Minggu, 19 Juni 2011

Model Amatir

MODEL AMATIR

SINOPSIS
Berawal dari satu pemotretan. Seorang fotografer dan seorang model.

Story codes
MF, M+/F, bd, cons, exhib, humil

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.

Cerita ini diadaptasi dari beberapa cerita lain di asstr dot org. Terima kasih juga untuk Anne dan Tyas yang memberi ide buat perkembangannya.

Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.

Model Amatir
-Ninja Gaijin-

BAGIAN 1

“Pa, boleh minta bantuannya nggak?”

“Ada apa, sayang?”

“Papa tahu temanku Belinda nggak? Dia kemarin bilang ke aku, pengen bikin foto profesional. Papa kan biasa motret, bisa nggak Papa motret dia?”

Aku menoleh dari koran yang sedang kubaca. Kulihat putriku dengan ekspresi muka memohon, sesudah menyampaikan permintaannya tadi. Belinda itu teman kuliahnya. Aku sendiri memang suka memotret—tapi bukan fotografer profesional. Buatku fotografi cuma hobi. Lumayan untuk ngisi waktu dan kesepian hati sesudah menduda. Oh ya, aku belum perkenalkan diri. Namaku Gamal. Duda umur 40-an tahun. Sepuluh tahun lalu, waktu perjalanan keluar kota bersama istri dan putri tunggalku, Hedy—yang tadi bicara denganku—mobil kami mengalami kecelakaan di jalan tol, menabrak truk. Hedy tidak apa-apa, tapi istriku meninggal dan aku sendiri luka berat. Jadilah selama ini kami tinggal berdua, aku membesarkan Hedy sendirian sampai sekarang dia baru masuk kuliah. Di antara teman kuliahnya, ada yang bernama Belinda, yang tinggal tak jauh dari rumah kami. Belinda indekos di satu rumah besar tetangga kami yang diubah jadi rumah kos; orangtuanya ada di lain pulau, tapi Belinda sepertinya kurang dekat dengan mereka. Belinda dan Hedy cukup akrab, mereka sering jalan bareng, bahkan Belinda pernah ikut liburan bersamaku dan Hedy. Waktu itulah aku pertama kali memotret Belinda, biarpun tak serius karena hanya foto liburan. Kudengar dari Hedy, Belinda sudah punya pacar tetap dan mereka menjalin hubungan lumayan lama, setahun lebih. Pacarnya mahasiswa universitas lain.

“Ummm… oke. Papa lagi banyak waktu luang sih. Kapan dia mau dipotretnya?”

“Sore ini bisa?” tanya Hedy sambil memencet-mencet HP-nya, sepertinya sambil komunikasi dengan Belinda.

“Boleh,” kujawab.

*****

Sore itu aku ke tempat Belinda. Dia tinggal di satu rumah kos berlantai tiga yang lumayan eksklusif. Kalau dari cerita Hedy, Belinda itu anak orang kaya atau pejabat di pulau seberang, makanya dia mampu bayar sewa kos yang mahal. Belinda tinggal di satu kamar di lantai tiga. Aku sudah bawa “peralatan tempur”, tas kamera di satu tangan dan tripod di tangan satunya.

Belinda membuka pintu.

“Eh, Om Gamal. Makasih ya udah datang. Ayo, masuk,” sambutnya.




Belinda



Harus diakui, Belinda gadis yang berpenampilan menarik. Kulitnya agak gelap tapi mulus, tubuhnya jangkung, rambutnya kecoklatan alami. Jujur, anakku sendiri, Hedy, kebanting dengan temannya ini. Di cara bicara Belinda, terselip logat yang menunjukkan daerah asalnya.

Aku masuk ke kamar kos Belinda lalu melihat sekeliling. Luas dan kelihatan cukup mewah.

“Mau minum dulu, Om?” Belinda menawarkan.

“Oh, gak usah repot-repot,” kujawab basa-basinya.

Ketika itu Belinda mengenakan gaun santai merah bermotif kembang, tanpa lengan dan panjangnya mencapai di atas lutut, dan kedua kakinya dibungkus stoking. Dia juga sudah mengenakan make-up tipis, siap difoto.

“Silakan duduk dulu, Om,” kata Belinda sambil menggerakkan tangan ke arah sofa di tengah ruangan. Aku duduk di sana, Belinda duduk di sebelahku.

“Apa Hedy udah jelasin aku mau difoto gimana?” tanya Belinda.

“Nggak tuh Bel, dia cuma bilang kamu minta difoto.”

“Nah, gini Om,” Belinda tersenyum sementara kedua tangannya saling genggam. “Pacarku, Agus, besok ulang tahun. Jadi emm… aku mau ngasih hadiah buat dia.”

Oh, ternyata hadiah ulang tahun. Buat pacar. Aku jadi nyengir sendiri membayangkan apa yang mau diberikan Belinda buat pacarnya si Agus itu.

Dengan malu-malu dan memutar-mutar Belinda menjelaskan hubungannya dengan Agus, dan gagasan foto apa yang mau dia buat. Dia tidak perlu memberitahuku langsung, tapi aku sudah menangkap bahwa Belinda ingin membuat foto sensual untuk pacarnya itu. Aku senyam-senyum mengerti.

“Oke, ayo kita mulai,” kata Belinda.

“Di mana nih fotonya?”

“Kayaknya kalau di balkon bagus juga,” usul Belinda. Di kamar kosnya ada balkon sempit yang menghadap samping, ke arah rumahku. Lingkungan kami rada sepi, jadi dia tidak perlu kuatir ditonton orang. “Mumpung masih terang.”

“Iya, pakai pencahayaan alami kayaknya bagus juga,” celetukku.

Belinda berdiri dari sofa dan membuka pintu ke balkon. Kupasang tripod dan kukeluarkan kamera. Kubidikkan kamera ke arah Belinda yang sedang menyisir rambutnya di balkon. Agar pemotretan lebih stabil, aku sudah berencana tidak memotret dengan memencet tombol rana di badan kamera, tapi kupasang remote control berkabel cukup panjang ke kamera.

“Udah siap. Kita coba, ya?”

Sore itu berangin. Rambut Belinda yang lurus kecoklatan berkali-kali tertiup menutupi wajahnya. Bando yang menahan rambutnya tidak membantu. Dan—angin dingin itu juga membuatku sadar bahwa Belinda tidak sedang memakai bra. Puting gadis itu mencuat di balik gaun tipisnya…

“Malah jadi ribet nih, Om,” Belinda terkikik sambil mencoba merapikan rambutnya. Anginnya tidak membantu.

“Kalau di sofa aja gimana?” usulku.

Belinda menutup lagi pintu balkon, lalu berjalan dan menjatuhkan diri di sofa ke posisi duduk menyilangkan kaki. Gaunnya tersibak menampilkan pahanya yang mulus. Kupindahkan tripod.

“Oke, kita coba lagi ya. Senyum,” kataku.

Belinda tersenyum malu-malu dan mulai berpose. Aku mulai mengambil beberapa potret. Anak ini ternyata ada bakat juga jadi model, harus diakui dia pintar membawa diri di depan kamera.

Dan kuperhatikan juga pose-nya makin lama makin menggoda. Pahanya yang mulus itu dia umbar. Satu kali dia sengaja merenggangkan pahanya cukup lebar, sehingga celana dalamnya mengintip.

Setelah mengambil kira-kira dua belas foto, Belinda bilang dia mau ganti baju. Dia masuk ke kamarnya sementara aku melihat foto-foto yang barusan.

Ketika Belinda keluar lagi, aku kaget melihat penampilannya yang lebih seksi. Dia sekarang mengenakan atasan tank-top tipis putih (sehingga payudaranya terlihat membayang) dan rok mini hitam tipis berenda. Mukanya memerah waktu dia sadar aku memandanginya, tapi tak lama kemudian tanpa malu-malu dia kembali berpose. Aku sendiri sudah beberapa kali memotret foto seksi, jadi biasa saja dengan penampilan dia. Meskipun harus diakui juga tubuh Belinda pasti menggiurkan laki-laki normal manapun yang memandangnya. Rasanya nggak profesional, tapi aku terangsang juga. Apalagi pose-posenya makin lama makin seksi. Berdiri berkacak pinggang dengan kaki merentang. Menggoda dengan memerosotkan satu tali bahu tank-top. Atau menaikkan tank-top sampai batas bawah payudara.

“Aku ganti kostum sekali lagi ya Om,” kata Belinda sambil tersenyum nakal. Dia masuk kamar sementara aku berusaha meredakan sensasi yang mulai muncul. Celakanya, Belinda justru muncul dengan satu set lingerie pink-hitam, bra dan celana dalam. Lama-lama aku merasa iri juga dengan si Agus pacarnya itu. Belinda pasti cinta berat kepada dia, sampai-sampai mau ngasih hadiah foto-foto seksi seperti ini. Kali ini Belinda berposisi merangkak di atas sofanya, dan dia sudah melepas bando sehingga rambut panjangnya jatuh membingkai wajahnya. Belasan foto kuambil selagi Belinda bergonta-ganti pose, dan lensa kameraku menikmati mulusnya kulit dan bulatnya bokongnya. Ekspresi Belinda sulit digambarkan, malu-malu sekaligus berani. Dia menatapku dan aku mengangguk tersenyum. Biarpun pekerjaan ini pasti tidak dibayar, foto-fotonya saja sudah jadi imbalan yang memadai.

“Oke, udah cukup banyak nih. Kamu mau lihat?” Kuhentikan sebentar sesi pemotretan. Belinda langsung beranjak dari sofa ke sampingku di belakang kamera. Dia cukup dekat sehingga aku bisa mencium wewangian yang dia pakai. Kami melihat satu per satu foto yang sudah diambil.

“Seksi nggak, Om?” pertanyaan Belinda telak, tapi anehnya tidak membuatku terkejut.

“Ya… lumayan,” jawabku setengah jujur. Takutnya kalau kujawab ‘iya, seksi banget’ dia bisa tersinggung.

“Tahu nggak, Om, semua yang kupakai hari ini tuh hadiah dari Agus. Makanya aku rancang balasannya seperti ini, foto-fotoku pakai baju dari dia. Dia bakal suka kan, Om?” kata Belinda. Dari celetukan itu saja aku bisa menakar hubungan antara Belinda dan Agus. Jelas cukup akrab dan intim sehingga Agus tak sungkan memberi hadiah pakaian dalam seksi untuk pacarnya. Berani taruhan, mereka berdua pasti sudah berhubungan badan.

HP Belinda yang dari tadi ada di atas meja berbunyi. Belinda mengambilnya, dan melihat siapa yang menelepon.

“Agus,” katanya sambil tersipu.

Dia menjawab panggilan telepon sambil berdiri agak jauh dari posisiku. Masih mengenakan set pakaian dalam pink-hitam yang diberikan si penelepon.

“Halo sayang…”

Aku tidak menyimak obrolan mereka, daripada nguping lebih asyik melihat-lihat lagi foto-foto seksi Belinda. Rasanya tidak sabar ingin memindahkan semuanya ke komputer biar bisa ditampilkan di layar yang lebih besar. Tapi secuplik-secuplik kata-kata sepasang kekasih itu terdengar juga.

“Lagi… difoto.”

“Kamu lagi ngapain yang?”

“Apa…?”

“Kok… kok gitu sih?”

“Kok kamu gitu sih??”

“…”

“Brengsek!!”

Heh? Kok jadi begini?

Belinda membanting HP-nya, lalu dia berlari masuk kamar dan membanting pintu. Terdengar jeritan. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku cuma duduk bengong di tempat. Beberapa menit kemudian Belinda kembali, sesenggukan dan matanya basah.

“Maaf, Om…*hiks*” ujarnya di sela isak tangis.

“Nggak apa-apa, Bel… Kabar kurang enak kah…?”

“Parah Om…” kata Belinda dengan nada pilu. “Dia… Agus… tega banget dia. Padahal aku udah percaya banget ama dia… sampai aku rela ngasih semuanya buat dia…”

(Betul kan dugaanku tadi? Perawannya Belinda sudah diambil sama si Agus.)

“Tapi tadi dia putusin aku!”

“Eee…”

“Dia ngaku dia jalan sama cewek lain, teman sekampusnya. Udah sebulan. Padahal… aku kurangnya apa…?? Huu~hhh…” Air mata Belinda kembali mengalir.

Di depanku ada seorang gadis yang menangis. Mau bagaimana lagi. Refleksnya laki-laki ya pasti akan berusaha menghibur. Dan tahu-tahu saja aku sudah merangkul Belinda, mengusap-usap punggung dan rambutnya. Belinda membenamkan mukanya ke dadaku.

“Kenapa ya Om…” isak Belinda. “Kenapa si Agus tega ninggalin aku?”

Mana aku tahu? Tapi ya aku nggak tega bilang begitu sama Belinda yang sedang sedih dan shock. Tapi, ya, Belinda baru umur 18. Agus, yang anak kuliahan juga, pastinya seumuran. Cowok umur segitu masih labil. Bisa saja si Agus bosan, atau nemu tantangan baru, atau takluk sama rayuan cewek yang lebih agresif—

“Tadi dia bilang dia sekarang udah jadian sama Viani… Viani tuh temen sekampusnya… dasar brengsek, dia selama ini bilang Viani temen biasa aja… *hiks* cewek kurang ajar, mentang-mentang bisa ketemu setiap hari… Apa dia gak tau Agus udah punya aku? Uhh… huhuhu…”

Susah juga berusaha menenangkan Belinda sementara celanaku mulai terasa sempit tidak karuan gara-gara tubuh Belinda yang cuma pake lingerie nempel ke tubuhku—

“Om…” tanya Belinda, “Sebenarnya aku cantik nggak sih?”

Waduh. Pertanyaan bahaya.

“Iya, Bel, kamu cantik kok. Cantik banget.”

Waduh. Kok aku jawabnya begitu?

Wajah Belinda yang tadi menempel di dadaku sekarang menghadap langsung ke wajahku.

“Bener, Om…?” pertanyaannya menuntut kepastian.

Aku mengangguk. Duh, wajahnya terlalu dekat.

*cup*

Tiba-tiba saja Belinda mengecup bibirku.

“…hmm…” desahnya.

Waduhhhh.

Tampangku pasti sudah seperti orang bego. Aku melongo gara-gara tindakan Belinda barusan. Ini… mestinya… salah nggak sih? Terima ciuman dari cewek yang seumuran dengan anakku sendiri? Pacar orang pula. Eh, tunggu. Dia barusan diputus pacarnya. Jadi sudah mantan pac—

Sebelum pikiranku sempat melanjutkan, Belinda sudah meneruskan kecupannya tadi dengan ciuman yang lebih hangat. Bibir dan lidahnya memaksa bibirku menerima. Ciuman seseorang yang sedang tertekan dan butuh pelampiasan. Dan bibirku tidak melawan.

Ada bagian otakku yang langsung menjerit melarangku macam-macam, tapi suara bagian itu dibungkam bagian lain yang menyuruh menikmati saja. Lagipula ciuman Belinda sungguh nikmat… sampai-sampai aku merangkul pinggangnya erat-erat, enggan melepas dia ketika dia melepas bibirnya dari bibirku.

Belinda tersenyum sesudah ciuman itu. Dia mengelus dadaku.

“Om,” bisiknya, “Aku tanya lagi. Menurut Om aku seksi nggak?”

“Nggak, eh, iya, kamu seksi, Bel. Dari pertama kali masuk juga aku udah perhatiin.”

Kacau… Jawabanku nggak terkontrol. Belinda nyengir malu-malu lagi mendengarnya.

“Om… aku masih mau ngirimin foto ke si Agus, tapi foto lain lagi. Biar dia tahu rasa. Masih mau bantuin aku kan, Om?”

“Hmm… kayak gimana nih?” Aku mulai menebak-nebak.

“Aku pengen bikin foto yang bakal buat dia jealous. Biar dia nyesel mutusin aku,” kata Belinda sambil tersenyum nakal. Dia kembali naik ke sofa. Lalu dia membuka bra-nya sehingga payudaranya terlihat.

“Biar ngiler dia lihat ini,” gumam Belinda, nadanya penuh dendam. Nggak usah si Agus, aku saja sudah ngiler melihatnya. Kupotret dia satu kali.

“Coba lihat, Om,” Belinda mendekat, memeriksa foto yang barusan diambil. Kuperhatikan di foto itu ekspresi matanya tajam sekali.

“Ah… kurang. Agus udah tahu aku kayak apa kalau telanjang. Huffh…”

Tapi aku baru tahu, Bel.

“Jadi gimana nih?” Emm, sebagai ayah temannya, apa aku mestinya ngasih nasihat yang lebih bijak? Bukan malah ikutan apapun yang dia rencanakan?

“Kalau dia bisa ngerangkul cewek lain, aku juga bisa nyari cowok lain,” kata Belinda. “Om… apa Om keberatan sama ciumanku tadi?”

“…”

“Aku… mau minta bantuan Om yah?”

Suara kecil di otakku yang dari tadi memperingatkan sudah tenggelam ditelan aliran darah yang menggelora ke seluruh tubuh dan kemaluan…

“Kamu… perlu apa, Bel?”

“Aku mau foto sama Om. Biar Agus cemburu.”

“Oke… foto kayak gimana tapinya?”

“Kameranya ada remote control kan? Sini Om, duduk di sebelah aku,” Belinda kembali duduk di sofa, menyediakan tempat di sampingnya.

Aku jaga-jaga dulu. “Bel, aku ga masalah, tapi nanti mukaku sendiri kusamarin ya? Aku ga mau aku sendiri kena masalah sama Agus atau yang lain.”

“Gak masalah Om,” kata Belinda tegas. Aku jalan ke sofa dan duduk di sebelah Belinda.

“Om rangkul aku sambil pegang tetek aku ya.”

Siapa juga yang bakal nolak? Aku duduk di sebelah kiri Belinda, jadi kulingkarkan lenganku ke belakang punggungnya dan tanganku menjamah payudaranya. Hangat, empuk, dan pentilnya terasa keras di antara jariku.

“Oke, foto.”

Kupencet tombol remote dengan tangan kiri. Belinda langsung memeriksa hasilnya.

“Kurang… Barangkali kalau lebih mesra lagi?” komentarnya.

“Misalnya seperti gimana?”

“Mungkin kalau aku pegang burungnya Om?”

“Emm…” Tapi sebelum aku bisa menjawab, Belinda malah sudah berinisiatif membuka resleting dan merogoh ke dalam celana. Dia tarik penisku yang sudah ereksi keluar dari celana dalam.

“Wah… Panjang banget Om… Punya si Agus aja cuma sepanjang pangkal kepalanya punya Om. Pasti bakal bikin dia ngiri!” Belinda menggenggam pangkal kejantananku sambil menoleh ke arah kamera, lalu berkata, “Foto Om.”

Aku memencet tombol. Belinda langsung memeriksa hasilnya.

“Hmm, lumayan, kayak kelihatan lagi ngocokin Om.”

Sebenarnya belum, karena tangan Belinda diam saja tadi.

“Ah, gini aja! Aku duduk di pangkuan Om.” Lalu dia benar-benar mau lakukan apa yang dia katakan. “Om buka baju ya?”

Dan aku masih terus mengikuti apa maunya. Kubuka baju dan celanaku, sementara dia sendiri melepas celana dalamnya.

“Celana dalamnya juga sekalian Om,” pinta Belinda.

Kupelorotkan celana dalamku, lalu aku duduk kembali. Belinda lalu duduk mengangkang di pangkuanku, memunggungiku. Kemaluanku mencuat di depan perutnya.

“Ah, nanggung. Sekalian aja bikin kayak aku mau dientot sama Om, ya?”

Huihh… makin lama makin parah. Atau makin asyik? Sekarang Belinda mengangkat sedikit tubuh bawahnya, mengangkang di atas ereksiku. Dia menggenggam kepala burungku, menaruhnya di depan bibir kemaluannya. Ketika dia melepas genggaman, penisku malah terkulai ke depan.

“Eh, kok malah copot… Mesti dijepit nih…”

Dia meraih kepala burungku lagi, kali ini mendorongnya ke dalam lipatan bibir vagina yang terasa lembab.

“Foto Om,” katanya. Terdengar suara klik dari tombol remote yang kutekan. Tapi pada saat yang sama kurasa jepitan kemaluan Belinda bergeser menelan seluruh kepala burungku. “Foto lagi,” suruhnya.

Dia turun makin jauh, mulutnya mengeluarkan suara mendesis. Sekarang sudah setengah batangku di dalam vaginanya.

“Bel?” tanyaku dengan agak khawatir. “Kayaknya kalau begini udah bukan pura-pura lagi deh?”

“Aku tahu, Om. Biarin aja. Foto terus.”

Tubuh Belinda turun lagi. “Uunhh…” lenguhnya selagi akhirnya keseluruhan kejantananku masuk ke dalam kewanitaannya. Sial… kejadian juga kan, aku nyodok cewek yang seumuran anakku…

“Om pinjam remote kameranya…” kata Belinda sambil terengah. Untungnya dia tidak bergerak-gerak, tapi batangku terasa nyaman dalam jepitan daging kemaluannya yang hangat. Belinda mengambil sendiri beberapa foto, lalu dia bertanya. “Eh kameranya bisa rekam video juga nggak?”

“Emm, bisa sih, pake tombol yang itu…” sambil kutunjukkan tombol untuk mengubah kamera ke mode video dan merekam. Belinda langsung mencobanya. “Udah bisa kan?”

Posisi kamera tepat di depan Belinda, sehingga wajahku ketutupan. Satu lampu kecil di kamera menyala, menunjukkan sedang merekam video.

Belinda menatap ke lensa kamera, mencibir, mengacungkan jari tengah ke arah lensa. Lalu dia mulai bergerak naik turun.

“Eh, eh…” Aku kaget juga. Gawat, si Belinda sekarang tidak cuma bikin foto seksi tapi juga video porno dan aku ikut jadi pemerannya??

“Oh, oh… oohh…” desahan dan lenguhan Belinda mulai terdengar. Tanganku bergerak sendiri menggenggam pinggang Belinda dan meremas payudaranya dari belakang.

“Oh… terus Om… panjang bangeth… ssh…”

“Ah… oh… aduh dalam banget… Bel ga pernah dimasukin sedalem ini Om…”

Sudah kepalang tanggung, nasi sudah jadi bubur, kumakan saja buburnya sekalian. Sekarang kedua tanganku meremas-remas buah dada Belinda dan menarik-narik kedua putingnya. Ulekan pinggul Belinda makin gencar di pangkuanku. Sudah lama aku tidak bersetubuh… dan sekalinya bersetubuh, dapat yang seperti ini.

“Ah… Bel, Om mau keluar, ayo kamu cabut…”

Untung Belinda cepat bereaksi. Dia langsung melepaskan diri, tepat ketika spermaku muncrat dari batang yang sedang tegak itu. Nggak lucu kan kalau keluar di dalam, terus tahu-tahu dia hamil. Mau taruh di mana mukaku depan Hedy kalau teman baiknya dihamili papanya sendiri.

Semburan pejuku rupanya cukup kencang sehingga menerpa sampai dada dan muka Belinda. Aku nggak terpikir untuk bertanya dia dapat orgasme atau tidak; sepertinya belum. Belinda menyetop fungsi perekam video, lalu duduk di depan kamera sambil masih memegang remote, dan beberapa kali memotret dirinya sendiri.

“Gimana… Udah cukup, Bel?” tanyaku.

“Kayaknya udah Om. Langsung pindahin ke komputerku aja ya?”

Belinda berjalan terhuyung-huyung ke kamarnya. Aku ikut. Foto-foto dan video yang kami ambil langsung pindah ke komputer Belinda. Lalu sambil bersantai, kami lihat satu per satu foto yang diambil, mulai dari Belinda yang masih bergaun motif kembang sampai foto-foto terakhir yang ternyata memperlihatkan cipratan benihku di muka dan dada Belinda. Kami juga menonton video pendek yang tadi Belinda ambil.

“Hihihi, Om bisa muncrat sampai jauh begitu yah,” goda Belinda sambil mencubit lenganku. Aku ketawa-ketawa saja.

“Jadi… mana yang mau dikirim buat Agus?” kutanya.

“Nggak satupun,” kata Belinda. “Dipikir-pikir, buat apa juga. Paling-paling dicuekin. Biar aja dia sama si Viani. Foto-foto ini biar kusimpan aja ya, Om?”

“Silakan aja. Berarti mukaku masih perlu disamarin nggak?”

“Buat apa… Kan yang bakal lihat cuma kita berdua,” goda Belinda sambil mengecup pipiku. Sebagian besar foto yang sudah pindah ke komputer Belinda kuhapus dari memori kameraku; kusisakan sedikit saja foto Belinda yang berpakaian lengkap, untuk ditunjukkan ke Hedy kalau perlu.

Wah, bakal jadi bagaimana hubunganku dengan Belinda?

*****

BAGIAN 2

Ternyata urusanku dengan Belinda tidak berhenti sesudah pemotretan di kamar kosnya. Sebulan sesudah pemotretan pertama itu, Belinda menghubungiku lagi, memintaku memotretnya untuk portofolio. Tapi setelah kami berdiskusi lewat telepon, aku sadar bahwa tema yang dia minta memerlukan peralatan dan studio yang aku tak punya. Jadi aku coba hubungi beberapa teman yang fotografer profesional, berharap ada yang mau meminjami studio. Jordy, salah seorang teman yang biasa mengajariku trik-trik fotografi, bersedia meminjamkan studionya asal dia dibolehkan ikut memotret.

Kami janji bertemu di studio milik Jordy satu siang. Selagi membuka pintu mobil dan melangkah keluar menenteng tas kamera, aku berjanji kepada diri sendiri bahwa keintiman seperti yang terjadi dengan Belinda terakhir kali aku memotret dia tidak akan berulang. Aku sendiri nyaris menolak permintaan Belinda, tapi dia bilang cuma aku fotografer yang bisa dia percaya. Lagi pula, kami sama-sama suka foto-foto dari sesi pertama itu. Barangkali dia merasa cocok denganku.

Aku masuk ke studio Jordy dan mendapati Belinda sedang ngobrol dengan Jordy. Belinda memakai kimono putih berbahan handuk. Wajahnya sudah bermake-up, siap untuk pemotretan. Dan aku tak bisa melawan rasa penasaranku, ingin tahu apa yang dia pakai dan tidak pakai di bawah kimono itu.

Mata Belinda membelalak. “Eh, Om Gamal. Aku udah nyampe dari tadi, ini lagi ngobrol sama Om Jordy.” Dia berdiri menghadapku dan merentangkan lengan seolah-olah menawarkan pelukan, tapi kemudian dia mundur, seperti ragu-ragu. Bagus juga sih kami tidak pelukan. Aku takut tidak kuat menahan godaan untuk memeluk, lalu mencium, lalu… ya kalian tahu sendiri lah. Aku terus mengingatkan diri, Jangan macam-macam dengan dia, dia temannya anakku.

“Bro, temuan lu ini lumayan juga,” Jordy si pemilik studio juga menyambutku. Jordy seumuran denganku, tampangnya biasa-biasa saja dengan rambut jabrik dan mata mengantuk, tapi dia agak terkenal di dunia fotografi sebagai fotografer untuk majalah pria dewasa. Dia sudah berpengalaman menangani model, dan ketika aku datang sepertinya dia sedang menawari Belinda difoto untuk majalahnya.

Setelah ngobrol sebentar, aku dan Belinda mengikuti Jordy ke ruang studio. Jordy sudah menyiapkan semuanya, jadi Belinda tinggal berpose dan aku serta Jordy tinggal memotret. Aku dan Jordy memasang kamera masing-masing menghadap satu latar netral. Kamera Jordy lebih serius daripada kameraku. Kumasukkan memory card kosong ke kameraku. Foto-foto Belinda sudah kuhapus semua; sekarang file-file foto dia dari pemotretan di kamarnya cuma ada di komputer dia dan di manapun dia menyimpannya, yang jelas aku tidak pegang. Kuperhatikan sekeliling, Jordy sudah menyiapkan lampu-lampu kilat.

Belinda membuka kimono putihnya. Di bawahnya dia mengenakan gaun hitam polos yang tampak pas sekali dengan lekuk tubuhnya. Kuperhatikan tubuh jangkungnya jadi lebih montok. Aku bertanya-tanya, apa dia tipe yang kalau sedang stres jadi banyak makan. Putusnya hubungan dia dengan Agus mungkin saja menyebabkan itu. Pinggulnya terlihat lebih lebar, dadanya juga terlihat lebih berisi (atau dia memakai bra yang bikin dadanya kelihatan lebih besar). Gaunnya terhitung sopan, sampai ke bawah lutut. Pas sekali dengan tubuhnya, jadi lekuk-lekuk tubuhnya terlihat indah. Waktu kuminta dia berpose dengan wajah menoleh, aku tidak bisa tidak berpikir dia terlihat tambah menggiurkan. Tapi aku ingat janjiku—jangan macam-macam selain memotret.

Aku memberi instruksi selagi Belinda berganti-ganti pose. Dia punya kebiasaan menundukkan kepala atau terlalu membungkuk; maklum masih amatir. Kusuruh dia tegakkan kepalanya, supaya terlihat percaya diri, dan tarik bahunya ke belakang supaya dadanya membusung. Sesudah kuubah posenya, Belinda tampak lebih menarik dan kedua payudaranya tampak mengacung ke arahku. Maksudnya ke kamera.

Sesudah aku dan Jordy memotret beberapa puluh kali, kami berhenti sebentar dan memeriksa foto-foto yang kami ambil. Belinda ikut nimbrung dan melihat foto-foto itu dari belakangku. Senyumnya dan sentuhannya di bahuku mengatakan dia suka hasilnya. Aroma tubuhnya enak… entah itu alami atau wewangian yang dipakainya.

Belinda ingin dipotret menggunakan beberapa busana, dan sebelumnya dia sudah diberitahu Jordy mengenai kostum-kostum yang tersedia di studionya itu. Jadi Belinda kemudian masuk ke ruang ganti, dan keluar lagi dengan kostum pilihannya: gaun pengantin gaya Barat berwarna putih murni, dengan hiasan renda yang rumit. Tapi dia memegangi bagian atasan korset gaun itu. “Bantuin tutup resletingnya Om,” pintanya. Dia berbalik, memperlihatkan punggungnya.

Dengan hati-hati aku menarik resleting korset gaun pengantin itu. Bagian depannya jadi mengencang, kedua payudaranya terdorong naik. Kemudian Belinda berpose lagi. Ketika dia terlalu membungkuk lagi, payudaranya hampir tumpah. Kusuruh dia berdiri tegak kembali; mungkin supaya tidak terjadi “kecelakaan” yang bakal membuatku lupa diri. Tentu saja, dia memintaku membukakan lagi resletingnya setelah pemotretan gaun pengantin selesai. Dia meninggalkan ruang pemotretan menuju ruang ganti sambil memegangi korset. Kalau tidak dipegangi, bisa-bisa gaun itu merosot, menelanjangi dia selagi dia berjalan. Waduh. Membayangkan itu saja membuatku tegang. Entah baju apa lagi yang dia pakai sesudah ini.

Gaun rumahan dua lapis—putih di atas kotak-kotak merah-hitam—adalah busana selanjutnya. Bagian roknya melebar, tapi pendek, di atas lutut. Kuatur kameranya untuk mengambil serentetan foto dengan cepat dan kuminta Belinda bergerak. Dia berputar, dan roknya terangkat oleh putaran. Seolah-olah dia tak pakai rok. Seluruh pahanya sampai terlihat.

Apa Belinda sedang menggodaku?

Semoga tidak. Kali ini tidak ada alasan dia habis putus dengan pacarnya. Aku terfokus ke fotografi saja, seperti juga Jordy yang dari tadi tak banyak berkomentar dan hanya memotret.

Aku lega ketika Belinda muncul lagi dengan celana jeans dan kemeja merah biasa. Dia berpose lagi, kali ini sudah lebih baik dariapda sebelumnya. Ah, tapi aku mulai membayangkan tubuh indah di balik pakaian itu.

Setelah aku selesai memotret, Belinda berdiri menunggu.

“Apa udah semua?” kutanya. Belinda malah menoleh ke Jordy yang kemudian tersenyum.

“Satu lagi. Baju renang…”

Nah, kemaluanku tidak cuek saja sepanjang pemotretan. Secara bertahap dia bangun, mengeras. Iyalah. Aku masih laki-laki normal. Aku berharap semoga baju renangnya jangan yang tipe seksi, misalnya bikini kecil. Harapanku terkabul ketika Belinda muncul lagi dari ruang ganti. Bajunya tipe one-piece dengan bagian dada sebagian besar tertutup (walau ada belahannya), bercorak tutul macan, dan bagian bawahnya normal, tidak menyempit. Tapi celah di bagian dadanya itu memperlihatkan belahan pertemuan kedua payudaranya. Dan di belakang kamera, aku menyesuaikan ereksi di dalam celana.

Belinda menggunakan bangku sebagai alat bantu pose; aku dan Jordy memotret.

“Kayaknya ada banyak foto bagus yang kita dapat hari ini,” kataku sambil menepuk kamera. Belinda tidak pergi ke ruang ganti, tapi malah terus duduk di bangku, wajahnya masam, jari-jarinya saling genggam.

“Ada apa, Bel?” tanyaku.

“Nggak apa-apa…” Dia tidak menatap mataku. Aku punya anak perempuan seumuran dia, jadi aku tahu dia sedang sembunyikan sesuatu.

Belinda pergi meninggalkanku dan Jordy, masuk ke kamar ganti. Pemotretan kami sudah selesai, dan bersama Jordy aku memperhatikan semua foto yang kami ambil barusan. Jordy nyengir-nyengir selagi kami menyaksikan pose-pose Belinda yang kami abadikan.

Terus terang… aku nggak tahan.

“Jord, di mana toiletnya?” kutanya.

“Sono,” Jordy menunjuk pintu di sebelah ruang ganti. Aku masuk ke sana. Di depan kloset kubuka resleting celanaku dan kukeluarkan burungku yang tegang.

Bukan, aku bukan mau kencing… Tapi ada bagian tubuhku yang menjerit-jerit minta dipenuhi kebutuhannya. Itu, yang kukeluarkan barusan. Tidak tahan dia bertemu kembali Belinda. Di dalam toilet sempit itu, kukocok sendiri penisku sambil membayangkan lagi tubuh Belinda dan foto-foto yang kuambil barusan. Duh, malu-maluin. Laki-laki seumurku, yang lebih pantas jadi bapaknya, malah coli membayangkan gadis semuda dia. Memang, terakhir kali aku berhubungan badan itu adalah dengan Belinda, sebulan lalu di kamar kosnya ketika dia diputus pacarnya di tengah pemotretan. Aku memang duda, tidak punya pacar dan tidak suka jajan, jadi harus diakui kebutuhan seksku tak terpuaskan. Dan sensasi terakhir yang kudapat adalah dengan Belinda. Biarpun semua dokumentasi kejadian itu—foto, video—sudah kuhapus, tetap saja kepalaku masih kuat mengingatnya. Apalagi pasangan seksku sebelum dia—mendiang istriku—sudah lama tiada, jadi kenangan kami sudah terasa jauh.

Nah, dan yang barusan kupotret itu seorang gadis muda yang sedang ranum-ranumnya, tubuhnya indah, wajahnya cantik, statusnya jomblo, dan (berdasarkan pengalaman icip-icip sendiri) enak digenjot, bagaimana aku tidak konak? Kukocok terus penisku sambil membayangkan lagi bagaimana tubuh Belinda menggeliat menggelinjang di pangkuanku waktu itu, sambil malu sendiri karena biarpun sudah tua begini aku seperti bocah remaja yang baru tahu cewek saja. Tapi mendingan begini. Daripada aku nggak tahan dan malah ngajak dia begituan lagi.

“Belinda—hhh…”

Selagi membayangkan indahnya tubuh Belinda, alat kelaminku makin tegang. Sambil menunduk di depan kloset duduk yang terbuka, satu tangan bertumpu, satu lagi mengocok sambil mengarahkan penisku ke bawah, ke arah lubang kloset. Akhirnya terlampiaskan juga.

“Uuuuhhhh… Belindaa…” lenguhku sambil merasakan semprotan demi semprotan melesat dari penisku langsung ke arah lubang kloset.

Aku terengah-engah selagi menikmati sedapnya orgasme dadakan itu. Dalam hati kubayangkan semburan pejuku bukan langsung masuk lubang kloset, melainkan ke perut dan dada Belinda.

Kudengar sayup-sayup suara satu lagu populer di luar. Ringtone? Bukan teleponku. Barangkali HP Jordy atau Belinda. Kuacuhkan saja, selagi aku menguasai diri kembali.

Mungkin ada lima menit aku terdiam di dalam toilet studio Jordy. Ketika kubuka pintunya untuk keluar, aku kaget melihat Belinda berdiri di sebelah pintu. Memang pintu ruang ganti ada di sebelah pintu toilet.

“Abis ngapain Om?” tanya Belinda datar.

Mukaku berubah merah. “Em, ya biasalah, tadi kebelet.”

Belinda tersenyum.

“Kebelet coli ya Om…”

Kata-kata barusan membuatku merasa malu sekali. Apa tadi eranganku yang menyebut nama Belinda terlalu keras sehingga terdengar dari luar? Aku tidak berani memperpanjang, jadi kudiamkan dia dan aku langsung berjalan kembali ke kameraku. Tapi celetukan Belinda sempat kudengar.

“Nggak apa-apa lagi, Om.”

Pemotretan hari itu kuanggap selesai. Aku menawarkan untuk mengantar pulang Belinda, dan kuantar dia pulang ke kosnya dengan mobilku. Sebelum kami pergi, Jordy sempat meminta nomor telepon Belinda.

Sepanjang perjalanan pulang kami lebih sering diam. Belinda terus memperhatikanku sambil sekali-sekali bertanya, seperti menanyakan tentang Hedy atau Jordy. Aku tidak banyak bicara karena malu sendiri tadi tidak bisa menahan nafsuku dengan Belinda sebagai objeknya.

Kuturunkan dia di depan rumah kosnya yang terletak di sebelah rumahku sendiri. “Makasih buat hari ini, Om,” katanya. Dan sebelum aku bisa membalas, tahu-tahu dia mengecup bibirku.

Aku kaget.

Maksudnya apaaaa?

Melihat mukaku yang kaget, Belinda terlihat kecewa. Lalu dia keluar mobil tanpa berkata apa-apa, dan langsung masuk rumah kos.

Belinda…

*****

BAGIAN 3

Entah aku bertindak pintar atau bego ketika tidak menanggapi ciuman Belinda ketika itu. Berhari-hari, berminggu-minggu kemudian tak ada kontak lagi dari Belinda. Tidak ada permintaan pemotretan, bahkan dia pun tidak mampir-mampir lagi ke rumah untuk menemui Hedy. Hedy bilang Belinda masih kuliah, tapi sering sibuk dan jadi jarang menghabiskan waktu bersamanya. Dan menurut Hedy, Belinda jadi sukar dihubungi kalau malam.

Sesudah dua bulan, aku menemukan jejak Belinda, di satu majalah pria dewasa. Foto-foto seksinya dimuat di majalah itu. Fotografernya, Jordy. Bisa kubayangkan apa yang terjadi sesudah pemotretan di studio Jordy itu: pasti Jordy tertarik dengan hasilnya dan menawari Belinda untuk tampil di majalahnya. Tidak heran sih, dia memang seksi… dan jelas cocok tampil dalam fantasi lelaki…

Eh.

Rasa bersalah itu kembali lagi. Aku selama ini terbiasa menganggap Belinda sebagai teman anakku—seseorang yang jauh lebih muda dan seharusnya bukan jadi sasaran nafsuku. Sesudah semua yang terjadi… apa aku seharusnya berbuat lebih banyak? Tapi sebagai apa? Tetap kuperlakukan seperti teman Hedy? Atau… lebih?

Bagaimana sebenarnya perasaanku terhadap Belinda?

Tapi aku tetap tidak berbuat apa-apa. Kubiarkan keadaan mengambang terus. Belinda juga sepertinya menjauh dari Hedy di kampus. Dia tetap di tempat kosnya yang lama, di rumah sebelah rumahku, tapi dia jarang sekali kelihatan. Mampir ke rumah pun tidak.

Dan berbulan-bulan kemudian, foto-foto dia terus bermunculan. Dari satu majalah pria dewasa ke majalah pria dewasa lain. Kadang-kadang scan majalah-majalah itu muncul di forum-forum internet. Dan tiap kali aku melihatnya, selalu muncul perasaan ragu dan agak bersalah. Seolah-olah aku telah gagal menjaga sesuatu.

Tapi kenapa?

Belinda kan bukan siapa-siapaku? Dia cuma teman anakku. Sekarang juga sudah tidak akrab. Aku memang sempat menemaninya pada saat dia sedang jatuh, dan menghiburnya dengan mengikuti kemauannya. Mungkin aku ada andil juga dengan pekerjaan barunya sekarang sebagai model di majalah-majalah itu, karena sudah menghubungkan dia dengan Jordy.

*****

Dan pada suatu hari, Belinda menghubungiku lagi. Lewat telepon.

“Om…” katanya lirih.

“Ada apa, Bel?”

“Om temuin aku dong sekarang,” katanya. Waktu itu aku baru selesai makan malam bersama Hedy di rumah. Hedy sedang membawa piring ke dapur untuk dicuci. Kutinggalkan meja makan, sengaja supaya obrolan kami tak terdengar anakku itu.

“Di mana?”

“Di kamarku,” kata Belinda.

“Kamu masih di sebelah kan?”

“Iya Om,” katanya.

Kubilang ke Hedy bahwa aku ada urusan mendadak di luar, dan kusuruh dia jaga rumah. Aku sengaja bawa mobil supaya Hedy mengira aku pergi jauh, padahal mobil kuparkirkan di tempat yang tidak kelihatan dari rumah, lalu aku jalan kaki ke rumah kos Belinda. Kuketok pintu kamar kos Belinda dan kulihat dia membukakan pintu. Belinda mengenakan tanktop pink dan rok mini pink yang memamerkan kemulusan pundak dan pahanya, tapi wajahnya yang cantik itu tampak sendu.

“Hai… Om…” sapanya pelan. Dia mempersilakanku masuk dan mengajakku duduk di sofa. Sofa tempat dulu aku berhubungan dengan dia…

“Om ke mana aja… Aku kok ga pernah dikontak?”

“Eh… Aku…” Aku tidak tahu bagaimana seharusnya menanggapi pertanyaan Belinda barusan.

“Om udah ga peduli sama Belinda lagi ya??”

Kata-kata itu disampaikan Belinda dengan tatapan tajam.

“Ha…” Cuma itu yang bisa keluar dari mulutku. Kaget.

“Om ngga tau kan aku ngapain aja selama ini? Sesudah pemotretan di studio Om Jordy? Om ngga pengen tau?”

“Eh, bukan begitu, tapi…” kulihat wajah Belinda jadi cemberut.

“Om ga peduli ya kalau aku sekarang dipake sama Om Jordy dan teman-temannya?”

“Apa…”

Seperti disambar geledek aku mendengar kata-katanya barusan. Dipakai? Oleh Jordy dan teman-temannya?

*****

Selanjutnya aku duduk mendengarkan Belinda bercerita mengenai semua yang telah terjadi. Belinda bercerita sambil menyandarkan tubuhnya kepadaku.

“Tiga hari sesudah pemotretan di studio Om Jordy, aku ditelepon sama Om Jordy lagi, ditawari foto seksi buat di majalahnya. Om Jordy nawarin bayaran rada tinggi, jadi aku mau. Jadi aku terus kita foto-foto di satu villa di luar kota. Barangkali Om Gamal udah lihat foto-fotonya di majalah, itu yg aku difoto di balkon yang pemandangannya pegunungan…”

Ya, aku ingat foto-foto itu. Aku lihat scan edisi majalah itu di satu forum dewasa. Dia memakai kimono merah yang sedikit demi sedikit tersingkap sehingga pada akhirnya menyisakan set lingerie seksi. Dan aku ingat komentar anggota-anggota forum itu yang memuji kecantikan Belinda, juga minta “umpan lambung” dan “nocan”.

“Abis pemotretan… gak tau gimana, aku jadi nurut aja sama Om Jordy sesudah diajak ngobrol… tau-tau kami udah telentang aja di ranjang… aku ditelanjangin sama Om Jordy, terus…”

Hatiku bilang: Stop, stop, Belinda, aku ga mau dengar…

…tapi Belinda melanjutkan ceritanya dengan bagaimana akhirnya pemotretan itu berujung persetubuhan antara dirinya dan Jordy. Rayuan maut Jordy rupanya berhasil membuat Belinda luluh dan membiarkan Jordy menikmati tubuhnya. Aku mendengar dengan miris selagi Belinda menceritakan bagaimana dia terlena dan sesudahnya baru menyesal.

“Ya ampun, Bel, aku nggak nyangka Jordy seperti itu…” potongku, sementara tanganku bergerak sendiri merangkul Belinda berusaha menghibur, tapi Belinda seperti tak peduli dan terus bicara.

“Habis itu, foto-fotonya terbit di majalah. Aku mulai diajak Om Jordy untuk ikut dia ke mana-mana, hang out, dugem, dikenalin sama teman-temannya yang model dan fotografer juga. Awalnya sih biasa aja, tapi lama-lama Om Jordy minta aku… temenin klien-kliennya.”

Aku menahan nafas.

“Om Jordy itu germo,” kata Belinda singkat dan tajam. “Dia biasa nyalurin model-modelnya. Awalnya aku nolak, tapi terus Om Jordy maksa dan ngancem. Dia bilang dia punya foto dan video yang bisa dia sebar di internet. Tadinya aku nggak takut, karerna kupikir kalau foto-fotoku sendiri atau sama Om Jordy, nggak sebegitu parah. Tapi…”

Belinda berhenti sebentar, menatapku, dan,

“Yang dia pegang itu foto dan video kita, Om.”

Aku kaget. Foto dan videoku dengan Belinda… berarti dari pemotretan pertama itu.

“Dari mana dia dapat?”

“Dia dapat dari HP dan komputerku, Om… Om Jordy rupanya pernah otak-atik isi barang-barangku, dan ketemulah foto sama video kita itu…”

“Kenapa kamu simpan, Bel??” Aku sendiri sudah menghapus semuanya. Tapi Belinda tidak menjawab, dan malah menatapku seperti dia bertanya “ngapain Om bicara seperti itu”.

“Om Jordy bilang dia punya teman polisi, pejabat. Katanya kalau video porno nyebar, biasanya yang bakal dicari duluan itu pelakunya. Aku takut Om kebawa-bawa, jadi aku terpaksa nurut sama Om Jordy, jadi… terusnya aku mulai ngelayanin orang-orang yang bayar sama Om Jordy. Di hotel, di apartemen, di mobil…. Pemotretan juga jalan terus. Kadang aku dibawa ke luar kota sama Om Jordy buat pemotretan, tapi ujung-ujungnya tetap aja aku mesti layanin nafsu mereka…”

“Aku sebenernya pengen kabur tapi Om Jordy terus ngancam aku. Aku diawasin terus, di kampus, di sini. Sekarang aku mesti nyalain HP terus, nunggu ditelpon Om Jordy kalau ada yang booking.”

Ketika itulah kulihat bekas tali yang samar di sepanjang pahanya.

“Bel… Itu…?” tanyaku sambil menoleh ke arah paha Belinda.

Belinda memandangiku dengan tatapan sedih.

“Ini bekas kemarin malam,” kata Belinda. Dan dia pun mulai menceritakan apa yang terjadi sebelumnya. Di antara klien-klien Jordy yang mesti dia layani, ada beberapa orang yang punya kesukaan tidak biasa. Awalnya Jordy mengadakan satu pemotretan dengan tema “beda”. Katanya temanya dia jadi korban penculikan, jadi dia difoto dalam keadaan terikat. Tapi waktu pemotretan itu, ada orang Jepang yang hadir. Belinda bilang orang Jepang itu temannya Jordy, dan lancar berbicara bahasa kita—mungkin pengusaha yang sudah lama di sini. Belinda menyebut dia “Kimura-san”. Kimura-san ini menyaksikan seluruh pemotretan bertema “terikat” itu dengan antusias, dan pada akhirnya, seperti yang lain-lain, Belinda juga disuruh melayani Kimura-san. Dalam keadaan terikat.

“Kimura-san orangnya sudah agak tua, kurus, kacamatanya tebal, mulutnya menganga terus,” kata Belinda datar. “Anunya sudah nggak bisa bangun kecuali kalau lihat cewek diikat.”

Belinda bercerita bagaimana dalam keadaan tak berdaya, Kimura-san menggerayanginya.

“Aku jijik sama dia… Jari-jarinya keriput, kering, kulitnya kasar dan bau, lidahnya menjijikkan… Tapi waktu itu aku diikat tangan dan kakinya. Sebenarnya untuk pemotretan. Ternyata itu semua Kimura-san yang minta. Aku nggak bisa apa-apa, mau teriak juga dilarang… Jadi aku cuma bisa pasrah. Sudah gitu, Kimura-san bawa macam-macam mainan.”

Kimura-san menggerayangi Belinda dengan berbagai macam sex toy dalam keadaan Belinda terikat dan tak bisa menolak. Kubayangkan film-film porno Jepang yang banyak melibatkan adegan seperti itu: aktrisnya merintih-rintih malu dan keenakan selagi payudaranya dan kemaluannya disentuh vibrator. Aku tahu seperti apa bunyi-bunyi yang dikeluarkan Belinda kalau dia terangsang, jadi fantasiku langsung menayangkan film porno Jepang dalam kepalaku, dengan Belinda sebagai aktrisnya.

Ditambah lagi, Belinda sekarang bersandar kepadaku dan tangannya mulai mengelus tubuhku. Aku bisa mencium wangi tubuhnya. Aduh… Tubuhku lagi-lagi mulai bereaksi.

“Aku dibikin orgasme pake alat-alat itu, Om… ditonton Kimura-san dan Om Jordy. Sesudah itu aku dientot sama Kimura-san. Enggak lama, paling lima menit dia langsung crot. Tapi habis itu dia terus nambah lagi macam-macam ikatanku… Dia jepit pentilku… Colokin mainan ke pantatku… Colokin vibrator yang getar-getar terus ke dalam memekku… Aku sampai kecapekan dibikin terangsang terus. Akhirnya dia ngentotin aku lagi sampai dia keluar.”

Kimura-san memberinya bayaran yang besar. Tapi si orang Jepang itu rupanya ketagihan. Belinda pun dibooking lagi oleh Kimura-san untuk diikat dan dimainkan. Sudah 3 kali; dan ketika aku bertemu dia sekarang, dia baru saja pulang dari satu sesi bondage dengan Kimura-san.

“Kemarin sore aku dipanggil lagi sama Kimura-san. Aku disuruh ke tempat dia, satu rumah besar yang sepi. Aku diantar Om Jordy ke sana. Di sana ada dia dan beberapa pembantunya. Dia suruh aku buka semua baju sampai telanjang terus aku diikat lagi… di dada, pinggang, perut, selangkangan, tetek aku keikat di seputar dasarnya, jadinya mencuat, terus di belahan memekku juga keselip tali yg nggesek ke dalam tiap kali aku jalan. Duburku juga disumpel mainan, kecil tapi bisa nyangkut di dalam karena ketahan tali. Aku didandanin sama satu anak buahnya Kimura-san, disuruh pakai rok mini dan sepatu hak tinggi, terus dibawa naik mobil Kimura-san…”

Kimura-san dan Jordy membawa Belinda yang terikat berkeliling kota naik mobil. Lalu di suatu tempat dekat pusat kota, mereka menyuruh Belinda turun dan berjalan di tengah keramaian sore. Mereka berdua mengikuti dari jauh.

“Aku malu banget… Aku nggak pakai pakaian dalam, udah gitu roknya pendek banget, hak sepatunya tinggi banget, aku takut ada yang lihat ikatan di selangkanganku. Udah gitu aku dilihatin banyak orang… Sampai deg-degan, takut ketemu kenalan. Tiap langkah, talinya gesek bibir memekku. Karena diikat, tetekku juga jadi mencuat di balik baju… Aku mesti sering banget nurunin rokku karena selalu naik tiap kali pahaku gerak, kalau nggak selangkangan dan pantatku bakal kelihatan.”

Tapi dia tak bisa kabur, karena Kimura-san dan Jordy tak pernah jauh. Kalau Belinda kelihatan mau bergerak yang tak sesuai kemauan mereka, salah seorang dari mereka bakal mendekat dan menarik Belinda. Meski hari menjelang malam, masih ada orang di jalan, dan Belinda merasa wajahnya memerah, semerah blus dan lipstiknya. Dia terus menunduk karena malu.

“Aku dilihatin orang-orang di jalan soalnya didandanin terlalu seksi… Ada yang ngelihatin terus, ada yang buang muka. Tapi anehnya aku malah kerangsang pas jalan sambil ketakutan itu… memekku jadi basah, aku ngeri ada yang bocor ke bawah soalnya aku ga pake celana dalam. Om Jordy nyuruh aku jalan terus.”

Akhirnya Kimura-san merasa cukup dan menyuruh Belinda kembali ke mobil. Di mobil, Belinda tidak langsung dibebaskan dari ikatan tapi malah digerayangi dan dimain-mainkan oleh Kimura-san dan Jordy sepanjang perjalanan kembali ke rumah Kimura-san. Dia dibikin klimaks oleh mereka, dan sesampai di rumah pun dia digarap lagi, masih dalam keadaan terikat, oleh Kimura-san. Laki-laki Jepang itu sangat terangsang melihat Belinda dipermalukan di depan umum, sehingga dengan penuh nafsu dia menjamah model amatir yang diikat itu, menggoda vagina Belinda dengan vibrator dan mencengkeram payudara Belinda. Belinda hanya bisa mengerang dan mendesah karena tak bisa mengingkari kenikmatan yang timbul, sehingga dia lupa akan betapa malunya dia ketika ada di jalan tadi. Rintihan-rintihan seksinya terus berlanjut selagi orgasme demi orgasme melandanya, sementara Kimura-san dan Jordy terus mempermalukannya dengan menyebut dia sundal dan pelacur dan lain-lain lagi.

“Aku ‘keluar’ sampai berapa kali, aku nggak ingat lagi… Kecapekan sampai ketiduran di tempat Kimura-san, masih diikat. Makanya sampai ngebekas begini, Om. Waktu bangun aku dilepas, terus diantar pulang sama Kimura-san sendiri.”

Ketika bicara begitu, matanya menatap seolah mengharapkan sesuatu dariku. Aku berusaha berpaling, sakit rasanya mendengar cerita pengalaman Belinda.

“Om…”

“Om!”

Belinda mendesah.

“Ah… benar kan, Om sudah nggak peduli aku lagi…”

“Bukan gitu Bel, aku…”

“Nggak apa-apa, Om…” kata Belinda lirih. “Aku juga salah kalau ngarepin Om... Mana mungkin…”

“Ha…?”

“Mulai besok aku nggak di sini lagi, Om,” kata Belinda. “Kimura-san minta aku tinggal di apartemennya, dia mau ngebiayain hidupku.”

Aku kaget mendengar kata-kata Belinda. Yang bisa kuucapkan cuma “Kenapa… Bel?”

Belinda mendesah kesal. “Hidupku udah kacau, Om… Kuliahku berantakan. Aku udah ga tau bisa apa lagi, udah gitu aku juga dijual sama Om Jordy, dan… Om Gamal udah ga peduli lagi sama aku.”

Aku tetap bingung, kenapa berkali-kali Belinda menyebutku ‘tidak peduli lagi’.

“Om…” kata Belinda. “Kenapa Om berhenti nemuin aku…? Aku kangen Om, tapi Om nggak pernah kontak aku lagi. Soalnya sesudah aku putus sama Agus, nggak ada lagi yang ada di hatiku selain Om…”

Hah. Ternyata…

“Tapi nggak pernah ada kontak lagi dari Om… Mungkin perasaanku emang cuma sebelah tangan. Aku juga malu hubungin Om setelah dijeblosin sama Om Jordy… Pasti Om jadi ga mau dekat-dekat aku lagi…” Belinda mulai terisak.

Seperti dulu, refleksku adalah merangkul. Tapi kali ini Belinda menepis rangkulanku.

“Nggak usah, Om…”

“Bel…”

“Aku minta Om ke sini karena aku mau pamit… Aku mau keluar dari kehidupan Om dan Hedy supaya hidup kalian tenang. Aku udah nggak bisa balik jadi yang dulu. Dan mendingan aku sama Kimura-san daripada terus ada di tangannya Om Jordy… Kimura-san udah janji aku ga usah jadi seperti waktu sama Om Jordy, cukup sama dia aja.”

“Tapi Bel… Kenapa harus gitu? Apa nggak ada cara lain…” tanyaku putus asa.

“Om mau nawarin jalan keluar lain seperti apa?” tantang Belinda. “Apa Om mau bilang, daripada sama mereka, mending sama Om Gamal aja?”

Ah… Dia menodongku melakukan sesuatu yang tidak bisa kulakukan. Kalau seperti itu, jadinya bagaimana? Aku tampung dia? Atau cara lain lagi? Lantas gimana dengan Hedy? Apa kata anakku itu nanti?

“Om ga bisa jawab,” kata Belinda pelan. “Aku tau. Pasti Om ga bakal berani nawarin seperti itu ke aku. Soalnya pasti berat banget buat Om.”

Belinda betul. Kalaupun dia ada perasaan kepadaku, memang sulit sekali itu menjadi sesuatu yang serius dan mengikat, karena keadaan kami berdua.

“Yang penting, aku pengen Om tahu, aku suka dan sayang sama Om,” kata Belinda. Dia lalu mengecup pipiku, dan menjauh. “Nggak apa-apa kalau Om nggak tau atau nggak peduli…” katanya pasrah.

“Bel…”

“Nggak apa-apa, Om… Ini pilihanku sendiri…”

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Apa sudah tidak ada lagi yang bisa kuperbuat?

Terdengar suara ringtone HP. Lagu yang sama seperti yang kudengar di studio Jordy beberapa bulan lalu. Mungkinkah waktu itu, ketika Belinda meninggalkan teleponnya di luar kamar ganti dan aku sedang tidak ada di tempat, ringtone itu menarik perhatian Jordy dan membuat dia menemukan foto dan videoku bersama Belinda?

Belinda menjawab telepon itu.

“Sudah siap, aku tinggal jalan aja… Ditunggu di depan? Oke.”

Belinda menutup pembicaraan, berdiri, berjalan masuk kamar, dan keluar lagi menggeret koper besar beroda.

Ah… betulan. Dia mau pergi.

“Selamat tinggal, Om…” Dia mendekatiku dan mencium bibirku. Rasa pahir dalam hatinya seperti terasa di bibirnya. “Makasih buat semuanya, dan maafin kalau aku ada salah…”

“Bel…” Tanganku menjangkau ke depan tapi dia menjauh, menghindar dari genggamanku. Dia menatapku untuk terakhir kali, lalu pergi tanpa berkata apa-apa, keluar dari kamar kos membawa semua barangnya. Kuikuti dia keluar. Dia tidak menoleh. Di luar rumah kos, terparkir mobil mewah. Di balik setirnya tampak seorang laki-laki berkulit kuning, berkacamata tebal, berumur lebih tua daripada aku. Itu Kimura-san? Mungkin saja. Belinda membuka pintu mobil, menengok ke arahku dengan tatapan tajam sekaligus sendu, lalu masuk ke mobil.

Aku hanya bisa berdiri mematung ketika mobil itu pergi membawa Belinda. Dadaku sakit disergap rasa bersalah dan malu. Andai saja…

TAMAT

-teriring rasa sesal-

Kamis, 21 April 2011

Slutty Wife Tia 8: Tia dan Pesta Pak Walikota

SLUTTY WIFE TIA 8: TIA DAN PESTA PAK WALIKOTA

SINOPSIS
Tia akhirnya dibawa oleh Mang Enjup untuk bernegosiasi dengan Pak Walikota. Selain mereka, juga ada dua pihak lain yang turut bersaing memperebutkan proyek. Sementara itu Bram memutuskan untuk pulang lebih cepat…

Story codes:
M+/F+, anal, cons, reluc

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.

CREDITS
Terima kasih untuk Mr. Shusaku (KisahBB) yang memilihkan judul seri Slutty Wife Tia. Terima kasih juga Anne, Linda, dan Anandika buat saran-sarannya. Teriring salam untuk Ventros S dan teman-teman pembaca seri ini di negeri seberang.

Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.

Slutty Wife Tia 8 Tia dan Pesta Pak Walikota
-Ninja Gaijin-

-ringkasan cerita sebelumnya-
Tia mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram suaminya, menjadi lebih seksi dan binal. Namun Mang Enjup, atasan Bram, mengetahui perubahan Tia dan ikut-ikutan mendorong Tia menggunakan pengaruh hipnotisnya agar perubahan kepribadian itu tidak tanggung-tanggung. Pasalnya, Mang Enjup berencana memanfaatkan kecantikan Tia, yang akan dilibatkan dalam persaingan mendapat satu tender proyek besar…

*****

“Good girls gone bad, the city's filled with them”
--Empire State of Mind, Jay-Z

Pagi, di Salon Citra.

Ketika Tia dan Citra bersekolah di SMA yang sama dulu, berbeda dua angkatan, keduanya dikenal sebagai kembang di sekolah itu. Kedua gadis yang orangtuanya saling kenal itu sama-sama jelita, namun tipe kecantikan mereka berbeda. Citra selalu bergaya, glamor, dan menggoda; Tia polos, malu-malu, dan bersahaja. Tak heran sejak dulu mereka berdua tidak pernah kehabisan perhatian dari laki-laki, mulai dari sesama siswa sampai orang-orang lebih tua. Tia tidak pernah menanggapi karena dulu dia menganggap belum waktunya dia pacaran. Sedangkan Citra beredar dari satu laki-laki ke laki-laki lain, menikmati kekaguman dan cinta mereka. Kedua gadis cantik itu akhirnya menjadi saudara ipar, dipertalikan lewat pernikahan Tia dengan Bram adik Citra, namun keduanya juga jadi bersahabat, berbagi suka dan duka, saling membela dan menjaga.

Tia

Pagi-pagi Citra sudah ditelepon Tia yang minta dirias dan didandani untuk suatu acara. Tia awalnya tidak cerita acara apa, tapi di tengah pembicaraan ketika dirias Citra berhasil mengorek sedikit-sedikit apa yang mau dilakukan adik iparnya.

“Omong-omong, ada acara apa, kok tengah minggu begini?” Citra mengulik.

“Aku diminta bantu negosiasi tender proyek sama Mang Enjup,” kata Tia.

“Tapi kenapa persiapannya kayak mau ke resepsi? Sampai pake kebaya segala…”

“Diminta Mang Enjup,” kata Tia sambil tersipu malu, “Mau ketemu orang penting…”

Citra tidak bertanya lagi, tapi dia merasakan sesuatu yang mencurigakan. Dia tahu apa yang Mang Enjup pernah lakukan kepada Tia, dan dia tahu reputasi Mang Enjup, tapi dia tak menyangka Tia akan terjerumus sedemikian jauh. Citra tidak masalah kalau Tia mengubah diri demi Bram, tapi sepertinya perubahan Tia tidak cuma itu… Tapi untuk saat itu Citra memilih diam dulu. Dia meneruskan pekerjaannya.

Tak lama kemudian Citra berkacak pinggang sambil memperhatikan hasil karya-nya, Tia yang sudah dirias lengkap dan tampak mempesona dalam kebaya modern. Tubuh Tia yang pada dasarnya indah terlihat makin gemulai dalam balutan kebaya dan bawahan kain batik yang pas badan itu. Tapi Citra sudah bisa menebak, dalam beberapa jam dandanan anggun itu akan rusak diacak-acak. Entah oleh siapa. Barangkali oleh “orang penting” itu. Mungkin Mang Enjup juga bakal ikutan. Kain batik yang membungkus pahanya bakal disingkap agar paha mulus Tia dapat dijamah. Kebaya berdada rendah yang membusungkan dada Tia itu tak bakal melindungi payudara Tia dari ciuman dan gigitan; begitu pula leher mulus Tia yang terlihat seksi tanpa tertutup rambutnya yang disanggul modern. Make-up yang dibubuhkan Citra dengan hati-hati itu bakal jadi awut-awutan karena keringat dan sperma, lipstik merah yang memperindah bibir Tia bakal terhapus ketika berkali-kali bergesekan dengan batang kejantanan.

Citra menceletuk, “Udah siap nih, pengantinnya siap naik ke pelaminan.” Tia tertawa kecil. Citra merasa sedikit miris.

“Di mana acaranya?” tanya Citra lagi. Tia menyebut nama satu hotel yang terletak dekat pusat kota. Citra tersenyum kecut. Dia hafal benar nama hotel itu. Hotel berbintang yang dulu sering sekali Citra datangi. Dengan berbagai laki-laki.

“Nanti mau dijemput sama Mang Enjup dari rumah, makanya siap-siapnya dari sekarang,” kata Tia.

“Bram belum pulang ya?”

Tia menggelengkan kepala menjawab pertanyaan kakak iparnya.

“Kapan dia pulang?” Citra terus bertanya.

“Iih, Kak Citra kok tanya-tanya melulu,” seru Tia, “Biarin aja dia mau pulang kapan…”

Citra diam saja sesudah itu, agak prihatin dan khawatir tentang apa yang akan terjadi pada Tia. Bukan seperti ini yang dia harapkan ketika beberapa waktu lalu dia memberi saran kepada Tia agar lebih mengikuti kemauan suaminya. Sebandel-bandelnya Citra, dia masih sayang pada adik iparnya, dan tidak mau Tia terjerumus seperti dirinya.

Ketika Tia kembali ke rumahnya sendiri untuk menunggu dijemput, Citra langsung menelepon Bram, ingin tahu sedang di mana adiknya itu.

Teleponnya tidak dijawab.

Tentu saja, karena Bram mematikan telepon genggamnya di atas pesawat yang sedang membawanya pulang lebih cepat daripada dijadwalkan.

*****
Tidak lama kemudian, Tia yang menunggu di rumahnya mendengar suara mobil berhenti di luar. Mang Enjup datang menjemputnya. Seperti biasa Mang Enjup ditemani dua anak buahnya yaitu Danang dan Reja. Reja menyetir sementara Danang memang kerjaannya mengintil pamannya ke mana-mana.

“Haduuh… Rupanya habis ada bidadari turun ke dunia? Mang sampe ga percaya. Geulis kieu,” puji Mang Enjup. Dia memandangi sekujur tubuh putri pemilik perusahaan tempat kerjanya itu penuh nafsu. Kalau saja hari itu bukan hari pelaksanaan rencananya, Mang Enjup ingin sekali merasai lagi tubuh indah Tia. Dia teringat-ingat terus betapa tubuh tuanya bertekuk lutut dua kali akibat kemolekan Tia kemarin, ketika Tia mendatanginya di kantor. Danang dan Reja juga terbit gairahnya melihat Tia, mereka belum lupa pengalaman mereka beberapa kali mencicipi tubuh Tia.

“Ayoh kita langsung berangkat. Neng Tia sudah makan?” tanya Mang Enjup. Tia mengangguk. “Kan tadi Mang bilang suruh siap lahir batin,” kata Tia, merujuk percakapan mereka tadi pagi. Saat itu sudah lepas tengah hari. Mobil sedan Mang Enjup segera meluncur meninggalkan rumah Tia, menuju pusat kota.

Semua itu tak lepas dari pengamatan Citra yang sengaja duduk-duduk di luar, mengawasi rumah Tia. Dengan gemas Citra kembali berusaha menelepon Bram. Belum juga berhasil.

*****

Sepanjang perjalanan Mang Enjup berbicara sesuatu ke Tia. Tia tak memperhatikan. Dia sedang menikmati bagaimana ketiga laki-laki di dalam mobil itu mengagumi dirinya. Tia duduk di belakang bersama Mang Enjup sementara Reja di depan mengemudi sedangkan Danang di kursi penumpang depan. Danang berkali-kali menengok ke belakang tanpa alasan jelas, hanya untuk melihat wajahnya. Sementara Reja terus memperhatikan jalan, tapi Tia beberapa kali melihat lewat kaca spion dalam, mata Reja tajam mengamatinya. Dan Mang Enjup sendiri mengajak berbicara Tia sambil tangannya menggenggam tangan Tia. Genggaman itu kadang dilepas menjadi belaian ke paha Tia yang masih terbungkus kain.

Kak Citra, beginikah rasanya jadi dirimu?

Sejak berubah penampilan, cara berpikir Tia ikut berubah. Kini dia menikmati perhatian dan kekaguman laki-laki. Dia mulai memandang dirinya sebagai objek nafsu lawan jenisnya, keberadaannya hanya demi memuaskan syahwat laki-laki. Seakan kodratnya adalah untuk menyediakan kecantikan dan keseksian tubuh. Dan bukan hanya untuk suaminya. Tapi untuk semua laki-laki. Dia tak menolak siapapun. Seperti seorang pelacur, Tia kini bersedia dijamah siapapun tanpa memandang status dan tampang. Sejak perubahannya, sudah banyak laki-laki yang menikmati tubuhnya. Laki-laki tua seperti Mang Enjup. Laki-laki kalangan bawah seperti Pak Kumis, si tukang sayur. Begundal seperti Danang dan para aparat yang menciduknya.

Tia sudah bisa mengira bahwa tubuhnya akan diumpankan kepada Pak Walikota. Kata-kata terselubung yang disampaikan Febby dan Jana kemarin membenarkan itu. Dan Tia sama sekali tak keberatan. Dia sudah pernah meladeni manusia-manusia yang lebih tak pantas bagi dirinya, jadi Pak Walikota malah bukan tantangan baginya. Bagaimanapun, Pak Walikota tak bisa dibilang buruk rupa. Memang umurnya sudah matang, tapi masih lebih muda daripada Mang Enjup. Dibanding Mang Enjup yang buncit, Pak Walikota lebih tegap dan atletis, karena pensiunan perwira. Ditambah lagi, Pak Walikota jelas lebih berkuasa daripada Mang Enjup, apalagi suami Tia sendiri, Bram.

Masih Tia ingat bagaimana Pak Walikota menatapnya di pesta. Tatapan seorang laki-laki yang lapar. Yang menginginkannya. Yang seolah hendak menelanjanginya saat itu juga. Memang, ketika itu bukan hanya dia yang dipandangi seperti itu; dua perempuan lain yang ada di sana juga dipandangi seperti itu. Tak apa. Tia menduga dia mungkin akan bertemu dengan kedua perempuan itu lagi. Biar saja. Dia sudah merasa cukup percaya diri untuk bersaing.

Oh, dia sudah tak sabar untuk bertemu Pak Walikota!

Mereka menuju satu kawasan yang dikenal sebagai pusat hiburan malam kota. Di tengah siang, suasananya tak begitu ramai, tak seperti kawasan bisnis dan perdagangan di sekelilingnya. Diskotik, panti pijat, karaoke, dan hotel di kiri-kanan jalan terlihat belum hidup. Tapi tempat parkir yang penuh mobil menunjukkan bahwa tetap ada orang-orang yang sedang melepas lelah dan suntuknya di sana, mencuri waktu untuk mereguk kenikmatan di tengah sibuknya jam kerja.

Mobil Mang Enjup berbelok ke arah satu gedung yang sepertinya bertingkat empat atau lima, tapi bagian mukanya tertutup dinding kamuflase utuh yang menghalangi pandangan. Tia mengira inilah hotel tempat dia akan bertemu dengan Pak Walikota. Tia baru tahu mengenai hotel itu, tapi bagi Mang Enjup, nama hotel itu sudah sangat akrab. Hotel itu terkenal sebagai salah satu pusat hiburan malam terbesar di kota. Prostitusi, judi, narkotika—semua terjadi di balik dinding yang menutupi muka hotel itu. Pihak berwenang bukannya tak tahu. Mereka sangat tahu. Dan mereka ikut menikmati bisnis gelap itu, baik uangnya maupun kegiatan usahanya.

Mobil berhenti di depan lobi dan Mang Enjup turun bersama Tia dan Danang. Reja kemudian membawa mobil ke tempat parkir. Tia dan yang lain melangkah masuk ke lobi hotel itu yang terlihat agak sepi. Di depan meja resepsionis berdirilah seorang laki-laki berambut cepak dan bertubuh besar, mengenakan kacamata hitam dan pakaian serba hitam.

“Pak Jupri. Selamat datang, silakan ikut saya,” kata laki-laki cepak itu. Mang Enjup tersenyum dan mengikuti laki-laki itu yang langsung berjalan dengan langkah-langkah besar ke arah satu pintu di seberang lobi. Tia dan Danang mengikuti.

Di balik pintu yang mereka lewati ada koridor sepi dengan beberapa pintu lain di kanan-kiri. Mereka menuju pintu paling ujung dan di balik pintu itu ada satu lounge yang terbuka ke arah kolam kecil dan taman, dengan bar menempel di satu dindingnya dan sofa-sofa putih tersebar. Karena masih siang, lounge itu sepi, hanya ada bartender yang bekerja dan beberapa orang yang duduk di sofa. Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki biasanya berpenampilan rapi seperti orang kantoran atau pengusaha. Yang perempuan umumnya muda-muda, cantik, berpakaian dan berdandan seksi. Inilah salah satu lokasi paling sering dikunjungi di hotel itu, yaitu tempat para hidung belang mencari dan tempat para wanita penghibur dan mucikari mangkal. Terlihat seorang laki-laki botak berkumis memanggil seorang perempuan paro baya, mucikari, yang datang diikuti tiga anak buahnya. Laki-laki botak itu memandangi ketiga perempuan yang disodorkan, bingung mau memilih yang mana. “Tiga-tiganya saja Om, kalau bingung,” goda si mucikari. Di pojok lain seorang laki-laki berdiri meninggalkan sofa sambil merangkul pelacur yang sudah dipilihnya, menuju pintu lift di sebelah bar, yang akan membawa mereka ke lantai-lantai berisi kamar.

“Pak Jupri, ini yang mau mewakili di atas?” kata si cepak sambil menengok ke Tia.

“Iya,” kata Mang Enjup. “Namanya Tia.”

“Non Tia bisa ikut dengan saya ke atas,” kata si cepak lagi. “Pak Jupri boleh tunggu di sini, atau tidak usah tunggu juga tidak apa-apa, barangkali terlalu lama.”

“Kita tunggu di sini aja sebentar,” kata Mang Enjup sambil menoleh ke Tia. “Neng, ikut sama bapak ini ya ke atas. Mohon bantuannya, ya Neng. Inget pentingnya tender ini buat perusahaan, buat kita semua.”

Mang Enjup menggenggam tangan Tia erat-erat, sambil memandangi dengan mata penuh harap.

“Iya, Mang,” kata Tia sambil tersenyum. Mereka berpisah di situ. Mang Enjup dan Danang mencari tempat duduk di sofa, Tia dan si cepak menuju pintu lift.

Setelah duduk, mata Danang langsung jelalatan. Beberapa pelacur yang berseliweran tersenyum menggoda ke arahnya. Sementara Mang Enjup mengawasi sekelilingnya. Dia mencari-cari kedua saingannya. Benar saja, Simon Sunargo ada di kursi depan bar, duduk menghadap bartender, tubuh kecilnya kelihatan tambah kecil karena posisinya yang seperti meringkuk menggenggam gelas berisi minuman keras. Dia sendirian dan tak mengacuhkan perempuan-perempuan cantik yang ada di sana. Beda dengan saingannya yang satu lagi, Majed. Majed yang ganteng dan bertampang seperti bule itu pindah duduk ke sofa tempat laki-laki botak berkumis tadi yang ternyata temannya, dan perempuan-perempuan yang merubungnya mengintil seolah harem-nya.

Pertarungan sudah dimulai, pikir Mang Enjup.

*****

Pintu lift membuka di lantai lima, lantai tertinggi hotel. Tia dan si cepak keluar ke koridor sepi dengan sedikit pintu—tanda bahwa di lantai ini kamar-kamarnya besar sehingga jarak antar pintu lebih jauh. Memang lantai lima adalah lantai khusus kamar suite, kamar-kamar termahal di hotel itu.

Salah satu pintu kamar terbuka dan keluarlah dua laki-laki bertubuh tegap seperti aparat. Salah seorangnya terlihat teler dan mesti dipapah temannya. Tia dan si cepak menepi ketika kedua laki-laki tegap itu berpapasan dengan mereka, menuju lift. Mungkin di dalam kamar itu sedang ada sesuatu yang dinikmati, sesuatu yang membikin teler. Tapi keempat orang yang bertemu tanpa sengaja di lorong lantai lima hotel itu tak saling bertanya. Tahu sama tahu. Mereka tidak peduli apa yang dilakukan orang lain di kamar-kamar tertutup di sana, asalkan tidak mengusik apa yang mereka sendiri lakukan. Dalam kerahasiaan dan ketertutupan, di balik dinding yang menghalangi pandangan dari luar, segalanya bisa terjadi.

Tia merasakan jantungnya berdebar-debar ketika dia dibawa menuju satu pintu yang terletak paling ujung. Di depan pintu itu, si cepak mengetok pintu beberapa kali lalu mengangkat walkie-talkie yang dari tadi ada di pinggangnya.

“Pak, dari Pak Jupri, sudah datang,” katanya ke walkie-talkie itu.

“Suruh masuk,” kata suara yang membalas.

Mereka berdua masuk setelah kunci pintu dibuka. Pintu itu adalah pintu kamar suite terbesar di hotel. Yang menyambut Tia di dalam adalah pemandangan interior mewah area depan kamar itu, ruangan kecil bernuansa warna hijau zaitun dengan kertas dinding mewah dan lukisan besar. Di ruangan itu ada satu sofa lebar.

“Silakan duduk di sofa sama yang lain,” kata si cepak kepada Tia, kemudian dia keluar lagi dari kamar itu. “Yang lain” yang dimaksud adalah dua perempuan lain yang sudah duduk di sofa. Dua perempuan yang sudah Tia lihat waktu pesta.

Dua saingannya.

Duduk di sebelah kiri sofa, Gabriella Iffa Almaraz. Perempuan Amerika Latin yang dibawa Majed itu tampak menawan dalam gaun merah dan sepatu hak tinggi yang juga merah, membuat Tia teringat telenovela yang dulu ditayangkan di TV dan sangat terkenal, di mana pada pembukaan tokoh utamanya menari sambil menyanyikan lagu tema dengan mengenakan pakaian seperti itu. Gaby berkulit sawo matang, dengan mata kelabu-biru bening, rambut coklat bergelombang, dan hidung mancung. Kecantikannya memang menonjol, namun di negara asalnya yang terkenal sebagai gudang perempuan tercantik sedunia, Gaby sebenarnya tidak istimewa, apalagi dia sebenarnya berasal dari latar belakang miskin dan tak punya ketrampilan. Keadaan itulah yang membuat Gaby terjerat iming-iming pekerjaan yang ditawarkan mafia setempat, dan pada akhirnya dia terdampar di negara asing yang jauh dari kampungnya. Masih untung, di negara asing yang jauh itu justru wajah uniknya membuat dia berharga lebih tinggi sebagai penghibur, makanya hanya orang-orang yang mampu bayar mahal macam Majed-lah yang bisa menanggap jasanya.

Gabriella

Sementara di sebelah kanan sofa bersandarlah Wang Shen Yi alias Shenny, yang mewakili Simon Sunargo. Salah satu bisnis Simon adalah agen model, namun Simon juga mengaryakan sebagian modelnya sebagai pelacur kelas tinggi. Tarif mereka yang bisa mencapai jutaan untuk semalam membuat gadis-gadis itu beredar di kalangan eksklusif saja. Shenny adalah salah satunya, gadis keturunan oriental yang terbujuk rayuan agen “pencari bakat” bawahan Simon yang menawarkan pekerjaan model dengan menyatakan tampang khas Asia Timur yang dimiliki Shenny sedang diminati. Diminati, oleh banyak laki-laki, keturunan maupun pribumi, yang memang menggemari kulit kuning langsat dan mata sipit, dan mampu mengeluarkan uang banyak. Uang dan kehidupan glamor membuat Shenny sulit lepas dari pekerjaannya, memuaskan mata dan tubuh laki-laki. Tubuh langsing Shenny siang itu berbalutkan cheongsam sutra coklat, sementara tata rambutnya persis seperti ketika Tia pertama kali melihatnya, dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit rambut berbentuk anggrek.

Dengan hadirnya Tia, maka lengkaplah perwakilan dari tiga peserta tender yang akan bersaing memperebutkan proyek besar. Tia jelas berbeda dengan Gaby dan Shenny. Kedua perempuan itu boleh dikata memang berprofesi prosititusi kelas tinggi. Sementara Tia bukan. Tia seorang auditor internal paro-waktu di perusahaan perkongsian orangtuanya dan orangtua Bram, juga istri Bram, dan calon pewaris perusahaan. Sebenarnya bukan tugas Tia untuk mengorbankan tubuhnya demi perusahaan. Namun siasat Mang Enjup yang sudah mengetahui kesukaan Pak Walikota terhadap Tia-lah yang membuat Tia berada di sana.

Dan semua itu berawal dari foto-foto pelacur yang Tia temukan di HP Bram!

*****

Ketika Tia datang, Gaby dan Shenny sedang ngobrol dengan bahasa Inggris. Keduanya berhenti bicara sewaktu Tia mendekat. Shenny menatap Tia dengan tatapan angkuh, sementara Gaby tersenyum lebar, berdiri, dan menjulurkan tangan.

Shenny

“Hi there. I think I already saw you at the party?” “Hai, bukankah saya pernah lihat kamu di pesta itu?” sapa Gaby dengan bahasa Inggris berlogat Latin.

Tia menyambut uluran tangan itu dan berjabat tangan dengan Gaby. “How do you do? I’m Tia.” “Apa kabar? Saya Tia.”

“Nice to meet you Tia. You’re here for the business also?” “Senang bertemu kamu, Tia. Kamu ada di sini untuk urusan itu juga?” sambut Gaby ramah. Gadis Latino itu sepertinya mudah akrab dengan orang.

Kemudian Tia menyodorkan tangan ke arah Shenny, berusaha berkenalan. Beda dengan Gaby, Shenny tampak meremehkan Tia dari tadi, tapi mukanya terlihat seperti kecele’ ketika mendengar Tia juga bisa ngobrol lancar dalam bahasa asing dengan Gaby.

Tia duduk di antara Gaby dan Shenny di tengah sofa, kebaya warna emasnya membuat dia tak terbanting oleh keelokan kedua saingannya.

“Udah biasa urusan begini?” tanya Shenny datar ke Tia.

Tia bingung menjawabnya. ‘Biasa urusan begini’ maksudnya… biasa menggunakan keindahan tubuhnya untuk melobi?

Jadi Tia menjawab dengan tersenyum saja.

Shenny tersenyum sinis. “Masih baru ya… Asal jangan minta diajarin aja entar.”

“Nice room they have here.” “Kamarnya bagus juga,” celetuk Gaby, yang tidak mau ketinggalan obrolan.

“I’ve seen better…” “Saya sudah pernah lihat yang lebih bagus…” balas Shenny, seolah mau menyombongkan pengalamannya. “But this one seems really big. Too big.” “Tapi kamar ini kelihatannya besar sekali.”

Terlalu besar kalau hanya untuk empat orang…

Ruang depan itu membuka ke arah bagian dalam kamar suite yang tak terhalang dinding. Dari dalam muncullah seorang laki-laki bertubuh tegap, berusia setengah baya, mengenakan kimono. Rambutnya hitam bercampur uban, wajahnya keras namun tampan. Dialah Pak Walikota.

“Selamat datang, ladies,” katanya ramah. “Moga-moga tidak bosan karena kelamaan nunggu. Ayo masuk.”

Ketiga perempuan cantik itu berdiri dan mengikuti Pak Walikota masuk ke ruangan utama kamar suite. Kamar itu besar sekali, mungkin lebih mirip suatu unit apartemen penthouse daripada kamar hotel. Ada ruang tengah yang berisi sofa, kursi, dan televisi, dan terlihat beberapa pintu yang mungkin menuju kamar mandi atau kamar tidur tersendiri. Seluruh lantainya tertutup karpet empuk.

Di ruang utama, Tia, Gaby, dan Shenny disuruh duduk lagi di sofa yang ada di sana, sementara Pak Walikota duduk di kursi di seberangnya. Posisi duduk ketiga perempuan seperti di depan tadi: Gaby di kiri, Shenny di kanan, Tia di tengah.

“Saya rasa kalian bertiga sudah tahu kan kenapa kita semua ada di sini. Saya mau tahu yang mana di antara perusahaan yang kalian wakili yang paling pantas untuk jadi mitra kerja pemerintah daerah untuk proyek penting yang akan kita garap. Jadi, silakan.”

Pak Walikota mendatangi sofa tempat ketiga perempuan cantik itu duduk. Pertama dia mendekati Gaby. Tanpa disuruh, Gaby berdiri. “What’s your name?” “Namamu siapa?” tanya Pak Walikota sambil mengelus lengan perempuan Latino itu.

“Gabriella, Pak. Di panggil Gaby,” kata Gaby dengan logat asing tapi lancar. Dia sudah cukup mahir setelah beberapa tahun bekerja. Walikota tersenyum. “Good, good. Jadi kita nggak usah ngomong bahasa Inggris kan nih.” Gaby duduk kembali.

Kemudian Pak Walikota ke orang di sebelah Gaby, Tia. Tia juga berdiri meniru Gaby. Pak Walikota justru meraih tangan kanannya. “Kita ketemu lagi, Bu Tia… Boleh saya panggil Tia saja kan?” kata Pak Walikota, lalu dia mencium tangan kanan Tia yang di jari manisnya tersemat cincin pernikahan itu.

“Tapi nggak nyangka juga ada kesempatan seperti ini… semoga bisa lancar dan sesuai harapan,” kata Pak Walikota. Tia tak paham apa yang dimaksud.

Tanpa menjelaskan kata-katanya, Pak Walikota berlanjut menuju perempuan terakhir di sofa itu, Shenny. Shenny juga berdiri dan tersenyum semanis mungkin. Di antara tiga perempuan itu, Shenny yang paling muda. Tapi pengalamannya sebagai penghibur tak kalah dengan Gaby, apalagi dari Tia. Jadi dia tahu benar cara bersikap di hadapan laki-laki.

“Saya Shenny, Pak Walikota,” katanya sambil mengerling genit. Dilihatnya Pak Walikota balas tersenyum, lalu menjulurkan tangan dan membelai pipinya. “Shenny ya. Cantik juga kamu,” kata Pak Walikota. “Makasih Pak,” ujar Shenny, membalas basa-basi.

“Oke,” kata Pak Walikota sesudah menyapa ketiganya. “Saya kira kalian sudah diberitahu, atau tahu sendiri, kita semua mau apa di sini. Iya kan?” Gaby dan Shenny mengangguk dan tersenyum.

“Nah, mesti saya beritahu… yang mau kita lakukan ini mungkin nggak seperti yang kalian kira.” Walikota memandangi ketiganya, lalu bertepuk tangan. Isyarat untuk sesuatu.

“Kalian udah siap fisik dan mental kan?” tanya Walikota.

Dari bagian dalam kamar itu terdengar langkah-langkah dan suara-suara. Laki-laki. Dan muncullah mereka, lima belas orang, di belakang Walikota.

Tia, Gaby, dan Shenny memperhatikan orang-orang yang datang itu. Dan ketiga cukup terkejut. Mungkin yang sedang mereka saksikan itu sekumpulan manusia paling jelek, menjijikkan, dan mengerikan yang pernah mereka lihat. Entah dari mana asalnya mereka. Preman? Gelandangan? Klub orang jelek? Ada satu orang yang di mukanya ada bekas luka besar melintang dari mata ke hidung. Ada lagi yang mukanya bopeng seperti bekas jerawat parah atau cacar. Ada seorang tua dengan pakaian lusuh, seperti peminta-minta. Ada anak muda kurus dengan mata kosong dan tangan penuh bekas luka suntik. Satu orang di antara mereka nyengir, mukanya hitam, tiga gigi depannya ompong. Di belakang ada seseorang yang kegemukan. Ada yang pendek sekali, nyaris cebol, dengan mata liar. Sekumpulan manusia-manusia bernasib kurang mujur bertampang hancur. Untuk apa mereka ada di sana? Tia dan kedua yang lain bertanya-tanya. Mereka memandangi Pak Walikota.

Lalu terdengar salah seorang dari kelompok itu menceletuk. “Gile, cakep-cakep banget. Beneran buat kita nih Pak?”

Walikota tersenyum dan berkata kepada ketiga perempuan itu.

“Oke. Begini caranya. Kalian mungkin datang ke sini sudah tahu mau berbuat apa. Mungkin kalian dikasih tahu harus melayani saya sebaik-baiknya. Kalian pasti tahu, kalian ada di sini untuk bersaing. Kepentingan orang yang kalian wakili tergantung pelayanan kalian. Nah, kebetulan saya punya satu keinginan, dan saya pikir itu bisa dijadikan bagian persaingan ini.”

Tertegun ketiga perempuan itu mendengar kata-kata Pak Walikota. Apalagi ketika mendengar lanjutannya…

“Saya mau lihat kalian layani orang-orang ini. Saya akan tentukan pemenangnya berdasarkan siapa yang paling saya sukai aksinya.”

Tia kaget. Shenny mengeluarkan suara menahan nafas. Gaby tidak bereaksi.

Pak Walikota berbalik menghadapi kumpulan orang jelek di belakangnya, lalu berkata, “Silakan, teman-teman.”

Orang kegemukan yang berdiri paling belakang maju melewati teman-temannya, menuju ke depan. Pak Walikota bergeser, berjalan menuju satu kursi dan duduk di sana. Di ruangan tengah kamar suite hotel itu, terhampar karpet empuk. Sofa-sofa berjajar merapat ke dinding di sekelilingnya, seperti kursi penonton mengelilingi suatu arena. Pak Walikota duduk di kursi yang nyaman, sepertinya dia malah bersiap menjadi penonton kegiatan yang akan terjadi.

Tidak butuh waktu lama untuk memulai. Orang-orang itu pasti horny sekali, melihat keseksian tiga perempuan di depan mereka, apalagi mereka kalau dilihat dari tampangnya bisa dikata orang-orang yang jarang bisa menikmati wanita cantik.

Si gemuk yang maju ke depan itu mendekati Gaby. Berat badannya jelas lebih daripada 100 kilogram. Dia berdiri tepat di depan Gaby. Kumis dan jenggotnya seperti tidak dicukur selama seminggu, dan bau badannya juga seperti orang yang tidak mandi seminggu juga.

Tapi Gaby masih bisa tersenyum manis menghadapi dia.

“Kamu suka aku ngga,” tanya Gaby kaku sambil mengelus pipi berjenggot si gemuk.

Mana bisa dia tidak suka? Gabriella, dengan rambut panjang coklat yang ikal terurai di bahu, mengenakan gaun merah pendek yang hanya menutup sampai jauh di atas setengah pahanya. Sepasang kakinya yang panjang, kecoklatan, dan indah sungguh menggoda, dalam stoking dan sepatu hak tinggi. Dan belahan dada yang tampil di leher bajunya menantang setiap laki-laki. Segala bagian penampilannya seolah mengumumkan, “Aku seksi, setubuhi aku.”

“Kamu cakep banget,” kata si gemuk, “apa bener kamu mau gituan sama semua orang di sini?”

Gaby meraih selangkangan si gemuk, meraba-raba kemaluan di balik celana training super lebar yang si gemuk pakai, dan bilang, “Ya. Dan kamu boleh apa saja sama saya. Semua saya mau!” Jari-jari Gaby mengelus pangkal paha si gemuk sementara dia menatap wajah si gemuk.

“Apa pernah di blowjob?” tanya Gaby.

“Enggak,” jawabnya penuh semangat, sambil melihat Gaby meloloskan tali bajunya dan memelorotkan bagian atas bajunya sehingga payudaranya yang besar dan cantik terlihat.

Gaby meremas payudaranya sendiri, memamerkan ukuran keduanya kepada si gemuk, lalu melepas gaun merahnya Dia jadi nyaris telanjang, hanya mengenakan celana dalam, stoking, dan sepatu hak tinggi. Lalu dia tanya si gemuk, “Mau ga aku isep?”

Si gemuk hanya mengangguk sambil bergumam, “Gile, cakep banget…” Orang-orang lain di ruangan itu juga ikut berbisik-bisik dan menceletuk, dan semua mata mereka tertuju ke tubuh indah Gaby.

Gaby berlutut di depan si gemuk. Dia menarik turun celana training lebar yang dipakai si gemuk. Dia memandang ke atas, matanya sungguh seksi menggoda laki-laki kelebihan berat badan itu. Sementara itu si gemuk sedang membuka kaosnya. Gaby melihat perut si gemuk yang berlemak dan berambut menggelambir tepat di depan mukanya. Dia kemudian memelorotkan celana dalam. Bau tak enak dari tubuh si gemuk tercium makin tajam. Makin ketahuanlah bahwa mandi bukan aktivitas yang sering dilakukan si gemuk. Perempuan lain pasti akan berhenti dan pergi karena jijik disuruh melayani manusia gemuk bau seperti dia. Tapi Gaby bertahan, karena dia memang profesional. Dia tahu dia harus membantu orang yang memakai jasanya, Majed, memenangkan tender, dan dia sudah dibayar untuk menghadapi semua risiko. Lagipula, di negara asalnya, di mana Gaby mulai menjual diri di jalan, banyak juga manusia-manusia buruk rupa yang pernah dia layani. Yang satu ini memang tak ketulungan jeleknya, tapi belum termasuk yang paling buruk dalam pengalaman Gaby. Gaby memang naik kelas setelah merantau ke negara ini dan lebih sering mendapat klien yang rapi, tapi dia tidak melupakan apa yang dia pelajari dulu “Sebagai pelacur, harus mau melayani laki-laki apa saja, tidak ada kata tidak suka.”

Gaby mulai memain-mainkan batang kejantanan si gemuk yang kelihatan menegang. Perut si gemuk membuat ukuran penisnya tak kelihatan jelas. Sepertinya tidak besar. Dan baunya jelas menjijikkan. Tapi Gaby tak gentar, dan pelacur Latino itu pun membenamkan mukanya ke selangkangan si gemuk, memasukkan penis kotor itu ke dalam mulut.

“Mmmmm. Mmmm! I love it,” desah Gaby. Palsu.

Beberapa orang lain dari kawanan buruk rupa mendekat. Mungkin mereka semua tak percaya perempuan cantik impor ini menikmati kontol dekil si gemuk. Selagi mereka menonton, Gaby mengangkat batang si gemuk untuk meraih buah pelir. Kantong biji si gemuk yang cukup besar menggelantung dan menyebar bau tak sedap. Gaby berbalik badan, lalu berposisi duduk di bawah selangkangan si gemuk dan mengemut kedua bijinya sekaligus. Terlihat lidahnya beraksi mengusap-usap barang jorok itu. Kemudian setelah beberapa saat, dia lepas keduanya dari mulutnya. Servis Gaby benar-benar tanpa rasa jijik. Kuluman biji tadi dilanjutkan jilatan-jilatan di belakang pangkal kantong pelir, menuju pantat. Dia goda si gemuk dengan menjilat sepanjang bagian luar belahan pantatnya. Sesudahnya Gaby bertanya, “You like?”

Gaby langsung meraih batang si gemuk dan mulai memasturbasikannya. Si gemuk tak tahan dan dia berteriak, “Anjrit… ngentot… Ga tahan!”

Beberapa detik kemudian si gemuk memuncratkan isi bijinya ke lantai, dibantu cekikan dan kocokan Gaby terhadap burungnya. Gaby agak lega, dia berhasil membuat si gemuk cepat keluar, jadi dia tidak perlu lama-lama menggarap kemaluan si gemuk yang menjijikkan itu, apalagi kalau si gemuk menyetubuhinya dengan posisi perut yang besar itu menindih tubuh Gaby… Tapi dia tahu tugasnya belum selesai. “Siapa lagi?” ajaknya.

*****

Nah, sebenarnya pada waktu yang hampir bersamaan, orang-orang lain dalam kawanan buruk rupa tidak hanya menonton apalagi membiarkan dua perempuan lain yang ada di sana, Tia dan Shenny, tak terjamah. Mereka jelas tak mau melewatkan kesempatan, kapan lagi mereka akan bisa menikmati perempuan-perempuan cantik yang normalnya cuma mereka bisa dapat dalam mimpi? Mereka berasal dari mana-mana, ada yang diambil dari panti sosial, ada yang dipinjam dari tahanan polisi, ada beberapa preman dan anggota geng, dan ada pula anak buah Pak Walikota sendiri yang berkedudukan rendah.

Sejak pertama kali kawanan orang jelek itu muncul, Shenny sudah deg-degan. Berbeda dengan Gaby yang mulai dari bawah, Shenny selalu menjadi pelacur kelas tinggi. Toh awalnya juga dia mulai sebagai model di agen Simon Sunargo, dan yang membuat dia mau membuka baju dan menjual kehormatannya adalah iming-iming uang banyak dan kehidupan glamor. Tarif kencan dengan Shenny cukup tinggi, mungkin senilai gaji sebulan seorang eksekutif tingkat menengah. Wajar saja mengingat wajahnya memang cantik, predikatnya sebagai model, dan garis keturunannya yang membuat dia lebih dicari oleh klien kalangan berpunya. Daripada seks-nya, dia lebih menikmati uang yang dia dapat dan dia juga biasa pilih-pilih klien.

Waktu Simon memberitahunya untuk meladeni Pak Walikota, Shenny menyangka dia sekadar akan melayani satu orang, yang kaya, berkuasa, dan tidak jelek-jelek amat. Apapun hasilnya, dia akan dibayar, tapi kalau tender berhasil dimenangkan, Simon berjanji akan menambah bayarannya. Jelas dia tidak menduga Pak Walikota rupanya berencana membuat acara seperti ini, pesta seks dengan tiga perempuan cantik dan belasan laki-laki jelek. Shenny tak dapat memendam ekspresi berang campur gamang ketika tadi barisan manusia tak sedap dilihat itu datang. Dia terbiasa dengan para klien muda maupun tua yang memperlakukannya ibarat diva dan membayarnya berjuta-juta. Sementara orang-orang itu? Ih! Shenny selalu menganggap dirinya anggota kelas atas dan memandang rendah mereka. Tapi kali ini dia kena batunya. Dia memandangi orang-orang itu dengan benci. Ketika Pak Walikota berkata “Silakan, teman-teman” tadi, Shenny terpaku, tak tahu harus berbuat apa. Begitu si gemuk maju dan berinisiatif mendekati Gaby, Shenny sadar bahwa dia pun harus melakukan hal yang sama supaya bisa bersaing, tapi… apa dia rela membiarkan dirinya merendahkan diri seperti Gaby yang mau-maunya melayani si gemuk yang jorok itu?

Persetan dengan tendernya Koh Simon!

Apalagi, di antara kerumunan, beberapa orang, di antaranya si muka bopeng, kelihatan mendekati dirinya.

“Wah, yang ini amoy, mirip anaknya bos gue, boleh dong!” seru si muka bopeng.

“Tapi tampangnya senga’ gitu yah,” celetuk temannya yang di mukanya ada codet atau bekas luka, memanjang dari dahi melintas mata sampai ke pangkal hidung. “Amoy songong nih. Kayak yang nolak gue waktu itu.”

Mereka melihat ekspresi Shenny yang tak menutupi ketidaksukaannya, dan malah nafsu mereka makin terpancing. Si bopeng memang selama ini menahan mupeng terhadap anak bosnya yang mirip Shenny, sementara si codet pernah ditolak cintanya oleh seorang gadis keturunan dan dia masih dendam. Jadilah kedua pemuda dengan muka tak sempurna itu maju ke arah Shenny dengan mata lapar, penuh dendam dan birahi, siap melampiaskan hasrat terpendam mereka.

Ketika tangan si bopeng terjulur, Shenny tak tahan lagi. Dia berbalik dan berjalan pergi, menuju pintu kamar hotel. Dia mau pergi saja. Dia tak peduli dengan tugasnya, dia ogah melayani orang-orang rendahan, titik! Dia sudah membayangkan akan marah kepada Simon Sunargo yang mengumpankannya kepada mereka.

Si bopeng dan si codet tidak membiarkan incaran mereka pergi, jadi mereka mengikuti Shenny yang mempercepat langkah, dan akhirnya berlari, menuju pintu keluar. Tapi di depan pintu ada pengawal Pak Walikota yang menghalangi.

“Minggir Pak. Saya mau keluar!” teriak Shenny. Tapi si pengawal melihat Pak Walikota menggelengkan kepala, jadi dia tidak bergeser. “MINGGIR!” Kembali Shenny berteriak, wajahnya amat kesal. Sesaat kemudian teriakannya berubah. “JANGAN! LEPASIN!” Si bopeng dan si codet sudah sampai di sana, diikuti beberapa orang lain, dan mereka pun segera memegangi Shenny. Shenny shock merasakan tangan kasar mereka mencengkeram lengannya, pinggangnya, dan juga ada yang mencengkeram pantatnya. Makanya dia berteriak dan meronta, tapi apa daya, usahanya melepaskan diri malah membuat si codet dan si bopeng dan teman-temannya makin bernafsu.

“Lepas…in!! Ihh!! Pergi!! Jangan!!” Shenny berteriak-teriak selagi si bopeng, si codet, dan teman-temannya merubung. Si bopeng sudah merangkul dan mengusap-usap lengan Shenny. Si codet berbisik, “Non, kenapa teriak-teriak? Ga suka ya sama kita-kita? Kita ga level ya Non? Gitu?” Nafasnya yang bau membuat Shenny bergidik. Pengawal Pak Walikota diam saja seperti patung. Tak sedikit pun dia terpikir untuk menolong Shenny, karena memang bukan urusannya. Malah diam-diam dia menikmati pemandangan itu. Orang-orang kasar bin seram yang didatangkan Pak Walikota itu merubung seorang perempuan berkulit kuning yang amat cantik. Rambut hitam Shenny yang dikepang dielus-elus tangan-tangan mereka. Sekujur tubuhnya yang berbusana cheongsam coklat juga digerayangi. Bahkan mulai ada yang kurang ajar merogoh ke balik baju dan menyentuh tubuhnya langsung. Mata sipitnya berkaca-kaca, karena ketakutan dengan orang-orang yang merubungnya. Si bopeng kemudian menyentuh dagu Shenny dan memaksanya menengok sehingga wajah mereka berhadapan.

“Mmmhh!!”

Melihat sorot mata Shenny yang jijik, si bopeng gemas. Dilumatlah bibir tipis Shenny dengan paksa, sementara gadis oriental itu tak rela. Dia ingin kabur, tapi dia tak kuat menghalau semua orang yang merubungnya. Shenny makin kaget ketika tangan kasar si codet, yang menyelinap dari bawah cheongsam, menyentuh bagian depan celana dalamnya. Akibatnya si bopeng berhasil membuka paksa mulut Shenny dan menjulurkan lidahnya yang menjijikkan ke dalam sana. Shenny terus berusaha, dia mau menahan tangan si codet, tapi malah tangannya dipegangi oleh orang-orang lain sehingga si codet bebas mengelus-elus kewanitaannya yang masih tertutup celana dalam. Satu lagi orang yang memeganginya berjongkok memeluk pahanya. Kalau Gaby tadi mengenakan stoking, paha Shenny tak terbungkus apa-apa, sehingga paha mulus itu pun langsung merasakan hangat dan basah lidah orang itu yang mulai menjilatinya.

Kelompok pengeroyok Shenny, lima orang yang terdiri atas si bopeng, si codet, dan tiga rekan keduanya, begitu antusias dan terbakar birahi oleh sasaran mereka yang mulai tak berdaya itu. Mereka menginginkan dia, yang normalnya tak bakal mereka bisa jangkau, dan mereka tak peduli Shenny bersedia atau tidak. Mereka tarik Shenny kembali ke ruang tengah, ke tengah “arena” di depan Pak Walikota yang terus duduk menyaksikan. Pada saat yang sama Gaby sedang menyepong dua orang sekaligus.

“Buka dong bajunya Non,” kata si bopeng dengan nada memaksa. Teman-temannya tertawa, sepakat. Shenny tak berdaya menolak, dengan enggan dia menggerakkan tangan ke barisan kancing cheongsam yang melintang dari leher ke samping dada, dan dia membukanya satu demi satu dalam keadaan dipegangi dan diraba-raba para pengeroyoknya. Rambutnya yang dikepang sudah mulai terlepas dari tataan, sementara jepit rambutnya yang berbentuk anggrek terjatuh ketika dia diseret dari depan pintu.

BRETTT! “AIIIHHH!!” Terdengar jerit panik Shenny menimpali bunyi kain dirobek. Saking tak sabaran, si bopeng dan si codet memutuskan untuk mempercepat proses penelanjangan Shenny dan cheongsam sutra itu pun mereka tarik sehingga robek sepanjang jahitan sisinya. Tubuh mulus Shenny pun tersaji di atas lembar kain sutra yang tadinya cheongsam, masih terlindung di balik bra dan celana dalam hitam berenda, tapi kedua potong pakaian dalam itu pun segera disingkirkan oleh orang-orang yang merubungnya.

Setelah Shenny telanjang, dan tubuh mudanya yang indah terbuka bagi tatapan cabul para pengeroyoknya, mereka pun menerkamnya. Tangan-tangan kapalan mereka dengan kasar menjelajahi tubuh Shenny. Meremas dan membelai payudara Shenny yang kecil, kencang, dan mencuat ke atas, membelai pahanya yang tak kalah mulus dengan sutra. Mendengus penuh nafsu, tak sabar menunggu. Mereka persiapkan incaran mereka itu untuk dinikmati. Meski masih meronta-ronta, Shenny tak berdaya ketika orang-orang itu membaringkannya di atas karpet dan menahannya.

“Aunghhh! Lepppassinnn!!” Shenny meringis dan menjerit tak rela saat orang-orang itu merentangkan kedua pahanya. Ini sudah sangat di luar rencana! Gundukan kemaluannya yang berambut ikal halus pun terpapar jelas. Shenny menahan nafas selagi merasa bibir luar vaginanya merekah, menunjukkan celah dalamya yang sempit dan menjanjikan sensasi kenikmatan kepada para pengeroyoknya. Kemaluan yang karcis masuknya berharga jutaan. Tak terpikir sama sekali oleh Shenny bahwa dia akan dipaksa mengobral memeknya untuk orang-orang kelas rendah. Gaby lebih beruntung karena masih pegang kendali. Sementara Shenny sudah seperti akan diperkosa saja oleh orang-orang yang merubungnya.

Lalu Shenny melihat si bopeng berlutut di depan selangkangannya yang sudah dibentangkan, dengan celana sudah dilepas. Dia menatap ngeri melihat organ laki-laki si bopeng. Anunya cukup panjang dan gemuk, dibanding kebanyakan klien yang pernah dilayani Shenny. Batangnya berurat dan kepalanya besar. Lubang kencingnya sudah mengeluarkan sedikit lendir. Si bopeng tak buang-buang waktu dan beringsut maju; di dalam kepalanya, dia membayangkan akan menyetubuhi anak bosnya. Dia mendorong kepala burungnya ke bukaan kewanitaan Shenny yang mencuat ke atas, memaksa masuk. Bibir vagina Shenny yang rapat pelan-pelan merekah dan tiba-tiba kepala burung yang besar itu bisa masuk ke dalam.

“AAAHHH!”

“Aughhh…”

Si bopeng dan Shenny mengerang bersamaan, yang satu merasakan sempitnya kemaluan Shenny yang berharga tinggi, yang satu lagi diterobos kemaluan orang kere tapi gede.

“Gimana bro rasanya?” tanya si codet melihat wajah si bopeng yang mupeng keenakan. Si bopeng tidak menjawab, dia masukkan senjatanya makin dalam, menerobos memek Shenny yang sempit. Shenny menjerit dan memberontak, mencoba lepas dari tangan-tangan bejat yang mencengkeramnya. Tapi dia tidak berdaya melawan kekuatan mereka.

“Ssh… uh… ugh…” Si bopeng mendesis keenakan. Dinding dalam kewanitaan Shenny sungguh rapat dan lembut, membelai kejantanannya. Si bopeng menggenjot kencang, menusuk dalam-dalam sampai mentok. Kenikmatan menjalar di bagian bawah tubuhnya. Dia merasakan tubuh amoy ramping itu tersentak-sentak di bawah dirinya, mendengar bibir tipis Shenny terengah dan mengeluarkan bunyi-bunyian tak jelas. Kawan-kawannya terus mencengkeram bagian-bagian tubuh Shenny, membelai betis dan paha, merasakan otot-otot gadis itu berkedut dan bergerak selagi Shenny masih berusaha membebaskan diri, supaya bisa lolos dari penetrasi tak dikehendaki.

Penis besar si bopeng sudah merojok masuk dalam-dalam. Rasa ngeri dan muak melanda sekujur tubuh Shenny saat si bopeng menggerakkan pinggul, menggesek-gesekkan kepala burungnya menyodok rahim, menusuk-nusuk dengan sentakan pantatnya. Gadis manis itu tak diberi pilihan, dia hanya bisa menerima pelecehan menjijikkan terhadap tubuhnya yang dia jadikan barang mahal.

Si bopeng terus mengentot Shenny. Keluar, masuk, naik, turun, menyodok sampai sedalam-dalamnya vagina si pelacur kelas tinggi. Dia terlalu semangat gara-gara berkesempatan mewujudkan mimpinya menyetubuhi perempuan berfisik mirip anak bosnya, akibatnya dia tak tahan lama. Mana bisa dia tahan lama dalam sesak dan halusnya kemaluan yang tadinya khusus bagi orang-orang yang kuat membayar itu? Kejantanan si bopeng muntah dengan dahsyatnya, berkedut-kedut di dalam, menyemburkan mani panas kental. Shenny sendiri tak menyangka akan secepat itu si bopeng keluar, apalagi si bopeng tak memakai kondom, sehingga dia pun menjerit ngeri dan jijik saat merasakan semburan benih dari seorang laki-laki kurang berkualitas membanjiri dan mencemari rahimnya. Semburannya tak berhenti-berhenti, memang si bopeng jarang sekali berkesempatan bersetubuh sehingga maninya lebih sering menumpuk di dalam. Senjatanya menyentak dan menyentak, tiap sentakan melepas semburan peju. Shenny menendang-nendang dan menggeliat, menjerit karena dipermalukan seperti itu.

“Ahh… Nggaakk!! Jangan!!... Ah! AH!”

Akhirnya selesai juga ejakulasi si bopeng, dan dia menarik organ laki-lakinya yang berlumur peju dari dalam tubuh Shenny yang dinodainya. Shenny gemetar sekujur tubuhnya, reaksi atas pengalaman hubungan seks tanpa rela. Tidak terbayang oleh dia bahwa dalam kariernya menjual kemolekan tubuh, dia akan melayani orang bertampang jelek dan berkantong bokek. Bukan orang-orang yang berpunya dan memuja kecantikannya. Melainkan pemaksaan oleh sekelompok manusia yang di pandangannya hanya sederajat di atas binatang, yang dia anggap tidak berhak menikmati dirinya. Shenny menengok dan melihat Pak Walikota tersenyum sinis. Tapi dia tak diberi kesempatan beristirahat, orang berikutnya sudah bersiap-siap menggilirnya.

*****

Sesudah Gaby mulai melayani si gemuk dan Shenny ditangkap si bopeng dan si codet, kawanan orang jelek terbagi tiga. Sebagian mendekat ke Gaby, sebagian lagi ikut merubung Shenny. Sisanya memilih Tia.

Tia memandangi mereka. Jelas tidak lebih ganteng daripada yang lain. Dia tersenyum manis kepada mereka semua.

“Selamat siang, bapak-bapak,” sapanya sopan. “Saya butuh kerja sama kalian…” katanya sambil berjalan ke tengah-tengah mereka, menguasai keadaan. Walau dia masih berpakaian lengkap, aura keseksian yang dipancarkannya tak kalah dengan Gaby dan Shenny. “Ayo… jangan malu-malu,” rayunya. Dia berkata itu sambil menggerakkan tangannya, meraba tubuh para laki-laki yang mengelilinginya. Dia memandangi mereka semua dengan mata seolah meminta.

“Tolongin yah…” bujuknya, “Saya butuh kontol kalian…”

Meski kalah pengalaman dari Gaby dan Shenny, Tia jelas mendalami perannya, berkat semua perubahan yang dilakukan Citra dan Mang Enjup. Mereka yang merubungnya seolah tak percaya, perempuan muda di hadapan mereka itu berkata sendiri menginginkan kejantanan mereka. Padahal penampilannya begitu anggun. Rambutnya digelung sehingga memperlihatkan lehernya yang mulus. Dadanya sedikit membusung di balik atasan kebaya. Pinggulnya yang aduhai terbungkus ketat kain batik. Make-upnya makin menonjolkan kecantikan wajahnya, dengan eyeshadow gelap, alis terlukis, dan blush on. Orang-orang yang merubungnya sudah sangat terangsang, tapi pembawaan Tia yang elegan membuat mereka segan. Biarpun mereka bisa, mereka tak bersikap seolah bisa menyuruh Tia berbuat apa saja, seperti pada Gaby, ataupun memaksa, seperti pada Shenny.

Tia melihat keraguan mereka, mata mereka seolah bertanya Boleh nggak sih? tapi tonjolan-tonjolan di selangkangan mereka mulai muncul tanda nafsu tak terbendung. Tia tak langsung mengumbar diri seperti Gaby maupun menunjukkan ketidaksukaan seperti Shenny. Dia tertawa kecil melihat orang-orang itu betul-betul kebingungan. Mereka segan padanya, biarpun mereka mengagumi. Mereka seolah rakyat jelata yang menyaksikan bidadari kahyangan, tertegun dan tak tahu boleh berbuat apa.

Sambil tersenyum, Tia melepas satu per satu kancing kebayanya. Setelah terbuka semua, Tia pun menggerakkan lengan dan pundaknya, membiarkan kebayanya meluncur ke lantai.

Tanpa menunggu reaksi lain-lain, Tia kemudian melepas kain bawahannya, dan sedetik kemudian kain batik sudah merosot melingkungi kedua kakinya yang masih bersepatu hak tinggi. Tubuh bahenol Tia pun tampak, hanya tertutup bra dan celana dalam.

Orang-orang di sekeliling Tia kagum akan berubahnya pemandangan indah di depan mereka. Tia yang anggun berkebaya berubah menjadi Tia yang seksi berlingerie, dengan beha demi-cup putih yang hanya menutup separo dari masing-masing payudaranya, juga celana dalam tipis transparan yang juga putih, dengan desain yang memikat birahi.

Tia berputar, melihat reaksi orang-orang yang mengelilinginya. Sekalian dia memilih, siapa yang akan dia layani. Di antara mereka, Tia memilih yang bertubuh paling jangkung. Seorang pemuda kurus berkacamata bertampang culun dan wajahnya ada kemiripan dengan Pak Walikota. Tia tersenyum ke arah si culun, meraih tangannya, dan berjalan menarik si culun ke arah sofa.

Tia berdiri di depan di sofa dan si culun ada di depannya. Si culun ini kurang pengalaman asmara langsung dengan wanita, tapi kalau teorinya saja dia sudah fasih karena sering nonton video dewasa. Tia berinisiatif dulu dengan merangkul pinggang si culun. Ditatapnya wajah pemuda jangkung itu lalu ditariknya… dan kemudian bibirnya mendarat di bibir si culun. Si culun membalas dengan kaku; mungkin dia jarang atau belum pernah ciuman. Tapi dia segera hanyut saling memagut dengan Tia. Tia yang mulai ahli melakukan french kiss mengajari si culun. Lidah Tia menerobos menelusuri rongga mulut si culun. “Mmmnh…” Tia mendesah ketika si culun membalas ciumannya. Si culun mulai berani menyentuh Tia, dan Tia membimbing tangannya menelusuri leher dan dada. Tanpa sungkan, Tia membiarkan jemari si culun mempelajari bentuk tubuh wanita. Si culun menggenggam gumpalan payudara Tia yang sebagian masih tertutup bra. Payudara Tia lebih kecil daripada milik Gaby yang montok, dan lebih besar daripada milik Shenny. Si culun lalu menyelipkan tangannya ke balik bra dan mengeluarkan payudara kiri Tia dari bra. Tia terpejam merasakan betapa kaku gerak-gerik tangan si culun. “Mmm…” gumam Tia ketika merasakan remasan jemari si culun menikmati kenyalnya payudara. “Aah… enak… terusin ya?” Tubuh Tia tak berbohong, tiap sentuhan si culun memang memicu sensasi keasyikan. Berbeda dengan kedua perempuan lainnya yang profesional, sejatinya Tia bukanlah seorang wanita penghibur yang membiarkan tubuhnya dijamah sembarang lelaki. Tapi apa yang dirasakannya sekarang murni dari kepribadiannya sendiri yang telah berubah. Kini dia hanya memikirkan kenikmatan badan, dari segala laki-laki. Tia tak lagi hanya menjaga diri untuk suaminya. Dan dia sungguh terangsang melihat tatap mata orang-orang itu, yang seolah memujanya.

Tia kembali mengecup si culun, tersenyum, lalu menghentikan tangan si culun. Pemuda itu menatap seolah tak rela.

“Kamu suka?” tanya Tia manja. Godaan ditambah dengan dibukanya kaitan bra. Kedua buah dada Tia yang molek mencelat keluar, mengundang jamahan. Tia lalu menunduk, melepas celana dalamnya,dan tanggallah penutup kemaluannya itu. Tia bergerak mundur dan duduk dengan paha sedikit terentang di sofa. Jarinya bergerak memanggil si culun untuk mendekat. Si culun langsung maju dan mengikuti isyarat Tia, dia berlutut di antara kedua paha Tia. Dia mau mencoba mempraktekkan apa yang selama ini hanya dilihatnya sambil ngiler dalam film porno. Dia genggam kedua pergelangan kaki Tia dan dia angkat keduanya sehingga Tia jadi mengangkang di sofa. Lalu dia mulai menciumi paha mulus nan kenyal Tia, dari dekat lutut menuju pangkal. Dibelainya lembut paha dan pantat Tia. “Mbak cakep banget,” bisiknya.

“Kenapa malu-malu? Jilatin itu… dong?” Tia memberi saran sambil menunjuk vaginanya. Si culun segera merespon. Tia langsung bisa merasakan lidah si culun menjilati celah vaginanya. Lembut sekali cara si culun melakukannya. Namun Tia menginginkan lebih. Jilatan si culun naik, turun, mencecap khasnya rasa cairan kewanitaan. Tia cepat menyadari bahwa mungkin si culun tak berpengalaman dan perlu diajari agar bisa lebih berani dan memperlakukannya seperti yang dia mau.

Aku mau dia memperlakukanku seperti pelacur betulan.

“Kalau mau… mainin pantatku juga, ya? Boleh kok.” Tia mencoba mengarahkan perhatian si culun ke pantatnya. Si culun tadi meremas dan menciumi pantat Tia, jadi Tia pikir si culun mungkin suka. “Colok pake jari kamu…” usul Tia.

Si culun mundur dari vagina Tia dan mulai mengelus-elus pantat Tia dengan kedua tangan. Lalu dia dengan hati-hati melebarkan keduanya, sehingga lubang dubur Tia terlihat. “Emm… Beneran boleh… dicolok, Mbak?” tanya si culun.

“Iya, silakan…” jawab Tia, lalu menyuruh, “Colokin.”

Si culun menempatkan jari tengah kirinya yang sudah dibasahi liur di lubang dubur Tia, lalu mendorongnya ke dalam. Tia sudah rileks dan bersiap ditembus sehingga jari si culun bisa masuk. “Eunghh,” keluh Tia dengan nada seksi karena merasakan sensasi ganjil jari dalam dubur. “Umh enak.” Lalu dia geser dan geliat-geliatkan pinggulnya sehingga jari si culun masuk makin dalam. Saat itulah si culun menyadari Tia suka dibegitukan.

“Enak kah Mbak?” si culun bertanya.

“Oh… iyah,” seru Tia.

Dia kemudian mendorong jarinya lebih dalam lalu menariknya sedikit. Ketika dia mengulangi itu terus, makin lama makin kencang, Tia mengerang makin keras. Jari si culun sedang menyetubuhi dubur Tia.

“Terusss… ah terus,” seru Tia. “Tamparin pantatku juga…”

Si culun ragu-ragu, lalu menepak lembut pantat kiri Tia.

“Yang kencang!” kata Tia. “Ayo tampar!!”

Akhirnya, PLAKK!! Si culun memberanikan diri dan mengemplang pantat Tia cukup keras.

“Segitu?” tanya si culun.

“Ya… ayo lagi!” perintah Tia.

Dia berulangkali menampar pantat Tia dengan satu tangan, sementara jari tangan satunya tetap dalam lubang dubur Tia. Tia terangsang ketika merasakan sensasi perih nikmat seperti itu. Tia memperhatikan gembungan di selangkangan si culun. Si culun jelas terangsang juga.

“Ayo,” ajak Tia. “Entot aku yah?”

Si culun cepat-cepat menarik jarinya keluar. Tia turun dari sofa ke karpet, dan merentangkan pahanya untuk si culun.

“Ohh… aku pengen nih… masukin ya? Ayo dongg…”

“Ah… Mbak, saya, saya…” kata si culun ragu, “Belum pernah…”

Tia meraih ke atas dan menarik wajah si culun untuk dicium. “Kalau gitu biar aku ajarin…” Dibimbingnya si culun untuk berposisi di atas tubuhnya, sambil digenggamnya kemaluan si culun yang masih perjaka itu. Si culun gemetar ketika merasakan Tia menggesek-gesekkan kepala kemaluannya ke belahan vagina.

“Sini… udah ada di sana, kamu dorong pelan-pelan ya?” kata Tia sambil menatap si culun dengan mata berbinar. “Yahh… uahh gede-nya…” kata Tia, menyenangkan ego laki-laki si culun, selagi si culun mulai merasakan surga dunia di selangkangan wanita untuk pertama kali.

“Ayo… semuanya dimasukin… oohhh!” Masuk semua-lah penis si culun ke vagina Tia. Kenikmatan tiada tara dirasakannya. Erangan Tia menambah panas suasana. “Ayohh… Kamu gerak…” Pinggul si culun maju-mundur, kemaluannya menusuk-nusuk vagina Tia. Tia merangkul leher si culun, lalu menaikkan kepalanya menjilati puting si culun. Payudara Tia bergoyang-goyang akibat gempuran si culun. Suara-suara penuh birahi mulai terlontar. Sepatu hak tinggi yang masih terpasang di kedua kaki Tia terayun-ayun. Si culun terengah-engah.

Si culun terus menyetubuhi Tia selama beberapa menit, meremas payudara Tia keras-keras dan menarik puting. Pemuda jangkung culun itu tak percaya dia sedang meniduri perempuan pertamanya, seseorang yang begitu cantik tapi mau menerima dirinya. Segala kegagalan dan penolakan yang selama ini dirasakannya pun terlupa. “Ah… Mbak… Mbak cantik banget… Ugh… Seksi…” komentarnya.

“Entot aku… ahh… ah…” desah Tia. Tia senang si culun tak malu-malu lagi. Si culun berada di atas tubuh Tia, kemaluannya menyeruduk vagina Tia. Pada saat yang sama dia memegang wajah Tia dengan kedua tangan dan menciumi Tia, lidahnya kembali menjelajah bagian dalam mulut Tia. Bisa terdengar dia mendengus dengan setiap dorongan ke dalam lubang kenikmatan Tia. Tia mulai berseru, “YAHH! Entot… akuhh! Terus! Kontol kamu enak banget! Uh!”

Lalu Tia meminta si culun mencabut batangnya. Begitu keluar, Tia langsung menyambar kemaluan si culun yang tegang dan mengocoknya. Tia menatap si culun. “Pernah dibegini’in ama cewek?” Saking senangnya, si culun tak bisa menjawab, hanya mengerang keenakan.

“Apa kamu pernah ngentot?” tanya Tia yang menyadari betapa girang si culun. Si culun menggelengkan kepalanya. “Nggak… Ini pertama kali.”

Tia terus mengocok kemaluan si culun, makin lama makin cepat. Batangnya terasa membesar. “Keluarin yah…” pinta Tia. “Aku pengen peju kamu…” Gerak tangan Tia makin giat. “Ayo, tunjukin kejantanan kamu… Aku pengen disembur peju kamu!”

Mungkin si culun tidak pernah ejakulasi selama berbulan-bulan. Setelah dikocokkan, hasrat badaninya meledak menyirami Tia. Burungnya memuncratkan enam atau tujuh gumpalan kental sperma, mendarat mulai dari atas pusar Tia, belahan dada, pangkal leher, sampai yang terakhir mengenai dagu dan bibir Tia. Percikan yang jatuh di bibir langsung dijilat Tia dan sambil menatap si culun, Tia menunjukkan bahwa dia mencecap dan menelan mani si culun. “Mmm… aku suka peju…” komentar Tia. Pada saat ejakulasinya selesai, sebagian besar sperma si culun bertebaran di atas tubuh Tia, mengalir turun dari dada dan perutnya.

*****

Beberapa jam sebelum segala peristiwa yang dialami Tia terjadi, Bram mendarat di bandara. Dia menuju tempat parkir di mana mobilnya dititip dan langsung menjalankan mobilnya ke rumah. Masih siang, tapi dia memang sudah kangen sekali dengan Tia. Apalagi sejak dia naik pesawat tadi, perasaannya tak enak. Seolah dia merasakan bahwa istrinya itu sedang menghadapi bahaya.

Sesampainya di rumah, didapatinya rumah terkunci dan Tia tidak keluar membukakan pintu. Bram melihat ke salon Citra di sebelah dan hanya mendapati kakaknya sedang duduk-duduk.

“Kak, Tia ke mana?”

Wajah Citra berubah tegang. Apa yang harus dia bilang kepada adiknya? Bahwa dia kira Tia sekarang sedang dipekerjakan Mang Enjup melayani Pak Walikota demi tender proyek?

Tidak ada jalan lain, pikir Citra. Dia sendiri merasa ikut bertanggungjawab. Mau tidak mau, Citra harus bicara.

“Bram, ayo masuk dulu. Ada yang perlu kubilang.”

Di dalam salon, Bram mendengarkan selagi Citra menceritakan apa saja yang terjadi beberapa hari itu. Citra menceritakan bagaimana Mang Enjup bertamu ke rumah, menemui Tia, dan esoknya Tia diajak Mang Enjup pergi ke pesta Pak Walikota. Citra juga sempat melihat Tia diantar pulang oleh beberapa orang yang kemudian ikut masuk ke rumah.

“Tadi pagi aku habis ngerias Tia…” Citra mengaku. “Dia bilang mau ada acara di Hotel V siang ini… Dia nggak bilang acaranya apa, tapi tadi yang jemput dia itu mobilnya Mang Enjup.”

Bram tertegun. Mang Enjup. Pak Walikota. Pesta. Acara di hotel. Banyak yang Citra tak katakan, tapi Bram tahu bagaimana menyambungkan titik-titik dengan garis. Dia tahu cara-cara yang biasa dilakukan bosnya itu, Mang Enjup. Dia tahu mengenai tender proyek yang dimaksud, siapa saja saingannya, apa yang biasa mereka lakukan untuk menggolkan proyek. Minggu lalu saja dia masih terlibat lobi tender itu, menemani beberapa anggota DPRD mabuk-mabukan di satu tempat hiburan malam. Dia tahu tokoh kunci terakhir yang harus dilobi adalah Pak Walikota.

Berarti Tia sekarang diumpankan Mang Enjup kepada Pak Walikota…!

Bram merasa kepalanya berputar, wajahnya berubah jadi keras dan geram. Citra melihat reaksi adiknya dan merasa bersalah. Dia genggam tangan adiknya itu sambil meminta maaf, nyaris menangis, “Bram… maaf… Kakak ikut salah… Kalau saja dulu Kakak nggak ngajarin Tia jadi begini… hiks…” Tapi kata-kata Citra itu tak terdengar, dan Bram membatin.

Apa harus seperti ini?

Bram merenungkan praktek bisnis yang penuh tipu daya dan menghalalkan segala cara. Dia sendiri beranggapan apapun layak dilakukan demi kesuksesan, tapi kalau sudah seperti ini, ketika orang yang paling dia sayangi di seluruh dunia ikut terjerumus demi bisnisnya, apakah itu masih layak? Berhak-kah Mang Enjup memanfaatkan istrinya demi kesuksesan satu proyek saja, sebesar apapun nilainya? Bagaimana perasaan Tia sendiri? Apa dia terpaksa? Ataukah dia terbujuk, dan mengingat status Tia sebagai calon pewaris perusahaan, apakah Tia merasa perlu membantu?

Di dalam hatinya, Bram tak rela. Dia baru saja menyadari bagaimana Tia selama ini dia sia-siakan karena dia terus mengikuti kebiasaan buruknya, dan betapa Tia rela berubah—dibantu Citra—demi mengikuti kemauannya. Dan sebenarnya Bram sudah bertekad akan menghargai perubahan Tia dengan tidak lagi mencari perempuan lain. Ujian pertamanya sudah dia lalui ketika dia berhasil menahan diri untuk tak menyentuh Difa kemarin.

Dan selama ini Mang Enjup memang seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Bosnya itu rupanya memanfaatkan perubahan Tia demi kepentingannya sendiri. Memang kalau dirunut, yang Mang Enjup lakukan ini demi perusahaan milik orangtua Bram dan orangtua Tia juga, tapi apakah mesti seperti itu caranya? Mengorbankan Tia? Dilema moral yang berbelit dan ruwet itu akhirnya Bram tebas dengan satu tekad.

Aku harus selamatkan Tia. Dia istriku, tanggungjawabku. Masa bodo dengan tender, dengan kepentingan perusahaan.

“Kak,” kata Bram. “Aku mau ke sana.”

“Kamu mau apa, Bram…? Kamu tahu kan bakal berhadapan dengan siapa?” kata Citra khawatir. Citra takut Bram akan nekad dan menantang Pak Walikota. Memang tindakan yang Citra bayangkan itu bakal bisa merugikan perusahaan orangtua mereka, tapi Citra tak peduli itu. Kekhawatirannya didasarkan rasa sayangnya kepada Tia dan Bram. Citra takut keselamatan keduanya terancam kalau sampai harus konflik dengan pejabat tertinggi di kota.

“Aku mau jemput Tia,” kata Bram dingin. Citra melihat sorot mata adiknya begitu tegas. Sorot mata orang yang siap berbuat apa saja demi membela kekasihnya.

Begitu Bram berbalik untuk pergi, Citra langsung menahan lengannya. “Bisa tunggu sebentar? Kakak mau ikut.”

*****

Kembali di kamar suite hotel…

Pak Walikota berdiri dari tempat duduknya dan berjalan berkeliling seolah sedang menginspeksi anak buahnya. Anak buahnya, kumpulan manusia buruk rupa, sedang sibuk menikmati suguhan tiga perempuan yang dapat kejutan. Suasana makin seru.

Gabriella pindah ke sofa, dia sedang berlutut di dudukannya selagi lengannya bersandar di sandaran. Satu orang sedang mengentotnya dari belakang, menyodokkan penisnya dalam-dalam. Satu lagi kawannya, si muka hitam yang bergigi depan ompong, sedang nyengir-nyengir tak jelas di depan wajah Gaby. Wajahnya sungguh menjijikkan. Dia membungkuk mendekati Gaby dan bertanya, “Senorita, mau isep kontolku? You wan’ suck my dick?” Dia kemudian mencium paksa Gaby sambil memegang belakang kepala Gaby agar gadis Latino itu tak bisa menghindar. Gaby merasakan bau busuk nafas si ompong yang sungguh memuakkan, tapi dia tak menolak ciuman itu. Dia bahkan mendorong lidahnya ke dalam mulut si ompong, bergulat dengan lidah lawan ciumannya. Ketika ciuman mereka berakhir, Gaby berkata dengan nada palsu bernafsu, “Fuck yes! Give me your dick I’ll suck it!”

Gaby langsung menjepit kejantanan hitam si ompong dengan bibirnya ketika disodori dalam keadaan belum keras. Alat kelamin si ompong langsung tegang begitu disentuh bibir lembut si pelacur impor. Gaby melahap batang keras itu, mengisap dan menyedot. Penis hitam itu sampai menonjol urat-uratnya, dan bisa meledak kapan saja. Si ompong meracau keenakan dengan bahasa yang kurang dikenal, mungkin bahasa daerah asalnya, tapi apapun yang dia katakan jelas cabul dan tak perlulah diterjemahkan. Beberapa saat kemudian mulut Gaby mendadak terisi cairan hangat, dan Gaby menelan seluruhnya. Pada waktu yang sama orang yang menyetubuhi Gaby dari belakang juga menyemprotkan cairan kelelakiannya di dalam.

“Benar-benar hebat,” gumam Pak Walikota. Dengan penasaran Pak Walikota menyimak aksi Gaby. Perempuan dari negeri seberang laut itu seolah tak gentar menghadapi segalanya, dan tak punya rasa jijik, bahkan terhadap orang-orang seperti si gemuk dan si ompong. Seolah-olah bau badan menusuk tak membuatnya kapok, kulit hitam dekil tak membuatnya ngeri, gelambir lemak tak membuatnya muak. Dia menanggung semuanya tanpa mengeluh, sungguh profesional. Pak Walikota jadi teringat masa dinasnya sebagai tentara dulu, ketika dia mengenal seorang prajurit rekannya yang gigih, terus maju untuk melaksanakan tugas biarpun sudah kecapekan, luka-luka, dan tidak mendapat bantuan.

Pak Walikota berjalan lagi menuju kerumunan lain, yang terlihat lebih riuh. Di situ Shenny, si model bisyar, sedang disetubuhi. Shenny mulai kehilangan kendali, meraung dan mengerang kencang. Sudah dua orang yang berejakulasi di dalam dirinya dan sekarang penis ketiga sedang keluar-masuk vaginanya yang penuh cairan. Namun tubuhnya tidak bisa dibohongi. Meski dia tak rela disetubuhi orang-orang jelek itu, tubuhnya sudah di ambang klimaks. Penis yang sedang menusuk kemaluannya itu cukup tebal dan menggenjot dengan gencar.

“Oh… ah… ah… Ahh! AHH! AHHHHH!!!” seru Shenny. Penis besar itu menghajar vaginanya sekali lagi, dan “OHHhhh!!...” Orgasme-nya dimulai! Shenny menggelinjang tak terkendali, menjerit histeris, dikhianati tubuhnya yang menyerah pada kenikmatan. Erangan keras bernada tinggi si gadis keturunan menandakan betapa gengsinya sebagai penghibur kelas tinggi hancur lebur di tangan manusia-manusia jelek yang bergiliran menyetubuhinya.

Tidak ada lagi yang dipikirkan Shenny sesudah itu. Dia tak bisa apa-apa, dan hanya bisa menunggu cobaan itu selesai. Dia tergeletak lemas seperti boneka, mandi keringat sesudah mencapai puncak, sementara orang yang menyetubuhinya belum juga klimaks.

Pak Walikota memperhatikan tatapan mata Shenny yang kosong. Dia menduga Shenny sedang shock. Tapi dia hanya tersenyum. Diangkatnya telepon genggam yang sedari tadi digenggamnya. Dihubunginya satu nama.

“Halo?”

“Halo, Pak Walikota. Ada apa? Moga-moga berita bagus.”

“Pak Simon. Sayangnya bukan kabar bagus. Sepertinya saya harus bilang penawaran Anda dengan sangat menyesal tidak bisa diterima.”

Terdengar suara seperti mengeluh di telepon. Lalu Simon Sunargo, yang ditelepon Pak Walikota, berbicara lagi.

“Tidak apa-apa Pak Walikota, mungkin kali lain kita bisa kerjasama lagi. Mohon maaf kalau mengecewakan. Saya janji akan siapkan yang lebih baik.”

“Tenang saja Pak Simon, toh sebelumnya kita juga sudah pernah kerjasama, mungkin untuk proyek ini belum rezekinya Pak Simon. Yang penting hubungan antara kita tetap baik kan.”

“Iya, iya Pak Walikota. Saya juga mau kita tetap berhubungan baik. Makanya, buat menunjukkan itikad baik saya, silakan Pak Walikota kalau mau bisa manfaatkan jasa asisten saya si Shenny itu sepuas Pak Walikota. Tidak usah pikir urusan lain-lainnya, biar saya yang traktir.”

“Oke. Sampai ketemu lagi, Pak Simon.”

Pak Walikota menyudahi pembicaraan telepon dengan Simon. Satu dari tiga peserta tender sudah gugur. Dia lalu melanjutkan ke perwakilan peserta ketiga… Tia.

*****

“Sudah sampai,” gumam Bram sambil menyetir memasuki tempat parkir hotel yang beberapa jam lalu didatangi Tia. “Kak?” Ketika Bram menengok, Citra sedang memulaskan lipstik merah tua di bibirnya. Citra tetaplah Citra. Ketika tadi dia minta ikut, Citra ganti baju dulu, dan dia memilih berpakaian seksi, rok pendek hitam ketat yang memeluk paha dan blus hitam yang juga ketat. Sepanjang perjalanan tadi Citra sibuk membedaki wajah, melukis alis, merias diri. Memang berdandan sudah kebiasaan Citra, tapi Bram tak tahu apakah kakaknya itu punya rencana tertentu dengan menyiapkan penampilan.

Bram menghentikan mobil di tempat parkir dan langsung berjalan dengan langkah-langkah lebar menuju ke dalam. Citra berlari menyusul, hampir tersandung akibat sepatu hak tinggi-nya. Dan begitu Bram masuk… dia bingung. Di mana dia akan cari Tia? Tanya ke resepsionis?

Citra menggamit lengan Bram. “Bingung kan? Ini bukan hotel biasa. Kakak tahu kamu pasti mau langsung tanya ke resepsionis. Dia nggak bakal tahu. Makanya Kakak sengaja ikut. Ayo. Kakak tahu di mana kita bisa cari info.”

Citra menarik Bram ke arah pintu yang menuju lounge terbuka. Kakak beradik itu masuk ke lounge yang masih tetap sepi seperti ketika Tia dan Mang Enjup melewatinya. Tidak salah rupanya Citra memilih berpenampilan seksi. Dia langsung bisa berbaur dengan perempuan-perempuan lain di sana, yang juga berpakaian seksi dan menunggu tamu. Citra celingukan kesana-kemari, mencari-cari. Lalu dia melihat seseorang yang dikenalnya.

“Papi Patris!” panggil Citra ke arah seorang laki-laki paro baya agak gemuk, berkepala bulat, berambut cepak, memakai jas. Laki-laki yang dipanggil Papi Patris itu menengok dan langsung tersenyum lebar. “Citra? Aih, sudah lama kamu nggak muncul! Ke mana aja, sayang?”

Citra memeluk Papi Patris dan cium pipi kanan-kiri. “Ah nggak ke mana-mana Pap, sekarang jadi perempuan baik-baik, buka salon,” kata Citra sambil menjulurkan lidah.

“Hahaha, Citra insyaf? Tanda-tanda dunia mau kebalik nih,” balas Papi Patris. “Itu tamu kamu ya? Orang kantoran yang sama kamu?”

“Eish, ngaco, itu adikku. Pap, aku mau tanya dong. Seharian ini lihat ada cewek pake kebaya di sini nggak?” Citra segera bertanya.

“Iya, belum lama malah, paling sejam-dua jam lalu,” kata Papi Patris.

“Terus ke mana orangnya? Sama siapa dia datang?”

“Tadi sih dia datang bareng om-om tua gendut ubanan dan cowok rambut panjang merah sama orang gede yang tampangnya kayak bodyguard. Dia ke lift sama si bodyguard, dua orang tadi nggak ikutan. Mereka berdua sih udah pergi lagi. Kalau cewek yang pakai kebaya belum turun,” Papi Patris menjelaskan. “LT barangkali.”

Citra berusaha mengorek info lebih lanjut sementara Bram tetap diam. “Ada lagi nggak yang nggak biasa hari ini?”

Papi Patris memandangi Citra, wajahnya berubah serius. “Cit, kamu kayak polisi aja. Nggak baiklah kita ikut campur urusan orang, daripada kita nyikut orang yang salah, mending tau sama tau kan.”

Citra mengajak Papi Patris duduk dan mengubah pembicaraan. “Gimana bisnis, Pap? Masih lancar?”

“Di sini sih lancar terus, ni aja ada anak baru yang lagi aku promosi-in. He, sini!” Papi Patris memanggil salah seorang perempuan di dekatnya, yang masih terlihat amat muda. Citra melihat kegugupan di mata gadis muda yang didandani menor itu. “Kenalin ini Citra, dulu sempat jadi anak buahnya Papi sebentar. Citra, ini Nurma.”

Citra menjabat tangan Nurma, lalu langsung memberi tips. “Jangan pakai nama asli, kalau bisa.” Papi Patris segera menanggapi. “Iya yah, emang belum kepikiran namanya mau diganti siapa. Kamu ada usul, Cit?”

“Natasya,” kata Citra setelah berpikir sejenak.

“Cakep tuh, boleh,” kata Papi Patris. “Kesannya mirip impor Uzbek. Oke, Nurma mulai sekarang kamu pake nama Natasya, ya.”

Setelah itu, Papi Patris menyuruh Natasya pergi. “Cit, langganan masih ada yang suka nanyain kamu lho. Masih mau terima nggak? Ntar kita sharingnya beda deh… Kamu dulu sebentar banget, tapi banyak yang terkesan dan tanya terus sama Papi, mana tu Citra yang dulu, pengen sama dia lagi,” kata Papi Patris.

Menanggapi penawaran, Citra pun berkata, “Sebenarnya aku nggak butuh lagi, Pap. Tapi aku mau aja… Asal…”

“Asal?”

“Asal Papi mau jawab pertanyaanku yang tadi.”

Papi Patris tertawa terbahak-bahak. “Hahahahaha. Citra, Citra. Tetep aja kamu jago tawar-tawaran kalau buat urusan beginian. Oke deh. Tapi janji ya, mau terima klienku. Tenang aja, orang lama semua kok, kamu udah tau mereka kayak gimana. Lima tamu aja, hitungannya seperti dulu. Deal?”

“Tiga tamu, deal,” kata Citra sambil menjabat tangan Papi Patris.

“Hahaha, iya deh, tiga. Aku nggak pernah bisa menang ngomong lawan kamu, Cit.” Papi Patris dan Citra sama-sama tersenyum sinis.

“Oke Pap. Jadi… ada apa aja hari ini di sini?”

Dengan suara berbisik, Papi Patris pun menjelaskan bahwa dia sudah ada di sana sejak pagi, mengumpulkan beberapa anak buahnya yang di-booking semalaman. Sesudah memulangkan mereka, dia terus nongkrong di sana mengelola anak buahnya dan mencari tamu. Dia bilang, selain perempuan berkebaya (yang Citra ketahui sebagai Tia), ada lagi dua perempuan yang diantar bodyguard itu ke atas.

“Yang satu jelas impor, tampangnya kayak artis telenovela. Kalau nggak Latin ya Uzbek. Yang satunya lagi panda, nggak tau lokal apa cungkuo. Dua-duanya belum ada yang turun lagi. Oiya, tadi ada klien Papi mau booking kamar suite paling gede yang lantai lima, katanya mau bikin pesta bujang, tapi ga dapet soalnya kata hotelnya itu kamar lagi dipake pejabat tinggi. Itu aja yang Papi lihat.”

Citra tersenyum. “Makasih banyak, Pap. Aku tunggu lanjutan deal kita tadi, tapi jangan hari ini yah. Nih nomor teleponku yang baru,” kata Citra sambil kemudian menyebutkan sederetan angka yang langsung dimasukkan Papi Patris ke HP-nya.

“Saran aja Cit,” kata Papi Patris ketika Citra mau pergi, “Kamu udah tau bisnis ini. Jangan sampai nyikut orang. Hati-hati ya sayang.”

Citra kembali ke Bram. “Kakak sudah tahu ancer-ancernya Tia ada di mana sekarang. Ayo ikut.”

Keduanya menuju pintu lift di seberang lounge. “Tadi siapa, Kak?” tanya Bram.

“Orang dari masa laluku…” kata Citra, tak memberi jawaban jelas. Biarlah, pikirnya, Bram belum perlu tahu tentang masa ketika dia sempat menjadi anak buah Papi Patris, seorang germo…

*****

Pak Walikota merasakan organ kelelakiannya mendesak celana. Tangannya mengelus gundukan itu.

Dia mulai berfantasi tentang Tia sejak dia hadir di pernikahan Tia dan Bram. Memang, sebelumnya dia sudah kenal dengan kedua orangtua Tia, dan ketika dia masih berdinas tentara dia sudah pernah melihat Tia yang masih sekolah. Sebelumnya dia anggap Tia biasa-biasa saja. Namun entah kenapa, dia mulai terobsesi dengan Tia sejak dia melihat Tia yang menjadi “ratu sehari” pada hari pernikahannya. Gadis polos itu berubah menjadi putri yang cantik luarbiasa pada hari itu, dan Pak Walikota harus mengakui dia jadi menginginkan Tia. Tapi obsesinya terpendam bertahun-tahun tanpa bisa diwujudkan karena dia jelas tak bisa terang-terangan merebut Tia dari Bram. Apalagi dia punya keluarga, jabatan, dan status. Ditambah lagi hubungan baiknya dengan dua keluarga pengusaha, keluarga Tia dan keluarga Bram. Lalu pada suatu hari, ketika melobi, Pak Jupri dari perusahaan keluarga Tia dan Bram menyebut-nyebut Tia. Godaan untuk memanfaatkan kekuasaan demi memuaskan nafsu menjadi sukar ditolak, dan Pak Walikota pun sengaja mempersulit upaya lobi Mang Enjup dan para pesaing. Uang suap ditolaknya dengan alasan takut penyidikan lembaga pemberantas korupsi. Perempuan penghibur kelas tinggi pun ditolaknya dengan alasan bukan seleranya. Tapi Pak Walikota tetap memberi angin kepada ketiga juru runding perusahaan, terutama Mang Enjup. Mang Enjup yang berpengalaman pun bisa menangkap maksud Pak Walikota, dan dia pun mulai merancang rencana untuk melibatkan Tia. Kebetulan sekali, pada saat yang sama Tia sedang berusaha berubah demi mengikuti selera Bram. Di situlah kepentingan bisnis dan obsesi pribadi bertemu. Keinginan Pak Walikota bertemu Tia dipenuhi oleh Mang Enjup.

Namun Pak Walikota memang sengaja mengadakan acara pesta seks antara tiga perempuan cantik versus sekumpulan laki-laki jelek. Ada alasan…

Saat itu, Tia sedang menungging di sofa sementara si codet, yang sebelumnya ikut mengeroyok Shenny tapi keduluan terus oleh teman-temannya, berdiri sambil mengocok kemaluannya. Tia menoleh. Sepotong daging keras siap memasuki tubuhnya. Si codet berbisik ke Tia.

“Gue mau ngentotin pantat Non ya.”

Dan… Tia mengangguk sambil tersenyum! Si codet dengan penuh semangat mengambil posisi di belakang Tia, menaruh kejantanannya di lubang dubur Tia, dan menerjang maju. “UHHHH~H!” Tia menjerit seksi ketika penis si codet meretas lubang belakangnya. Liang kecil sempit itu merentang untuk memuat penis yang masuk, dan Tia bisa merasakan batang yang keras itu meluncur di saluran duburnya.

“Gimana rasanya Non?” tanya si codet, menyadari bahwa kemaluannya berhasil meregang lubang sempit itu. “Berani taruhan, belum pernah ada yang masuk sana ya?”

Tia tak menjawab, hanya meneruskan jeritan-jeritan seksinya, “Oh, ohh!” tapi andai dia benar-benar diajak taruhan, si codet bakal kalah taruhan karena sebelumnya Tia sudah beberapa kali melakukan seks anal. Si codet berhasil menjejalkan tiap bagian batang penisnya ke dalam pantat Tia. Namun kekencangan jepitan saluran itu, ditambah waktu menunggu yang cukup lama, mengakibatkan dia tidak tahan. Setelah beberapa menit dia menyerah kalah, “Uh… sialan… gue keluar!” dan penisnya mulai muncrat di dalam bokong Tia, berdenyut berulangkali dan mengisi saluran dubur Tia dengan benihnya.

Nah, sejak tadi Pak Walikota memperhatikan bahwa meski sudah ada tiga orang yang menyetubuhi Tia, tak seorang pun yang diizinkan berejakulasi di dalam vaginanya. Orang pertama, si culun, dikocokkan dan dibikin berejakulasi di atas tubuh Tia. Orang kedua tadi berejakulasi di mulut. Sementara yang ketiga, si codet, berejakulasi di pantat Tia.

Selain itu ada lagi satu hal yang menarik bagi Pak Walikota. Tadi, orang pertama yang dipilih Tia, si culun, tak lain adalah keponakan Pak Walikota. Dan Pak Walikota suka bagaimana Tia “mengajari” keponakannya yang masih polos soal menyentuh wanita itu. Sungguh dia tak menyangka Tia yang diidamkannya ternyata tak hanya seksi tampilan luar, tapi juga di dalam. Aksi Tia yang percaya diri dan menguasai keadaan lebih dinikmatinya daripada Gaby yang terkesan bekerja sesuai setoran tanpa menghayati (biarpun sebaik-baiknya), apalagi Shenny yang sok jual mahal sehingga malah terpaksa. Pendek kata, Pak Walikota puas sekali setelah mengetahui apa yang Tia bisa.

Walaupun dia sebenarnya tak berhak atas Tia.

Pak Walikota mendekati Tia yang sedang berubah posisi, dari menungging menjadi duduk di sofa. Melihat Pak Walikota mendekat, orang-orang lain mundur.

Pak Walikota menjulurkan tangannya meraih tangan Tia.

*****

“Sekarang kita mau gimana?” tanya Citra sambil menjepit rokok di bibirnya. Dia baru mengeluarkan korek gas ketika pintu lift di depan dia dan Bram terbuka. Kakak beradik itu masuk ke lift.

“Dilarang merokok di sini, Kak,” Bram merampas korek gas dari tangan kakaknya sambil menunjuk tanda dilarang merokok dalam lift. Citra melengos.

“Kamu punya rencana nggak?” tanya Citra lagi.

Bram tidak bisa menjawab. Keputusan spontannya untuk segera menjemput Tia tak dipikirkan matang. Sesudah mendengar evaluasi situasi dari Citra, dia jadi tahu bahwa mungkin Tia ada di satu kamar di hotel tersebut, bersama Pak Walikota.

Lalu Bram merasakan kepalanya ditoyor Citra.

“Adikku goblok,” cela Citra dengan nada datar. “Emangnya kita mau nggerebek orang selingkuh? Cuma berdua pula? Ini yang kita hadapi pejabat. Gimana caranya kita mau ambil Tia dari Pak Walikota?”

Bram memegangi kepalanya dengan kedua tangan dan meringis. Citra menepuk-nepuk punggung adiknya.

“Hhhh… Tenang aja. Kita pikir sama-sama,” kata Citra berusaha membesarkan hati Bram, sambil mulai memutar otak.

Pintu lift terbuka di depan mereka berdua. Lantai lima.

TAMAT BAB 8.

SELANJUTNYA…