Sabtu, 19 Juni 2010

Tiga Pemain Asing

TIGA PEMAIN ASING

SINOPSIS
Drani, seorang manajer klub sepakbola, mesti menghadapi keluhan dari tiga pemain asingnya yang menuntut gaji mereka segera dibayar padahal klubnya sedang krisis keuangan. Jadi dia tawarkan bonus istimewa…

Story codes
MMMF, anal, cons, interracial, DP

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.

Cerita ini terilhami satu komentar di forum diskusi KBB. Terima kasih buat Anne atas bantuannya pada beberapa rincian. ;)

Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.

Tiga Pemain Asing
-Ninja Gaijin-


Andraningrum, manajer klub sepakbola PSKBB, sedang pusing. Sedang ada masalah dengan keuangan klub PSKBB. Uang sponsor dan bantuan dari pemerintah daerah sudah tinggal sedikit, padahal kompetisi baru sampai setengah jalan. Gaji para pemain sudah 3 bulan tidak dibayar. Dan dia sudah bolak-balik meminta bantuan ketua klub PSKBB yang merangkap wakil kepala daerah tempat PSKBB bermarkas, tapi yang didapat cuma janji demi janji. Sudah begitu, si ketua klub malah melempar balik tuntutannya, dengan bilang seharusnya manajer yang cari duit untuk klub. Padahal dia sudah nyaris kehabisan akal mencari kesana-kemari.

Memang tidak umum seorang perempuan menjabat manajer klub sepakbola. Drani, begitu panggilan Andraningrum, adalah anak seorang tokoh masyarakat setempat yang dulu ikut mendirikan PSKBB dan stadion di daerahnya. Sepeninggal bapaknya, Drani kebagian mengurus PSKBB sementara saudara-saudara kandungnya meneruskan usaha keluarga. Kehidupan pribadi Drani sendiri kurang memuaskan, pada umurnya yang ke-30 ini dia sudah pisah ranjang dengan suaminya karena beberapa masalah. Untuk menghibur diri, Drani yang memang gila bola dan sayang kepada klub yang didirikan bapaknya terjun ke dunia persepakbolaan secara serius, sebagai manajer PSKBB dan juga membina sekolah sepakbola.

Drani

PSKBB sedang cukup berprestasi di Liga, sedang berada di peringkat ke-2 dan terus mengancam kedudukan klub bermaskot singa yang menjadi pemimpin klasemen. Kalau semua lancar, bukan mustahil PSKBB menyalip “Singa” dan menjuarai Liga. Keberhasilan PSKBB musim ini terutama disebabkan tiga pemain asing baru asal Afrika, yang terbukti mumpuni di lapangan dan sulit dibendung lawan. Tapi harus diakui ketiganya juga cukup menguras kemampuan keuangan PSKBB karena gaji mereka lumayan tinggi. Ketika pemasukan seret dan gaji tak lancar, ketiga pemain Afrika itu mulai protes dan terakhir mereka mengancam akan pindah ke klub lain dan melaporkan klub ke badan sepakbola dunia.

Setelah berpikir-pikir, Drani mendapat satu cara agar setidaknya bisa mempertahankan ketiga pemain Afrika itu, sampai dia mampu mencari tambahan pemasukan dari sponsor atau pemerintah.

*****

Sore hari, waktunya latihan. Para pemain sedang mempersiapkan diri untuk laga kandang melawan klub tetangga yang suporternya dikenal tak bermodal tapi sering membuat kerusuhan. Drani sibuk berkoordinasi dengan aparat untuk persiapan penjagaan keamanan; suporter tim tamu pasti akan datang ramai-ramai dan mungkin bikin ribut, jadi pengamanan harus seketat dan sekeras mungkin. Sesudahnya, Drani langsung menuju stadion.

Sesampai di stadion, Drani menemui pelatih PSKBB, seorang mantan bek tim nasional, dan memintanya menyuruh ketiga pemain asing menghadapnya di ruangannya. Si pelatih menyanggupinya lalu masuk ke lapangan untuk memanggil mereka. Tapi sebelum bergerak, si pelatih sempat berkomentar kepada Drani.

“Cakep amat Bu, hari ini?” katanya sambil nyengir.

“Bisa aja kamu. Mau ada perlu nih,” jawab Drani.

*****

Tiga orang pemain asing PSKBB asal Afrika sudah berkumpul di ruang manajer. Yang pertama, Adama Badou asal Pantai Gading. Dilihat dari perawakannya, Adama tidak istimewa, karena tubuhnya sama besar dengan rata-rata pemain lokal. Kelebihan Adama adalah pada akselerasi dan kecepatan larinya, yang membuat dia sangat berbahaya sebagai pemain sayap yang menyerang sepanjang pinggir lapangan. Adama berwajah lumayan ganteng dengan rambut cepak.

Pemain asing PSKBB yang kedua adalah Francis Njona asal Kamerun. Francis adalah pemain bertubuh paling besar di PSKBB, perawakannya lebih cocok jadi pegulat daripada pemain sepakbola. Posisinya sebagai bek tengah tak tergantikan, dan dia dikenal tanpa kompromi dalam menjegal dan menghadang penyerang lawan. Selain bertubuh besar dan gempal, Francis juga botak dengan mata besar seperti selalu melotot; wajahnya yang seram itu saja sudah membuat pemain lawan yang berhadapan dengannya gentar.

Yang ketiga adalah Ethan Rabiu asal Nigeria, striker jangkung dengan tinggi tubuh hampir 2 meter, pencetak gol terbanyak bagi PSKBB. Ethan tak terkalahkan dalam perebutan bola di udara dan sundulan mautnya sudah berkali-kali memberikan kemenangan kepada PSKBB. Rambut Ethan ditata dreadlock dan dicat merah. Suporter PSKBB selalu menunggu selebrasi Ethan, yaitu menggendong sesama pemain di punggung, yang dilakukannya sesudah menjebol gawang lawan.

Tiga pemain berkulit hitam itu duduk-duduk dengan resah di dalam kantor manajer, masih mengenakan seragam PSKBB yakni kaos putih dan celana hitam. Meskipun kontribusi mereka besar kepada keberhasilan PSKBB, tapi imbalan yang mereka terima sedang seret. Gaji seluruh pemain dan ofisial KBB memang sudah tiga bulan tak dibayar. Ketiga pemain asal Afrika itu digaji paling besar, sehingga mereka pula yang protes paling keras. Mereka sudah menyatakan berbagai ancaman kepada manajemen klub. Suporter juga mendukung tuntutan mereka, karena ketiganya termasuk pemain favorit. Dan Drani sendiri masih menginginkan mereka bertiga tetap di PSKBB.

Pintu terbuka dan Drani masuk. Adama, yang paling tua di antara mereka bertiga, bertindak mewakili teman-temannya dan langsung membuka pembicaraan.

“Ibu Drani. Apa hari ini Ibu suda ada keputusan tentang salary kami? I hope you bring good news,” kata Adama dengan bahasa gado-gado, campuran Indonesia dan Inggris yang terdengar lucu karena berlogat Afrika.

Sebetulnya Drani belum mendapat kemajuan dalam pencarian dana. Tapi dia merencanakan sesuatu yang lain. Seperti tadi diperhatikan si pelatih, hari itu Drani memang sengaja tampil lebih cantik. Kalau biasanya dia tampil dengan blazer dan celana panjang seperti biasanya wanita karier, hari ini Drani mengenakan gaun biru tanpa lengan yang memperlihatkan kulit pundak dan lengannya yang putih mulus. Drani memang berkulit terang karena dia berdarah campuran, ayahnya pribumi sementara ibunya keturunan Tionghoa. Pinggangnya yang masih ramping dibelit sabuk putih lebar, sedangkan dadanya terlihat membusung di balik gaun biru yang dikenakannya. Kalau biasanya Drani hanya mengenakan make-up tipis, kali ini dia bersolek lebih tebal, dengan eyeshadow coklat tua dan lipstik pink. Dan ketiga pemain Afrika itu memperhatikan perbedaan penampilan manajer mereka, mata mereka tak lepas-lepas dari Drani sejak Drani memasuki ruangan.

“Hmm… Saya masih berusaha,” Drani menyampaikan berita mengecewakan. “But don’t worry, bulan depan pasti gaji kalian akan turun.”

Francis langsung mencibir, “Huuu!”, Ethan mendengus, dan wajah Adama berubah kesal. “Ibu Drani,” kata Adama, “Come on, we not social workers here? Kita main bola mau dapat uang. I must send money to my family. Mereka di sana tunggu-tunggu saya kirim uang.” Francis dan Ethan mengangguk menyetujui.

“Iya, ngerti,” kata Drani, “maaf ya. Sorry. Mohon bersabar…”

“Sorry? Sorry don’t feed my family, boss,” Adama terus berkomentar. Di antara ketiganya, dia yang paling banyak diincar klub lain untuk ditransfer. “Kalau begini saya pindah ke klub lain, maybe they pay me more.”

“Tapi saya punya tawaran lain,” kata Drani, sambil mendekati Adama. Adama memandangi Drani, yang sedikit lebih pendek daripada dirinya. Drani dekat sekali dengan Adama sehingga pemain sayap itu bisa mencium wangi parfum yang dipakai si manajer. Ketika memandangi wajah Drani, Adama tidak bisa tidak melirik juga ke belahan dada Drani yang mengintip dari balik gaun birunya.

“What kinda offer?” kata Adama.

Drani menjawab, “Seperti saya bilang. Kalian akan dibayar bulan depan. Saya tambah bonus lain, yang bisa dinikmati sekarang. Bagaimana?” Drani berkata seperti itu sambil merapat ke tubuh Adama, sambil tangannya merangkul pinggang Adama yang kencang. Adama langsung tahu apa maksud manajernya itu.

“Is it worth it?” tanya Adama.

“Kita mulai bicarakan saja,” kata Drani, kemudian si manajer berpindah merangkul leher Adama. Detik berikutnya Adama merasakan bibir lembut Drani menyentuh bibirnya dalam sebuah ciuman. Adama tak menolak dan dia membalas ciuman hangat Drani, sementara tangannya merangkul tubuh Drani. Sepertinya Adama tidak perlu diberitahu apa niat Drani, karena dia langsung memanfaatkan keadaan dengan meraba pantat manajernya itu.

“Ibu Drani? What the hell is this?” Ethan tidak langsung paham apa maksud perbuatan manajernya. Tapi Francis menyuruh Ethan diam dulu.

Drani melepas bibir Adama, lalu berbisik kepada Adama, “I’m sure you will like it,” sementara tangan Drani mulai nakal menjelajah ke celana pendek Adama, menyentuh bagian depan selangkangan si pemain sayap. Adama tersenyum. “Saya coba dulu,” katanya. Drani beberapa kali meremas lembut benda yang mulai membesar di balik celana Adama. Drani pun tak buang-buang waktu, dia langsung menarik turun celana dan celana dalam Adama. Karena sudah berencana berbuat seperti ini, tadi Drani sudah bersiap-siap dengan mengunci pintu. Ruang manajer juga tak berjendela sehingga tidak ada yang bisa mengintip apa yang terjadi di dalam, hanya empat orang manusia itu saja yang tahu.

Kejantanan Adama yang sudah setengah keras pun terlihat. Drani pun jadi tahu, bahwa yang bilang batang orang Afrika paling panjang itu tidak sepenuhnya benar. Kemaluan Adama dilihatnya sama saja ukurannya dengan barang mantan suaminya, hanya saja yang ini kelihatan lebih gemuk. Tak apa. Sambil tersenyum, Drani mulai mengelus-elus batang hitam itu agar makin keras dan besar.

“Buka baju. Biar tamba keras,” suruh Adama, yang sudah paham apa maunya Drani. Drani memerosotkan bagian bajunya yang menggantung di bahu, sehingga sepasang payudaranya yang berukuran 34C terbebas dari kungkungan dan melambung menantang si pemain asal Afrika.

“Whooo…” Francis yang sedari tadi diam saja mulai bergerak, mendekat. “Nice,” komentarnya. Tangannya yang besar dan hitam terangkat, seperti mau menjamah payudara Drani, tapi Francis kemudian ragu dan mengurungkan niatnya. Drani menengok ke arah Francis dan tersenyum. “Mau? Boleh kok…” Drani mengizinkan.

Diberi kesempatan, Francis tidak menyia-nyiakan. Bek asal Kamerun yang bertumbuh kekar itu langsung menjulurkan tangan lagi, memegang payudara si manajer. Tangan Francis yang besar mencengkeram dan memijat-mijat daging dada putih Drani dan mencubiti kedua puting Drani sampai menegang akibat terangsang. Francis terus mengucel-ucel payudara Drani sementara Adama menonton. Dan akibatnya, kejantanan Adama bangkit sampai mencapai panjang maksimalnya. Drani pun berlutut di depan Adama dan mendekatkan mukanya ke batang hitam yang baru menggeliat bangun itu.

Drani menjilat sekujur batang dan kepala penis Adama. Meskipun dia sudah berpengalaman dengan laki-laki, baru kali ini dia melihat “senjata”-nya orang Afrika. Ukurannya ternyata tak jauh beda dengan milik pribumi. Rambut kemaluan Adama juga keriting seperti rambut di kepalanya. Drani menengok ke samping dan melihat gundukan di balik celana Francis, dan dilihatnya juga Ethan si jangkung mulai memegang-megang batangnya sendiri. Drani lalu meneruskan membasahi sekujur batang Adama. Lalu, sambil mengelus-elus biji pelir Adama, Drani mulai memasukkan penis Adama ke dalam mulutnya, pelan-pelan.

Rasa dan bau kontol orang Afrika beda, pikir Drani. Dari mereka bertiga, Adama yang badannya paling kecil. Gimana yang lain? Hiii…

Akhirnya Drani sampai juga ke batas, mengulum seluruh penis Adama sementara hidungnya sampai menyentuh jembut Adama. Dikulumnya penis panjang itu beberapa lama, lalu dia mundur pelan-pelan sambil mengambil nafas. Drani terus mundur sampai akhirnya batang Adama keluar lagi.

“Do it again,” perintah Adama. Dan Drani memang mau melanjutkan. Dia kembali mengisap kontol hitam itu, lidahnya menari-nari seputar batang yang tegang. Dijilatnya cairan yang mulai meleleh keluar dari lubang. Drani berusaha lagi menelan seluruh penis Adama, sambil menyedot, berusaha mendapatkan apa yang dia inginkan.

Adama tidak bisa tahan terlalu lama karena keahlian Drani, dan dia menggerung, memberi tanda akan ejakulasi. Semburan benih panasnya muncrat di dalam mulut si manajer. Drani menelan semuanya dan menjilati sisa-sisanya sebelum akhirnya melepas penis Adama yang melemas dari mulutnya. Adama mengeluarkan suara-suara tanda keenakan dan memuji kemampuan manajernya menyepong. Drani merasakan sperma yang rasa dan baunya berbeda itu, kurang enak menurutnya. Dia berusaha menahan reaksi mual agar tidak terkesan tak suka.

Ethan yang sedari tadi menonton dan Francis yang sudah kebagian memegang-megang kini mendekati Drani. Tanpa disuruh, keduanya memelorotkan celana masing-masing dan memamerkan barang mereka di depan Drani. Drani menatap kagum. Francis seukuran dengan Adama, walaupun karena tubuhnya besar, milik Francis jadi berkesan lebih kecil; sementara kejantanan Ethan pas dengan postur tubuhnya yang jangkung, panjang, lebih panjang beberapa senti daripada teman-temannya. Drani seumur hidup belum pernah melihat penis sepanjang itu. Bisa tidak dia menelan yang ini?

Drani mengangkat kedua tangannya dan memegangi kedua kontol Afrika itu, membanding-bandingkan. Tangannya yang putih kontras dengan batang-batang yang coklat tua itu. Drani menaikkan penis Francis dan melihat kantung pelirnya yang besar dan berambut, menggantung di bawah. Drani lalu memiringkan kepala dan menjilati sekujur biji Francis, sehingga Francis menggerung keenakan. Kemudian Drani beralih ke Ethan. Drani menjilati satu sisi batang Ethan yang panjang itu dari pangkal sampai ujung, lalu di sisi satunya dari ujung sampai pangkal.

Drani kemudian membuka mulut lebar-lebar dan mengulum kepala burung Francis. Sungguh pemandangan yang erotis, wajah putih Drani ditancapi penis hitam Francis, seorang perempuan cantik berkulit terang berlutut di depan seorang laki-laki berkulit hitam dan berwajah seram. Francis meraih kepala Drani dan menariknya ke depan sehingga penisnya makin jauh menerobos rongga mulut si manajer. Sementara itu, tangan Drani menggosok-gosok kejantanan Ethan. Saking panjangnya, perlu dua tangan untuk dapat menggenggam seluruh batang si striker jangkung.

Waktu penis Francis sudah masuk sejauh mungkin, Drani berhenti sebentar untuk bernafas. Hidung Drani nyaris menempel ke jembut dan perut Francis, dan Drani mencium aroma tubuh orang Afrika yang beda. Pelan-pelan Drani menggerakkan kepalanya maju-mundur, mulutnya menyetubuhi batang hitam Francis.

Drani lalu melepaskan sebentar penis Francis dari mulutnya, lalu dia meludah ke telapak tangan sendiri. Telapak tangannya yang basah itu kembali melanjutkan tugas merangsang barang milik Ethan. Setelah melumuri seluruh batang yang panjang itu, Drani berganti menawarkan kelembutan bagian dalam mulutnya ke Ethan, sedangkan tangannya untuk Francis. Sambil membelai-belai biji pelir Francis, Drani mulai mencoba mengulum sekujur penis Ethan. Tidak bisa, rupanya. Terlalu panjang.

“Yeah… That’s fuckin’ great…” Ethan keenakan disepong oleh Drani. “Can you suck all of it, bitch?” Ethan mendorong pinggulnya ke depan, memaksa batangnya yang panjang itu masuk lebih jauh, sambil mencengkeram kepala Drani dan mendesaknya mendekat. Tetap saja ada beberapa senti bagian pangkalnya yang tak masuk, sementara Drani mulai tersedak dan matanya berkaca-kaca. Drani terbatuk ketika ujung burung Ethan menyodok pangkal tenggorokannya.

Mulut Drani terus naik-turun menyepong Ethan. Gede dan panjang banget! pikirnya. Mulutnya mulai pegal selagi dia berusaha mengulum seluruh batang itu. Sekali-sekali dia tersedak. Ethan terus melenguh keenakan.

“Hey, isep punya saya juga,” Francis merasa diabaikan, lalu memaksa Drani melepas penis Ethan. “I wanna fuck your mouth. Open.” Ganti Francis yang mencengkeram kepala Drani, lalu memaksanya mendekat. Selama beberapa menit kemudian, mulut Drani disetubuhi Francis. Tiap dorongan pinggul Francis membuat kantong pelir si bek yang besar menggantung itu menampar dagu Drani. Dan setelah beberapa lama, baik Francis maupun Ethan yang kebagian permainan tangan Drani belum juga menunjukkan tanda-tanda akan keluar. Tubuh Francis dan Ethan yang sama-sama besar membuat Drani terlihat kecil sekali; mata kedua pemain Afrika itu tak lepas dari tubuh seksi Drani, terutama kedua payudaranya yang sudah tak tertutupi. Kulit putih yang mulus, rambut hitam yang jatuh terurai di bahu. Drani memperhatikan tatapan mereka dan membuka kancing di punggung gaunnya, sehingga gaun itu pun merosot ke lantai memperlihatkan seluruh figurnya. Si manajer kini tinggal mengenakan kalung berlian yang berkilau, anting, dan celana dalam. Adama yang sedang tidak dilayani pun jadi tegang kembali kejantanannya. Si pemain sayap itu duduk di meja, mengocok barangnya sendiri, sambil tersenyum memperlihatkan sebaris gigi putih.

Sekarang di depan Drani ada dua kejantanan, milik Francis di dalam mulutnya dan milik Ethan yang menunggu giliran. Ethan menyuruh Drani menyervis dua-duanya sekaligus. Drani mengeluarkan kontol Francis dari mulutnya dan menengok ke atas, menceletuk “Mana bisa?” tapi toh dia menggenggam kedua batang itu dan mencoba menelan keduanya sekaligus. Agak susah. Jadi dia jilat kepala dua zakar itu kemudian dia coba lagi, buka mulut lebar-lebar. Lalu pelan-pelan dicobanya menelan dua penis hitam sekaligus. Cuma muat sampai kepalanya. Francis bertepuk tangan dan nyengir. Akhirnya Drani terpaksa mengeluarkan milik Ethan dan melayani Francis saja. Tak lama kemudian Francis juga mengeluarkan benihnya di dalam mulut Drani. Drani merasakan mulutnya penuh, tidak hanya dengan batang besar Francis, tapi juga cairan hangat yang keluar dari sana. Sebagian sampai berleleran keluar dari mulut.

Francis baru mengeluarkan anunya dari mulut Drani setelah puas. Giliran Ethan. Tapi Ethan juga sudah cukup lama menahan burungnya muncrat; baru saja Drani mulai menyervisnya lagi dengan menjilat dari bawah ke atas, si striker jangkung sudah berejakulasi. Berhubung posisinya masih ada di luar, jadilah mani yang keluar itu tumpah ke rambut dan dahi Drani.

Drani sendiri mulai resah gara-gara membayangkan hal-hal lain. Gede banget… hitam, besar, berurat… Di mulut aja susah muatnya… apalagi di bawah sana?

“Ahh… Nggak muat?” gumam Drani, terhanyut dalam khayalan.

“Ibu Drani,” kata Adama, “Cuma ini tawarannya?”

Drani melihat Adama tersenyum sinis.

“You want more?” tanya Drani.

“Of course,” jawab Adama dengan yakin. Kedua temannya juga mengangguk.

“Siapa mau duluan?” tanya Drani lagi sambil tersenyum genit. Tanpa berunding dulu, Adama maju. Drani menyuruhnya berbaring di lantai. Adama duduk di lantai, membuka kaos, lalu berbaring seperti disuruh Drani. Kejantanannya sudah tegang lagi. Drani melepas celana dalamnya lalu mengangkangi badan Adama, menempatkan vaginanya di atas penis Adama. Batang yang keras itu rebah di atas perut Adama yang berotot, dan Drani menggesek-gesekkan rekahan memeknya di sekujur batang itu. Drani menaikkan badan sedikit dan menggenggam zakar Adama. Ditempatkannya kepala burung hitam itu di lubang puki-nya, dan pelan-pelan diturunkanlah badannya. Kedua pemain lain, Francis dan Ethan, menyaksikan kemaluan teman mereka menerobos kewanitaan manajer tim PSKBB.

“OH! Ohh… aa enakh… Adama… gede banget!” Drani menceracau mesum ketika vaginanya dimasuki Adama. Padahal belum semuanya masuk. Drani mengangkat sedikit pinggulnya, lalu menurunkan lebih jauh lagi. Vaginanya terdesak makin dalam oleh penetrasi si pemain sayap. Cairan kewanitaannya membanjir.

“AH! Aaa… ah, hah… aduh… dapet… ehh…” Drani tiba-tiba mendapat klimaks, gara-gara dia keburu membayangkan dientot oleh orang-orang Afrika itu sejak tadi. Cairan memeknya membanjir membasahi penis Adama. Tapi dia terus menunggangi kejantanan Adama dalam posisi woman on top. Adama pelan-pelan mulai mengimbangi kebinalan manajernya, menyodok-nyodok lubang kenikmatan manajernya yang becek.

Francis berdiri dan berjalan ke belakang Drani sambil melepas kaos. Tubuhnya yang hitam gempal terlihat menyeramkan, namun bagi Drani yang mulai terhanyut birahi, itu hanya membuatnya membayangkan hal-hal lain. Francis meludahi tangannya sendiri lalu mengocok kemaluannya sampai tegang, lalu berjongkok di belakang Drani yang sedang menggoyang rekan satu timnya. Drani menjerit sejenak ketika merasakan jari Francis bermain di lubang anusnya. Di situ? Francis? Dengan ukuran seperti tadi? Aduh mak! Tapi Drani malah sengaja menggoyangkan bokongnya, mengundang Francis untuk berbuat hal-hal lain. Dan terjadilah. Francis menyiapkan senjatanya di depan pintu belakang Drani, siap menerobos masuk.

Pelan-pelan Francis memasukkan kontolnya ke dubur Drani. “UUAAGHH!” Drani mengerang selagi Francis berusaha menjolokkan seluruh batangnya ke dalam. Drani basah kuyup berkeringat akibat ulah kedua pejantan Afrika yang menyetubuhinya. Adama menggenggam erat pinggangnya dan menyodok keras-keras ke atas. Drani menjerit selagi sodokan tadi berhasil memasukkan seluruh batang Adama ke dalam vaginanya, sampai ke pangkal.

“AAA! FUCK ME!!” jerit Drani kepada kedua orang Afrika itu. Ethan, yang belum kebagian, bergerak ke depan Drani dan menyodorkan kemaluannya yang sampai berdenyut karena tak tahan. Drani menelannya tanpa ragu-ragu, sedalam mungkin sampai kepala burung Ethan menyodok pangkal tenggorokannya. Satu batang zakar hitam menggempur kewanitaan Drani dari bawah, dan satu lagi yang sama hitamnya meluncur keluar-masuk lubang pantatnya. Dan satu lagi, yang lebih panjang dibanding yang lain, disodokkan ke dalam mulutnya. Penuhlah ketiga lubang Drani dengan daging lelaki.

Keluhan “MMMFFF!!” keluar dari mulut Drani yang disumpal penis. Dia sedang mendesak ke bawah menggencet Adama sementara kejantanan Francis sedang masuk sedalam-dalamnya dari belakang. Ethan terus mengentot mulut Drani. Drani tiba-tiba mulai dirayapi rasa gemetar selagi klimaks mulai melanda.

“AAAFFFMMMM!!” jerit Drani dengan mulut masih tersumbat. Teriakan yang terdengar seksi itu membuat Ethan tak tahan dan ikut mengalami orgasme, ejakulasinya yang panas dan lengket mulai membasahi rongga mulut Drani. Dengan kasar Ethan menjambak rambut Drani dan mencengkeram kepala Drani, memaksa si manajer menelan semua buangannya. Drani hanya bisa pasrah karena tak mampu melepaskan kepalanya, padahal dia mulai kehabisan nafas dan tersedak karena terlalu panjangnya zakar Ethan. Tapi Ethan tak juga melepasnya walaupun Drani mulai tersengal-sengal sambil tangannya menepuk-nepuk paha Ethan, minta dilepas. Si striker jangkung itu malah tersenyum jahat, berkomentar, “Suck it, bitch!” sambil terus menembakkan peluru-peluru cairnya di dalam mulut. Drani merasa mulutnya pegal, muak dengan rasa peju Ethan, tapi dia tak bisa lepas; matanya sampai berkaca-kaca ketika dia mendelik ke atas seolah minta dikasihani Ethan. Tapi Ethan malah kelihatan kesenangan melihat Drani seperti tersiksa itu. Dia baru melepas Drani ketika kontolnya sudah melemas.

Setelah dilepas, Drani terbatuk-batuk sambil menutup mulut dengan tangan, sebagian mani Ethan terdorong keluar. Sambil terengah-engah, Drani melihat cairan kental putih kekuningan berbau tak enak yang tertadah di tangannya. Ingin dia memuntahkan semua yang barusan dia telan, tapi pikirannya keburu diserbu sensasi dari bawah dan belakang. Adama dan Francis belum selesai. Tubuh Drani terguncang-guncang akibat kuatnya gerakan kedua pemain berkulit hitam yang perkasa itu, yang makin lama makin cepat. Keduanya sudah mulai tak tahan. Adama menyodokkan penisnya sejauh mungkin ke dalam vagina Drani, dan menyemburkan peju hangat di dalam rahim Drani. “Uuuooohhh!” Francis menggerung keras selagi dia ikut menyemprotkan benihnya di dalam pantat Drani. Seperti Ethan sebelumnya, ejakulasi kedua pria itu lama sekali dan banyak, memenuhi tubuh Drani dengan benih asing, sementara Drani kembali kejang-kejang dilanda orgasme. Akhirnya Drani roboh kelelahan ke dada Adama. Adama dan Francis mencabut senjata masing-masing dari tubuh manajer mereka.

Peju mengalir dari lubang pantat Drani yang masih sedikit menganga, dari rekahan kewanitaannya yang meregang, dan dari sela-sela bibirnya. Si manajer cantik itu terkapar, terengah-engah, di atas tubuh Adama, menikmati sensasi disetubuhi tiga laki-laki dari benua hitam sambil berusaha mengendalikan lagi pikirannya. Dia merasakan tangan Adama menyentuh wajahnya.

“Bole juga tawarannya, Ibu Drani,” kata Adama sambil terengah-engah. “Kami bisa dapat ini kapan saja?”

“Bagaimana… hhmm… kalau setiap kali menang?” Drani menawarkan. Adama balik menawar, “Hmm… Bagaimana kalau sesudah tiap kali main? Any result?”

Drani berpikir sebentar, membayangkan kenikmatan yang dia sendiri dapatkan barusan, lalu otak profesionalnya kembali berjalan dan dia pun tidak mengalah. “Kalian dibayar supaya PSKBB juara, jadi bonus hanya dikasih kalau ada kontribusi. Hanya kalau menang. Take it or leave it. Setuju?”

Wajah Adama yang ganteng itu terlihat berpikir, lalu tersenyum.

“Deal,” katanya.

*****

Dua hari kemudian, dalam pertandingan liga, PSKBB menang 3-1 atas tim tamu dari kota sebelah. Ketiga gol dicetak lewat sundulan Ethan Rabiu setelah menyelesaikan operan akurat Adama Badou dari sayap kanan, sementara satu-satunya gol balasan tim tamu datang dari penalti pada menit-menit akhir pertandingan akibat pelanggaran sangat keras terhadap striker mereka oleh Francis Njona, palang pintu PSKBB. Njona memang dikartu merah karena pelanggaran itu, tapi sampai dia dikeluarkan, striker lawan sudah babak belur karena tidak mampu melewati penjagaan ketat si bek asal Kamerun. Pendukung PSKBB bersorak-sorai mengelu-elukan ketiga pemain asing tim mereka; berkat kemenangan ini, posisi PSKBB di klasemen naik menggeser tim “Singa” dari puncak. Suporter tim lawan yang tak bermodal tapi suka merusuh berusaha membuat keributan dengan mengajak tawuran, tapi pengamanan yang cukup ketat menggagalkan usaha mereka.

Seusai pertandingan, Manajer Andraningrum memberikan bonus kemenangan yang sudah dia janjikan kepada ketiga pemain asing itu. Selama satu jam di ruang manajer ketiganya dapat menikmati kembali tubuh sang manajer. Drani kembali terengah, merintih, menggeliat, mengerang seksi ketika menyerahkan tubuhnya untuk dinikmati tiga laki-laki yang sudah berjasa bagi tim sepakbolanya.

Hanya saja…

Ketika Drani keluar bersama-sama ketiga pemain asing itu dari ruang manajer, ternyata di luar ruang manajer semua pemain PSKBB yang lain (semuanya pemain lokal) dan pelatih sudah menunggu.

Sutiono, kapten PSKBB dan penjaga gawang, membuka pembicaraan.

“Bu Drani. Saya rasa kita semua perlu kejelasan soal gaji. Tadi kami sudah main sebaik-baiknya, jadi bisa menang. Rasanya nggak fair kan kalau kami capek-capek usaha tapi gaji ditunda-tunda terus. Nah, kemarin saya habis ngobrol sama Adama, tentang bonus yang Bu Drani tawarin…”

TAMAT

Slutty Wife Tia 5: Pengakuan Tia

SLUTTY WIFE TIA 5: PENGAKUAN TIA

SINOPSIS
Trauma setelah pengalaman buruknya akibat diciduk aparat, Tia menemui seorang psikolog untuk meringankan beban hatinya. Tapi…

Story codes
Ff, cons, dom, toys

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.

CREDITS
Terima kasih untuk Mr. Shusaku (KisahBB) yang memilihkan judul seri Slutty Wife Tia. Juga terima kasih kepada Dr. H dan isenk2 atas diskusinya.

Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.

Slutty Wife Tia 5 Pengakuan Tia
-Ninja Gaijin-

-ringkasan cerita sebelumnya-
Tia bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP Bram. Atas saran Citra kakak iparnya, Tia mencoba mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram, menjadi lebih seksi dan binal. Pada suatu malam, Mang Enjup, atasan Bram, mampir ke rumah dan menghipnotis Tia. Sesudahnya, kepribadian Tia berubah menjadi perempuan penggoda… Akibat perubahan itu, Tia sempat benar-benar disangka pelacur dan diciduk aparat.

*****

Tia

Menjelang malam di rumah Tia.

Tia duduk sendirian di sofa, merangkul kedua lututnya sendiri sambil menundukkan kepala. Sudah hampir seminggu berlalu sejak insiden salah tangkap terhadap dirinya dan Citra yang menyebabkan mereka berdua terpaksa melayani sekelompok aparat.

Tapi apa benar terpaksa?

Itulah yang membuat Tia sudah tersiksa secara batin selama seminggu. Tia tak tega menceritakan kepada Bram apa yang terjadi di kantor aparat bersama Gde dan anak buahnya. Bukan cuma karena Gde mengancam akan membeberkan kejadian salah tangkap itu kalau Tia cerita ke siapa-siapa. Tapi lebih karena rasa bersalah Tia sendiri.

Tia ingat bahwa malam itu, dia dengan sengaja dan sadar menyanggupi permintaan Gde untuk melayaninya layaknya suami-istri. Memang, saat itu dia tak pikir panjang karena ingin menyelamatkan Citra, tapi setelah semuanya selesai, barulah Tia menyadari bahwa yang diperbuatnya tetap tak pantas. Dia adalah istri Bram… hanya Bram yang berhak menikmati tubuhnya. Dia menyadari bahwa ada yang berubah dalam dirinya, dan beberapa minggu lalu dia khilaf ketika dalam suatu hari dia bermain api dengan si tukang sayur, Pak Kumis, dan dua pengamen, Janu dan Fi. Tia sudah bertekad akan menjaga kehormatannya sebagai istri, namun ternyata dia tak mampu menahan godaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, mulai dari dorongan untuk menggoda para karyawan di kantor, berpenampilan seksi ketika di mall, bahkan ketika seharusnya dia bisa menjaga kehormatan waktu dipaksa Gde.

Ya, Tia sedang merasa lemah dan bersalah kepada Bram. Tia juga takut rumahtangganya dengan Bram akan tergoncang kalau Bram tahu apa yang terjadi.

Seminggu itu Tia tak banyak bicara, dan sering menangis. Bram bingung dibuatnya. Awal-awalnya, Bram berkali-kali berusaha menghibur Tia dengan berbagai cara, dari membelikan baju baru sampai mengajak makan di luar, tapi Tia tetap murung.

Tia juga sudah seminggu tidak menanggapi ajakan Bram untuk berhubungan seks. Ada sedikit trauma yang hinggap dalam benak Tia; tiap kali Bram mendekatinya dan berusaha berintim-intim, misalnya dengan merangkul dan mencium, Tia selalu teringat kembali akan kasar dan brutalnya Gde serta anak buahnya. Jadilah dia selalu menolak dengan halus. Bram bisa merasakan istrinya sedang bermasalah, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa ketika Tia tidak merespon semua usahanya.

Telepon berdering. Tia menjawabnya.

“Halo…”

“Halo sayang,” rupanya Bram. Terdengar berisik melatarbelakangi suara Bram.

“Aku mesti pulang malam lagi hari ini,” kata Bram.

“Ya udah, aku tiduran di ruang tamu saja Mas, nunggu Mas Bram datang,” kata Tia dengan nada datar.

Percakapan itu berakhir tanpa emosi: Bram mengucapkan rasa sayang dan dijawab oleh Tia, seolah berbasa-basi. Di ujung lain jalur percakapan itu, Bram menutup hubungan telepon dan kembali ke apa yang sedang dilakukannya. Lagi-lagi dia berada di satu klub malam, bersama Mang Enjup, dua orang lagi anggota DPRD yang sedang mereka lobi untuk menggolkan proyek, berikut beberapa wanita penghibur berpakaian seksi yang merubung keempat laki-laki itu, berharap ikut kecipratan sedikit dari deal proyek yang pastinya bernilai sangat besar.

“Aya naon, Bram?” tanya Mang Enjup sambil merangkul salah satu pramuria.

“Tia, Mang…” keluh Bram. “Kayaknya dia ada masalah, tapi nggak mau cerita, udah seminggu dia nggak mau ngomong banyak.”

Mang Enjup tertarik mendengar nama Tia disebut. Sudah agak lama sejak terakhir kali dia bertemu Tia. Dan Mang Enjup belum lupa dengan niat busuknya terhadap Tia…

Tentu saja, Mang Enjup tidak akan menunjukkan itu semua di depan Bram. Laki-laki tua cabul itu sudah sangat berpengalaman. Jadi dia hanya memberi saran.

“Bram,” kata Mang Enjup, “Gimana kalo si Tia disuruh ke psikolog aja? Siapa tau kalau ke orang yang ahli, Tia mau cerita. Sukur-sukur masalahnya bisa dibantu.” Mang Enjup merogoh kantongnya, membuka dompet, mencari-cari sesuatu di dalamnya, lalu akhirnya mengambil satu kartu nama putih dengan tulisan warna merah dan biru.

“Ini ada kenalan Mang. Psikolog ahli biarpun masih muda. Coba ajah kamu ajak Tia ketemu dia,” kata Mang Enjup.

Bram melihat nama yang tertulis di kartu itu. Dr. Lorencia Partomo, M.Psi. Spesialis Trauma Psikologis.

Mungkin bisa dicoba, pikir Bram. Dikantonginya kartu nama Dr. Lorencia.

*****

“Sayang… kamu mau dengar saranku nggak?” kata Bram pada pagi berikutnya, ketika sedang sarapan bersama Tia.

“Saran apa, Mas?” ujar Tia.

“Aku tahu ada yang ngganggu pikiran kamu… tapi kamu sepertinya nggak bisa cerita ke aku, atau Citra, atau keluarga kita. Iya kan?” Bram melanjutkan. “Sebenarnya aku pengen banget bisa bantu kamu langsung, apalagi aku kan suamimu, harusnya kita bisa beresin semua masalah kita sama-sama, yang.”

Tia meringis mendengar kata-kata ‘aku kan suamimu’, yang dirasa menohok, karena sangat berkaitan dengan dilema hatinya. Dia diam saja.

“Kalau kamu nggak bisa bicara dengan aku… Bagaimana kalau dengan yang profesional aja? Aku dikasih info tentang psikolog. Siapa tahu dia bisa bantu kamu.” Bram menunjukkan kartu nama Dr. Lorencia.

Tia memperhatikan kartu nama itu. Spesialis Trauma Psikologis. Dan perempuan. Orang ini profesional, jadi pasti akan menjaga rahasia. Dan dia juga tidak ada kepentingan, jadi semestinya Tia tak usah takut konsekuensi macam-macam, ketimbang kalau dia cerita ke suaminya sendiri. Mungkin bisa dicoba…

Bram tahu-tahu sudah berada di samping Tia, merangkul dan membelai rambut Tia, lalu mengecup lembut pipi istrinya. Tia merinding, masih belum bisa menghilangkan trauma-nya.

“Kamu mau, kan?” bisik Bram mesra. “Aku pengen lihat kamu senyum lagi seperti biasa, nggak murung terus seperti ini. Kalau kamu mau, sekarang juga kita ke tempat dia. Dia praktek pagi. Aku bisa antar kamu ketemu dia sambil berangkat ke kantor.”

“Mas…” kata Tia sambil menoleh. Jawaban Tia disampaikan berupa anggukan kepala.

*****

Pagi itu, ketika berangkat bersama Bram, Tia belum bisa tersenyum lepas. Tapi siapa tahu orang yang akan ditemuinya bisa membantu…

Tempat praktik Dr. Lorencia Partomo terletak di satu rumah mewah, agaknya rumah pribadi sang psikolog spesialis. Bram dan Tia masuk dan disambut asisten Dr. Lorencia.

“Sudah ada janji?” tanya si asisten.

“Ya, kemarin malam saya sudah buat janji jam 9,” kata Bram. “Atas nama Tia.”

“Oke. Sebentar ya Pak,” kata si asisten, yang lantas menggunakan interkom. “Bu Loren, yang perjanjian jam 9 sudah datang.”

“Suruh langsung masuk saja,” jawab suara di interkom.

Bram menengok ke Tia. “Kamu nggak apa-apa kan sendirian, yang?” tanyanya.

“Nggak apa-apa, Mas…” kata Tia pelan. “Nanti kutelepon kalau sudah selesai.”

“Oke, aku berangkat dulu ya,” kata Bram yang kemudian mengecup kening istrinya. Wajah Tia tetap tanpa ekspresi. Bram kemudian meninggalkan Tia dan berangkat ke kantor.

Si asisten mengarahkan Tia menuju ke satu pintu besar, dan membukakan pintu itu. Tia masuk sendirian ke ruangan di belakangnya.

Ruang praktik Dr. Lorencia terbilang besar dan mewah, dengan meja jati ukir yang terlihat mahal di tengah-tengah, beberapa kursi antik, dan satu sofa besar. Dindingnya tertutup kertas dinding berwarna kuning muda, dihias beberapa lukisan, antara lain satu lukisan pemandangan dan satu lukisan perempuan Bali yang bertelanjang dada. Terlihat juga beberapa pot tanaman dan rak buku. Lantai marmernya sebagian tertutup permadani empuk. Tia mencium semacam wewangian di dalam ruangan itu; baunya tidak biasa, tapi menenangkan. Di samping ruangan itu ada satu pintu tertutup.

Di balik meja jati, di kursi putar yang besar dan nyaman, duduklah Dr. Lorencia Partomo.

Dr. Lorencia

Dr. Lorencia memandangi perempuan yang baru masuk ke kantornya. Tia yang bertubuh sintal, tidak terlalu pendek maupun tinggi, berumur dua puluhan pertengahan, dengan rambut panjang yang digerai dan wajah cantik dipoles make-up tipis (sejak shock, Tia tidak lagi berdandan tebal seperti sebelumnya). Wajah Tia terlihat tak santai, bibirnya tak sekalipun tersenyum.

Tia memandangi Dr. Lorencia dan tidak bisa tidak mengagumi sang spesialis. Dr. Lorencia adalah perempuan yang sangat cantik, mengenakan kacamata berbingkai warna emas, kira-kira beberapa tahun lebih tua daripada Tia, mungkin seumuran Citra. Rambut tebal Dr. Lorencia yang diwarnai pirang gelap seperti madu dikepang dan dijadikan sanggul besar di belakang kepala. Wajahnya berkesan tegas dan kuat, sedangkan tubuhnya yang agak montok namun tetap seksi itu terbungkus blazer, kemeja, dan celana panjang putih yang membuatnya kelihatan profesional—tapi Tia bisa melihat kemeja yang dikenakan Dr. Lorencia terbuka sedikit di bagian dada, dan dalaman hitam berenda yang dipakai di bawah kemeja itu terlihat menyelip, memberikan kesan seksi yang misterius. Tia bergerak ke arah kursi di depan meja Dr. Lorencia.

Dr. Lorencia berdiri dan menjabat tangan Tia sambil memperkenalkan diri.

“Ibu Tia, kan? Atau boleh kupanggil Tia saja? Panggil saja aku Loren,” katanya.

“Nggak apa-apa nih?” tanya Tia malu-malu. “Apa nggak sebaiknya Bu Loren atau Mbak Loren…”

“Jangan, jangan. Loren aja. Biar kita bisa lebih akrab,” kata Dr. Lorencia—Loren—dengan ramah. Tia merasakan tatapan mata Loren yang amat tajam dan kata-katanya yang berirama. Sekilas Tia terpikir tentang seseorang, tapi dia tidak bisa mengingat siapa yang tingkahlakunya mirip dengan Loren.

“Silakan duduk,” kata Loren. “Jadi…”

Tia diam saja, tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.

“Masih bingung kenapa ketemu saya?” ujar Loren. “Nggak apa-apa. Suamimu sudah cerita sedikit tentang keadaan kamu. Dia rasa kamu ada masalah yang nggak bisa kamu ceritakan ke dia, betul kan?”

“Nggg…” Tia ragu-ragu untuk menjawab. Dia belum tahu apa yang diceritakan Bram ke si psikolog.

“Nggak usah ragu-ragu. Aku juga sebenarnya belum tahu kok apa masalahnya. Tapi kalau Tia mau cerita, mungkin bisa kubantu bereskan masalah itu. Dan apapun yang diceritakan di ruang ini, nggak akan keluar. Kode etik. Rahasia pasien harus dijaga,” Loren menjelaskan. “Gimana?”

Tia terus menatap wajah Loren yang cantik dan terlihat menenangkan itu. Pelan-pelan, Tia mulai merasa bisa percaya dengan si psikolog. Loren berdiri dari kursinya dan berjalan ke samping Tia. Si psikolog lalu menepuk bahu Tia.

“Tia, kita pindah tempat ya? Coba kamu tiduran di sofa itu. Kalau kamu santai, kamu bisa cerita dengan lebih enak,” bisik Loren.

Ketika bahunya ditepuk, Tia merasa pikirannya kosong. Mirip ketika waktu itu…

“Ya…” Tia mengiyakan saran Loren, lalu berdiri dan menuju sofa besar di sebelah meja Loren. Loren berjalan di sampingnya. Di sebelah sofa itu ada kursi. Loren duduk di kursi itu sementara Tia berbaring di sofa.

“Oke…” kata Loren. “Sekarang kamu kosongkan pikiran. Posisimu sudah enak belum? Kalau belum, cari posisi yang enak. Anggap aja sedang tiduran di ranjang sendiri. Santai saja. Santai… Jangan mikir apa-apa dulu. Apapun masalah Tia, lupakan saja dulu. Nikmati aja dulu posisi seperti ini, tenang, hening, damai…”

Tia mulai nyaman mendengarkan sugesti dari Loren. Dia bisa melemaskan otot-otot bahu dan punggungnya, mengendorkan ketegangan pikirannya, hanya dengan berbaring di sofa besar itu dan mendengarkan kata-kata Loren. Si psikolog duduk di sampingnya, dengan posisi menghadap dirinya. Tangan Loren menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia. Suasana damai, sofa empuk, gerakan teratur yang dipandu Loren, suara Loren yang lembut, serta wangi ruangan yang tak biasa tapi menyenangkan itu semuanya membuat Tia merasa aman. Dan mengantuk.

“Bagaimana, Tia? Sudah merasa santai? Nyaman? Rileks? Sekarang…”

Mendadak Loren menarik tangan Tia dengan gerakan menyentak.

“Tidur!”

Sontak mata Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Tia tertidur atas perintah Loren, tapi sebenarnya itu bukan tidur. Loren terus menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia.

“Tia, Tia… bisa dengar kata-kataku? Kalau bisa dengar, tolong buka mata.”

Mata Tia terbuka kembali. Tatapannya kosong.

“Bagus. Sekarang dengar semua kata-kataku. Kalau ngerti, tolong kedipkan mata.”

Tia berkedip. Loren tersenyum. Tia sudah berada dalam keadaan hipnotik.

“Tia. Mulai sekarang, kalau kamu bicara denganku, kamu tidak akan ragu-ragu bercerita. Kamu ngerti? Kalau ngerti tolong bilang ‘Ya’,” kata Loren.

“Ya,” jawab Tia.

“Bagus. Kamu akan jawab semua yang kutanya tanpa kecuali, biarpun kamu selama ini malu untuk menceritakannya. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya,” Loren meneruskan sugesti.

Tanpa dapat melawan, kembali Tia menjawab ‘ya’.

“Bagus, Tia. Satu lagi. Semua saran yang akan kamu dengar dariku, akan selalu kamu ingat, bahkan kalau kamu belum setuju. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya.”

Lagi-lagi, “Ya.”

“Terima kasih Tia. Sesi terapi kita sekarang bisa dimulai dengan lancar. Sesudah ini kamu akan tidur sebentar, dan lupa kamu pernah mendengar kata-kata tadi dariku, tapi kamu tidak akan lupa apa-apa yang tadi sudah disampaikan. Begitu aku tepuk tangan sekali, kamu akan tidur lagi, lalu sesudah aku tepuk tangan dua kali, kamu akan bangun lagi seperti biasa.”

Loren bertepuk tangan satu kali. Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Lalu Loren bertepuk tangan dua kali dan Tia terbangun. Ketika terbangun Tia bingung.

“Em… tadi aku… ketiduran?” kata Tia.

“Itu tidak penting, anggap biasa saja,” kata Loren, dan berkat pengaruh sugesti barusan, kebingungan Tia langsung hilang. “Nah… Tia, silakan ceritakan masalahmu.”

Tia sudah merasa nyaman berbaring di kantor Dr. Lorencia. Dia merasa sangat percaya kepada si psikolog yang cantik itu. Dia tak lagi ragu untuk berbicara. Entah kenapa…

Mulailah Tia bercerita.

“Aku bingung, Ren… Aku ngerasa sedang berubah,” kata Tia lirih.

“Berubah? Jadi apa?” balas Loren.

“Jadi…” Tia masih sulit mengatakannya. “Jadi…”

“Jangan ragu, Tia… Kamu bisa cerita apa saja ke aku… Nggak apa-apa,” kata Loren dengan nada suara sugestif.

“Jadi…”

“Bilang aja, Tia, jangan takut…” kata Loren sambil mengusap rambut Tia seolah ibu yang menenangkan anaknya.

“Jadi perempuan nggak bener…” nada bicara Tia berubah berat seolah dia tak rela menyebut dirinya sendiri dengan istilah demikian. “Jadi seperti… pelacur.”

“Oohh,” Loren menanggapi. Suaranya bernada tertarik. “Kenapa seperti itu, ya? Coba ceritakan, Tia.”

“Ungh…” Tia ragu-ragu. Loren kembali membelai rambut Tia dan berkata perlahan, “Jangan ragu-ragu, Tia, kamu bisa percaya aku. Ceritakan…”

Sentuhan dan ucapan Loren membuat Tia makin nyaman. Tia akhirnya mulai bercerita.

“Awalnya waktu aku nemu foto-foto… perempuan lain di HP Mas Bram. Pelacur. Suamiku itu ternyata punya hobi jajan di luar. Tapi…”

“Stop,” Loren menghentikan cerita Tia. “Seperti apa foto-fotonya? Jelaskan.”

“Emm… mungkin ada 2 atau 3 cewek yang berbeda. Di foto-foto itu mereka berpose… seksi.”

“Seperti apa?”

“Ada yang seperti mau nyium kamera… ada yang pamer buah dadanya… ada yang tiduran sambil pake lingerie…”

“Ceritakan penampilan mereka,” Loren melanjutkan.

“Ya seperti biasanya perempuan nggak bener… Baju seksi, tank top, rok mini, malah ada yang difoto cuma pakai bra dan celana dalam… Ada yang rambutnya dicat pirang… Semuanya pake make-up tebal, bedak tebal, lipstik merah, blush on…”

“Oke. Sekarang teruskan cerita kamu. Sesudah kamu lihat foto-foto itu, gimana?”

“Aku ngadu ke Kak Citra,” kemudian Tia menceritakan siapa itu Citra. “Kata Kak Citra, Bram emang suka jajan dari dulu. Terus… Kak Citra ngasih saran… katanya aku suruh tiru saja penampilan mereka supaya Bram nggak usah lagi nyari ke luar.”

Sementara Tia bercerita, Loren terus memandanginya sambil membelai rambutnya dan sesekali mengeluarkan komentar pendek seperti “Hmm” atau “Terus?”

“Jadi aku coba sarannya Kak Citra. Dia dandani aku supaya jadi… seperti mereka. Terus kutemui Mas Bram…” Tia berhenti.

“Terus?” Loren mendorong Tia untuk melanjutkan. “Ayo dong cerita.”

Sepintas Tia tersenyum kecil, mukanya memerah. Tapi kemudian mukanya kembali ke ekspresi kosong semula.

“Yang jelas malam itu sih kami… bercinta… nggak seperti biasanya, emmm rasanya lebih… hebat aja dari sebelumnya,” bisik Tia lirih. “Tapi Mas Bram juga waktu itu seperti berubah… kelihatan sekali dia lebih nafsu.”

“Oke…” kata Loren, “Jadi awalnya begitu. Terus?”

“Mas Bram minta aku terus seperti itu… jadi kucoba saja terus. Awalnya risi dan nggak biasa, mesti dandan terus dan bergenit-genit, dari dulu aku nggak pernah begitu. Tapi…” Tia mencoba mengingat sesuatu, tapi yang ingin diingatnya tak kunjung muncul. “Ada satu malam, waktu itu aku dandan seksi untuk Mas Bram, dan dia pulang diantar teman-teman kantornya karena mabuk… nggak ingat apa yang terjadi sesudah itu, tapi rasanya dia semangat sekali bercinta malam itu biarpun mabuk. Nah…”

“Ayo teruskan.”

“Rasanya sesudah malam itu aku berubah… aku jadi lebih terbiasa tampil seksi, nggak lagi malu-malu… Tapi…”

“Ada apa?”

“Kadang aku seperti lepas kendali,” suara Tia kembali melemah setelah sebelumnya naik karena bersemangat. “Aku… aku nggak tahu harus cerita atau nggak… aku…”

“Ayo cerita, Tia… Kalau kamu nggak cerita, masalahmu nggak akan selesai…” bujuk Loren.

“Pernah dalam satu hari aku nggoda beberapa orang sekaligus… dan mereka orang asing… bukan Mas Bram. Tukang sayur langganan. Pengamen yang datang ke rumah.”

“Waah…” Loren berkomentar. “Apa yang kamu lakukan ke mereka?”

“Umh…” Tia ragu, mukanya memerah. “Aku… kalau ke Pak Kumis itu nggak sengaja… waktu itu aku beli terong dari dia, terus…”

“Terus?”

“Umm… aku main-main dengan terong itu… Nggak tahunya Pak Kumis masuk rumah mergoki aku… tapi aku malah jadi… jadi…”

“Kamu apain dia, Tia?”

“…kusepong dia…”

“Hmm…” Loren berkomentar tanpa kaget, tapi tetap terdengar tertarik. “Terus dengan pengamen tadi? Gimana tuh?”

“Pengamennya berdua, masih ABG… salah satunya aku kenal. Jadi kuajak masuk dan kukasih makan… tapi satunya usil, dia nyolek bokongku…”

“Terus? Kamu marah nggak?”

“Ungh… anehnya… enggak. Akhirnya malah kuladenin mereka berdua… yang satu kuisep… yang satu lagi kubiarkan gesek-gesek kemaluannya ke pantatku sampai dia keluar…”

“Oke… Tapi kamu nggak sampai berhubungan seks dengan mereka kan?”

“Iya… syukurnya…” kata Tia.

“Kenapa syukurnya?” tanya Loren.

“Soalnya waktu itu aku seperti ingat… aku istrinya Mas Bram. Aku cuma boleh setubuh sama Mas Bram…”

“Oh gitu. Ceritamu masih lanjut kan Tia?”

“…masih.”

“Tolong lanjutkan.”

“Sesudahnya… suatu hari aku ke kantor bareng Mas Bram. Aku sengaja dandan dan pakai baju biasa. Tapi… aku tetap dilihat orang. Semua orang nengok kalau aku lewat.”

“Gimana perasaan kamu, Tia, waktu diperhatikan orang kantor?”

“…kok… aku seperti senang, ya?”

“Wajar, Tia,” kata Loren. “Kamu cantik.”

“Aku… cantik?” Pujian Loren membuat Tia tersipu. Memang seperti biasanya perempuan, Tia senang dipuji, apalagi mengenai kecantikannya.

“Iya…” Loren kembali membelai rambut Tia, dan kini malah terus membelai pipi Tia. “Kamu cantik… makanya semua orang suka melihat kamu. Semua orang itu. Orang kantor. Pengamen. Tukang sayur. …Aku juga, Tia…”

Tia berdebar-debar ketika Loren berkata seperti itu. “Aku pengen cium kamu, Tia,” pinta Loren. Tanpa menunggu jawaban, Loren langsung mencium pipi Tia, tepat di ujung bibir Tia. Tia merasa geli seperti kesemutan, dan perasaan itu makin menjadi ketika Loren melanjutkan melumat bibir Tia, memainkan lidahnya dalam mulut Tia. Untuk pertama kalinya Tia merasakan ciuman mesra dengan sesama perempuan, mulut bertemu mulut. Loren melepas bibir Tia, kemudian kembali bicara.

“Kamu senang kan dikagumi orang, Tia?” kata Loren.

“…Iya…” jawab Tia. Loren tersenyum, sugestinya masuk sendiri tanpa dilawan. Dilihatnya mata Tia setengah terpejam, membayangkan nikmatnya ciuman barusan.

“Terusin ceritamu,” kata Loren.

“Sesudah dari kantor aku ketemu Kak Citra di mall… Kak Citra cantik banget… dia juga dilihatin semua orang… Malah lebih hebat lagi, orang sampai meleng karena gak bisa lepas matanya dari Kak Citra. Aku… iri.”

“Hmm… Iri? Iri karena Kak Citra lebih cantik?”

“Iri karena Kak Citra lebih menarik perhatian… tapi sesudah itu aku di-makeover, terus ganti baju juga…”

“Terus gimana? Kamu masih iri?”

“Terus… kami… Kami…” Tia seperti susah menceritakan lanjutannya. Jelas itu karena yang terjadi adalah dia dan Citra diciduk aparat, lalu digilir. Bukan sesuatu yang bisa diceritakan dengan mudah, bahkan di bawah pengaruh hipnotis Loren. Jadi Loren menaikkan tingkat pengaruhnya.

“Susah ya ceritanya?” kata Loren sambil tangannya mulai hinggap di tubuh Tia. Loren mulai menyentuh dan meremas-remas payudara Tia. Tia pagi itu mengenakan kemeja merah jambu dan rok hitam selutut. Sementara tangan kanan Loren mencopot satu dua kancing kemeja Tia, tangan kiri Loren menyelinap ke dalam rok Tia. Loren kemudian menyelipkan tangan kanannya ke dalam baju Tia, dan langsung menyentuh kulit payudara Tia. Dia mencari-cari dan menemukan pentil Tia yang sudah terasa keras. Sementara tangan kiri Loren mulai meraba-raba daerah kemaluan Tia. Loren menemukan sesuatu di sana.

“Hmmm… Tia, kamu ngerasa basah nggak?” bisik Loren.

“Iya…” kata Tia jujur.

“Basah mananya, Tia?” Loren mendorong lagi.

“Basah di…” Tia berhenti, lalu berbisik, “…aku malu nyebut nya…”

“Memek kamu basah, Tia,” kata Loren tegas sambil mencubit klitoris Tia, membuat Tia memekik lirih, “Aauhh!!”

“Enak kan, Tia?” tanya Loren.

“Enak Ren…” jawab Tia.

“Tahu nggak kenapa itu enak?”

“…”

“Soalnya kamu terangsang sewaktu kamu cerita pengalaman seks kamu, Tia… Mulai sekarang, kamu bakal terangsang kalau kamu cerita… Ngerti, Tia?”

“Iya… ahhh…”

“Bagus. Kamu mau cerita semuanya kan, Tia?”

“Iya…”

“Semuanya akan kamu ceritakan, Tia. Dan kamu mau cerita apa saja, karena itu enak, kan?”

“Ya…”

“Oke… Tia… Ayo cerita apa yang terjadi sesudahnya.” Tangan Loren tetap di kemaluan Tia, membuat celana dalam Tia makin basah dengan cairan kewanitaan Tia.

“Ah… Kami pulang… tapi terus ditangkap aparat…”

“Ditangkap? Hmm. Cerita terus deh…. Eh tapi tolong ganti posisi. Duduk tegak ya. Nyender aja,” Loren membantu Tia bangun, sehingga Tia duduk bersender di sofa, dengan kedua kaki kembali menjejak lantai. Loren duduk di depan Tia, dan memegang kedua lutut Tia. Pelan-pelan Loren menggerakkan kedua lutut Tia saling menjauh, membuat pasiennya mengangkang. Tia sudah pasrah menjadi boneka Loren yang bisa diposisikan semaunya. Si psikolog cantik kemudian turun dari kursinya, lalu berlutut di depan selangkangan Tia. Dia menyibak rok Tia dan kemudian mengesampingkan celana dalam Tia yang sudah basah.

“Cerita terus, Tia… Aku dengar dari bawah sini,” kata Loren sambil mulai menggarap vagina Tia, dengan satu jilatan dari bawah ke atas sepanjang rekahan itu. Semestinya Tia bingung, karena jelas praktik psikolog normal bukan dengan menggerayangi dan bahkan melakukan seks oral dengan pasien… tapi Tia sudah keburu menganggap wajar semua yang Loren lakukan, karena sugesti tadi.

“Aku… umh ditangkap karena disangka… pelacur… Aku dan Kak Citra dibawa ke kantor… terus… uhh…”

“Emm… *lep lep* Terus apa, Tia?” kata Loren sambil terus menjilati gurihnya kemaluan Tia. Loren mulai menjamah klitoris Tia pula… menyedot dan mencium.

“Aahh… Terus Kak Citra masuk ketemu komandan mereka… aku ditinggal lama… waktu kutengok… ternyata Kak Citra lagi digarap sama mereka…”

“Gimana perasaanmu waktu melihat Kak Citra digarap, Tia?” Loren mengatakan itu semua dengan sangat tenang, nyaris tanpa perasaan.

“Aku kasihan… Kak Citra kesakitan… Dia… dia lagi disetubuhi merekaa… di… pantatnya… Pantatnya di…”

“Dientot sama mereka?” Loren membantu.

“Iya… pantat Kak Citra dientot sama mereka… Aku minta mereka stop… Kasihan Kak Citra… ahh…hhh” Tia jelas keenakan dioral oleh Loren yang rupanya ahli memberikan kenikmatan kepada sesama perempuan. “ENGG!!” Tahu-tahu saja Tia orgasme ketika vaginanya disodok lidah Loren, membanjiri mulut Loren dengan cairan cinta.

“Ti-a,” panggil Loren dengan nada naik-turun, “kok kamu orgasme sih? Kan kamu lagi kasihan sama Kak Citra? Hmm…”

“Awh… ah…” Tia tak bisa menjawab, masih kaget karena mendadak orgasme.

“Oo kamu sebenarnya suka ya ngelihatnya… sampai kamu terangsang sendiri… Terus gimana ceritanya?”

“Suka? Hh… ehh…” selagi dia mulai pulih, baru Tia bicara lagi, “Aku… tawarin buat gantiin Kak Citra… daripada Kak Citra kecapekan… biar aku yang dientot sama mereka…”

“Waktu itu kamu sampai basah seperti sekarang, kan…” sugesti Loren.

“Iya…?” Tia merasa aneh karena ceritanya diubah Loren. Tapi dia tak kuasa menolak Loren. Ditambah lagi akal sehatnya sedang kewalahan sehabis dilanda orgasme mendadak.

“Iya Tia… kamu basah karena terangsang melihat kakakmu digilir sama aparat… Lalu kamu minta gantian? Biar kamu ganti dientot sama mereka?”

“Ehm… iya?”

Loren bangkit lalu tiba-tiba menjambak sebagian rambut Tia. Namun gerakannya tetap luwes, tidak sampai membuat Tia sakit. Dan anehnya Tia tak melawan, dia seolah sudah jadi boneka yang bisa digerakkan Loren seenaknya. Loren mendorong kepala Tia ke samping sampai Tia terempas di dudukan sofa.

“Kamu nakal, Tia…” kata Loren, pelan tapi tegas. “Nakal… Kamu suka ya, keseksian badanmu dikagumi laki-laki? Kamu suka ya, kalau laki-laki terangsang gara-gara kamu goda? Kamu pengen ngentot sama siapa aja? Sama banyak orang sekaligus?” Sambil mengatakan semua itu, Loren kembali memainkan tangannya di klitoris dan vagina Tia, merangsang alat kelamin yang baru saja orgasme. “Iya kan, Tia? Ayo jawab!”

“Ah, uhh, ah… iyaahhh…” Tia mengiyakan, tanpa sadar apa yang dikatakannya.

“Terus gimana ceritanya, Tia…” Loren mengurangi intensitas godaannya, memberi kesempatan bagi Tia untuk bercerita.

“Aku… awalnya aku nggak mau… tapi terus aku kasih mereka… Mereka kusepong…” (“Apanya?” tanya Loren sambil langsung memberi jawaban, “Kontolnya?”) “Kontol… nya…” lanjut Tia, “terus aku buka baju… komandannya… ngentotin aku… badannya besar… kontolnya juga… sampai sesak ditindih dia… ah… Ren… tambah basah nih…”

Loren terus membuat Tia terangsang, membangun asosiasi antara kenikmatan dengan cerita mengenai pengalaman seksual. Si psikolog terus mendengarkan cerita Tia.

“Tapi nya enakh… ah… enak banget digenjot dia… aku sampai keluar… enak… terusnya yang lain ikutan juga… aku dientot juga… sekali dua… ahh… di pantat juga…” (sambil Loren mulai main di lubang anus Tia) “mereka muncrat di dalam… di luar… enak… ah!!!” Orgasme lagi-lagi melanda Tia.

“Hmm… terus?”

“Ahah… hh… ah… habis itu… selesai… aku diantar pulang sama mereka…”

“Ooh gitu… Terus gimana?”

“Mas Bram pulang… aku… aku… ehhh!?” Tia tiba-tiba seperti bingung. “Aku… aku bingung… aku dientot orang lain… aku… ga berani cerita sama Mas Bram…uuhhh…. Hhuuu…”

Tiba-tiba Tia menangis. Loren menyimpulkan, di situlah trauma Tia. Dia dengan tegas berbicara ke Tia, dan berhenti menggerayangi Tia.

“Hmm… jadi itu masalahnya? Kamu nggak bisa cerita sama suami bahwa kamu disetubuhi orang lain?”

“Iya…*hiks*” jawab Tia sambil terisak.

“Kenapa?”

“Aku… istri Mas Bram… seharusnya nggak boleh tidur dengan orang lain… tapi…” kata Tia di sela-sela nafasnya yang sesenggukan.

“Tenang, Tia. Berhenti menangis,” Loren kembali membelai Tia dan Tia pun terdiam. “Kamu merasa bersalah, Tia?”

“Iya…”

“Tapi kamu merasa apa waktu disetubuhi mereka, Tia?”

“Ahh,” ketika Tia mau menjawab, Loren menundukkan kepala dan mengecup lehernya. Loren juga membuka kancing kemeja Tia semua dan melepas kemeja Tia. “Enak kah?” tanya Loren.

“Iya…”

“Ya, Tia. Kamu ngerasa enak kok disetubuhi mereka. Sama aja kan dengan suami sendiri,” ujar Loren.

“Sama…? AHH!!” Jawaban Tia diganggu pagutan Loren ke bagian atas payudaranya. Selanjutnya Loren membuka BH Tia sehingga kini tubuh Tia dari pinggang ke atas sudah tak berbusana. Loren berhenti bicara dan memberi kenikmatan ke Tia dengan mulutnya di sepasang payudara Tia. Tia menggigit bibir, keenakan, kemaluannya kembali membanjir.

“Enak kan… Tia?” Loren membuka blazer dan kemeja putihnya, memperlihatkan bra seksi hitam berenda di bawah itu. Si psikolog juga membuka celana panjangnya, memperlihatkan sepasang kaki yang jenjang dan indah, serta G-string hitam. Kemudian Loren melucuti sisa pakaian Tia, rok dan celana dalam. Tia terbaring telanjang di sofa Loren, dan Loren kembali mencium bibir Tia. Lama, dalam, dan penuh nafsu. Tia terengah keenakan ketika Loren akhirnya melepaskan mulutnya, seutas liur menyambungkan mulut kedua perempuan jelita itu.

“Tunggu sebentar ya cantik…” ujar Loren mesra, lalu si psikolog beranjak ke mejanya, mengeluarkan sesuatu dari laci, dan kembali lagi. Loren memamerkan benda yang baru diambilnya kepada Tia. Tia membelalak melihatnya: sesuatu yang mirip celana dalam kulit, namun di bagian depannya terdapat dildo—mainan tiruan penis—berujung dua, yang kalau dipakai satu akan menghadap ke luar dan satu lagi ke dalam. Loren melepas celana dalamnya sendiri, lalu mengenakan celana dalam dildo itu. Tia melihat ekspresi lapar di wajah Loren ketika Loren memasukkan satu ujungnya ke dalam kemaluannya sendiri. Sungguh pemandangan yang ganjil, seorang perempuan cantik seperti Loren di hadapannya dengan hanya mengenakan bra dan celana dalam, tapi dengan batangan yang mencuat gagah di depan selangkangannya. Tia menahan nafas, melihat betapa penis palsu Loren begitu panjang dan besar dan keras, tak kalah dengan semua yang pernah dirasakannya.

Kedua perempuan itu pun kembali saling cium, Loren mengajak, Tia menerima. Tia mulai terbiasa mendapat sentuhan intim dari sesama perempuan, dalam pikirannya dia merasakan kenikmatan yang sama seperti dari Bram… atau dari semua pengalamannya dengan laki-laki.

“Tia… Jangan anggap aku perempuan. Anggap saja aku laki-laki yang punya penis, yang mau bercinta denganmu, ngerti? Tapi aku bukan suamimu,” kembali sugesti datang dari Loren. Loren tersenyum nakal selagi dia mengacak-acak pikiran pasiennya yang cantik itu. Harus diakui, dia mulai tertarik dengan Tia. Dan andai saja dia bisa berbuat semaunya, dia sendiri ingin mencoba merebut Tia dari siapapun yang memilikinya. Tapi…

Loren kembali menggunakan mulutnya pada vagina Tia, mencium dan menjilat dan memastikan kewanitaan Tia cukup basah. Tia merintih keenakan, apalagi ketika Loren mengganti mulut dan lidahnya dengan satu jari, lalu dua jari. Kemudian Loren mengangkangi perut Tia, sengaja memamerkan penis palsu di selangkangannya, dengan panjang 20cm dan garis tengah hampir 3 cm… mungkin sebesar penis orang bule atau Afrika. Yang tercolok ke dalam vagina Loren sendiri tak sepanjang itu. Tia gemetar membayangkan batang itu memasuki tubuhnya… dan itu akan terjadi sebentar lagi…

Setelah memberi pelumas pada penis palsu itu Loren menempatkan ujungnya di bukaan kemaluan Tia, lalu pelan-pelan mendesak masuk. “UNNGGHH!” jerit Tia tertahan. Loren juga merintih selagi desakan dari depan membuat bagian yang tertancap dalam kemaluannya sendiri bergeser. Pelan-pelan, senti demi senti, batang itu melesak ke dalam vagina Tia. Tia melotot, matanya menganga, dilanda rasa sakit bercampur nikmat akibat penyusupan benda berukuran tak senonoh di kemaluannya. Sampai menitik air mata Tia dibuatnya. Loren tak sampai memasukkan seluruh batang itu dan mulai bergerak maju mundur, awalnya pelan, makin lama makin cepat. Loren menatap mata Tia; Tia seolah akan gila terlanda nafsu. “Enak kan, Tia?” kata Loren sambil menggenjot pasiennya.

“AAHHH!! AHKHH!! AIAAHH!!” Tia tak menjawab, hanya bisa menjerit-jerit keenakan. Tubuh Tia menggeliat-geliat hebat, tapi tak mampu ke mana-mana karena tubuh Loren tepat di atasnya; Loren membungkam mulut Tia dengan ciuman selagi Tia mengalami orgasme ketiga.

“OOHHhHhMMmMMm!M!!!”

Tapi Loren tak berhenti, dia terus menghajar vagina Tia tanpa ampun sampai-sampai Tia orgasme untuk kedua kalinya, susul-menyusul dengan orgasme sebelumnya.

Tia nyaris pingsan andai saja Loren masih mau terus melanjutkan, tapi si psikolog merasa sudah cukup dan dia menarik keluar penis palsu-nya dari dalam tubuh Tia. Tia terkapar kelelahan, keenakan setelah dua orgasme berturut-turut, pikirannya melayang ke mana-mana, rentan…

“Tadi enak kan, Tia…? Orgasme itu enak ya, Tia,” kata Loren sambil membetulkan posisi kacamatanya. “Kamu suka?”

“Ah… iya… hhh…” kata Tia lemah.

“Kamu tadi dibikin orgasme, bukan oleh suamimu. Bagaimana rasanya, Tia?”

“Emm… enak…”

“Sama aja kan? Sama-sama enak?”

“Iya…”

“Bagus… Sebenarnya nggak ada bedanya kamu orgasme karena suami ataupun orang lain… enak kan? Nggak ada salahnya… nggak ada bedanya,” Loren terus memberi sugesti.

“Nggak ada bedanya…” Tia mengikuti, tanpa sadar.

“Yang penting hanya orgasme… hanya kenikmatan… Pahami itu, Tia.”

“Ya…”

“Nikmati saja semuanya… Nggak usah pikirkan suami kamu… Pikirkan saja kenikmatannya… Kenikmatan itu tidak salah…”

“Ya…”

“Bagus,” kata Loren sambil mencium kening Tia. “Sekarang… pakai lagi bajumu,” perintah Loren. Loren sendiri juga melepas celana dalam dildo-nya dan kembali mengenakan bajunya. Setelah dia selesai berpakaian, dilihatnya Tia duduk manis di sofa, sudah kembali ke penampilan semula.

“Baik, Tia… sesudah ini kamu akan tidur sejenak, dan kalau bangun lagi kamu tidak akan ingat apa yang barusan kita lakukan, tapi kamu akan ingat semua saranku dan semua kenikmatannya. Kamu tidak akan lagi ragu-ragu, tidak akan trauma lagi. Ngerti?”

“Ya…”

“Bagus. Tidur, Tia… Tidur…” Kepala Tia tertunduk, tidur, “Kuhitung mundur dari sepuluh sampai satu, kalau sudah satu kamu akan bangun.”

“Sepuluh. Sembilan. Delapan. Tujuh. Enam… Lima… Empat… Tiga… Dua…”

“Satu.”

Tia membuka mata. Dia tersenyum, merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Dilihatnya Dr. Lorencia duduk di depannya, menggenggam tangannya.

“Gimana, sudah enakan?” tanya sang psikolog dengan ramah.

“Emm… iya… Ren…” Tia memang merasa beban pikirannya sudah lenyap. Dan entah kenapa, dia merasa sangat ingin bertemu suaminya, karena kangen. “Aku nggak tau, tapi kok rasanya aku sudah tentram ya…”

“Baguslah. Masalahmu sudah selesai. Kamu sudah bisa pulang… Nanti kalau masih ada masalah, jangan segan-segan mampir lagi… oke?”

Tia mengangguk, dan dia berterimakasih kepada Dr. Lorencia. Sebenarnya dia agak penasaran apa saja yang sudah dilakukan sang psikolog, tapi entah kenapa dia tak merasa perlu bertanya. Dia sudah merasa nyaman dan memang itulah yang dicarinya. Dia kemudian membereskan urusan yang masih tersisa kemudian meninggalkan rumah Dr. Lorencia.

*****

Bram di kantor sedang menunggu Pak Jupri alias Mang Enjup yang belum juga datang. Padahal ada beberapa pekerjaan yang memerlukan atasannya itu, tapi ke mana dia?

Sambil menunggu, Bram berpikir tentang Tia. Semoga Tia bisa pulih setelah bertemu psikolog itu…

Tapi Bram terpikirkan satu hal lagi.

Malam itu, malam ketika trauma Tia dimulai… Citra ada di rumah.

Citra pasti tahu sesuatu.

Bram merasa perlu bertanya.

*****
Tia belum lama pergi. Dr. Lorencia kembali duduk di belakang mejanya sambil membayangkan indahnya tubuh Tia yang sempat dicicipinya sebentar tadi.

“He, Loren, kamu jangan bayangin macem-macem ya. Tia itu buat Mang. Kita udah ada perjanjian,” kata sesosok manusia yang tiba-tiba muncul dari belakang Dr. Lorencia. Dia datang dari balik pintu samping ruang praktik Dr. Lorencia. Seorang laki-laki tua botak berperut buncit, yang sedang ditunggu oleh bawahannya di kantor. Mang Enjup.

“Yah, si Mang, gimana ya? Ternyata dia cakep… Boleh nggak kubikin dia jadi lesbong juga?” Lorencia menimpali.

“Hus. Jangan lah. Kalau yang lain sih silakan ajah… Yang ini nggak boleh, ya? Soalnya dia orang yang spesial buat Mang.” Mang Enjup mendekat dan merangkul Dr. Lorencia dari belakang.

“Emangnya aku enggak, Mang…?” tanya Lorencia manja.

“Ooo… pasti dong, Loren kan kesayangan Mang. Kalau nggak, mana mau Mang ajarin ilmu Mang ke Loren? Kamu istimewa, Ren. Nggak banyak awewe yg Mang cobain tapi udah ada bakat buat nerusin ilmu Mang.”

“Hehehe… Bilang aja waktu itu Mang kecele’ soalnya aku ga mempan digendam… Gapapa deh, yang penting aku jadi dapat ngewarisin ilmunya Mang.” Bertahun-tahun lalu, Lorencia, seorang sarjana psikologi, melamar kerja kepada Mang Enjup. Melihat parasnya yang cantik, Mang Enjup sempat mengisengi Loren dengan ilmu gendamnya, tapi entah kenapa, hipnotis Mang Enjup kurang mempan kepada Loren. Mungkin karena Mang Enjup berusaha membuat Loren tertarik kepada dirinya, tapi ternyata Loren punya kecenderungan lesbian sehingga tak mempan. Itulah yang membuat Mang Enjup menyangka Loren istimewa, dan karena rahasianya sudah terbongkar di depan Loren, Loren pun menuntut penjelasan serta imbalan, kalau tidak dia akan membongkar rahasia Mang Enjup. Akhirnya Mang Enjup mengajarkan ilmu gendamnya kepada Loren. Keduanya jadi akrab, dan terus berhubungan; Loren tak jadi bekerja kepada Mang Enjup dan memilih meneruskan studi dan menjadi psikolog praktik, dan ilmu hipnotisnya dia gunakan untuk membantu pasien. Tapi, sebagaimana Mang Enjup, Loren pun sekali-sekali menyalahgunakan kemampuannya itu.

Ketika Bram mengeluhkan Tia, Mang Enjup langsung menyambar kesempatan dan memberitahu tentang Dr. Lorencia. Sesudahnya Mang Enjup menjelaskan apa yang sudah dia lakukan kepada Tia, dan Loren menyanggupi untuk membantu.

Loren juga menceritakan semua pengakuan Tia kepada Mang Enjup. Mang Enjup terlihat senang mendengar semua petualangan Tia, apalagi ketika dia tahu pengaruhnya telah membuat Tia jadi lebih berani dan menggoda.

“Tapi Mang,” tanya Loren, “Emang mau diapain si Tia itu? Kan Mang udah dapet nyobain dia.”

“Ada rencana Mang buat dia. Rencana gede. Kapan-kapan Mang ceritain deh. Nanti kalau udah jadi.”

*****

Sepulang kantor, Bram disambut oleh Tia. Sekali lagi penampilan Tia membuat Bram melongo… Tia malam itu tampak seksi dengan babydoll transparan, rambut tergerai, make-up tebal namun menarik… dan dia menunggu Bram dengan penampilan seperti itu di depan pintu rumah!

“Mas Brammm….” Tia menyambut suaminya dengan ciuman mesra, lalu dia langsung menarik Bram ke dalam rumah. Sebelum Bram sempat berbuat apa-apa keduanya sudah bercumbu hebat.

Tapi Bram jadi curiga…

*****
BERSAMBUNG KE BAB 6

Jumat, 18 Juni 2010

Polwan Teraniaya

POLWAN TERANIAYA

SINOPSIS
Dalam suatu penggerebekan, seorang polwan justru jatuh ke tangan para begundal yang akan diringkusnya. Apa yang bakal dia alami?

Story codes
M/F, M+/F, 1st, anal, bond, humil, rape

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.

Ide cerita ini didapat dari beberapa cerita lain: dua yang ada di asstr dan tiga karya NightCreeper di greyarchive.

Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.

Polwan Teraniaya
-Ninja Gaijin-

Malam mulai larut di daerah rawan kota. Sekelompok polisi mengendap-endap di kegelapan, bersiap untuk memasuki suatu kompleks bangunan besar yang kelihatan terbengkalai. Dari luar kompleks itu mirip pabrik yang sudah ditinggalkan, namun sebenarnya sudah diketahui bahwa tempat itu dijadikan penampungan oleh sindikat perdagangan manusia.

Di antara para petugas yang ikut serta dalam penggerebekan itu, terdapat seorang polwan bernama Kiani Irawati, berpangkat Ajun Inspektur Satu. Aiptu Kiani termasuk petugas yang berprestasi; sementara kebanyakan polwan di satuannya ditempatkan di bagian lalu lintas atau administrasi, semangat dan keberanian Kiani membuatnya berhasil memasuki satuan reserse. Kerja kerasnya dalam menyidik dan memberantas kejahatan membuat pangkatnya cepat naik dan boleh dibilang memancing rasa iri dari sesama rekannya yang laki-laki. Namun Aiptu Kiani tak begitu mempedulikan itu; dia fokus dengan pekerjaannya untuk menegakkan keadilan. Dia terutama paling bersemangat memberantas sindikat pelacuran dan perdagangan manusia, karena kedua jenis kejahatan itulah yang paling dia benci dan ingin hapuskan dari muka Bumi.

Penggerebekan malam itu pun terjadi atas hasil penyelidikan Aiptu Kiani dan desakannya kepada Kapolsek setempat, Ajun Komisaris Polisi Mauli. Sebelumnya, Aiptu Kiani sudah berhari-hari bolak-balik menyodorkan berkas-berkas dan bukti-bukti foto hasil pengintaian kepada AKP Mauli, namun sang Kapolsek tidak juga bereaksi. Akhirnya setelah cukup lama AKP Mauli mengizinkannya melakukan penggerebekan.

Di tengah kesunyian dan kegelapan malam, Aiptu Kiani dan rekan-rekannya mengendap-endap memasuki pagar kompleks itu. Mereka berpisah menjadi dua kelompok untuk mendobrak masuk ke bangunan terbesar di dalamnya. Kiani dan lima rekannya akan masuk lewat depan bangunan mirip gudang yang menjadi target operasi. Pintu besarnya terbuka sedikit. Sambil memegang senjata terkokang, Kiani pelan-pelan melebarkan pintu sementara rekan-rekannya menyalakan senter.

“Polisi!” teriak seorang petugas selagi mereka berlima masuk sambil menodongkan senjata. Yang menyambut mereka adalah ruangan kosong dan gelap. Cahaya senter yang disorotkan ke sekeliling ruangan memperlihatkan tumpukan peti-peti berukuran raksasa, seperti yang biasa dilihat di gudang pabrik. Mereka tidak menemukan saklar lampu.

“Kita masuk, selidiki…” kata Aiptu Kiani. Yang lainnya mengangguk lalu pelan-pelan bergerak. Tiba-tiba mereka mendengar bunyi berderak dari atas lalu…

DOR! DOR!

Bunyi tembakan memecah sepinya gudang itu dan membuat kelima polisi terpencar mencari perlindungan. Mereka berlima menyelinap di sela peti-peti raksasa, dalam suasana remang-remang, menghindari penembak yang mereka kira ada di atas. Terdengar suara langkah orang berlari menginjak permukaan peti; Kiani menduga ada banyak orang selain mereka di dalam gedung itu, berlari-lari di atas tumpukan peti. Posisi para polisi kurang bagus karena penyerang mereka ada di atas. Ditambah lagi, mereka bergerak dalam gelap, hanya dibantu senter yang mereka bawa. Kelompok yang masuk dari belakang belum bertemu dengan mereka. Kiani berlindung di gang di antara dua peti raksasa, menggenggam pistol dengan kedua tangan, berdebar-debar. Dia tidak tahu posisi teman-temannya.

TRAK! TRAK! TRAK!

Kiani mendengar langkah-langkah dan melihat bayangan orang berkelebat di atas. Ada orang di atas peti di depannya! Kiani langsung melepaskan tembakan ke arah bayangan itu. Bunyi pistol bergema di dinding-dinding peti di sekelilingnya, membuat kedua telinganya berdenging. Kiani meringis selagi melihat bayangan itu terus bergerak; tembakannya tidak kena. Dia terpancing untuk mengikuti gerakan orang yang tadi mau ditembaknya, dan bergerak mengejar menyusuri sela-sela peti.

Ketika mengejar sambil mengikuti gerakan buruannya di atas, Kiani lengah dan tidak melihat arah larinya. Dia tersandung dan terjatuh; pistolnya terlepas dari genggaman. Sebelum dia mampu bangkit lagi, dia merasakan ada dua orang mendekatinya. Kiani merasakan salah satunya memukul tengkuknya. Sang polwan berusaha bertahan, namun pandangannya jadi kabur dan dia pun kehilangan kesadaran.

*****

Selain gigih dan bersemangat, Aiptu Kiani Irawati juga bisa dibilang berpenampilan menarik. Tubuhnya yang jangkung dan atletis karena latihan fisik rutin itu tetap memiliki lekuk-lekuk yang feminin, dengan dada berukuran 36C, sepasang kaki panjang dan indah, perut rata, dan pantat kencang. Wajahnya yang cantik dibingkai rambut yang dipotong pendek sesuai ketentuan namun tetap apik. Dalam seragam polisi pun dia tetap tampak menawan. Kiani belum menikah, namun sejauh ini dia sudah menampik lamaran dan pendekatan beberapa rekan sesama polisi. Dia merasa belum berminat untuk berkeluarga dan masih ingin melanjutkan perjuangannya memberantas kejahatan.

Dalam keadaan pingsan pun dia tetap tampak menawan.

Itulah yang dirasakan seorang laki-laki bertato, berjaket hitam, dan berkacamata hitam yang sedang menghadapi Kiani Irawati yang digeletakkan dalam keadaan tidak sadar di depannya. Sebagai seorang pedagang manusia, dia biasa menilai harga perempuan-perempuan yang telah dia jerat untuk dijebloskan ke dunia prostitusi. Polwan ini, yang dibawa anak buahnya setelah mereka berhasil melumpuhkan penggerebekan polisi terhadap salah satu lokasi tempat operasinya, berharga tinggi. Tapi dia tidak akan memperlakukannya sama dengan gadis-gadis kampung yang ditipu dengan iming-iming pekerjaan lalu dia jual ke tempat-tempat hiburan di dalam dan luar negeri. Yang ini beda.

“Siapkan dia,” perintah si pemimpin sindikat. Sejumlah orang segera mengerubungi polwan cantik yang pingsan itu.

*****

Kiani merasakah posisi tubuhnya berdiri ketika dia sedikit demi sedikit sadar dari pingsannya. Lengannya terangkat ke atas; dia merasakan kedua pergelangan tangannya diikat dan ikatannya terhubung dengan sesuatu yang menggantung di atas depan kepalanya. Berikutnya dia rasakan kedua kakinya menjejak suatu permukaan keras, tapi tidak bisa bergerak kaena pergelangan kakinya juga terikat. Posisi kedua kakinya merentang membentuk huruf V terbalik. Tubuhnya berposisi membungkuk sedikit ke depan. Gelap, dia tak bisa melihat apa-apa. Tapi dia masih bisa merasakan bahwa dia masih berpakaian.

Tiba-tiba ruangan tempat Kiani berada menjadi terang. Kiani silau sesaat, lalu membelalak ketika menyadari dia sedang berada dalam satu ruangan yang seluruh dindingnya dipasangi cermin, mirip suatu studio senam atau dansa. Maka Kiani bisa melihat bayangannya sendiri, dan dia kaget karenanya.

Dugaannya mengenai posisi tubuhnya tidak salah; kedua pergelangan tangannya memang terikat dan berposisi di atas kepala. Ketika dia melihat ke bawah, kedua pergelangan kakinya terikat ke satu batang besi, berposisi sedemikian sehingga dia dipaksa setengah mengangkang. Namun dia paling terkejut melihat penampilannya sendiri.

Kiani sehari-hari hanya mengenakan seragam polisi dan jarang berdandan. Itu sebabnya dia terkejut melihat penampilan sosok perempuan terikat di cermin besar di hadapannya. Perempuan itu bermake-up tebal, dengan eyeshadow biru dan lipstik merah terang. Lehernya dikelilingi kalung ketat mirip kalung anjing dengan cincin yang terkait dengan rantai di depan. Dan dia mengenakan pakaian yang seumur hidup belum pernah dia pakai: kemben pendek hitam dari bahan yang menerawang; rok lipit merah kelewat pendek yang sepertinya menutup bagian bawah pantatnya pun tidak; stocking jala hitam setinggi setengah paha; dan sepatu platform ber-hak tinggi warna merah hitam yang mencolok. Hanya rambutnya saja yang tidak diapa-apakan.

“Apa… apa-apaan ini…” bisiknya kepada diri sendiri. “Kenapa aku jadi seperti ini?”

Jawabannya segera tiba. Di hadapannya, muncul banyak laki-laki bertampang seram. Yang memimpin mereka adalah seorang laki-laki berjaket kulit hitam dan berkacamata hitam. Kiani melihat leher laki-laki itu bertato; di kedua punggung tangannya pun terlihat tato, jadi mungkin si Jaket Hitam sekujur tubuhnya bertato seperti anggota Yakuza. Sebagian wajah si Jaket Hitam tertutup kacamata hitam besar, namun Kiani bisa melihat dia tercukur rapi dan senyum licik melintang dibingkai garis rahangnya yang tegas. Si Jaket Hitam menggenggam kain berwarna coklat di tangannya.

“Kiani Irawati,” kata si Jaket Hitam, membaca tulisan yang tertera di gumpalan kain coklat yang tadinya adalah seragam Kiani itu. “Eh, maaf ni seragamnya rusak gara-gara anak buahku gak becus bukain baju cewek. Maklum, biasanya mereka main sobek aja. Suka nggak sama gantinya yang lagi kamu pakai sekarang?”

“Kamu…” Kiani berusaha menggertak. “Lepaskan saya sekarang juga. Jangan macam-macam dengan polisi!”

“Ckckck, galak amat si non,” ejek si Jaket Hitam. “Kalau aku nggak mau, emangnya kenapa? Nggak bisa gitu dong. Aku paling nggak suka kalau ada orang ganggu urusanku. Termasuk polisi.”

“Kamu penjual manusia!” teriak Kiani. “Justru bajingan macam kamu mesti diberantas. Tunggu saja, sekarang pasti back-up dari kantor bakal datang ke sini!”

“Mana? Dari tadi nggak ada tuh. Jangan sombong, non. Mentang-mentang pake seragam polisi, terus kamu bisa ngebacot seenaknya di depanku? Cuh! Perempuan gak tahu diri,” ancam si Jaket Hitam.

“Jahanam!” teriak Kiani yang masih berani. “Aku tahu apa saja dosamu. Kamu jerumuskan gadis-gadis yang polos, pura-pura menawari pekerjaan, padahal mereka terus kamu jual ke pelacuran! Manusia hina! Kalau tertangkap, kamu bakal masuk penjara seumur hidup sampai busuk!”

“Eh, banyak bacot kamu. Dengar ya, aku ini pengusaha baik-baik. Anggap saja penyalur tenaga kerja. Aku beneran nawarin kerjaan kan? Mereka juga awalnya mau kan diajak kerja? Salahin tuh pemerintah yang gak becus nyediain lapangan kerja. Aku sih bantu mereka biar bisa cari duit,” kata si Jaket Hitam.

“Apanya yang ngebantu?” seru Kiani gusar. “Memangnya aku nggak tahu kamu apakan saja gadis-gadis itu? Kamu… kamu siksa mereka! Kamu perkosa mereka! Kamu iblis!”

“Cerewet! Sudah cukup ngomongnya,” kata si Jaket Hitam. Dia memungut segumpal kecil kain, yang Kiani kenali. Itu celana dalamnya sendiri. Kiani jadi sadar juga bahwa di bawah rok superpendek yang dipakaikan anak buah si Jaket Hitam, dia tidak pakai apa-apa.

“Mmphh!!” Kiani memprotes tanpa hasil ketika celana dalamnya sendiri dijejalkan ke mulutnya oleh si Jaket Hitam. Si Jaket Hitam kemudian menjulurkan tangan ke belakang, meminta sesuatu ke anak buahnya. Rupanya satu lagi perlengkapan Kiani, pentungan karet. Kiani membelalak, memandangi si Jaket Hitam, bersiap menerima pukulan dari pentungannya sendiri. Tapi bukan itu yang dilakukan si Jaket Hitam.

“Tahu nggak, sayang bener kamu jadi polisi, kata si Jaket Hitam, ketika berdiri tepat di depan Kiani. “Bisa lihat sendiri bayangan kamu kan. Aku aja lebih seneng lihat kamu kayak gini. Kamu cakep. Badanmu bagus. Dadamu gede,” si Jaket Hitam mengatakan itu sambil menyentuhkan ujung pentungan ke payudara kiri Kiani yang menyembul di balik kemben transparan. “Kamu lebih cocok pakai baju ini, dandan yang cantik, daripada pakai seragam coklat jelek itu. Pasti banyak yang suka sama kamu, dan kamu bakal cepat dapat banyak duit. Mau ikut aku aja? Daripada kamu kerja begini, gaji kecil, dicela-cela masyarakat, ntar juga mesti korupsi biar bisa hidup. Kamu mau, Kiani?”

Kiani tidak bisa ngomong karena mulutnya disumpal celana dalam, dia hanya menggeleng sambil memandangi Jaket Hitam dengan tatapan benci.

“Tidak?” kata si Jaket Hitam sambil tersenyum mengejek. “Tahu nggak, aku paling nggak suka sama perempuan yang bilang tidak.”

Jaket Hitam tertawa dan Kiani langsung melotot ngeri ketika dia merasakan ujung pentungan karet yang digenggam musuhnya mengelus-elus kemaluannya. Kembali Kiani menggelengkan kepala, namun kali ini ekspresinya berubah menjadi takut. Andai tidak dibungkam, mungkin kata-kata yang keluar adalah permohonan agar yang hendak dilakukan si Jaket Hitam jangan dilakukan. Jaket Hitam tidak peduli. Setelah cukup lama menggosok-gosokkan ujung pentungan itu ke kemaluan Kiani, Jaket Hitam merogoh ke bawah, menjolokkan satu jarinya sedikit ke dalam belahan kemaluan Kiani. Polwan itu terpekik; Jaket Hitam dapat merasakan basah di jarinya…

“Udah siap nih…” kata Jaket Hitam sambil nyengir. Kiani berusaha meronta melepaskan diri tapi ikatan di tangan dan kakinya membuat dia tak mampu menghindar dari nasib buruk yang akan segera menimpanya.

Dan datang pula tindakan keji itu.

Si Jaket Hitam menjolokkan pentungan karet ke dalam kemaluan Kiani yang perawan, menembus lapisan tipis perlambang kesucian Kiani sebagai seorang gadis. Kiani merasakan sakit di selangkangannya dan air mata mengalir dari sudut matanya selagi dia menyadari betapa tak berdayanya dia di tangan bajingan ini. Tiba-tiba Kiani teringat dengan keluarganya yang tinggal di kota lain, ayah ibunya yang selalu membangga-banggakan dia, dan janjinya sendiri kepada mereka untuk selalu menjaga diri. Hari itu Kiani mesti mengorbankan sesuatu yang sangat berharga baginya sebagai risiko pekerjaannya.

Darah perawan yang mengalir sepanjang pentungan dicolek sedikit oleh Jaket Hitam, lalu dengan kejam dia menunjukkan jarinya yang bernoda darah itu ke depan mata Kiani. Jaket Hitam melanjutkan ejekannya dengan mengulum jari itu. Kiani hanya bisa menangis sambil terbungkam. Si Jaket Hitam mendesakkan lagi pentungan polisi itu ke dalam kemaluan Kiani, lalu melepas pegangannya. Polwan yang baru diperawani itu kini berdiri agak membungkuk dengan kaki setengah mengangkang, dan terlihat sebatang pentungan karet tertancap tak senonoh di balik rok mininya, dengan sedikit darah mengalir di permukaannya.

Si Jaket Hitam tertawa, lalu menyuruh anak buahnya mendekat. 12 laki-laki bertubuh besar dan bertampang seram lalu mengerubungi Kiani.

“Silakan dinikmati,” kata si Jaket Hitam yang lantas berbalik keluar dari kerumunan itu. Kiani hanya bisa memandang ketakutan selagi wajah-wajah seram dan bernafsu di sekelilingnya mendekat. Salah seorang di antara mereka kemudian mencubit-cubit putingnya, membuat Kiani meringis walau cubitannya tidak keras. Kiani merasa dikhianati tubuhnya sendiri karena putingnya terasa lebih keras.

Seorang di antara mereka yang berkepala botak menarik kaos kemben yang dipakai Kiani ke atas sehingga sepasang payudara 36C Kiani terpamerkan di depan mereka. Si Botak kemudian meraih payudara kanan dan mulai menjilati puting Kiani. Lidah si Botak menjalar dari ujung puting ke areola berwarna gelap di sekelilingnya. Kemudian, si Botak membuka mulutnya lebar-lebar dan mencoba melahap sebanyak mungkin bagian payudara Kiani. Kiani meronta-ronta, tapi tubuhnya dipegangi oleh yang lain. Mau teriak jelas tidak bisa karena mulutnya tersumpal celana dalam. Namun di antara teriakannya, terselip satu erangan yang dianggap orang-orang sekelilingnya sebagai tanda Kiani mulai terbawa birahi. Mendengar itu si Botak makin semangat mengisap payudara Kiani. Tak lama kemudian, tangan kirinya meremas payudara kiri sang polwan sementara tangan kanannya turun ke paha Kiani.

“Eh, tangan lu mau ke mane tuh?” seorang teman si Botak yang berambut gondrong berkomentar iseng.

Si Botak mencabut pentungan yang memerawani Kiani, dan mulai menjamah bibir vagina Kiani. Sekali lagi erangan lembut keluar dari mulut Kiani. Si Botak langsung menjebloskan satu jarinya ke dalam kemaluan Kiani yang basah. Tak lama kemudian dia memasukkan satu jari lagi sambil mengocok-ngocok bagian dalam vagina Kiani. Kiani meronta-ronta tanpa daya.

“Mhhghh!!” desah Kiani, tak mampu menahan sensasi yang ditimbulkan jari-jari si Botak.

Si Gondrong kini ikut beraksi, dia bergerak ke belakang Kiani lalu ikut merogoh kemaluan Kiani. Kiani mendengar suara resleting dibuka. Si polwan menoleh ke belakang dan menyadari apa yang mau dilakukan si Gondrong. Anak buah si pedagang manusia itu menyibak rok supermininya dan menggenggam kedua sisi pantatnya, membuka belahan pantatnya sampai lubang duburnya terlihat… Kiani panik ketika sadar apa yang mau dilakukan si Gondrong. Polwan yang malang itu makin keras meronta, berusaha melepaskan diri dari penganiayaan seksual yang dialaminya.

Kiani pun merasakan sesuatu menempel di pintu masuk bokongnya… kepala penis si Gondrong. Dia menjerit dan berusaha menggerakkan pantatnya agar menjauh dari calon penerobos itu, tapi dua orang lagi yang mengerumuninya, satunya brewokan sementara satunya lagi berambut cepak dengan codet besar di dahi, menahan tubuhnya sehingga dia tak bisa lolos. Pelan-pelan kepala burung si Gondrong mendesak lingkaran pintu duburnya dan mulai menerobos liang pantatnya.

Di tengah rasa sakit akibat awal pemerkosaan terhadap pantatnya, tiba-tiba Kiani kuatir dia bisa cedera lebih parah kalau dia terus bergerak. Si Gondrong terus mendesakkan burungnya yang panjang itu ke dalam ujung belakang saluran pencernaan Kiani sementara si Botak di depannya ganti mengenyot-ngenyot payudara kiri Kiani sambil mengobel kemaluan Kiani dengan tiga jari. Si Brewok dan si Codet mulai memegang-megang tubuh Kiani juga. Begitu seluruh penisnya masuk ke dubur Kiani, si Gondrong bilang ke teman-temannya, “Sempit banget nih bo’olnya! Kenceng jepitannya, gue ampe ga bisa gerak!”

Sesudah ngomong begitu, si Gondrong langsung menyodomi Kiani dengan penuh semangat, dengan cepat memaju-mundurkan pinggangnya menggempur pintu belakang si polwan tanpa ampun. Kiani menjerit-jerit selagi tubuhnya yang dikekang terguncang-guncang dan penis si Gondrong merojok saluran pembuangannya. Tapi rupanya si Gondrong memang terlalu bersemangat, dan tidak lama kemudian Kiani merasakan semburan hangat di dalam tubuhnya. Kiani meringis dan berusaha menguatkan diri. Untuk pertama kalinya tubuhnya dinodai benih lelaki. Tapi semangat Kiani masih membara. Dia merasakan bahwa inilah risikonya memerangi kejahatan. Orang lain bisa cacat atau tewas dalam tugas. Mungkin diperkosa juga termasuk risiko. Andai dia bisa lepas dari pelecehan ini, Kiani berjanji, dia akan penjarakan semua bajingan yang telah menodainya.

“Hahaha, cepet amat lu?” si Brewok mengejek si Gondrong.

“Diem lu, asu,” kata si Gondrong yang benar-benar kesal karena kecepatan muncrat.

Si Brewok mencabut celana dalam yang menyumpal mulut Kiani, dan langsung dihadiahi semprotan ludah dari si polwan.

“E-e-e, kok galak banget?” si Brewok cuma tertawa sambil menyeka wajahnya yang diludahi. Si Brewok lantas menggenggam wajah Kiani dan memuji, “Cakep juga ya lonte kita?”

“Polwan dia, bukan lonte,” kawannya, si Codet, membetulkan.

“Mana ada polwan bajunya kayak gini? Yang biasanya pake rok mini ama kemben terus ngangkang di pinggir jalan kayak dia ini ya jablay,” balas si Brewok.

“Awas kalian semua!” Kiani masih berani mengancam. “Kalau sampai ketangkap biar kalian dihukum seberat-berantny… MMMM!!”

Si Brewok membungkam Kiani dengan cara mencium paksa. Bersamaan dengan itu, si Botak makin kencang mengobel kemaluan Kiani, jari-jarinya keluar-masuk dengan begitu cepat. Kiani belingsatan akibat aksi jari si Botak. Dia meronta-ronta dengan liar dan terengah-engah. “Eh, memek dia udah becek banget nih!” seru si Botak selagi Kiani mulai mengerang-erang gelagapan.

Si Botak rupanya sangat ahli memainkan jari-jarinya. Kiani mencoba untuk melawan rangsangan kenikmatan yang diberikan, tapi dia sulit sekali melakukannya. Beda dengan ketika diperawani dengan pentungan maupun disodomi oleh si Gondrong tadi. Yang dia rasakan hanya sakit sehingga dia lebih mudah menolak kedua tindakan itu, biarpun hanya dalam niat. Tapi lihainya jari-jari si Botak menjolok, menowel, dan mengelus membuat tubuh Kiani berkhianat dan jatuh ke godaan nafsu. Pikiran Kiani mulai goyah dan buyar. Polwan itu mencoba menyangkal, tapi gagal.

Ciuman si Brewok berakhir, dan dalam hitungan detik, Kiani melolong.

“OooooOOOOHHH!!!”

Orgasme pertama yang pernah dirasakannya itu membuat tubuh Kiani terkejang-kejang dan akhirnya terkulai. Andai tangannya tidak terikat ke tali yang menggantung, mungkin Kiani bakal ambruk ke lantai.

“Hei lonte! Enak kan kobelan gue?” si Botak meneriaki Kiani.

“Aku… bukan… lonte…” rintih Kiani di sela nafasnya yang tersengal-sengal.

Si Jaket Hitam, setelah melihat Kiani kelelahan karena orgasme, menyuruh anak buahnya melepas ikatan sang polwan. Kiani tetap tak bisa bergerak meski seluruh ikatannya sudah dilepas karena anak buah si Jaket Hitam memeganginya. Si Jaket Hitam mendekati Kiani dengan membawa sesuatu. Kiani tidak sempat melihat apa benda itu, tapi dia langsung merasakannya: sebuah jarum suntik yang ditusukkan si Jaket Hitam ke lengan atasnya. Kiani menjerit sejenak, kaget dan kesakitan. Obat penenang ringan yang disuntikkan ke tubuh Kiani cepat bereaksi. Polwan itu jadi kehilangan keinginan untuk meronta dan melawan. Timbul rasa hangat yang menentramkan di tubuhnya. Si Jaket Hitam memerintahkan anak buahnya melepas Kiani. Karena sudah dipengaruhi obat, Kiani tak berusaha bangkit.

“Enghh…” desah Kiani selagi tubuhnya bergulung dari posisi menyamping ke telentang. Tanpa dapat melawan, tangannya bergerak sendiri mencengkeram payudaranya yang besar. Bukan cuma obat penenang yang barusan memasuki tubuh Kiani, tapi juga obat perangsang.

Si Jaket Hitam merogohkan tangannya ke selangkangan Kiani yang banjir, meraup cairan kewanitaan Kiani, lalu mendekatkan tangannya yang basah ke hidung Kiani. “Tuh, cium. Memek kamu sendiri tuh. Becek pertanda pengen. Sudah sadar belum kalau kamu itu cuma lonte?”

*****

“Ahhh!” Kiani mendesah selagi si Jaket Hitam menusuk-nusukkan tiga jari keluar-masuk vaginanya. Tapi setiap kali Kiani akan mengalami klimaks, si Jaket Hitam berhenti. Si penjual gadis itu memang ahli; dia tahu bagaimana cara menyiksa perempuan dengan merangsang sampai nyaris orgasme tapi tidak membiarkan mereka mencapai kenikmatan puncak. Sudah beberapa menit dia memain-mainkan Kiani dengan cara itu. Dia memandangi korbannya sambil senyum sadis. “Terus?”

“Jangannnn…” suara lirih Kiani menunjukkan dia masih sedikit sadar, dan berusaha menolak perlakuan si Jaket Hitam.

“Terusin aja, ya,” si Jaket Hitam melanjutkan godaannya terhadap tubuh Kiani. “Kok memek kamu ngejepit jariku ya. Kamu pengen terus kan? Mulut yang atas bilang jangan tapi yang bawah bilang pengen. Yang mana nih?”

“Ah… ahh… Nghaa!!” Kiani merajuk ketika si Jaket Hitam kembali mencabut jari-jarinya. Si Jaket Hitam mengusapkan jari-jarinya yang berlumuran cairan cinta itu ke rok merah Kiani.

“Bos, udah boleh belum?” si Codet bertanya, karena dari tadi belum sempat melakukan apa-apa.

“Sabar. Tunggu sampai dia minta sendiri,” kata si Jaket Hitam sambil nyengir. “Kelihatannya sih dia udah pengen, cuma dia gengsi aja gak mau bilang.”

“Ahh… ahh…” Kiani mendesah-desah seksi, badannya ingin mencapai klimaks lagi. Pikirannya syok. Dia tidak mengerti kenapa badannya berkhianat dan menanggapi jamahan penjahat-penjahat cabul itu. Dia juga tidak habis pikir kenapa badannya terasa meminta disetubuhi mereka. Lebih parah lagi, ketika dia menoleh dan melihat bayangan wajahnya sendiri di cermin yang menutup seluruh dinding ruangan, dia bisa melihat betapa mesum wajahnya ketika si Jaket Hitam sedang mencolok-colok alat kelaminnya. Rasa malu mulai melanda si polwan. Nafasnya mulai memburu, kedua buah dadanya yang besar dan indah itu naik turun.

“Ayo mulai lagi,” kata si Jaket Hitam sambil memasukkan jari-jarinya lagi ke alat kelamin Kiani. Dia menggerakkan jari-jarinya perlahan keluar-masuk. Senyumnya tambah lebar waktu merasakan dinding vagina Kiani mulai mencengkeram jari-jarinya.

‘Harus tahan. Harus melawan. Nggak boleh kalah dengan nafsu. Ini tidak benar,’ Pikiran Kiani berusaha melawan. Kiani memalingkan muka, tidak mau memandang si Jaket Hitam. Tapi si pedagang manusia malah mendapat sasaran baru: dia meniup dan mengulum telinga Kiani sambil terus mengocok kemaluan Kiani. Otot-otot vagina Kiani mengetat di sekeliling jemari si Jaket Hitam. Ruangan itu kini penuh bunyi nafas dan desahan, ditingkahi bunyi becek dari kemaluan Kiani. Tapi si Jaket Hitam tidak mau membiarkan Kiani mencapai klimaks. Dia tiba-tiba menarik jarinya tepat ketika Kiani mulai terlihat keenakan.

“Jangaann!!” ratap Kiani. Tubuhnya terasa panas terbakar nafsu. Dia sudah tidak tahu apa yang mau dia bilang: jangan lakukan atau jangan hentikan?

“Jangan stop gitu maksudnya? Bilang aja kalau pengen, dasar lonte,” kata Jaket Hitam.

Kiani mulai tak mampu menahan pengaruh obat perangsang yang telah disuntikkan dan ulah si Jaket Hitam yang berkali-kali membawanya nyaris ke puncak kenikmatan namun selalu berhenti. Polwan cantik itu frustrasi, jantungnya berdebar-debar dan tubuhnya gemetar selagi dia dibuat menggeliat-geliat akibat terlanda birahi. Tinggal sedikit lagi, pertahanannya akan bobol.

Jaket Hitam menyelipkan lagi dua jarinya ke belahan kewanitaan Kiani. Kali ini nanggung, seolah tidak berniat memasukkannya. Dan Kiani tak tahan lagi.

Tangan Kiani menahan tangan si Jaket Hitam agar tidak pergi.

Si Jaket Hitam tertawa. “Eits, mau apa nih?” tanyanya dengan nada mengejek. “Kok dipegangin?”

Kiani menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. Dia tahu dia tidak kuat lagi menahan nafsu. Dia ingin jari-jari si Jaket Hitam, dan bukan hanya itu, memasuki vaginanya, menerobos kewanitaannya, membawanya ke puncak gairah…

“Kamu pengen?” bisik si Jaket Hitam ke telinga Kiani, disusul jilatan sepanjang cuping telinga Kiani dari bawah ke atas.

“IYA!!” jeritan Kiani pecah, tidak lagi peduli apa akibatnya. “Tolong… gituin lagi… jangan godain… augh… ahh…”

Serta-merta si Jaket Hitam menarik jarinya dan menyerahkan Kiani ke tangan belasan anak buahnya yang sudah merubung. Segera saja satu orang duduk di lantai, menarik Kiani ke atas pangkuannya, lalu menyetubuhi Kiani dengan posisi woman on top. Orang kedua memposisikan diri di belakang Kiani lalu menggagahi pantat Kiani. Kiani menjerit kesakitan karena orang tadi memaksa memasukkan penisnya dengan kasar. Orang ketiga melihat mulut Kiani terbuka lebar, lalu menggenggam wajah Kiani dan memerkosa mulut Kiani. Orang keempat dan kelima menggenggam tangan kiri dan kanan Kiani dan memaksa Kiani mengocok kemaluan mereka. Yang lainnya menunggu giliran dengan tak sabar selagi si polwan menjerit-jerit ketika dipaksa melayani begitu banyak laki-laki…

*****

5 jam kemudian

“Minggir!” seorang petugas polisi berusaha menghalau para juru foto dan wartawan yang entah bagaimana caranya sudah merubung TKP. “Bubar semua!” Beberapa petugas lain sampai terpaksa menendang dan merampas kamera para nyamuk pers itu karena mereka tidak juga mau pergi.

“Waduh,” gumam seorang perwira polisi bertubuh gemuk yang bertahi lalat di pipinya ketika dia mendekati pusat perhatian para wartawan tadi. Polisi gemuk itu, Kapolsek AKP Mauli, geleng-geleng kepala. Anak buahnya sudah berhasil mengusir semua orang selain polisi yang merubung TKP. Tapi yang jelas semua wartawan tadi sudah mendapatkan foto pemandangan yang baru bisa dilihat AKP Mauli.

Rombongan AKP Mauli dan anak buahnya datang ke kompleks bangunan yang tadi digerebek Aiptu Kiani Irawati dan beberapa anggota lain. Tim penggerebek ternyata disergap ketika berada di dalam gudang dan beberapa orang terluka kena tembak. Jumlah mereka kalah banyak dan mereka terpaksa mundur, namun ketika mundur mereka kehilangan Aiptu Kiani yang tertangkap oleh para penjahat. Mereka meminta bantuan, namun oleh AKP Mauli mereka disuruh mundur dulu ke Polsek, sambil membawa anggota yang terluka. Lima jam kemudian AKP Mauli baru mengerahkan tim penyelamat yang dipimpinnya sendiri ke tempat kejadian. Orang-orang sindikat perdagangan manusia telah lari entah ke mana, tapi para wartawan foto justru lebih dulu datang ke sana. Ketika menggeledah semua bangunan di kompleks, ditemukanlah satu ruangan dengan dinding-dinding cermin. Di situlah AKP Mauli dan anak buahnya, serta para wartawan sebelum mereka, menemukan Aiptu Kiani Irawati.

Kiani Irawati tergeletak tak sadarkan diri di lantai, dengan tubuh nyaris telanjang. Di dekatnya terlihat kemben dan rok mini merah, keduanya bekas disobek paksa. Kedua kaki Kiani masih mengenakan stoking jala dan sepatu hak tinggi; di wajahnya terlihat bekas-bekas make-up tebal yang sudah berantakan. Di seluruh tubuhnya terlihat bekas-bekas cipratan mani; cairan putih benih lelaki juga terlihat berleleran dari mulutnya dan vaginanya yang tak tertutup apapun. Sementara, yang lebih mengenaskan, di lubang duburnya menancap pentungan karet polisi. Pentungan itu masuk cukup dalam.

Tanpa banyak bicara, AKP Mauli menyuruh anak buahnya mengevakuasi Kiani dan menyegel TKP. Tapi sebelumnya dia tak lupa menyuruh TKP dipotret untuk dokumentasi. Lengkap seperti ketika ditemukan.

*****

Beberapa hari kemudian

Insiden penggerebekan yang gagal itu langsung diberitakan di koran. Pers tidak menyia-nyiakan berita kriminal yang berpotensi meledak dan berbumbu seks. Sementara koran-koran serius hanya menyelipkan artikel kecil di halaman kriminal, koran-koran kelas rendah dan sensasional mengeksploitasi habis-habisan kisah Kiani, polwan cantik yang bernasib naas dan dinodai komplotan penjual perempuan. Foto-foto Kiani dalam keadaan ketika ditemukan oleh para wartawan, setelah disensor, melengkapi berita-berita itu, berikut foto wajah Kiani dalam keadaan normal yang entah mereka dapat dari mana. Satu koran malah sampai membuat laporan berbentuk narasi fiksi yang seolah menceritakan peristiwa yang dialami Kiani, dengan ditambah-tambahi rincian yang bersumber dari imajinasi cabul penulisnya.

Foto-foto Kiani, dalam versi tak tersensor dan menampilkan Kiani dalam keadaan telanjang dan ternoda, juga menyebar di internet dan segera jadi bahan pembicaraan di komunitas-komunitas penggemar konten dewasa di Internet. Lalu, pda suatu hari, di internet muncul video amatir yang menampilkan Kiani ketika di-gangbang oleh para anak buah si Jaket Hitam. Identitas Kiani dalam video itu langsung dikenali karena ada beberapa kali sorotan cukup jelas ke wajahnya, ditambah lagi para pemburu bokep di Internet sudah hafal dengan wajah Kiani dari foto-foto sebelumnya. Beberapa foto Kiani dalam keadaan normal dan berseragam juga muncul dari sumber yang tak jelas, seolah mau menegaskan identitas Kiani sebagai seorang polwan.

Kepolisian jelas kebakaran jenggot melihat publikasi tak terduga atas seorang anggotanya yang sebenarnya bernasib malang itu. Sempat dilayangkan surat peringatan kepada redaksi beberapa koran yang memberitakan pemerkosaan Kiani secara bombastis, tapi beritanya keburu beredar dan pernyataan maaf yang dimuat setelah diberi surat peringatan tidak dihiraukan orang. Sementara itu, tidak ada yang bisa dilakukan terhadap bahan-bahan yang beredar di Internet. Jutaan orang bisa mengaksesnya dari ribuan sumber. Menteri yang mengurusi internet mencoba turun tangan dengan menyuruh blokir beberapa situs, tapi pemblokiran malah mengundang kecaman dari pengguna internet lain karena tidak tepat sasaran dan malah membuat berbagai situs biasa ikut terblokir. Seorang ahli telematika sempat berkomentar di media bahwa pemeriksaannya menunjukkan bahwa foto-foto dan video itu palsu, tapi kredibilitas orang yang mengaku ahli ini sangat diragukan dan masyarakat tak menggubrisnya.

Yang paling dirugikan atas semua pemberitaan itu jelas Kiani. Dalam sekejap dia mendapat ketenaran yang tak diharapkan, dan dia menjadi objek fantasi seks banyak orang. Padahal dia baru saja mengalami sesuatu yang sangat mengerikan dan menggoncangkan. Apalagi kasusnya menjadi perhatian masyarakat, akibat pemberitaan yang begitu gencar. Ketika dirawat sementara di rumah sakit untuk pemulihan trauma pun wartawan mendatanginya untuk mewawancara maupun memotret. Ketika kepolisian melarang wartawan mendekati Kiani, mereka mengalihkan perhatian dengan mencoba mewawancara orangtua Kiani yang tinggal di kota lain. Yang terjadi malah berdampak buruk: orangtua Kiani malah stres karena dicecar wartawan dengan pertanyaan-pertanyaan yang kadang tak etis dan tak berperasaan. Sampai-sampai akhirnya mereka berdua jadi sakit karena terganggu.

Setelah kesehatannya pulih pun Kiani mengalami depresi cukup berat. Dia tak lagi mampu kembali bertugas sebagai polisi seperti normal, dan harus menjalani rehabilitasi. Tiga bulan kemudian, Kiani meminta dibebastugaskan.

Enam bulan sesudah penggerebekan yang berujung pemerkosaan terhadap dirinya, Kiani Irawati menghilang dari peredaran. Tak seorang pun tahu ke mana perginya mantan polwan cantik yang bernasib naas itu.

Sementara itu, foto-foto dan video Kiani terus beredar di internet. Memang begitulah adanya. Sekali sesuatu terpasang di internet, hampir mustahil melenyapkannya.

*****

Setahun kemudian

Laki-laki gendut dengan tahi lalat di pipinya itu dipersilakan duduk di meja terbaik, tepat di depan panggung di tengah klub malam yang temaram namun hingar-bingar dengan musik. Lima orang sexy dancer baru saja menyelesaikan tarian erotis yang menggoda para pengunjung klub, yang berkerumun di sekeliling panggung dengan tampang mupeng sambil bersuit-suit dan berusaha menjamah mereka. Seorang pembawa acara yang kebanci-bancian mengumumkan pertunjukan berikutnya.

“Yang berikutnya… pendatang baru di sini… Miss KIANI!!!”

Semua lampu mendadak dimatikan dan musik berhenti, lalu berganti irama hip-hop dengan lirik menjurus cabul. Seberkas sinar terang menerangi panggung, menunjukkan sesosok tubuh perempuan di tengah-tengahnya. Perempuan itu duduk di satu bangku dan menunduk, sehingga wajahnya tak jelas terlihat. Pakaiannya adalah kostum mirip seragam polisi wanita, tapi jelas-jelas bukan seragam polwan betulan karena mustahil ada polwan yang berani bertugas dengan pakaian seseksi itu. Dia mengenakan kemeja ketat berwarna coklat berlengan pendek yang tidak sampai menutup perut, tapi lengkap dengan lencana dan tanda pangkat bohongan. Dia juga mengenakan rok lipit supermini coklat tua yang cuma menutup sampai bagian atas paha, dengan ikat pinggang lebar dan borgol yang menggantung di sana, juga sepasang sepatu but hitam ber-hak tinggi yang jelas-jelas bukan yang biasa dipakai polwan betulan. Di kepalanya dia juga mengenakan topi polisi. Lampu sorot segera memudar, digantikan lampu warna-warni yang menerangi panggung. Penonton bersorak menyambut dia, ‘Miss Kiani’, bintang baru di klub malam itu. Miss Kiani tidak lain adalah Kiani Irawati, dahulu seorang polwan, yang lantas berhenti dari pekerjaannya semula setelah dia diperkosa dan sesudahnya dipermalukan oleh pemberitaan. Setelah dia menghilang, entah apa yang terjadi kepadanya sampai dia akhirnya tampil di panggung itu.

Kiani

Kiani mulai bergoyang; di tangannya dia memegang pentungan polisi, mirip dengan yang dulu dipakai si Jaket Hitam untuk memerawaninya. Dia mulai melangkah anggun berkeliling panggung. Ketika kembali ke tengah panggung, dia memutar-mutar pentungan di tangannya. Dia mengibaskan rambutnya yang kini panjang dan indah, tak lagi pendek seperti ketika menjadi polisi betulan. Kiani membalik badan dan memain-mainkan pentungannya di belakang pantatnya. Lalu dia pelan-pelan menungging sambil menggesek-gesekkan pentungan itu sepanjang garis selangkangannya. Kemudian dia berdiri tegak lagi, berbalik menghadap penonton, dan menjilat-jilat ujung pentungan. Dia lalu menaruh pentungan itu di panggung dan melepas topinya. Ketika dia melempar topinya ke penonton, terlihatlah wajahnya yang bermake-up tebal, dengan eyeshadow biru dan lipstik merah menyala. Kiani tersenyum ke penonton, lalu menjilat bibirnya yang sensual. Dia terus menari erotis sambil bergerak ke dekat bangku. Kemudian sambil membelakangi penonton, dia menumpukan kedua tangan ke bangku dan membungkuk ke depan sampai pantatnya menonjol menantang penonton. Setiap mata di depan panggung memandangi ketika bokong Kiani bergoyang dari kanan ke kiri.

“Buka! Buka! Buka!” Penonton berseru-seru. Kiani tersenyum polos dan menunjukkan wajah pura-pura kaget dengan membelalak sambil menutup mulut dengan tangan. Lalu satu tangannya berkacak pinggang sementara tangan satunya memberi isyarat, mengacungkan telunjuk lalu menggoyang-goyangkannya. Lalu dia pelan-pelan membuka satu demi satu kancing blusnya dengan hati-hati sekali, sehingga blus pendek itu tidak langsung tersingkap. Akhirnya, setelah semua kancing terbuka, dia tiba-tiba membuka blusnya dengan sentakan dan langsung melempar blus itu ke penonton. Blus itu mendarat begitu saja tanpa ada yang menyambut karena penonton melihat apa yang Kiani kenakan di bawahnya: serangkaian sabuk kulit mirip tali-tali bra—hanya saja tidak ada bagian cup yang menutup payudara 36C-nya. Kedua bulatan mempesona itu menonjol dikelilingi bebatan sabuk kulit hitam, putingnya ditutup dua penutup yang ujungnya digantungi rumbai-rumbai yang ikut bergoyang seiring goyangan dada Kiani. Kiani terus menari di tengah siulan dan teriakan nakal penonton.

Kiani terus menggoda penonton dengan mencengkeram dan memain-mainkan kedua buah dadanya. Lalu dia menundukkan kepala dan menaikkan salah satu buah dadanya, kemudian menjilatinya. Penonton menyaksikan sambil menganga, air liur mereka sampai menetes. Kemudian, entah siapa yang mulai, terdengar lagi seruan “Buka! Buka! Buka!” Penonton ingin lebih.

Dengan senang hati Kiani menuruti permintaan itu, dia melepas payudaranya dan membuka ikat pinggangnya, lalu membuka roknya. Rok itu jatuh, memperlihatkan celana dalam g-string yang hanya menutupi kemaluannya. Ketika dia berbalik badan, tampaklah bahwa di bagian belakang hanya sebaris tipis kain yang menyelip di antara kedua belahan pantatnya yang montok. Penonton bertepuk tangan dan bersuit-suit kegirangan.

Melihat reaksi penonton, Kiani kembali ke bangku dan memungut pentungan polisi yang tadi ditaruhnya. Kembali dia gunakan pentungan itu untuk mengelus-elus kemaluannya, sambil wajahnya menunjukkan ekspresi dilanda birahi. Di depan penonton Kiani seolah-olah bermasturbasi menggunakan pentungan itu, dan musik sengaja dikecilkan volumenya agar terdengar suara-suara penuh nafsu dari bibir si mantan polwan.

Tepuk tangan dan riuh suara penonton mencapai puncak ketika Kiani berpura-pura mengalami orgasme di panggung, kedua tangannya menggenggam pentungan yang sudah mendesak ke celana dalamnya, wajahnya terkulai ke belakang, matanya terpejam, mulutnya terbuka lebar dan melolong penuh nafsu. Pertunjukan Kiani pun usai dengan matinya lampu dan kata-kata pembawa acara, “Sekali lagi tepuk tangan untuk bintang baru kita, MISS KIANI!!!”

Laki-laki gendut bertahi lalat di pipi itu menyaksikan seluruh pertunjukan dengan antusias, sampai-sampai dia tak memperhatikan bahwa seorang laki-laki lain yang berkacamata hitam, bertato, dan berjaket hitam duduk di kursi di sebelahnya. Si Jaket Hitam mencolek bahu laki-laki gendut itu dan mengajaknya bersalaman.

“Selamat ya Bung, debut anak buah Anda sukses,” kata si Jaket Hitam.

“Hehehe, dia kan jadi anak buah kamu sekarang,” balas si gendut.

“Sesuai perjanjian, Anda boleh gratis pakai dia kapan saja,” kata si Jaket Hitam lagi.

“Habis ini, ya? Tolong siapin tempatnya. Aku udah pengen nyoba dia dari dulu.”

“Sip Bos. Silakan tunggu di kamar belakang ya. Nanti dia kusuruh datang ke sana.”

*****

Sayang sekali, Kiani Irawati tidak menyadari bahwa dia telah dijerumuskan oleh atasannya sendiri. Ajun Komisaris Mauli selama ini menjadi beking si Jaket Hitam, pemimpin sindikat penjual manusia yang hendak ditangkap Kiani. Ketika Kiani meminta izin menggerebek sindikat si Jaket Hitam, Mauli sengaja mengulur waktu agar bisa memberitahu teman-temannya, dan menyiapkan jebakan untuk Kiani. Tertangkap dan diperkosanya Kiani adalah akibat rencana Mauli dan si Jaket Hitam. Tidak hanya itu; datangnya para wartawan ke TKP sebelum polisi, dan ramainya pemberitaan sesudahnya, juga digerakkan pasangan polisi korup dan penjahat itu. Mauli terus memantau Kiani setelah Kiani mengundurkan diri, dan menawarkan Kiani ikut suatu program rehabilitasi. Namun sebetulnya program itu adalah jebakan terakhir, dan Kiani kembali jatuh ke tangan si Jaket Hitam. Selanjutnya sang polwan cantik itu digojlok dan dihancurkan semangatnya sedemikian rupa dengan pemerkosaan dan penyiksaan hingga akhirnya Kiani berhasil ‘dijinakkan’ untuk menjadi seorang perempuan pemuas nafsu yang biasa diperdagangkan si Jaket Hitam. Malam itu adalah malam pertama Kiani memulai kehidupan barunya.

Kiani sudah berganti pakaian dan dan menunggu orang pertama yang akan dilayaninya di dalam suatu kamar di belakang klub. Kini dia mengenakan set lingerie putih berenda yang seksi. Dia duduk di atas tempat tidur sambil tangannya meraba-raba daerah intimnya sendiri. Rambut hitamnya yang panjang menjuntai menutupi sebagian wajahnya yang bermake-up tebal.

Pintu kamar terbuka dan tertutup kembali selagi si beking, Mauli, memasuki ruangan dan berjalan mendekati Kiani. Kiani memandangi wajah mantan atasannya itu penuh harap sambil dia berdiri untuk menyambutnya.

“Kita ketemu lagi, Kiani,” kata Mauli sambil tersenyum sinis. Perwira bertubuh gemuk itu tidak banyak bicara, dia langsung membalikkan tubuh Kiani dan mendorong si mantan polwan sampai terbungkuk di atas tempat tidur, lalu langsung memelorotkan celana dalam Kiani. Kiani menoleh dan melihat Mauli membuka celana. Tangan-tangan Mauli mencengkeram pantat bulat Kiani; terlihatlah tato hati yang dibuat si Jaket Hitam di atas pantat kiri Kiani. Beberapa detik kemudian, Mauli langsung menyerudukkan penisnya yang sudah tegang ke lubang vagina Kiani yang sudah diimpi-impikannya sejak pertama kali Kiani masuk menjadi anak buahnya. Kiani menanggapi dengan mengangkat kaki kirinya dan melibatkannya ke belakang, memeluk tubuh gendut Mauli. Kemaluannya sudah basah, dan menjepit senjata Mauli seolah-olah ingin segera mengeluarkan apa yang dikandungnya. Erangan dan desahan keluar dari mulut Kiani.

“Enak kan, Kiani? Ayo bilang,” perintah Mauli.

“Enak…” kata Kiani di tengah rintihan. “Ngentot itu enak…”

“Hahaha!” Mauli tertawa. “Memang kamu cocoknya buat dientot, Kiani! Badan bohai, tampang cakep, ngapain kamu jadi polisi? Mendingan kamu jadi lonte! Gimana, Kiani? Suka sama pekerjaan kamu sekarang?”

“Suka!” Omongan Kiani sudah tersesuaikan dengan kehancuran mental yang telah dialaminya. Dia tak lagi seorang polwan dengan semangat berapi-api untuk memberantas kejahatan, kini dia telah menjadi seonggok daging untuk memuaskan nafsu lelaki, tanpa keinginan selain menuruti birahi. Kakinya menarik tubuh Mauli lebih dekat, pantatnya bergerak-gerak membalas gerakan Mauli. Pinggul Mauli terus menghantamnya berulangkali, sementara tangan si perwira polisi mencengkeram buah dada besar Kiani.

Persetubuhan terus berlanjut, seiring terjerumusnya Kiani Irawati ke dunia hitam…

TAMAT