lagi jalan keluar yang terpikirkan juga segera ditutup oleh Junaedi. “Gak usah lapor polisi juga lah. Percuma. Lagian kamu mau ngelapor apa sama mereka, kamu diperas karena ketangkep ngebokep di kantor? Paling-paling juga diketawain Vit,” ujar Junaedi seolah membaca pikiran Vita. Tak ada pilihan lagi untuk si cantik itu, dengan wajah merunduk ia mengangguk lemah.

“Cihuuy… dapet memek satu lagi,” ujar Junaedi girang gila. Soleh menyeringai lebar, sementara Vita bermimik tanda tanya.

(Berarti… ada yang senasib denganku? Siapakah gerangan?), Vita membatin.

“Sekarang, kesiniin nomor HP kamu,” kata Soleh. Dengan terpaksa Vita melakukan perintah pertama itu secara patuh.

“Jangan lupa, kami ngawasin kamu lewat macam-macam cara di kantor ini, jadi kami tahu kamu nurut atau nggak. Sekarang kamu boleh pulang, Vit. Makasih ya udah datang ke sini.”

“Weits… ntar dulu dong Bozz… masa cuma begini aja ini hari… saya udah ngaceng dari kemaren bayangin kejadian ini!” protes Junaedi.

“Waduh, barang lu tuh emang gak ada remnya ya?”

“Hehe… kalo yang di depan nenek-nenek sih, remnya pakem… ini pan beda huehehe… Slurph!” pandangan mata Junaedi menyapu sosok Vita dari atas hingga bawah.

“Oke deh, gini aja… kalo gitu, Vita… ini perintah pertama buat kamu… ayo isep punya temen saya ini, terus telen kalo dia keluar!” Vita langsung lemas mendengarnya, wajah cantiknya memelas.

“Ayo Non! Denger gak apa yang disuruh si Boz?”

Dengan gerakan perlahan Vita berlutut di depan Junaedi, tangannya bergerak ke arah selangkangan yang menonjol besar itu. Jemari Vita yang lentik meraih resleting, tapi tiba-tiba Junaedi malah bergerak mundur, membuat Vita heran apa maksudnya.

“Non mau apa ?” Vita terdiam tak mengerti, lalu bertanya. “Bu-bukannya…?”.

“Iya tapi minta izin dulu dong!” kata Junaedi dengan gaya arogan. Vita menitikkan air mata, dilecehkan satpam perusahaannya.

“Bo-boleh… boleh saya… hisap… pu..pu-punya, Bang Jun?”

“Pake Tuan!” bentak Junaedi, Vita terbelalak kaget.

“Bo-bolehkah… saya hisap… punya Tuan Junaedi?”

“Gitu doong, yah… untuk wanita secantik Non Vita sih, boleh-boleh aja, heheheh.”

Jari Vita meraih resleting celana, namun tiba-tiba telunjuk gempal Junaedi menekan mulutnya, membuat ia berhenti.

“Pake ini Non nariknya!” hina Junaedi, jarinya menggesek gigi Vita.

Dara jelita itu hanya bisa pasrah. Ia mendekatkan wajah ke selangkangan, lalu menggigit dan menarik turun resleting. Sreet…!

Jduuk! Penis Junaedi yang big size menampar hidung Vita, rupa-rupanya Junaedi konak saat melihat wanita cantik yang selalu terlihat alim di depannya itu, kini terlihat ‘Bitchy’ melakukan gerakan buka resleting dengan gigi.

Vita terbelalak dengan ukuran penis persis di depan wajahnya, Junaedi dan Soleh tertawa melihat ekspresi Vita yang ketakutan menatap penis besar.

“Lhoo, kok dianggurin…? Katanya mau nyepong, hah…?”. Mata Vita yang tadi terbelalak, kini menatap melas ke pemiliknya.

“Kontol lu sih gede banget, jadi ragu dia muat apa kagak. Mulut mungil gitu, Hahaha!”

“Ay-yoo…is-sepp!” Junaedi berang tidak sabar, menamparkan penisnya ke wajah Vita.

Tak tahu memulai dari mana, Vita memajukan wajah dan menempelkan bibirnya ke kepala penis. Ia ciumi, benda itu berkedut-kedut dan sang pemilik melenguh keenakan. Vita berlanjut julurkan lidah, menjilat dari batang hingga buah zakar. Proses terakhir membuat Vita dag dig dug. Ia buka mulut lebar-lebar, untuk memasukan seluruh batang ke dalam mulut. Dengan susah payah, bibir mungil itu berhasil melingkar di batang penis. Nafas Junaedi kontan berat, sedang Vita memejamkan mata. Jijik, mulut serasa robek, mual lantaran kepala penis serasa tersentuh kerongkongan, dan sebagainya.

Dengan tangan kanannya, Vita menggenggam batang penis yang tersisa, sementara kepala bergerak berirama. Junaedi mengerang nikmat. Bibir Vita terus menggosok-gosok maju mundur pada kepala dan batang penis, lidahnya menjilat dan meliuri. Junaedi makin keras mengerang, Vita jijik mendengar erangan Junaedi, membayangkan penis yang dihisapnya akan menyemburkan mani. Terus, terus dan terus sampai akhirnya Junaedi tiba-tiba menjambak rambut Vita dan menekan kepalanya, hingga wajah terbenam di kerimbunan bulu kemaluan. CROOOOOTTT!!!.

Junaedi menyemprotkan sperma di dalam mulut. Vita baru pernah merasakan cairan sperma dalam mulut, ia tak berdaya menelan semua cairan kental asin yang dalam sekejap memenuhi mulutnya.

“Haarggh!” erang Junaedi. Vita menahan mati-matian rasa mual yang sudah memuncak.

“Telen Non. Nggh… telen semuah, Semuaakkh!” dengan rasa tak berdaya, Vita berusaha menelan semua sperma yang terus keluar dari penis.

Jambakan Junaedi pada rambut perlahan mengendur, seiring aliran sperma yang melambat, hingga berhenti total. Akhirnya Junaedi menarik keluar penis dari mulut Vita. Vita langsung membungkuk terbatuk-batuk mencari udara, berusaha menelan sisa-sisa sperma yang masih melekat di lidah dan langit-langit mulut. Tubuhnya berkeringat meski ruangan ber-AC dingin.

“Gilaa, ni cewe jago nyepong Leh…, tampangnya aja yang alim, Haha!” ejek Junaedi.

“Non Vita ini pan orang keuangan… nah, semua cewek yang kenal uang, doyan duit… pasti udah kena kontol, Hahaha…” tambah Soleh menghina. Vita kembali menitikkan air mata.

“Gua ga bisa bayangin, gimana enak mulut bawahnya Leh…mulut atas aja enak be-eng,” lanjut Junaedi, duduk di kursi mengistirahatkan diri.

Soleh memelorotkan celana berikut kolornya, Junaedi tertawa melihat Soleh yang ‘pengen’ juga.

“Bodo’ gua kalo ga ngerasain juga, rugi bandar. Ayo Non Vita, kemari…puaskan tuan-mu ini,” suruh Soleh berkacak pinggang, mengedut-kedutkan penis minta dimanjakan. Vita menggeleng kepalanya dengan wajah memelas.

“Ayo cepeet ah, kesini ngerangkak!” bentak staf IT itu.

Vita merangkak seperti binatang berkaki empat mendekati Soleh, lalu melakukan hal yang sama pada Soleh, hingga karyawan bejat itu melenguh. “Euuuhh!”.

CROOOTTT!!, Soleh mencabut penisnya dari kuluman, membuat sekujur wajah Vita ternoda sperma.

Setelah tak ada lagi yang keluar, Soleh meratakan mani itu, membuat wajah cantik jelita Vita mengkilap sperma. Mereka berdua menertawakan hal tersebut, Soleh menjejalkan mani yang belepotan di jarinya untuk dijilat dan ditelan Vita. Ocehan jorok keluar dari mulut kurang ajar mereka, Vita hanya mampu menyesali yang telah terjadi.

Junaedi membukakan pintu. Vita bergegas keluar, merasa pusing dan mual membayangkan apa yang akan dialaminya besok. Pasti lebih parah dari hari ini. Sebelum ia keluar tadi, Soleh sempat memberinya instruksi.

“Eh Vit, mesti diakuin, kamu tuh cantik, tapi kelewat polos penampilannya. Besok jangan pake blazer dan rok di bawah lutut kayak sekarang gini. Pake apa gitu yang seksi, dandan lebih cantik juga. Oke. Sana pergi…!”

*****
# Vita yang menikmati ‘Tugas’nya #

Selasa pagi.

Kantor heboh.

Sebenarnya tidak se-heboh itu, hanya saja beberapa karyawan—terutama yang posisi duduknya berada sepanjang jalan Vita masuk dari depan sampai mejanya di bagian keuangan—tidak bisa tidak menoleh melihat si karyawati lewat dengan penampilan tak seperti biasa.

Kalau biasanya Vita memakai celana panjang agak gombrong, kali ini Vita memakai rok span berwarna hijau yang tingginya beberapa senti di atas lutut dan ketat sehingga memamerkan keindahan bentuk lekuk pinggul dan pantatnya. Kalau biasanya Vita mengenakan blazer berwarna gelap, kali ini dia memilih blus putih lengan panjang yang berenda dan berbahan tipis; hanya saja dia memilih mengenakan pakaian dalam putih sehingga tak mencolok biarpun bahannya menerawang. Kalau biasanya Vita memakai sepatu hak rendah, kali ini dia memakai sepasang sepatu hak tinggi yang seksi, sementara kedua kakinya dibungkus stocking hitam. Kalau biasanya Vita hanya mengenakan lip gloss, kali ini bibirnya dipoles lipstik pink. Hanya kalung berliontin peraknya yang tidak berubah. Vita memang cantik, tapi penampilannya yang lebih menarik pada pagi itu membuat semua orang yang dilewatinya, terutama yang laki-laki, menengok.

“Suit-suitt!” terdengar suara siulan dari Flora, ketika Vita tiba di mejanya. “Cakep amat Mbak, ada apa nih?”

“Emm…” Vita salah tingkah, tak tahu harus menjawab bagaimana. “Euh… lagi pengen aja.”

Flora senyam-senyum saja sambil memberikan selembar amplop. “Ini, katanya dari bagian IT buat Mbak Vita.” Vita langsung tahu; pasti dari Soleh. Mendadak perasaan Vita jadi kacau. Bakal disuruh apa dia…?

Di dalam amplop itu ada earphone kecil sekali yang bisa diselipkan ke telinga. Karena Vita biasa menggerai rambut, earphone itu tidak akan kelihatan kalau dipakai. Selain earphone, Vita menemukan secarik kertas. Tertulis, “Pakai earphone itu terus, jangan sekali-sekali dilepas, kalau dilepas semua bukti pelanggaran akan sampai ke Bu Brenda. Bekerja saja seperti biasa hari ini, tapi kalau mendengar perintah kami, segera turuti.”

Vita berdebar-debar ketika mengenakan earphone itu. Beberapa menit kemudian terdengar suara Soleh.

“Tes, tes… Vita bisa dengar? Kalau bisa dengar, berbalik, lalu acungkan telunjuk.”

Vita mengikuti perintah itu. Dia berbalik badan, lalu mengacungkan telunjuk kanan, lalu suara Soleh terdengar lagi. “Bagus. Hari ini kamu kerja seperti biasa ya, tapi jangan lupa tiap ada perintah kamu harus lakukan. Ingat, mata kami ada di mana-mana.”

Sesudah itu Soleh diam lagi. Vita ketakutan. Dia benar-benar merasa diawasi. Hari itu dia memulai kerja seperti biasa, tapi dia tak bisa konsentrasi. Untung dia tidak harus ikut rapat, hanya merekap cek yang siap ditanda tangan Bu Brenda sesuai anggaran, serta merapihkan berkas-berkas permohonan dana proyek yang terlampir. Sejam kemudian Vita mencopot earphone…

HP Vita langsung berbunyi. “HAYO! Siapa suruh lepas earphone-nya?” terdengar Junaedi si satpam menghardik ketika Vita menerima panggilan yang masuk. Vita buru-buru memutus panggilan dan memasang lagi earphone. Kedua pemeras itu tidak main-main ketika mereka bilang punya mata di mana-mana. Mereka tahu kalau Vita mencopot earphone—pasti lewat kamera CCTV. “Jangan coba-coba lepas earphone selama di kantor. Kamu baru boleh lepas sesudah pulang kantor nanti sore, dan besok pagi kamu harus udah pake waktu masuk,” kata Soleh lewat earphone.

Sesudahnya, sepanjang hari itu earphone lebih banyak diam. Tapi Vita sudah keburu yakin bahwa dia tak akan bisa lepas dari pengawasan Soleh dan Junaedi. Setiap beberapa lama, Soleh atau Junaedi bakal menyuruh Vita melakukan sesuatu yang sederhana, seperti mengambil dan mengisi gelas, membuka lalu menutup jendela, atau mengajak bicara Flora. Vita heran, kenapa dia disuruh melakukan hal-hal seperti itu? Iseng sekali mereka berdua. Tapi karena tidak berbahaya, dia lakukan saja semuanya.

Satu kali, Vita tidak melakukan perintah Junaedi untuk “ketik ‘JUNAEDI’ di komputer lalu print”. Tidak terjadi apa-apa? Lima belas menit kemudian Soleh muncul di bagian keuangan membawa sejumlah CD dan kaset, bergegas ke arah ruangan Bu Brenda. Vita membelalak ketakutan. Buru-buru dia lakukan perintah Junaedi, ketik dan print. Soleh ternyata tidak menuju ke ruangan Bu Brenda, malah pada saat-saat terakhir berbelok ke meja Flora dan memberikan satu CD, kemudian berbalik. Waktu melewati meja Vita, Soleh tersenyum jahat.

Vita langsung pucat pasi. Rupanya semua perintah biasa itu adalah untuk mengetes kepatuhan. Munculnya Soleh menunjukkan bahwa sekali dia tidak patuh, biarpun ketika disuruh melakukan sesuatu yang biasa, kedua pemerasnya tak segan-segan akan melakukan apa yang mereka ancam.

“Mbak Vita, kenapa…? Mbak kok pucat?” Flora mendekat. Vita yang masih shock karena mengira tadi Soleh benar-benar mau memberikan barang bukti ke atasannya berusaha menenangkan diri. “Gak… gak kenapa-napa kok Flo… Eh itu tadi CD apa yang dikasih sama Soleh?”

“CD kosong buat back up data… Aku minta dari IT,” kata Flora datar, “Lho, Mbak udah kenal sama yang datang tadi?”

“Hah?” Vita kaget. “Eh. Iya. Udah kenal. Emm ketemu waktu makan siang kemarin.”

“Ooo…” Flora cuma menjawab seperti itu, lalu kembali lagi ke mejanya.

Vita juga kembali ke kursinya, terhenyak. Dua orang itu benar-benar sudah mencengkeramnya, tiada jalan keluar. Apa lagi yang bisa dia lakukan?

*****

Selasa sore.

Satu jam sebelum jam kantor berakhir.

Ketika Vita mengira tidak akan terjadi apa-apa lagi, earphone berbunyi. Soleh.

“Vita, beresin kerjaan kamu, dan sekarang juga pergi ke ruang rapat lantai 2.”

Vita seharian terus-menerus mengerjakan perintah-perintah kecil dari Soleh dan Junaedi, sehingga dia lama-lama jadi terbiasa sendiri. Toh belum ada permintaan mereka yang aneh-aneh… Hal itu sedikit membuat Vita tak curiga. Vita segera melakukan apa yang disuruh, lalu meninggalkan meja kerja menuju ruang rapat lantai 2.

Di depan ruang rapat lantai 2…

… ada tanda “Sedang Ada Rapat”. Ruang rapatnya sedang dipakai?

“Masuk aja,” terdengar suara Soleh.

Vita membuka pintu ruang rapat. Ternyata kosong… tidak ada rapat yang sedang berlangsung di ruangan cukup besar itu, hanya ada Soleh yang sendirian dengan laptop-nya. Seperti layaknya ruang rapat, di sana ada meja besar yang dikelilingi kursi, dan layar untuk proyektor. Soleh duduk di dekat pintu, menghadap layar; ketika Vita masuk, Soleh langsung mengunci pintu.

Vita diam saja, tak tahu apa yang akan dilakukan Soleh. Soleh bertanya, “Udah ngapain aja hari ini?” Vita menjawab dengan ragu-ragu bahwa dia bekerja seperti biasa.

“Bukan. Dari tadi udah disuruh apa aja?”

“Emm…” Vita lalu menjelaskan semua yang sudah dilakukan.

“Oke,” kata Soleh. “Bagus. Budak yang baik mesti nurut sama tuannya, heh heh heh…”

Soleh memencet keyboard laptop, dan terdengar lantunan musik.

“Sekarang…” perintah Soleh… “Naik ke meja di depan layar itu.”

Vita menurut. Dia membuka sepatu hak tinggi-nya dan naik ke meja, lalu berdiri di atas meja.

“Oke Vita…” Soleh mengatur sehingga musik yang mengalun terdengar lebih keras. Lagu “Naughty Girl” Beyonce.

“Sekarang kamu striptis di sana.”

Vita merinding. Dia belum pernah melakukan striptis sebelumnya, dan sekarang dia berada di depan seorang maniak komputer cabul yang akan menyaksikan setiap gerak-geriknya.

Karyawati muda yang cantik itu memejamkan mata dan mulai bergoyang membangkitkan gairah seiring musik. Dia tak percaya dia akan berani melakukan ini, tapi tubuhnya seperti terhanyut oleh lagu yang sensual itu. Vita pelan-pelan mulai membuka kancing blus putih tipisnya. Satu kancing… dua kancing… tiga kancing lepas sehingga bra putih berenda-nya terlihat. Soleh bersuit-suit nakal. Anunya sudah memberontak minta jatah dan dia sudah membayangkan tubuh jelita Vita menggeliat-geliat di bawah tubuh kerempengnya.

Setelah semua kancing terlepas, Vita mengeluarkan bagian bawah blusnya yang dimasukkan ke rok. Selagi Vita mencopot kancing lengan blus, Soleh bisa melihat bra putih di celah di antara kedua bagian blus, juga kulit mulus dada dan perut Vita.

Vita menyadari bahwa dia akhirnya harus mencopot seluruh blusnya. Dengan ragu, dia memandangi Soleh, tapi Soleh memasang tampang serius dan berkomentar pendek “Buka.” Vita berbalik dan membiarkan blusnya meluncur turun dari bahunya.

Soleh memandangi punggung atas Vita yang tinggal tertutup tali bra dan menunggu Vita berbalik, dia ingin melihat payudara Vita yang masih ada dalam bra. Vita memutar-mutar blusnya ke atas bagai koboi memutar tali laso, seiring tubuhnya juga yang berputar. Selagi berputar, pinggiran rok Vita terangkat tinggi-tinggi, memamerkan kemulusan pahanya. Vita tak merasa dirinya telah terbawa irama. Vita selesai berputar dan kembali menghadap Soleh, dan Soleh tak kecewa dengan apa yang dilihatnya.

Payudara Vita yang montok sekarang tampak di depannya dalam bra putih berenda. Bra itu berbelahan rendah di depan, menunjukkan lengkung indah sepasang buah dada, dan Soleh menikmati sekali pemandangan itu, tahu bahwa sebentar lagi penutup dada yang menghalangi akan lepas. Sementara itu wajah si karyawati sudah merah padam karena Soleh bersuit-suit terus menonton dirinya, tapi diam-diam dia senang juga karena merasa dikagumi.

Vita kembali berbalik dan membuka kaitan bra di punggungnya sambil menghentakkan kakinya. Dia berhenti bergerak, meloloskan bra dari tubuhnya dengan tangan terjulur ke atas, lalu diputar-putar juga bra itu di udara. Soleh berteriak, "Kesini’in Non, lempar ke sini!" Sambil menutup payudaranya dengan sebelah lengan, Vita melempar branya ke wajah Soleh, sengaja dengan sedikit keras. Soleh hanya menyeringai. Dia tahu Vita benci dikerjai seperti ini, namun si karyawati tak punya pilihan.

Soleh dengan mesumnya memperhatikan tubuh Vita yang sudah setengah telanjang. Mulutnya menganga, air liurnya menetes dari ujung bibir. Saat itu Vita menyilangkan kedua lengan di depan dada, malu membuka payudaranya yang telanjang. “Udah ga usah malu, tunjukin aja Non!” kata Soleh. Vita menurunkan lengannya dan merasa mukanya makin memerah selagi Soleh mengomentari payudaranya. “Wueisss… cakep tuh susunya, putih mulus. Udah ga sabar nih pengen cobain kenyal-kenyalnya.” Sejak menjerat Vita, Soleh sudah membayang-bayangkan tubuh Vita, tapi baru kali ini dia melihat langsung, dan dia tidak kecewa karena tubuh Vita memang indah seperti bayangannya.

"Ayo dilanjut bawahnya!" suruh Soleh, melihat Vita sempat terdiam. Tinggal roknya yang masih tersisa.

"Goyang lagi dong!" Soleh mengeraskan musik, agar Vita kembali menggerakkan badan. Vita yang sudah terbawa irama kembali menggoyang badannya, kali ini berbalik membelakangi Soleh dan membungkuk. Sambil membungkuk, ia melepas kaitan rok, menarik turun resleting, dan jatuhlah rok itu di sekeliling kaki. Soleh semakin gencar mengocok kejantanannya.

Kini tinggal celana dalam G-string yang menutupi tubuh Vita, bongkah pantat Vita pun bebas dipandang. Soleh yang gemas sempat bangun dan spanking. Plaak! Vita memekik kecil ketika pantatnya ditepuk seperti itu, "Awh!!” Dalam hati ia menyukai perlakuan Soleh meski itu melecehkannya. Vita malah menumpukan kedua tangannya ke bawah, di atas meja. Sambil mengocok penis, Soleh maju dan berinisiatif menarik turun G-string Vita dengan sekali sentakan kasar, hingga turun sampai betis Vita

"Goyang pantat kamu Non, posisi tetap gitu!" suruh Soleh. Vita menggoyang pinggulnya, perlahan seperti mengaduk adonan. Soleh manggut-manggut menyaksikan aksi goyang pinggul persis di depan mukanya itu. Dia akhirnya gemas dan meremas pantat Vita.

"Sini Non, udah cukup tariannya... Non udah berhasil bikin saya ngaceng berat!" Soleh tidak hanya bicara begitu, tapi langsung menunjukkan barang bukti perkataannya itu.

"Sini duduk!" suruh Soleh. Vita patuh dan duduk di tepi meja meeting itu. Soleh juga menyuruh Vita membuka kedua paha, sambil terus mengocok kejantanannya. Vita menumpukan kedua tangan ke belakang, wajahnya menoleh ke samping, pipinya merona, karena belahan kemaluannya kini ditatap Soleh nanar. Soleh mencapit sepasang bibir vagina Vita, membuat si cantik itu menjerit kaget plus terangsang. Tangannya refleks menahan lengan Soleh.

"Enggak boleh nih? Hmm... inget!!" mata Soleh melotot, marah karena hobinya dilarang. Vita kembali menarik tangan dan memalingkan wajahnya. Kaki Vita mengayuh ke kiri dan kanan, geli bibir kemaluannya dipegang orang. Pangkal paha Vita sedikit merapat saat melihat Soleh mendekatkan wajah ke kemaluannya. Tanpa perlawanan berarti, hidung Soleh mendekat sampai hanya beberapa senti dari vagina Vita. Pipi Vita semakin merona ketika Soleh menghirup dalam-dalam, seperti menghirup udara segar di pegunungan.

Soleh tak hanya puas dengan mengendus-endus kewanitaan Vita. Dia menjulurkan lidahnya. "Asyiiik," seru Soleh. Pelan-pelan dia menjilat vagina Vita, dimulai dari bawah. Lidah itu menelusup ke liang, mencelup dengan perlahan. Vita ingin menjambak Soleh, tapi dia masih ragu dan takut membuat Soleh marah. Soleh sepertinya bukan amatir dalam hal jilat-menjilat, dia memain-mainkan lidahnya dari bawah ke atas, menjelajah seluruh bagian luar bibir vagina Vita, bahkan mencucup seputar selangkangan dan menjilat pangkal paha Vita. Peluh Vita semakin bercucuran, menambah indah pemandangan karena membasahi lekuk-lekuk tubuh Vita.

"Ohhh..." Vita tak menduga, desahan penuh nafsu keluar dari mulutnya, tubuhnya serasa merinding menerima sensasi dijilat oleh Soleh. Si karyawati menggigit bibir, berusaha menahan malu—dia tak mau mengakui bahwa tubuhnya mulai menikmati rangsangan yang diberikan laki-laki bertampang culun yang sedang melahap selangkangannya. Mendengar itu, Soleh makin semangat, makin liar saja aksinya melahap kemaluan Vita. Lidahnya menemukan dan mulai menggoda klitoris Vita.

Vita semakin merebah ke belakang, pasrah saat Soleh memapah kedua belah kakinya menyilang ke belakang leher Soleh. Soleh semakin bernafsu menyorongkan wajah. Tanpa sadar, Vita merapatkan kedua pahanya, seolah menarik muka Soleh makin dekat, tak mau melepaskan. Soleh tersenyum mesum di selangkangan Vita, merasa si korban telah jatuh dalam genggaman. Jantung Vita berdebar makin cepat, tubuh atasnya yang sudah telanjang menggeliat-geliat di atas meja rapat.

Soleh terus menciumi dan menjilati bibir bawah Vita, menjelajahi seluruh bagian luarnya. Sesekali dia menowel-nowel klitoris Vita dengan lidahnya. Vita menjerit kecil karena nikmat. Tubuhnya terasa panas, putingnya mengeras.

"Hhmmmm mnmmm... Asyikkk ketemu itilnya... Bleph.. mhlm..." Soleh mengoceh sambil merajalela di kemaluan Vita. Dia terus menggoda bagian itu dengan mulut dan lidahnya. Vita merasakan sesuatu memuncak dalam tubuhnya—

"Terus Maas, Aaawhh... dikit lagi, dikit lagiii…" Soleh semakin menyeringai di selangkangan Vita, tahu Vita akan menuju orgasme. Dan dengan kurang ajarnya... Soleh berhenti.

"Mas Hhh, Hhh... ke-kenapa ber..henti?"

"He he he he he... Enak di elu ga enak di gue!" jawab Soleh.

"Tolong Mas... emh, te-terusinh…" pinta Vita.

"Terusin apa, Non Vita sayang?"

Wajah Vita sudah demikian sayu, matanya redup, tangannya meremas payudaranya sendiri karena nafsu yang tak tertuntaskan. Dengan membuang rasa malu, ia berkata, "Terusin... yangh… tadi!"

"Yang tadi mana?" goda Soleh lagi.

"…itu tadi…"

"Tadi apa? Kalo pake Bahasa Indonesia yang jelas dong!" Soleh terus memancing.

Vita malu mengatakannya, tapi apa daya nafsu sudah keburu memuncak.

"Jilatin memekku mas!" tukas Vita dengan pipi merona. Soleh tertawa mendengarnya, serasa jadi pemenang.

"Nya ha ha ha ha... Dasar perek! Minta jilmek!"

"Tapi..." sambung Soleh, "Ogah! Lidah gue pegel! Sekarang giliran yang lain!"

"Tolong Maaaaaaasshh…" Vita merengek sambil merangsang vaginanya sendiri.

"Nah Non, yang ini aja disuruh ngejilat... dijamin lebih enak!" Soleh berkata itu sambil menunjuk kontolnya. "Tapi Non Vita mesti minta... Ya?"

Vita terhenyak mendengarnya, dia merasa dilecehkan namun kondisi birahi mengalahkannya.

"Mi-minta gimana Mas?" kata Vita.

"Minta dientot sama Tuan Soleh," kata Soleh. "Kamu mintanya yang bener, ya! Gini ta’ ajarin...Tuan Soleeeh~"

Vita terdiam.

"Ayo ikutin, gimana sih?!" Soleh tadi meniru nada bicara yang genit mendayu, seperti pelacur menggoda laki-laki.

"I-iya...Tuan Soleeeh," kata Vita dengan terpaksa.

"Sudikah Tuan mengentot sayaa?" ajar Soleh.

Dengan pipi merona merasa dipermalukan, Vita mengikuti apa kata Soleh. "Sudikah Tuan... me-mengentot... saya…"

"Tunggutunggutunggu... Kelewat formal kok gue malah jadi il-fil... Kurang ganjen! Ayo diulang! Improvisasi sendiri kalo perlu!" Soleh memprotes. Memang nada bicara Vita tadi datar dan malu-malu. Vita kaget mendengar perkataan Soleh. Ia terhimpit antara pelecehan dan birahi.

"Ayo cepetan!" perintah Soleh tak sabar. Vita meredam rasa malunya

"Tuan, entot saya Tuaan... saya mau kontol Tuan di memek saya... puasin saya Tuan, Tuan juga boleh entot saya sesuka Tuan!"

"WHUA HA HA HA HA!!" Soleh tak menyangka kata-kata Vita malah bisa sebinal itu. Tapi memang Soleh sudah menyangka ada kebinalan yang disembunyikan Vita, dilihat dari chatting nakalnya; makanya Soleh tidak heran mendengar kata-kata kotor Vita.

"Gak nyangka Non Vita doyan ngentot juga," kata Soleh. "Baik, karena sudah diminta..."

"Baiklah...karena Non Vita maksa... apa boleh buat!" Pria IT berkacamata tebal itu bangkit berdiri dari duduknya.

"Jadi gimana Non, jelasnya..." Soleh lanjut mengejek, sambil mengocok tombaknya. Vita mengangkang dan memohon, "Ma-ma… sukin..."

"Masukin apa?? Ke mana??" kata Soleh lagi dengan suara lebih keras.

"Itu..." Vita menunjuk kejantanan Soleh.

"Itu apa...? Pake bahasa yang jelas dong! Tadi udah bener!"

"Ko… kontol Mas…" wajah Vita semakin memerah.

"Bagus, yang tegas jangan ragu... oke, kontol saya ke...? Ke mana?"

"Ke-ke si… ni..." Vita melebarkan bibir vaginanya.

"Oh ke situ, ya ya... ehem. Itu berarti... saya masukin kontol saya ke... apa?"

"Memek... memek…ku Mas..." Vita memalingkan wajahnya sejauh mungkin, malu dengan kata-kata joroknya sendiri, malu melihat wajah mupeng Soleh.

"Iya deh... yuk?" kata Soleh menempelkan kepala penisnya, namun insting wanita membuat Vita refleks menjauhkan vaginanya dari penis Soleh yang menurutnya asing.

"Lho...kok ?!" Soleh menatap tajam.

"Eh iya Mas, ma-maaf..." kata Vita, kembali melebarkan kakinya yang sempat merapat.

"Gapapa, justru dari situ kelihatan...seberapa polos kamu sebenarnya. Kedua bawahan kamu malah lebih jalang dari kamu," komentar Soleh.” Berarti, memek Non Vita... paaaasti sempit, hehehe." Selesai berkata itu, Soleh membentangkan kedua paha Vita lebih lebar.

"Cepet buka Non!" Soleh meraih tangan Vita, menuntun ke vaginanya. Vita merentang belahan kemaluan miliknya, terlihatlah gemerintil daging merah muda di dalamnya.

Soleh yang sudah sedari tadi menahan nafsu, mulai menekan kejantanannya.

"Mampus gue, susah banget!! Lu pernah dientot ga sih? Punya memek kayak gini... Hhhhhggg!" Soleh mati-matian mendorong masuk. Tangan Vita yang beberapa kali menghalangi laju penis ditangkapnya. Soleh menjauhkan tangan Vita agar tidak ada lagi yang menghalangi.

"...hhhh..." Soleh mendesis keenakan ketika kepala burungnya mulai menerobos vagina Vita. Vita menggigit bibir menahan rasa malu ketika akhirnya dia dipenetrasi Soleh. Soleh terus mendesak masuk... dan mendapati bahwa sebenarnya bukan dia laki-laki pertama yang pernah masuk ke sana.

"Egghh... wah segelnya udah ada yg nge... buka nih?? Sebodo amat... masih nggigit ini... asoyy!”

Tak puas dengan hanya memasuki vagina Vita, Soleh juga merapatkan tubuhnya ke Vita, bibirnya berkeliaran ke puting Vita yang sudah keras. "Aaa~h?" Vita kaget ketika Soleh menjilati payudaranya, sambil tangannya bergerilya ke mana-mana. Tubuh kurus Soleh membungkuk menindih tubuh Vita, lidahnya yang menjijikkan menjilati dada dan leher Vita. Dan di bawah, seluruh bagian penisnya sudah masuk ke vagina Vita.

"Amm... nyam... hleeh..." keluar bunyi-bunyian tak jelas dari mulut Soleh yang menikmati 'hidangan' empuk di dada Vita, ditingkahi desahan Vita. Pinggul Soleh mulai bergerak maju-mundur, membuat Vita memekik. Soleh bergerak pelan-pelan, karena masih konsentrasi di tubuh bagian atas Vita yang sebenarnya juga mau dia nikmati.

"Eh... Tau gak," bisik Soleh sambil menjilati telinga Vita, "Enak juga ya bibir bawah lu, biar udah ga perawan tapi tetep peret!"

Kemudian, Soleh mulai menggenjot makin kencang, sambil sesekali mencengkeram dada Vita.

"ah... ah.... Ahh..." Vita tak kuasa menahan suaranya. Di ruangan yang sepi itu kini hanya terdengar suara Vita dan Soleh yang dilanda nafsu, serta hentakan tubuh mereka yang beradu.

"Mestinya ga heran sih kalo kamu udah pernah ginian," Soleh terus mencerocos. "Kalo masih perawan baik-baik mana mau diajak chatting mesum ama orang ga jelas, ha ha ha!"
Vita sudah tidak peduli lagi apa kata Soleh, dia malu mengakuinya tapi sudah begitu lama sejak ada laki-laki menyetubuhinya, dan biarpun yang sekarang ini seorang yang jelek lagi brengsek, tetap saja dia mulai merasakan kenikmatan badan. Ia terima hunjaman demi hunjaman Soleh yang semakin terasa sambil merintih seksi. Soleh semakin bernafsu berkat reaksi Vita, diciuminya betis Vita yang dicengkeramnya.

"Yahhhhh, ouhhh!" desah Vita, saat lidah Soleh menyapu betis putih padatnya. Itu karena Soleh tanpa sengaja menyentuh satu titik sensitif Vita, dan si karyawati jadi terkaget merasakan kenikmatan karena disentuh di sana. Soleh menaikkan betis Vita ke bahunya, memeluk erat paha Vita yang merapat ke perutnya. Vita menggigit jarinya di sela rintihan, Soleh memejet puting Vita dan menggodanya dengan puntiran. Rintihan pun semakin keras, Soleh juga menyodok semakin keras, karena tahu Vita tak lama lagi meraih klimaksnya

"Aahhh, Ahhhh, Ahhhh, Aaaaahhhhhhh !" Vita mencengkeram lengan Soleh. Soleh yang mengerti menghentikan sodokan sambil tersenyum mengejek.

"Errmm..." Vita menggigit bibir bawahnya, tubuhnya terhentak-hentak.
Kakinya yang jenjang mengejang. Nafas Vita berdengus cepat tak beraturan selesai itu. Soleh menurunkan kakinya dan menarik lepas penis. Ia tersenyum bangga melihat barangnya mengkilap, terselimut jus cinta Vita.

Vita melonjorkan kakinya, ingin beristirahat sejenak. Tapi Soleh malah membalikkan tubuh Vita hingga tengkurap.

"Iyaah..." reaksi Vita, saat Soleh menarik tubuhnya turun dari meja setengah badan. Plaak! Tamparan mendarat di pantat Vita.

"Enak ya...keluar, Hah?!" leceh Soleh. Pantat Vita menjadi sasaran tampar beberapa kali, dan Soleh menyepak kaki Vita agar lebih mudah memasuki tubuh Vita. Soleh meremas-remas pantat Vita sambil menggesekkan penisnya ke bibir vagina yang sudah banjir tak karuan itu.

"Ouh, Sssstt..." Vita mendesis perlahan lalu menggigit bibirnya, seirama dengan kejantanan Soleh yang membelahnya perlahan dari belakang. Erangan kemudian terdengar ketika Soleh melanjutkan sodokan dengan penuh nafsu. Sodokan Soleh semakin lama semakin brutal. Rintihan Vita semakin keras pula jadinya, si cantik itu mencengkeram pinggiran meja. Vita terus terdorong hingga mentok ke pinggiran meja, buah dadanya yang menempel di meja terayun seirama goyangan meja. Soleh mencengkram bahu Vita dan memeluknya dari belakang. Sambil menempelkan tubuhnya ke tubuh Vita, Soleh menghirup harum rambut Vita sambil meremas payudara Vita dan tentunya tidak lupa menggempur liang kemaluan Vita sekencang-kencangnya. Mata Vita terpejam, mulutnya menganga, menjeritkan kenikmatan.

Vita tidak menyangka, ternyata Soleh lama sekali bisa menahan untuk tidak keluar. Nyaris lima menit tanpa henti batang Soleh keluar-masuk kewanitaan Vita, menggesek dinding-dindingnya sampai Vita ngilu, namun Soleh seperti tidak ada habisnya. Yang tak bisa ditolak Vita adalah kenyataan bahwa dia tetap merasakan kenikmatan, walaupun dia sedang disetubuhi dengan paksa. Bahkan bisa dibilang diperkosa. Walaupun dia sudah ada pengalaman sebelumnya, dia belum pernah mengalami yang seperti ini.

Soleh akhirnya memeluk tubuh Vita erat-erat dan menusuk dalam sekali.
Vita merasakan penis Soleh kejang-kejang di dalam vaginanya... Gawat!

"Ah!" jerit Vita, menyadari apa yang terjadi.

"Jangan di dalem Mas... Plis Mas, jangan!" pinta Vita sambil meronta, berusaha melepaskan diri dari rangkulan Soleh. Vita berhasil mendorong Soleh yang tak konsentrasi karena sedang asyik memuntahkan lahar panasnya. Penis Soleh pun keluar dari dalam vagina Vita dalam keadaan masih muncrat, sehingga sebagian spermanya terciprat ke pantat Vita. Tapi tadi keburu ada sedikit yang sempat dikeluarkan di dalam...

Vita merasakan tubuhnya lemas, ingin dia lari dari sana saat itu juga, ke kamar mandi atau ke manapun di mana dia bisa mencuci bersih benih tak diundang yang terbuang dalam rahimnya. Soleh terduduk ke satu kursi, dan tertawa-tawa seperti orang gila. "Huahahahah... Enak banget memek lonte baru gue... Apalagi kalo bisa dikeluarin di dalem kayak tadi..."

Sedikit keberanian muncul dalam diri Vita untuk meminta.

"MAS... Udah puas kan... Aku... boleh pulang?"

Dia mengatakan itu sambil menatap dengan benci ke arah Soleh yang lemas keenakan. Soleh cuma nyengir melihat korbannya yang telanjang, bersimbah keringat, dan ternoda peju itu.

"Yaudah... Buat hari ini udahan dulu! Makasih ya cantik, tadi enak banget, sumpah, mendingan kamu daripada dua yang lain itu!"

Vita tak peduli kancing blusnya belum terpasang rapi, dan dia pun belum memakai pakaian dalamnya. Hanya mengenakan blus dan rok serta menggenggam pakaian dalam, Vita berlari keluar dari ruang rapat. Dia menuju toilet terdekat yang untungnya memiliki ruang shower kecil. Di situ, Vita kembali melepas bajunya, dan pertama-tama langsung membasuh kemaluannya. Dia tak mau dia jadi mengandung gara-gara perbuatan Soleh tadi.

*****
Di ruangan CCTV…

Junaedi, si satpam, duduk sambil menyaksikan rekaman adegan striptease Vita di ruang rapat. Dia dan Soleh memang sengaja menyuruh Vita ke ruang rapat lantai 2 karena di sana dia sudah memasang kamera pengawas dengan kualitas paling bagus. Demi menjerumuskan Vita lebih jauh, mereka merencanakan membuat video semacam itu.

“Gila… bagus amat bodinya si Vita…” kata Junaedi sambil ngiler. Dia hanya menyalakan kamera sampai Vita selesai striptease saja; tidak merekam apa yang terjadi selanjutnya karena sudah tahu Soleh sedang menikmati tubuh si cantik itu. Hari ini giliran Soleh melahap Vita, besok giliran dia. Tidak apa-apa. Yang penting videonya sudah jadi. Dan Junaedi sudah ngaceng dari tadi menikmati liukan tubuh Vita. Dia sudah tak tahan.

“Uahh… gue mau ngecrot nih!”

Di ruangan itu juga ada… Flora, bawahan Vita, yang berlutut di depan selangkangan Junaedi dan sejak tadi mengoral penis si satpam. Junaedi mencengkeram belakang kepala Flora dan memaksa Flora men-deepthroat anunya selagi dia menyemburkan cairan benihnya. Gadis kurus berambut pendek itu tak bisa berbuat apa-apa selain menerima semburan cairan hangat di mulutnya. “Mmmpphhh!!” teriaknya tertahan. “Uooohh!!” seru Junaedi.

Setelah puas, barulah Junaedi melepas cengkeraman. Flora langsung menarik kepalanya dan terbatuk-batuk, tersedak mani Junaedi. “Uhk… uuhkk…” Sebagian mani tercecer dari bibir Flora. Flora langsung menutup mulutnya dengan tangan dan memuntahkan sperma yang masih tersisa di mulutnya. “Kasar amat…” keluhnya.

“Banyak bacot lu…” omel Junaedi. “Tuh lihat, akhirnya kita berhasil. Dia mau juga tuh digituin. Berapa hari ke depan juga dia bakal dijadiin kayak elu… jadi lonte kami. Ahh… tuh kan, gue udah ga sabar pengen nyobain memek si Vita. Giliran gue baru besok tapiii. Ya udah. Ayo nungging!”

Flora pasrah dan berbalik badan, lalu menungging membokongi Junaedi. Si satpam nyengir dan langsung menyiapkan senjatanya.

*****

Vita selesai membersihkan vaginanya yang baru dinodai Soleh, dan telah memakai lagi pakaiannya. Ketika dia keluar kamar mandi, ternyata Soleh menunggu di luar. Soleh menyuruhnya pulang.

“Hati-hati di jalan ya. Oiya. Dandanan kamu hari ini oke juga. Tapi masih nanggung ya. Besok mesti bisa lebih seksi lagi. Bisa kan?”

Vita cuma mengangguk lemah, pikirannya sudah capek karena dikerjai Soleh. Tapi dia tak punya pilihan. Dia sudah tahu apa yang bisa dilakukan kedua bangsat itu.

Dengan langkah lemas Vita kembali ke ruangannya, mengambil tas, lalu pergi meninggalkan ruangan.

*****
Pos satpam dekat pintu keluar, pukul 8 malam.

“Udah sono pulang, sebentar lagi kereta lewat,” kata Pak Chaerul, kepala keamanan yang membawahi semua satpam gedung, kepada Andy si wakil manajer produksi yang sedang menemaninya duduk-duduk di depan pos satpam. “Ga usah mikirin kerjaan terus, mikir yang laen napa, misalnya calon istri, kamu kan udah waktunya cari jodoh.”

“Yang itu biar gimana jalan ke depan aja deh Pak…” kata Andy sambil melihat Pak Chaerul yang rambutnya sudah beruban semua tapi tetap bertampang tegas. Andy baru selesai lembur, tapi karena menunggu jadwal kereta lewat jadi dia ngobrol dengan Pak Chaerul. Andy sebenarnya kurang suka bergaul dengan orang, tapi sekalinya bertemu teman yang cocok seperti Pak Chaerul, dia bisa ngobrol banyak dan lama. Sifatnya yang terkesan kaku itu hanya kepada orang yang kurang dikenal saja.

“Ah, kamu mah kebanyakan mikir, makanya ga maju-maju,” Pak Chaerul menyindir. Andy membalas, “Tetep aja mesti mikir Pak, daripada dapet yang kayak kemarin lagi…” nada bicara Andy berubah jadi suram “…kirain dia cewek setia, nggak taunya pengkhianat. Tampang baik-baik juga nggak jaminan.”

Pak Chaerul menyikut pelan Andy. “Itu yang namanya kebanyakan mikir, tau,” sanggahnya. “Kamu mesti ngambil risiko, kalau nggak sampai tua ga kawin-kawin loh. Jelek-jelek gini, Bapak udah punya istri dari umur 20. Ga usah banyak mikir urusan perempuan, kalau ada kesempatan, hajar aja… Eh ada yang baru pulang tuh?”

Di depan mereka, Vita melintas, berjalan dengan lesu setelah akhinya diperbolehkan pulang oleh Soleh. Perasaannya campur aduk, dan dia pun membayangkan besok harus menjalani hari seperti ini lagi.

Pak Chaerul menarik Andy sampai bangun lalu mendorong Andy agar menghampiri Vita. “Sono samperin!” perintahnya. Andy tidak bisa menolak dan berjalan mendekat ke Vita.

“Emm… Vita dari bagian keuangan kan?” Andy menyapa. “Baru pulang? Abis lembur juga ya?”

“Eh… I… iya,” Vita kaget, tak menyangka bakal dihampiri orang. Tapi perasaannya masih kalut sehingga kedatangan Andy yang tiba-tiba membuat dia waswas. “Mas… Andy kan? Iya, …abis lembur.”

Keduanya berjalan bareng sampai ke luar pagar. Tanpa bicara. Vita masih panik dan takut, Andy belum pede untuk mengajak bicara Vita yang kurang dikenalnya. Akhirnya…

“Ke arah mana?” tanya Andy.

“Ke…” Vita menyebut satu daerah pinggir kota. “Mas Andy ke… mana?” balas Vita. Andy menjawab daerah lain yang agak jauh dari tujuan Vita. “Aku mau ke stasiun…” kata Andy.

“Ya… nggak sejalan nih, yaudah aku duluan ya Mas Andy…” Vita buru-buru pergi meninggalkan Andy, dia malu menghadapi karyawan lain dengan keadaan seperti itu. Andy kelamaan bereaksi, dia cuma melongo melihat Vita yang langsung pergi. Tapi Andy bisa melihat. Vita seperti sedang bermasalah.

*****

BERSAMBUNG!