Selasa, 25 November 2014

Demi Tugas 4

DEMI TUGAS 4

SINOPSIS
Seorang polwan ditugaskan menyamar untuk menyusup ke dalam sindikat prostitusi kelas tinggi. Namun misinya tak se-sederhana yang diduga.

Story codes
MF, M+/F, FF, MFF, M+/FF, anal, bd, b-mod, cr, dp, tort

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu.  Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan. 
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.

Demi Tugas 4
Ninja Gaijin & Pimp Lord

Sementara di kediaman Prabu....

Savitri/Thalia


"Bagaimana boneka terbaruku Pak Bambang?" kata Prabu sang pengacara sambil menarik kekang yang melingkar di leher Thalia alias Savitri. Gadis itu berjalan perlahan mengikuti tarikan kekang, tangannya terangkat ke belakang kepalanya membuat payudaranya semakin membusung. Prabu kemudian memerintahkan gadis itu berdiri memajang dirinya dengan kaki membuka dan tangan tetap berada di belakang kepalanya di hadapan sang kombes yang duduk di sebuah kursi dengan ukiran mewah. Tangan sang kombes bertopang di sandaran tangan kursi mewah itu, kedua telapak tangannya bertemu di depan mulut, membut Savitri hanya bisa melihat mata tajam sang kombes yang menatapnya dengan expresi yang tak dapat dibacanya.

"Seleramu memang benar-benar unik, Dik Prabu." kata Kombes Bambang Harjadi sambil memandang ke arah Savitri. Kembali terbentuk rencana di benaknya yang mungkin diberkati Ares, sang dewa perang yang memang digambarkan sebagai ahli strategi.

"Tentunya bonekamu ini sebanding dengan modal yang kamu keluarkan," katanya lagi.

Prabu menjentikkan jarinya. Savitri segera menjatuhkan diri, merangkak ke arah sang tuan yang duduk di kursi di seberang sang kombes.

Savitri kemudian berjongkok, mengangkangi sepatu kulit sang tuan yang duduk bertopang kaki lalu dengan patuh menggerakkan pinggulnya sehingga cairan vaginanya yang basah itu menjadi semir bagi kulit sepatu sang tuan yang berujar sambil tertawa, "Sangat sebanding, Pak. Sangat sebanding...."

"Jadi bagaimana Pak? Semua proposal saya sudah Bapak terima kan. Ada hal yang ingin bapak tambahkan?" tanya Prabu pada KomBes Bambang yang wajahnya masih tetap tanpa ekspresi. Prabu sang pengacara kondang yang terbiasa menjatuhkan mental lawan pun tak berani bertindak gegabah dengan lelaki di hadapannya.

Keduanya terdiam, hanya desahan dan erangan lirih Savitri yang kini sedang memoles sepatu sang tuan yang sebelahnya dengan vaginanya yang semakin basah itu yang mengisi keheningan ruangan pribadi Prabu.

"Aku rasa proposalmu sudah cukup baik, Dik. Tinggal bagaimana kita menjalankannya sesuai rencana agar kita bisa menambah koleksi kegemaran kita masing-masing. Bukan begitu, Dik?"

Keduanya tersenyum penuh arti. Ya. Pundi-pundi keduanya akan bertambah dengan rencana mereka....

Prabu memandang ke arah sang kombes.

"Apa Bapak mau bermain dengan boneka baruku?" tanyanya dengan hati-hati, takut menyinggung sang kombes.

Kombes Bambang tersenyum. "Aku memang punya rencana untuk meminjam dia sebentar..."

Prabu tersenyum penuh arti, "Kalau begitu... silakan gunakan kamar tamu kami Pak... biar Bapak bisa lebih tenang." Dia mengajak sang KomBes ke arah satu kamar tamu mewah, sementara Savitri dengan patuh merangkak mengikuti kedua lelaki itu.

"Silakan Pak... selamat menikmati," kata Prabu, mempersilakan Kombes Bambang untuk menikmati bonekanya.

Ketika sudah berada di depan kamar mewah itu, sang Kombes memandang sekeliling, lalu dengan santai ia mengeluarkan alat seperti remote control dari dalam saku celananya dan menekan satu tombol alat itu.

Beeeppp!

crack... craaaccckkk... craaacckkk....

Terdengar letupan beberapa komponen listrik dari dalam kamar maupun sekeliling tempat mereka berdiri.

"Akan aku ganti semua alat penyadap dan kamera pengintaimu Dik Prabu..." kata sang kombes dengan tenang sambil mengambil kekang Savitri, lalu menutup pintu kamar.

Prabu tertegun. Setahu dirinya, alat seperti itu hanya dimiliki Bruce Wayne dalam film Batman... apakah alat itu benar-benar ada?

Namun ketika ia melihat bahwa ruang pengintainya berada dalam keadaan total shutdown, ia semakin yakin kalau ia tak bisa bermain-main dengan Kombes Bambang Harjadi.

*****
Savitri/Thalia

"Siapa namamu?" tanya sang Kombes sambil memerintahkan Savitri untuk kembali berdiri dan berputar pelan, memeperlihatkan seluruh tubuhnya yang sudah diubah total itu.

"Thalia, Tuan..."

"Nama yang indah... sayang kamu juga harus mengganti namamu yang dasarnya sudah indah, Savitri..."

Savitri jatuh terduduk... matanya membelalak tak percaya.... Orang ini tahu....

 Savitri menangis.....

Sang Kombes membiarkan sang gadis menangisi nasibnya.... setelah ia tenang sang kombes kemudian berkata.
"
Apa kamu mau membalaskan dendammu pada Ryoko?"

Savitri mengangguk dan berkata lirih... "Juga pada pelacur yang tak membuat aku disiksa seperti ini...."

Sang Kombes menganggukkan kepalanya..."Kalau begitu... ceritakan semua yang kamu tahu.... dan aku akan memberimu kesempatan untuk menghancurkan mereka berdua...."

Mata Savitri memancarkan secercah harapan... ia tau walaupun ia tidak bisa kembali ke kehidupannya yang dulu, setidaknya ia bisa menghancurkan hidup mereka yang telah membuatnya menjadi boneka seks seperti ini....

Namun bukan Kombes Bambang Harjadi namanya apabila tidak bisa mendapat semua yang diinginkannya. Dia tahu, sesudah diubah, keadaan mental Savitri sangat goyah. Dan dalam keadaan seperti itu, apapun perintah dan sugestinya akan diterima dan dilaksanakan. Sesudah memberi segudang janji kepada Savitri, sang petinggi pun meminta bayaran di muka. Savitri pun rela memberi apa saja kepadanya.

Dan Savitri pun melenguh pasrah selagi Kombes Bambang menyodok-nyodokkan penisnya dengan kasar ke dalam mulutnya, perwira itu menikmati gesekan bibir lembut si boneka seks di kemaluannya. Pastilah Prabu telah meminta modifikasi itu juga. Dia mencoba membayangkan pelatihan apa yang telah diterima gadis itu, selagi Savitri menatap polos ke matanya. Bibir merah Savitri mengelus senjata sang kombes yang segera menembak, dan gadis budak nafsu itu tak membiarkan satu pun peluru yang ditembakkan lepas, semua masuk ke dalam kerongkongan dan perutnya.

Dengan kasar sang perwira lalu mendorong gadis itu sampai tersungkur telungkup di lantai, namun kedua payudara Savitri yang telah digembungkan secara artifisial itu membuat jatuhnya empuk, terdorong ke atas sampai menyangga sedikit wajahnya. Bambang Harjadi mendekati lonte yang tersungkur itu lalu mencolokkan jari ke kemaluan Savitri, memutar-mutarnya sedikit sambil memastikan bahwa gadis itu telah basah. Pantat Savitri bergoyang-goyang selagi digoda seperti itu. Sepasang payudara besarnya tergencet di bawah tubuh. Dengan segera Kombes Bambang merasakan senjatanya siap digunakan lagi.

Sekali lagi pemrograman “Thalia” beraksi ketika Savitri malah meraih ke belakang dan membukakan celah kewanitaannya bagi laki-laki di belakangnya itu. Dan sang perwira menyambut baik tawaran dari perempuan yang telah dijadikan boneka seks itu. Dia langsung mencengkeram kedua sisi pantat Savitri dan menusuk vaginanya yang dibukakan.

Bambang Harjadi menyetubuhi Thalia dengan gencar, mengacak-acak kewanitaan si boneka seks. Buah dada raksasa Thalia bergoyang maju mundur selagi kedua lengannya ditelikung ke belakang dan ditarik agar dia dapat ditusuk makin dalam. Persis ketika hendak mencapai klimaks, sang perwira mencolok lubang dubur Thalia dengan jari, membuat Thalia tersentak. Sambil tersenyum penuh kemenangan Bambang Harjadi merangsang lubang belakang Thalia sambil menggenjot keras dan berejakulasi dalam rahim gadis mainan si pengacara itu.

Sang perwira langsung mencabut senjatanya dari liang kewanitaan Thalia yang penuh sperma dan menyuruh Thalia berbalik badan. Wajah Thalia tetap berbinar ketika Kombes Bambang menyuruhnya membersihkan senjata yang baru menembak dalam vagina itu dengan mulut. Selagi Thalia menjilati dengan patuh, sambil memandangi laki-laki yang baru menyetubuhinya, Bambang Harjadi membayangkan perempuan lain.

Juanisa.

>>>> 

Malam itu, di kehangatan kamar Kombes Bambang Harjadi...
Nisa

Nisa duduk di kursi di hadapan meja sang Kombes. Tubuhnya hanya terbalut selimut setelah pergumulan liar beberapa saat sebelumnya, sementara sang Kombes berada di kursi empuk, mengepulkan asap cerutu, menghirup kopi hangat, dan membaca surat kabar yang kemudian dilemparkannya ke hadapan Nisa.

“Savitri....” batin gadis itu....

Dibacanya berita yang menyebutkan bahwa ada jaringan prostitusi yang melibatkan ribuan gadis dari berbagai kalangan, termasuk seorang penegak hukum....

Nisa memandang sang bapak yang matanya menatap tajam ke pada dirinya...

"Sudah waktunya, n'Duk," kata sang Kombes pelan. "Apakah kamu bimbang?"

Nisa memahami pertanyaan pengayomnya itu. Dari semua penyamaran yang sudah dilakukannya, tugas kali ini yang memang membuat ia mengorbankan jiwa dan raga. Dirinya benar-benar berubah... ia memang menjadi pelacur bagi Ryoko.

Ia mengasihi Ryoko... kebaikannya... kepercayaannya....

Juga tak bisa dipungkiri, tubuhnya kini terbiasa dengan pemuasan nafsu, merasakah tubuh telanjang berbagai laki-laki yang tak dikenal berdekapan dengan tubuhnya, merasakan kelelakian mereka memasuki relung tubuhnya....

Namun ketika ia menatap mata tajam sang Kombes, kesadarannya seakan pulih. Dengan tegas ia menjawab.

"Pengabdianku untuk Bapak."

Sang Kombes tersenyum. Skema serangan diatur....

Dinginnya marmer lantai kamar sang Kombes tak menghalangi keliaran percintaan kedua insan itu.

>>>> 

Ryoko
"Good job, Irina... aku semakin yakin kalau kamu mampu," kata Ryoko ketika Nisa berbincang dengannya di villa mewah tempat mereka biasa mengucilkan diri. Tubuh keduanya berpelukan erat di depan perapian, keringat di tubuh mereka memantulkan cahaya perapian yang temaram, keringat hasil persetubuhan keduanya yang sangat erotis dan sensual itu.

Beberapa saat sebelumnya mereka berpagutan, tangan saling meremas tubuh masing-masing, lidah mereka saling menjelajah, mereka saling merangsang, mengoreki vagina... menjilati anus... memberi stimulus.... dan merasakan nikmat orgasme yang datang silih berganti.

Ryoko memang melihat sesuatu di diri Irina yang ia tau bisa diandalkan, keberaniannya, nalurinya... dan dengan bimbingan yang diberikannya, kini Irina telah mampu mencari seorang klien yang sangat berkelas, seorang pengusaha yang sangat dekat dengan sejumlah petinggi... dan untuk service kali ini ia akan ikut terjun melihat Irina menjalankan bisnis...

>>>> 

Nisa memang bermaksud membuat Ryoko makin terikat dengannya. Oleh karena itu Nisa memanfaatkan sebaik-baiknya keterbukaan Ryoko dengan dirinya, termasuk dalam seks.

Namun dia kadang merenung, apa sebenarnya hubungannya dengan Ryoko sekarang. Kini mereka berdua telah sering saling cumbu, saling memberi kenikmatan, atau menikmati laki-laki yang sama berbarengan. Ketika sekarang dia terkulai lemas dalam pelukan Ryoko sambil menceritakan bagaimana dia telah memikat sang pengusaha, itu sudah bukan percakapan biasa antara atasan dan bawahan lagi.
Nisa

Tapi bisnis tetap bisnis. Dan sang pengusaha itu telah membuat Ryoko makin kaya beberapa ratus juta rupiah dari booking fee Irina.

“Dia punya ide-ide gila…” Nisa mulai berkata. “Dia pengen lihat live show, pengen lihat aku main sama cewe lain, pengen lihat aku di-gangbang teman-temannya… Dan dia pasti bakal bayar berapa aja yang kuminta.”

“Jangan sampai lepas kesempatannya, Irina…” Ryoko membalas sambil membelai rambut Nisa.

“Mmmhh… jadi kita setujuin aja?” ujar Nisa sambil mendesah manja.

“Iya dong… Kamu bisa kan menuhin semua permintaannya?” kata Ryoko.

“Yang sama cewek lain itu…” kata Nisa, “…emm… kalau sama kamu, kamu mau nggak?”

Ryoko terdiam. Sudah lama sekali dia tidak turun sendiri. Dia berpikir selagi Nisa menggerayangi dan menciumi tubuhnya.

“…ahh… aku pengennya sama ka-muu…” pinta Nisa manja sambil mengulum telinga Ryoko. Ryoko mulai terpancing.

“Dia bisa bayar berapa sih paling mahal…?” tanya Ryoko, berusaha tetap memikirkan bisnis di tengah godaan Nisa.

“Aku rasa kalau kita minta Porsche atau Ferrari juga bakal dikasih sama dia,” kata Nisa sambil mengedip genit.

“Boleh juga…” kata Ryoko, sambil dia kemudian kembali menggeluti Nisa yang terus menggodanya.

*****

Malam berikutnya, di satu restoran.

"Selamat malam, Pak Masno... perkenalkan ini kolega saya, Ryo..." kata Irina sambil memperkenalkan Ryoko pada lelaki nyaris botak bertampang mesum itu.

"Selamat malam, Mbak Ryo... saya Masno. Senang rasanya saya berkenalan dengan anda."
Ryoko tersenyum. Ketiganya kemudian terlibat percakapan ringan sebelum mereka menuju inti pembicaraan.

"So, Irina... seperti yang saya pernah sampaikan dulu, apa Mbak Ryo ini bersedia melakukan apa yang saya utarakan dulu?" tanya Masno.

Ryoko tersenyum lebar, memandang ke arah Masno dan berkata, "Boleh saja."

“Kalau begitu kita atur waktu dan tempatnya bersama teman-teman yang lain ya…” kata Masno.

*****

Masno adalah langganan Irina. Dia seorang pengusaha impor mobil mewah. Untuk meraup untung lebih banyak dia menggunakan jalur “bebas biaya” yaitu berkolusi dengan sejumlah staf kedutaan asing dan orang departemen untuk memasukkan mobil mahal tanpa perlu membayar banyak uang untuk negara karena mobil-mobil itu dicatat sebagai pesanan diplomat asing. Jalur itu relatif sulit ditembus hukum karena perwakilan negara lain memiliki kekebalan diplomatik dan segala urusan mereka tidak mudah diotak-atik aparat. Masno mengajak sekongkol sejumlah ekspat dari negara-negara kecil dan kurang terkenal karena mereka kurang diawasi dan kadang kurang dibayar oleh negaranya.

Untuk melancarkan bisnis Masno royal meng-entertain teman-temannya. Dan akhir-akhir ini Irina jadi “piala bergilir” bagi sejumlah laki-laki berbagai bangsa. Namun Irina tak lupa akan misinya. Polwan yang menyamar itu tahu Masno punya kesukaan tertentu dalam seks: dia suka menonton orang berhubungan seks sekaligus suka juga ditonton. Jadi pada suatu kali sesudah menyervis Masno, Irina memberi usul mengadakan pesta seks kepada Masno. Ajak semua temannya bareng, nanti Irina akan melayani mereka semua. Dan, untuk membuat Masno makin tertarik: Irina akan mengajak seorang teman perempuan yang terpercaya untuk mendokumentasikan pesta seks itu. Sekaligus bonus show lesbi antara Irina dan teman perempuan itu.

Maka, pada suatu Jumat sore…

*****

Pesona kedua perempuan yang datang ke yacht mewah Masno memang tak bisa ditolak. Mereka sudah memukau sejak turun dari mobil dan melangkah di dermaga menuju kapal kecil itu menghampiri Masno dan tiga temannya. Keempat laki-laki itu langsung ngiler melihat Irina dan Ryoko.

Ryoko si “geisha madame” tampil dengan kimono biru hitam selutut dan rambut ditata konde kecil di atas kepala dengan dua tusuk konde. Wajahnya yang alami putih tampak segar dengan pemerah pipi; eyeliner dan lipstik merah memperdramatis penampilannya. Irina serba pink: blus transparan pink dan dalaman tube top pink juga, rok mini ketat, ditambah stoking warna gelap dan sepatu hak tinggi warna hitam. Riasannya lebih tebal, dengan smokey eyes dan lipstik merah darah. Rambutnya kini mencapai sedikit di bawah bahu, menjuntai dengan ujung bergelombang, diwarnai coklat. Keduanya membawa koper kecil beroda; akhir minggu itu akan dihabiskan di atas kapal. Ryoko membawa peralatan dokumentasi dan pakaian secukupnya. Irina membawa “pakaian kerja”: beraneka kostum dan perlengkapan sesuai permintaan Masno dan teman-temannya.

“Tantangan” Irina kepada Masno untuk mengadakan pesta seks dijawab oleh sang importir. Dia menyanggupi saja ketika Irina meminta bayaran salah satu mobil mewah impor bekasnya, yang dikatakan “supaya teman saya mau”. Tentu saja Masno tak hendak menikmati Irina sendirian. Kesempatan itu juga dia gunakan untuk urusan bisnis. Tiga orang laki-laki lain hadir di sana, untuk deal terbaru Masno.

Di dalam yacht itu empat laki-laki dan dua perempuan saling mengucap selamat sambil bersulang, mengadu gelas-gelas berisi wine sebelum kemudian menenggak habis isinya. Para laki-laki itu sedang bahagia, sesudah deal bisnis dengan Masno yang menguntungkan semuanya. Sekarang tinggal menikmati hiburan istimewa yang disediakan.

Ketiganya teman-teman sekongkol Masno dalam bisnis impor ilegal mobil mewah. Yang pertama Rozi, berumur lima puluhan dan berambut kelabu, seorang pejabat tua yang kenyang mengorupsi anggaran terkait kerjasama luar negeri; “kenyang”-nya itu mungkin menyebabkan perutnya yang gemuk. Dua lainnya adalah orang asing, staf kedutaan dua negara sahabat: Kim Leng, dari satu negara Asia Tenggara, dan Javad, dari negara Asia Barat. Kim Leng bertubuh pendek, kecil, dan botak, sementara Javad tegap dan brewokan. Keduanya empat puluhan. Negara asal Kim Leng terhitung miskin sehingga para diplomatnya tidak dibayar besar; itulah yang membuat dia mau membantu Masno. Sementara Masno mengenal Javad sebagai seseorang yang suka kenikmatan, yang dilarang keras di negaranya sendiri.

Kenikmatan berupa makanan lezat dan minuman beralkohol sudah tersedia, dan perempuannya… Masno tidak segan-segan keluar banyak.

“Gimana, enak kan, Bapak-bapak? Oh ya kalian udah pada kenal sama Irina kan?” kata Masno.

“Hahaha, iya dong!” kata Rozi. “Terakhir dua bulan lalu, ya, Irina? Habis itu aku sakit pinggang seminggu! Huahahaha!!” Kim Leng dan Javad cengar-cengir. Keduanya termasuk staf lama sehingga tidak canggung berbahasa lokal. Dan keduanya juga sudah pernah mencicipi Irina.

“Irina paling tahu kita semua,” celetuk Kim Leng. Masno menimpali, “Hei, Irina, tunjukin sama kami dong apa yang kamu kasih sama Pak Rozi waktu itu!”

Irina pura-pura mengeluh dan mendesah, lalu menengok ke Ryoko yang diperkenalkan kepada keempat laki-laki sebagai “Ryo”.

“Ayo, Irina!” Javad ikut-ikutan. “Tunjukin lagi buat kami!”

Irina bergerak pelan dan menggoda, lalu membuka blus transparannya sehingga kemben di bawahnya terlihat. Kemben itu perlahan-lahan dipelorotkannya, mengungkap bagian atas sepasang payudara yang kencang sempurna. Keempat laki-laki tak ada yang tak memperhatikan keindahan itu.

“Fantastic,” kata Javad sambil dia meremas satu payudara Irina yang masih setengah tertutup.
Irina menengadah sedikit dan merintih lirih. Ryoko di sebelahnya, mengagumi keahlian dan akting anak buahnya yang terpercaya itu.

“Kiss me babe,” kata Javad sambil mendekatkan wajah brewokannya ke wajah Irina. Irina menurut dan menyodorkan bibirnya untuk dicium bibir Javad. Lidah keduanya saling bergulat dalam mulut. Sesudah semenit, keduanya berhenti untuk mengambil nafas. “Mau cium yang lain?” tantang Javad.

“Oi, sabar, sabar,” Masno memotong. “Nanti acara utamanya sesudah makan ya?” Javad tampak kurang senang tapi tak mempermasalahkan. Irina lalu membetulkan lagi posisi kembennya.

Yacht bergerak meninggalkan dermaga. Mereka tak menuju ke mana-mana, hanya melaut demi privasi yang lebih besar. Semuanya merasa aman... tak tersentuh...

Makan malam di atas kapal berlalu begitu saja, dan ketiga teman Masno lebih menunggu-nunggu hiburan utama. Irina memesona keempat laki-laki di sana dengan kecantikannya. Dia menggoda mereka semua; Rozi tak bisa menahan tangannya untuk tidak mengelus-elus paha Irina di bawah meja. Ditambah lagi, wine membuat pikiran mereka makin panas.

Di yacht itu juga ada beberapa orang lain: seorang pelayan perempuan dan dua orang awak yang bertugas mengemudikan. Si pelayan membereskan makanan dan minuman lalu pergi dari kabin utama. Tatanan perabot di sana adalah meja datar rendah dikelilingi sofa di tiga sisi. Irina duduk di atas meja, di tengah ruangan. Semua laki-laki di sana sudah mengelus-elus kemaluan mereka yang mengeras di balik celana.

Ryoko, seperti sudah disepakati sebelumnya, bertindak sebagai sutradara sekaligus operator. Dia menyingkir ke pojok ruangan, tempat ada sound system, dan di sana bertindak seperti DJ yang memutar musik. “Hadirin sekalian, kami tampilkan, Miss IRINAAA!!” serunya, berpura-pura jadi pembawa acara. Ryoko memutar musik club. Irina berdiri di atas meja mulai bergoyang seksi di atasnya. Dia membelakangi para penonton dan menggoyang pantatnya di depan muka mereka. Dia membiarkan Masno dan Rozi meremas-remas pantatnya. Dia menggesek-gesekkan tubuhnya ke tubuh Kim Leng dan Javad. Masno merangkulnya dari belakang dan meremas dadanya. Rozi dan Kim Leng mengelus-elus pahanya. Javad yang paling tak sabaran sudah buka celana; Irina menggoda kejantanan Javad dengan pantatnya.

“Ryo, sinii,” Irina memanggil dengan manja. “Ayo main sama aku...”

Kedua perempuan itu kini telah begitu dekat secara seksual sehingga Ryoko tak ragu. Si germo maju dan bergabung dengan Irina di atas meja. Ryoko langsung merangkul dan mencium bibir Irina. Irina kaget dengan gerak cepat Ryoko namun langsung terbawa dan membalas ciuman itu dengan penuh semangat. Para laki-laki tercengang dengan apa yang mereka lihat. Ryoko lalu bergerak ke belakang Irina dan memegangi tube top Irina. Pelan-pelan Ryoko memelorotkan kemben Irina. Nafas para penonton nyaris berhenti melihat sepasang payudara indah kencang dengan puting yang sudah keras.

“Mmm~” gumam Ryoko. “Susu kamu bagus deh. Tawarin dong sama bapak-bapak.”

“Om, mau pegang nggaa~k?” kata Irina menggoda para laki-laki.

Ryoko bergeser ke samping Irina sambil tersenyum nakal lalu memegang salah satu payudara Irina. Lalu dia menyorongkan wajahnya ke depan untuk menjilat kulit halus payudara si pelacur. Sambil dia melirik melihat para penonton yang ternganga. Irina terpejam dan mengerang lembut selagi merasakan lidah Ryoko membelai payudaranya. Desahannya makin keras ketika dia merasakan Ryoko melahap putingnya. Dia menggeliat selagi kenikmatan menjalar dari sana ke kemaluannya yang mulai membasah.

“Enak?” tanya Ryoko.

“Ahnn... enaak...” kata Irina.

“Eit, ga boleh keenakan dulu,” kata Ryoko sambil kembali ke belakang Irina. Dia lalu mengangkat rok mini Irina, mengungkap celana dalam si polwan yang menyamar itu. “Ingat kamu di sini buat apa. Kamu lagi apa di sini, Irina?” kata Ryoko sambil tangannya menyelip ke balik celana dalam ke klitoris Irina.

“Ahhh,” desah Irina.

“Ayo dijawab,” Ryoko mempergencar godaan ke klitoris Irina. “Lagi apa kamu di sini?”

“Lagi kerjaa...” jawab Irina.

“Kerja apa?”

“Jadi... melayani...” ucap Irina pura-pura malu.

“Jadi LONTE!” kata Ryoko keras sambil melengkungkan jarinya dan menjolok lubang vagina Irina. “Ayo bilang gitu ke bapak-bapak.”

“Ahahh! Iya... Irina ada di sini jadi lonte...Ah!” Irina berkata sambil memeknya diacak-acak. Ryoko merasakan jarinya basah. Irina terangsang.

“AH... ah enak... Bapak-bapak... Irina di sini jadi lontenya bapak-bapak... NGH! Nggg! Memek... memek Irina enak...” Irina mulai meracau karena keenakan.

“Iya, Irina, kamu lonte... Artinya... Sebelum keenakan kamu harus ladenin bapak-bapak ini dulu! Kamu tahu harus apa kan?” perintah Ryoko sambil melepas tangannya dari kemaluan Irina.

Polwan itu tersenyum kecil dan melangkah turun dari meja, menuju Masno yang duduk di tengah teman-temannya. Dia berlutut di depan Masno lalu menoleh ke Masno, lalu ke Ryoko. Masno mengerti. “Mbak Ryo, silakan mulai.”

Ryoko juga turun dari meja. Itu tanda baginya untuk tugas utama: sebagai juru kamera. Dia mengeluarkan handycam, menyalakannya, lalu memberi tanda jempol ke Irina. Irina pun mulai beraksi dengan membuka resleting celana Masno. Ryoko mulai memvideokan.

Akting Irina sebagai bintang film porno amatir boleh juga. Dia pura-pura kagum dengan ereksi Masno yang sebenarnya biasa-biasa saja, lalu menggesek-gesekkan wajahnya dengan ekspresi mesum ke penis Masno sebelum kemudian memasukkan batang itu ke mulutnya. “Anj... Uah enak!” Masno sampai nyaris memaki merasakan hangat rongga mulut Irina di sekeliling burungnya. Satu tangannya bergerak untuk mencengkeram kepala si pelacur.

Yang paling tua di antara mereka, Rozi, berdiri dan mendekati Irina di lantai ruangan. Dia sudah gemas ingin menggerayangi Irina dari tadi. Sementara Irina menyetubuhi kemaluan Masno dengan mulutnya, Rozi menciumi punggung Irina sambil melepas celana dalam Irina untuk mengusap-usap vagina. Kim Leng sudah buka celana dan mengocok kemaluannya sendiri. Irina mengulum kantong pelir Masno, sementara Javad yang juga sudah tak bercelana berlutut di belakangnya sambil menggesek-gesekkan senjatanya—paling panjang di antara semua orang di sana—ke belahan pantat Irina.

Ryoko memvideokan itu, dan memancing Irina: “Irina, ayo bilang, ‘Om, entot aku dong.’”

“Om, entot aku doong,” kata Irina.

“Bilang itu sambil nyepong,” perintah Ryoko lagi. Irina kembali mengulum kejantanan Masno sambil berkata dengan tak jelas, “Mmom mnfopp agf don.”

Masno tak tahan mendengar kata-kata nakal Irina. “Ahh aku mau crot!” serunya “Telen yah!” Dia pun orgasme selagi kepala burungnya digenggam Irina dengan bibir. Irina menampung semburan-semburan peju Masno. Yang terakhir mendarat di mukanya karena Masno menarik keluar penis dari mulutnya. Irina tak menghindar.

“Tunjukin ke kamera,” kata Rozi sambil mengarahkan wajah Irina ke kamera video Ryoko. Irina membuka mulut lebar-lebar, memamerkan genangan putih dalam mulutnya, yang kemudian dia telan seolah-olah makanan lezat. Sisa peju masih menempel di wajahnya.

Masno yang puas menyingkir untuk memberi kesempatan kepada teman-temannya. Rozi bersiap. Irina mau menyeka sperma yang masih ada di mukanya tapi distop Ryoko. “Biarin aja itu,” kata Ryoko, “Aku suka ngelihat kamu habis dipake...”

*****

Sepanjang malam Irina melayani empat laki-laki itu, sampai semuanya tertidur keletihan. Dan pagi berikutnya, sarapan disediakan bagi semuanya dengan suguhan hiburan berupa tayangan video aksi Irina malam sebelumnya, hasil syuting Ryoko.

“Aku nggak cuma pelacur sekarang... aku jadi bintang porno juga...” Irina membatin sambil bersandar lemah ke Ryoko, sementara Ryoko mengelus-elusnya.

Yang tak Irina ketahui, film pornonya tak hanya ditonton di atas perahu mewah itu...

*****

Adegan yang tampil di layar adalah Irina yang mengangkang di atas tubuh telanjang seorang laki-laki setengah baya yang telentang. Kemaluan Irina menjepit erat penis laki-laki itu selagi bergerak naik turun, dan ekspresi mesum Irina tertangkap jelas di kamera.

Penontonnya seorang laki-laki setengah baya juga, juga telanjang, hanya saja posisinya berbeda. Ia tegak, sementara perempuan muda yang disetubuhinya-lah yang telentang. Tubuh gadis itu tergeletak pasrah di atas kain batik yang tadi membungkus tubuhnya, sementara si laki-laki menyetubuhinya dengan acuh. Perlahan dia menggenjot, tanpa memandang ke mata pasangannya. Perhatiannya fokus ke TV di kamar yang menayangkan sang aktris film porno amatir yang ditontonnya, Irina. Dia mengagumi kecantikan Irina, juga betapa Irina menghayati perannya. Dia terpikir mengenai seorang aktor asing yang berperan sebagai seorang penjahat psikopat, yang begitu tenggelam dalam perannya sehingga sesudah filmnya selesai sang bintang terperangkap dalam perannya, sehingga menjadi resah dan gelisah tak terkira hingga akhirnya tewas akibat mengonsumsi obat penenang berlebihan.

Seperti itulah efek yang dia lihat terjadi pada Ipda Juanisa...

Gadis yang disetubuhinya menjerit lemah, G-spotnya menyerah karena dihajar dengan intens dan memutuskan untuk meledakkan orgasme. Si gadis dalam hati bersyukur karena tuannya masih mengingat dirinya, meski akhir-akhir ini lebih sering bersenggama dengan perempuan dalam film itu.

“Anhhh...! Ndoro... saya... keluar ndoroo...”

Sang laki-laki, sang perwira, tampak tetap acuh meski si gadis, si pelayan, menggeliat-geliat keenakan di ujung kejantanannya. Setelah geliatnya berhenti, barulah dia menengok ke bawah, tetap acuh, ke wajah si gadis yang baru dilanda kenikmatan.

“Aku juga, Nduk,” katanya singkat.

“Keluarin di dalam saya saja, Ndoro...” pinta si gadis pasrah.

Sang perwira menembakkan benihnya dalam kewanitaan si pelayan. Tembakannya berkali-kali dengan banyak peluru, dan si gadis merasakan kehangatan memenuhi bagian dalam. Pada saat yang sama Irina di layar tampak sedang membuka lebar kemaluannya yang juga baru menerima semburan peju lawan mainnya, dan dengan cabulnya dia membiarkan cairan putih di sana mengalir dan menetes keluar.

Telepon berbunyi.

“Siapkan penyambutan,” kata si laki-laki. Dia lalu menghubungi orang lain.

“Dik Prabu, apa dik Taufiq sudah nonton kiriman saya?”

Suara di telepon menjawab, “Sudah Pak Bambang. Sekarang Taufiq lagi, emm, reunian sama mantan anak buahnya. Savitri.”

Kombes Bambang Harjadi mendengar suara tawa di teleponnya, lalu mendengar desahan perempuan. Dia ingat, itu desahan Thalia alias Savitri, yang kiranya sedang disuguhkan Prabu kepada mantan atasannya, seorang tokoh media.

“Kalau begitu tolong kasih tahu dik Taufiq ya dik Prabu. Semoga berkenan untuk meliput berita besar ini.”

Bambang Harjadi menutup pembicaraan. Di depannya tergeletak seorang perempuan dengan paha mengangkang dan rekahan basah. Dan mau tak mau dia pun merenung mengenai perempuan-perempuan dalam hidupnya akhir-akhir ini...

*****

Pelabuhan, tengah hari

Bunyi peluit kapal menembus udara selagi satu yacht kecil mendekat ke dermaga. Beberapa orang pekerja di dermaga tampak siap menyambut yacht itu, yang pulang ke pelabuhan membawa sejumlah penumpang yang sudah puas berpesta. Seorang awak kapal melempar dua utas tambang ke dermaga, dan orang-orang di dermaga mengikatkan tambang itu ke pasak-pasak baja sehingga mengamankan kapal. Tak lama kemudian para penumpang mulai keluar dari kapal. Masno adalah yang pertama kali turun ke dermaga, lalu Rozi, Kim Leng, Javad.

Baru saja dia menginjakkan kaki di lantai kayu dermaga, Masno tiba-tiba ditarik seorang pekerja yang tadi mengikat tambang yacht. “Polisi! Jangan bergerak, Anda semua kami tangkap!” Si pengusaha itu langsung diringkus. Para pekerja di dermaga, yang sebenarnya polisi yang menyamar, langsung berlompatan menaiki yacht dan berusaha menangkap yang lain-lain. Petugas-petugas berseragam juga bermunculan. Rozi dan Kim Leng langsung diringkus dan diborgol. Javad yang berada paling belakang, di pintu kabin, langsung berbalik dan berusaha lari, tapi dua orang polisi dengan cekatan menubruk dan meringkusnya.

Mendengar ribut-ribut, Ryoko dan Nisa di dalam kabin tersentak.

“Ayo lari!” seru Ryoko sambil menarik Nisa dan menuju sisi lain kapal. Saking gesitnya Ryoko, Nisa belum sempat bereaksi. Gerakannya seolah dia sudah punya refleks untuk mencari jalan kabur secepat mungkin.

“Berhenti!” Ketika Ryoko membuka pintu kabin, terdengar teriakan dari seorang polisi yang berposisi dekat sana. Sialnya, si polisi berada di posisi yang kurang menguntungkan—di balik pintu, sehingga Ryoko justru menggebrak pintu keras-keras untuk menghantamnya. Si polisi terhuyung, dan waktu beberapa detik itu cukup bagi Ryoko untuk keluar dan sekalian memanfaatkan ketidakseimbangan si polisi untuk menjatuhkannya ke dalam air.

“Ayo ikut aku, Irina!” seru Ryoko sambil melompat turun ke cabang dermaga di sisi lain yacht. Jelas Ryoko berusaha kabur. Irina mengikuti.

Sudah waktunya, n’Duk.

Nisa melihat punggung Ryoko di depannya. Dan terpintas di benaknya betapa Ryoko telah begitu baik pada dirinya beberapa bulan ini. Juga berbagai kenikmatan yang diberikan oleh Ryoko.

Apakah kamu bimbang?

Kata-kata Kombes Bambang Harjadi pun teringat. Demikian pula sumpahnya terhadap pekerjaannya yang sejati.

Polwan.

Dan tugasnya adalah menegakkan hukum.

Nisa menerjang Ryoko dari belakang. Keduanya jatuh berdebam di lantai kayu dermaga. Ryoko terkaget menyadari siapa yang menjatuhkannya.

“IRINA??!!” jeritnya. Namun dia segera berguling menghindar ketika melihat tangan Nisa berusaha menelikung.

“Jangan melawan,” Nisa mencoba memperingatkan. Beberapa polisi mendekat.

“Kamu...” Ryoko akhirnya menyadari rahasia Irina...

“ANJIING!!”

Ryoko yang posisinya sudah terpojok itu menggila. Secepat kilat tendangannya mengincar wajah Nisa; nyaris wajah Nisa memar apabila dia telat menghindar. Nisa balas memukul, dan Ryoko menangkis. Nisa akhirnya mendapat kesempatan untuk menjajal kemampuan bela diri Ryoko.

Namun entah kenapa, para polisi di sekitarnya lebih sibuk dengan Masno dan kawan-kawan serta mengamankan awak yacht. Tak seorang pun maju membantu Nisa meringkus Ryoko. Dia berjuang sendiri.

Ryoko kembali melancarkan tendangan ke arah pinggang Nisa, dan kali ini Nisa telat menghindar. Dia roboh dan Ryoko langsung menerkamnya. Emosi menguasai Ryoko sehingga serangan berikutnya yang mengenai Nisa adalah tamparan ke wajah.

“Kenapa?! Kenapa mesti KAMU??!!” jerit Ryoko selagi dia menjambak Nisa. Bibir Nisa berdarah ketika satu lagi tamparan keras Ryoko mendarat di sana. Dan Ryoko juga menarik bajunya. Ketika itu Nisa mengenakan blus berkancing dan rok pendek.

Kelengahan akibat emosi itu bisa dimanfaatkan Nisa. Sodokan lututnya ke perut Ryoko membuat dia bisa menyingkirkan Ryoko dari atas tubuhnya. Cepat-cepat dia berusaha berdiri lagi, menyeka darah dari bibirnya, sambil berusaha mengambil nafas. Dia merasa beberapa utas rambutnya tercabut ketika Ryoko tadi menjambak, dan hampir semua kancing blusnya sudah copot.

Nisa menatap mata Ryoko yang kini menyorot penuh kebencian. Ryoko tak punya pilihan lagi, dia menerjang duluan. Nisa menghindar dan berhasil mengarahkan tendangan ke pinggang Ryoko—tapi ternyata tidak kena! Yang terjadi malah sikut Ryoko menghajar ulu hatinya, membuat Nisa menjerit kesakitan. Dan mendadak tubuh Nisa terangkat... Ryoko membantingnya ke lantai!

Nisa kesal kepada dirinya sendiri selagi dia terkapar di lantai dermaga. Memang, penugasan penyamarannya selama berbulan-bulan membuat dia kurang latihan. Dan kini lutut Ryoko mendesak perutnya sementara si germo mencekik lehernya. Tatapan tajam Ryoko seolah ingin menusuk menembus mata dan kepala Nisa selagi Nisa susah payah menahan tangan Ryoko menghentikan nafasnya...

Dan di sudut mata si germo menitik air mata, kesedihan karena dikhianati seseorang yang sungguh-sungguh ia anggap dekat, seperti adik sendiri, bukan barang dagangan seperti perempuan lain yang ia jual...

“IRINAAA!!” jerit Ryoko, ketika pergumulan mereka berdua dihentikan oleh para polisi yang akhirnya turun tangan. Bersamaan dengan itu sejumlah kilatan kamera mengabadikan Ryoko dan Nisa yang sedang dipisahkan oleh para polisi. Nisa kelelahan, berantakan, tak peduli dia sedang difoto dalam keadaan baju acak-acakan. Para wartawan itu datang atas petunjuk komandan polisi setempat mengenai penggerebekan, namun yang awalnya mereka kira kasus biasa ternyata sesuatu yang sensasional. Apalagi mereka sudah diberitahu mengenai satu video terkait penangkapan itu.

*****

Di tempat parkir pelabuhan, jauh dari hiruk pikuk keramaian polisi dan pencari berita...

"Dik Prabu, satu penghalang sudah kita singkirkan. Rencana kita berjalan mulus. Selamat," kata Kombes Bambang Harjadi.

"Semua hanya bisa terlaksana karena bapak juga," balas Prabu, si pengacara.

“Bagaimana dengan Savitri?” tanya sang Kombes.

“Kebetulan teman-teman saya di Bangkok bersedia ‘mengurus’ dia,” kata Prabu. “Sayang juga harus menyingkirkan dia. Tapi kita tinggal beli mainan baru, kan? Lagipula kalau kangen kita tinggal terbang ke sana dan datangi club tempat dia disimpan.”

Keduanya terbahak dan pergi.

*****

"ANAK DURHAKA! PELACUR! LONTE! BIKIN MALU KELUARGA!"

Juanisa hanya bisa terdiam. Ia tidak menundukkan kepalanya seperti kebanyakan wanita yang sedang menghadapi cacian seperti itu, terlebih yang datang dari orangtuanya sendiri.

Ia hanya diam, ia tak lagi mendengar bentakan dan teriakan ayahnya.

Ia tak lagi mengindahkan telunjuk sang ayah yang mengacung menghukum dirinya...

Ia tak lagi memandang sosok sang ibu yang terisak, terduduk di tengah rumah mereka yang sederhana itu....

Ia seakan kosong... hanya sebuah mortal shell tanpa jiwa...

Lemparan koran dengan isian berita penggerebegan bertebaran di sekitarnya... mengenai wajahnya...

Ia tak lagi perduli...

Isi berita yang jelas sangat berbeda dengan kenyataan yang ada...

Pelacur yang sakit hati membalas dendam pada sang germo!

Pelacuran kelas berat terbongkar: seorang pelacur mengakui semuanya...!

Dan siapakan pelacur itu jika bukan dirinya yang dimaksud.....

Pemberitaan media yang mengumbar habis jati dirinya, yang jelas dibocorkan oleh Savitri membuatnya tak lagi bisa berkutik...

Dan bukan hanya telunjuk sang ayah...

Keluarga besarnya...

Para bibi yang memang dari dulu mencibir kecantikannya…

Para paman yang merasa diri mereka sangat suci, walau kenyataannya mereka juga sering bermain gila di belakang istri-istri mereka...

Para sepupu....

Juanisa hanya diam....

Pikirannya menerawang....

*****

"Saudari saksi... apakah Anda benar bernama Juanisa Putri?" tanya ketua majelis hakim yang memimpin sidang atas terdakwa Ryoko.

Juanisa langsung mencelos mengetahui adanya kemungkinan kalau semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Ia melihat sosok Prabu yang duduk di deretan pembela yang disewa Ryoko.

"Ya benar, nama saya Juanisa Putri," kata sang gadis yang berusaha tenang walau hatinya begitu berkecamuk.

"Pekerjaan anda adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia?"

"Benar."

"Pangkat anda?"

"Inspektur dua."

"Apakah anda mengenal terdakwa Faria Rosalin?"

Mata kedua wanita itu bertemu... satu dengan tatapan ingin membunuh dan yang satu kini nampak kosong...

"Ya saya mengenal terdakwa dengan nama Ryoko..." katanya pelan.

"Apakah anda mengetahui pekerjaan terdakwa?"

"Ya...."

"Coba jelaskan di muka sidang mengenai pengetahuan anda akan pekerjaan saudari terdakwa."

"Faria Rosalin atau Ryoko berprofesi sebagai seorang mucikari yang melakukan praktik prostitusi," kata Nisa dengan suara yang sedikit bergetar....

Sang hakim memandang ke arah pembela.

"Silakan jika Anda ingin menanyai saksi."

Prabu mengambil mikrofon. Juanisa memandang tegang, Ryoko menampilkan senyum iblisnya. Persidangan sebenarnya sekarang dimulai.

"Saudari saksi... Anda berkata kalau Anda seorang polisi wanita," kata Prabu sebagai pembuka. "Bagaimana Anda bisa mengenal begitu baik akan aktivitas terdakwa?"

"Saya ditugaskan untuk menyamar dan menginfiltrasi kelompok Ryoko."

“Maksudnya Anda menjadi anak buah saudari terdakwa yang Anda sebut sebagai mucikari? Dengan kata lain Anda menjadi PELACUR?” Prabu sengaja menyebut profesi samaran Nisa itu keras-keras.

“…Iya,” jawab Nisa dengan berat.

"Siapa yang memberi anda tugas?"

Juanisa terdiam.... kelebatan nama muncul di kepalanya...

"Komisaris Rasidi...."

"Sayang sekali, Komisaris Rasidi telah gugur dalam tugas di Papua, bukan begitu Ipda Juanisa?"

Sang gadis tertegun. Bagaimana....?

"Tidak mungkin urusan sekaliber ini hanya diorganisir oleh seorang komisaris, dan Anda pasti mengetahui siapa yang mengorganisir operasi ini."

Tidak.... aku tidak bisa menjerumuskan Bapak.... beliau sangat berharga.... batin Nisa...

"Maaf, tapi atasan langsung saya adalah Komisaris Rasidi," jawab Nisa tegas.

"Kalau begitu saya bisa saja meragukan kredibilitas anda sebagai seorang saksi," serang Prabu lagi.

"Dengan tewasnya Rasidi, kita tidak akan pernah bisa tahu apakah Anda memang ditugaskan atau Anda dengan sukarela menjadi anak buah terdakwa."

Tangan Nisa bergetar ketika ia memegang mike...

Dan Prabu masih terus menyerang kredibilitasnya.

"Coba ceritakan bagaimana anda bisa sampai masuk dalam kelompok terdakwa."

Suara Nisa kadang tersendat, bergetar dan nyaris tak terdengar ketika ia harus kembali mengulang semua pengorbanan yang dilakukannya sehingga beberapa kali Prabu harus meminta Nisa untuk mengulangi detail yang ingin sekali ia lupakan...

"Saudari Nisa... berdasarkan keterangan Saudari, nampak jelas kalau Anda berinisiatif untuk masuk dalam kelompok terdakwa."

"Tidak Pak... semua karena tugas," bantah Nisa terbata...

"Seorang polwan tentu akan mencoba beribu cara untuk menolak melayani lelaki seperti yang Anda lakukan namun tetap memiliki integritas dan determinasi dalam melaksanakan tugas," serang Prabu.

"Tidak Pak... saya..."

"Saya meminta catatan mengenai operasi ini dari kesatuan anda, dan tidak pernah ada surat perintah untuk melakukan pengintaian atau infiltrasi."

Nisa terkesiap. Black ops? Tidak mungkin... Semua data jelas. Laporan tertulisnya lengkap....

"Sepertinya Anda sudah menggunakan kewenangan Anda sebagai abdi negara untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri dan kemudian menggunakan kewenangan Anda setelah penggerebekan terjadi," cecar Prabu lagi.

"Tidak!" bantah Nisa. "Tidak benar... saya mendapat perintah... saya menjalankan perintah!"

Nisa panik.. sebenarnya ini persidangan siapa?

Siapakah terdakwanya?

Kenapa semuanya menyerang dirinya?

Bahkan JPU dan hakim tak ada yang menghentikan cecaran Prabu.

Kenapa?

"Kalau begitu di depan sidang pengadilan dan masyarakat yang menyaksikan, sebagai saksi yang telah disumpah untuk memberikan keterangan sebenar-benarnya... Jawab!"

Nisa terdiam..

"Apa Saudari mendapat bayaran dari pelayanan yang Saudari berikan pada para lelaki hidung belang itu?"

Kini Nisa tak lagi bisa duduk tegak... kepalanya tertunduk dan ia mulai terisak.

Ketua hakim berkata, "Harap Saudari menjawab pertanyaan tersebut."

Nisa terisak, dengan terbata ia menjawab…

"I... Iya yang mulia... saya mendapat bayaran dari para lelaki yang saya layani...."

"Nah sekarang setelah kenyataan terungkap di ruang publik," lanjut Prabu tanpa memberi kesempatan Nisa untuk menarik nafas, "jelaskan bagaimana jaringan terdakwa beroperasi..."

Maka dengan gamblang Nisa yang merasa harga dirinya sudah sangat dijatuhkan menjelaskan apa yang ia alami selama menjalani 'profesinya' di bawah asuhan Ryoko. Bagaimana proses perekrutan, pembagian tugas, pemilihan klien... tipe pelayanan yang diberikan...

Dan dengan pertanyaan Prabu yang meminta rincian tipe pelayanan yang diberikan Nisa kepada para klien, kelelakian seluruh pengunjung sidang, termasuk panitera, JPU, dan hakim mulai terusik.

Walau terdengar hujatan dari kaum wanita maupun cibiran lelaki, namun tak dipungkiri, mereka sedikit banyak terangsang oleh cerita Nisa....

***

PLAK!

Tamparan sang bunda membuat Nisa kembali ke saat ini, di tengah sidang besar keluarga yang selama ini sangat tak pernah terjadi...

Keluarga yang sebenarnya saling membenci satu sama lain...

Mereka sebenarnya tak pernah perduli dengan dirinya. Apalagi dengan profesinya di unit reserse membuatnya tak bisa banyak memaparkan tugasnya.

Nisa merasakan bibirnya pedih dan berdarah akibat tamparan sang bunda. Namun tamparan itu tak lagi dirasakan. Ia sudah tahu kalau ia akan kehilangan segalanya....

Sejak ia mengambil tugas itu, ia sudah tahu risiko yang akan diterimanya.

Kehilangan keluarga…

Pekerjaan…

Nama baik...

Segalanya...

****

Nisa mencoba tegar berdiri di di tengah sidang disiplin ketika keputusan akan dibcakan...

"Setelah mempertimbangkan segala seuatunya dengan seksama, dengan memperhatikan fakta yang ada selama persidangan, kami memutuskan bahwa Ipda Juanisa Putri secara sah dan benar terbukti melanggar kode etik kepolisian, melakukan pencemaran nama institusi dengan terbukti secara sah menyalahgunakan kewenangan dan melakukan tindakan asusila dengan melakukan tindakan prostitusi dengan berkedok tugas.

Dengan ini memutuskan memberhentikan dengan tidak hormat Ipda Juanisa Putri dan keputusan ini berlaku pada tanggal dibacakannya keputusan ini."

Ketukan palu pimpinan sidang bagaikan godam besar yang dihantamkan ke hati Nisa. Tak ada pembelaan untuk dirinya... namun apa yang bisa diharapkannya? Ia sendiri sudah memutuskan untuk tidak menyangkutpautkan sang panutan dalam kekisruhan yang terjadi ini. Baginya Bambang Harjadi adalah sosok yang harus ia jaga, walaupun berarti ia akan kehilangan segalanya...

Dan kehormatannya sebagai perempuan benar-benar ditiadakan hari itu...
Seagaimana layaknya kepada mereka yang diberhentikan secara tidak hormat, perwira pimpinan sidang mendatangi Nisa yang berdiri tegak walau nampak jelas bergetar...
Ia melepaskan tanda kesatuan, kepangkatan dan topi sang gadis...

Dan...

Nisa menangis namun tetap bersikap sempurna ketika pimpinan sidang melucuti pakaian dinas yang dipakainya... hingga tinggal menyisakan bra menutupi bulatan payudaranya...

Walau ketelanjangannya tidak berlangsung lama karena sang perwira kemudian memakaikan hem putih pada sang gadis, namun kemulusan dan keindahan tubuh sang gadis tertampang jelas untuk mata para rekan kerja yang selama ini hanya membayangkan kemulusan tubuh sang Ipda...

*****

"PERGI KAU ANAK DURHAKA! AKU HARAMKAN KAMU JADI ANAK KAMI! JANGAN SEKALI-KALI LAGI DATANG KE RUMAH INI DAN AKU HARAMKAN KAMU UNTUK MENANGISI KUBURAN KAMI!!"

Nisa diam...

Ia melangkahkan kaki keluar dari rumah yang dipenuhi tangisan dan teriakan histeris...

"Nisa... ayo... ikut Paman," ujar salah seorang pamannya yang dari tadi memang menanti di luar, nampak tak ikut dalam penghujatan yang diterimanya. Dengan lunglai sang gadis mengikuti sang paman, yang memacu kendaraannya menuju ke arah luar kota, ke sebuah villa di kawasan pegunungan.

"Ayo, sayang... masuklah dulu... kamu bisa menenangkan dirimu di sini untuk sementara..."

"Terima kasih paman..." kata Nisa lirih sambil masuk ke dalam villa.

Ia tak melihat seringai penuh kemenangan sang paman ketika ia membiarkan sang gadis masuk lebih dulu, ebelum ia menutup pintu dan menguncinya.

"Halo Nisa.... "

Mata Nisa tertegun memandang tiga sepupu dan tiga keponakannya yang masih bersekolah di SMU, semuanya berkumpul di dalam villa itu.

Nisa mendadak merasakan bahaya. Ia berbalik dan menabrak tubuh sang paman yang kini nampak beringas itu...

Segera keenam kerabatnya mengepung tubuh sang gadis yang meronta sejadinya. Namun Nisa jelas kalah tenaga dan sama sekali tidak siap untuk menghadapi serangan mendadak itu. Dalam waktu tak lama bunyi pakaian yang tercabik mengisi ruang tengah villa... ditingkahi jeritan sang gadis dan tawa kekeh para lelaki buas yang lagi tak memiliki kesadaran kalau yang sekarang sedang mereka gumuli adalah saudara mereka sendiri...

Tak lama kemudian Nisa menjadi bulan-bulanan mereka...

Nisa menangis karena frustasinya. Bukan karena seluruh lubang kenikmatan di tubuhnya kembali menjadi sarang penis, namun kenyataan bahwa anggota keluarganya sendiri kini memperkosanya benar-benar menyakitkan hatinya.

Bahkan lebih perih dari ketika pemerkosaan yang dilakukan Rasidi dan rekan-rekannya, walau sama brutalnya... sama liarnya...

***

Selama tiga hari sang gadis disekap dalam villa itu, dan selama tiga hari neraka jahanam menghampiri dirinya. Pamannya membawa teman.... Juga sepupunya... Juga keponakannya...
Nisa sangat lemah. Ia sangat sakit, baik badan maupun hatinya. Ia sudah hancur... ia sudah merasa kalau ia memang hanya seonggok daging untuk memuaskan nafsu para lelaki.
Hanya sekedar penampungan sperma...

Dini hari...

Dengan langkah yang tertatih dan dengan menahan nyeri di selangkangannya sang gadis meninggalkan villa terkutuk yang sudah sepi itu. Para pemerkosanya sudah bosan dengan tubuhnya dan meninggalkannya begitu saja....

Dengan pakaian seadanya sang gadis menyetop kendaraan pengangkut sayur yang baru berangkat dan membawanya kembali ke kota.

****
BERSAMBUNG