Minggu, 02 Februari 2014

Demi Tugas 1


DEMI TUGAS
 

SINOPSIS

Seorang polwan ditugaskan menyamar untuk menyusup ke dalam sindikat prostitusi kelas tinggi. Namun misinya tak se-sederhana yang diduga.
 

Story codes

MF, M+/F, FF, MFF, M+/FF, anal, bd, b-mod, cr, dp, tort
 

DISCLAIMER

* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.

* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.

* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.

*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu.  Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan. 

* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.


Demi Tugas

Ninja Gaijin & Pimp Lord


“Siapa dia?” tanya wanita itu pada seorang lelaki bertubuh tegap di sampingnya yang membungkukkan wajahnya hingga telinganya bisa mendengar dengan jelas pertanyaan sang wanita, demi meningkahi dentuman beat music yang bergelora di dalam nightclub itu.

“Namanya Irina ma’am, terakhir bekerja sebagai sekretaris di perusahaan tambang batubara.”

“Sumbermu bisa dipercaya?” tanya wanita itu lagi.

Lelaki itu mengangguk pasti, “Tukang koran yang kita taruh di sana yang memastikannya.”

“Lalu alasan dia keluar?”

“Expat yang memelihara dia keluar dari perusahaan itu, kembali ke negaranya. Sementara gadis itu bukan favorit di perusahaan itu, banyak yang cemburu karena kedekatannya dengan expat yang memang jadi rebutan.”

“Jadi sekarang dia sedang melampiaskan kekesalannya….” Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya

“Dan juga mencari sumber pemasukan lain,” kata lelaki bertubuh tegap itu.

“Dia tidak dapat apa-apa dari expat itu?”

“Sepertinya hubungan mereka baru saja mulai waktu si expat memutuskan pulang ke negaranya. Dan dia mulai kesulitan untuk kembali hidup seperti sebelum expat itu menyimpannya.”

“Perfect…” kata wanita itu sambil bangkit dari duduknya dan mendekati Irina yang duduk di depan bar, memandangi Bloody Mary yang berada di hadapannya. Irina sama sekali tidak tertarik dengan wanita yang sekarang duduk di bangku di sampingnya.

“Vodka Double on rocks,” pesan wanita itu, lalu dia duduk berbalik ke arah kerumunan, wajahnya cerah ketika ia melihat seorang expat berumur datang menghampirinya.

“Hi, dear. How are you doing?” kata pria itu kepada si wanita sambil keduanya bercium pipi kiri dan kanan.

“Been a long time, babe…” kata wanita itu, mempersilakan si expat berdiri di antara dirinya dan Irina. Irina sedikit beringsut memberi tempat pada pria pertengahan empatpuluhan dengan wajah biasa saja dan berperut sedikit tambun itu, yang kemudian memesan minuman untuk dirinya.

Irina sesekali mengerling ke dua orang yang kini bercengkrama itu, antara sedikit terganggu dan tak peduli.

“Ah, where’s my manners,” kata wanita itu sambil menegakkan punggungnya dan melihat ke arah Irina. “Albert, this is my friend…” katanya.

Irina tertegun, ia tak menyangka wanita itu mengenalkannya pada Albert bagai seorang kawan lama, namun ia tak mau dianggap tidak sopan hingga ia menyambut uluran tangan Albert.

“Irina,” jawabnya singkat.

“A lovely name,” kata Albert.

“Lovely as the lady herself isn’t she?”

Irina sedikit jengah, wanita yang tak dikenalnya ini mempelakukannya bagai seonggok daging tanpa perasaan yang bisa dilempar begitu saja. Namun ia tak bergerak untuk melempar minumannya, menampar wanita itu atau hal lainnya…. Ia hanya berdiam diri, ia merasa kalau wanita itu dapat membaca permasalahan keuangannya.

Memang demikian ceritanya, ketika seorang bos expat dulu memelihara dirinya, ia tak pernah merasa kekurangan, namun setelah lelaki itu pergi, gaji sebagai seorang sekretaris ternyata jauh dari mencukupi gaya hidupnya yang sudah berubah.

“But is the lovely lady willing to accompany me to make my gloomy night turn bright?” tanya pria itu sambil matanya erat menatap mata sang gadis.

Wanita itu menatap ke arah Irina, menanti….

Lengan halus Irina menyentuh dagu sang expat, mengusap pipi lelaki itu, lalu ke belakang kepalanya, menariknya halus dan….

Wanita itu tersenyum melihat Irina ber-French kiss ria dengan Albert.

“Until we meet again my dear,” kata lelaki itu sambil menggamit pinggang Nisa setelah sebelumnya meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu sebagai pembayar minuman dan tip untuk bartender yang tersenyum sangat lebar.

>>>> 

Irina mengikuti sang pria masuk ke dalam kamar hotel, memeluknya dari belakang lalu menciumi tengkuknya, lehernya. Albert berbalik, tangannya meremasi payudara sekal Irina, pahanya, pinggulnya, dan bermain nakal di selangkangannya. Sambil mereka berdua menghentak lepas sepatu yang mereka kenakan.

Irina mengetahui nafsu sang pria yang mulai menggelegak, dan ia tau kalau lelaki ini tak mau menunggu lebih lama maka ia tak melakukan trick para pelacur, ia tak meminta waktu untuk ke kamar mandi. Ia membiarkan lelaki itu mengangkat backless nightdress yang dikenakannya sementara ia melepaskan kemeja penuh keringat dan bau dari tubuh sang expat.

Ia membiarkan sang lelaki merenggut bra dan underwear-nya, sementara ia melepaskan gesper, lalu meloloskan celana tiga perempat yang digunakan pria itu lalu bersimpuh di hadapan selangkangan sang expat, lalu dengan giginya ia menurunkan celana dalam sang expat, dan kemudian ia merasakan remasan di kepala dan rambutnya seiring makin masuknya penis sang expat ke dalam kerongkongannya.

>>>>> 

Irina menghembuskan rokoknya sambil berdiri di balkon apartment mewah itu, berbalut sprai yang menutupi ketelanjangan tubuhnya. Ia memandang ke arah gelap malam, ke arah lampu-lampu yang menunjukkan kalau metropolitan belum lagi terlelap.

Lalu ia masuk ke dalam, mengenakan pakaiannya lagi dan merapikan seadanya, mengambil uang yang memang ditujukan sebagai tip atas pelayanannya yang kini membuat sang expat tertidur dengan tenang, dengan seulas senyum tersungging di bibir keriputnya.

Perlahan Irina menutup pintu kamar hotel itu dan melangkah sedikit terhuyung di koridor menuju lift. Ia mengambil smartphonenya dan mengirim sebuah pesan…

Irina tak memperdulikan pandangan mesum, melecehkan dan bernafsu para sekuriti, cleaning service dan beberapa pekerja hotel. Toh kenyataannya ia kini memang telah resmi menjadi wanita pemuas. Ia terus berjalan keluar dari lobi dan menuju ke arah gerbang di mana taksi biasanya berkumpul, namun belum lama ia berjalan sebuah sedan mewah berhenti di sampingnya.

Irina menengok arah kursi belakang, dan ia melihat wanita yang telah menjual dirinya duduk dengan anggun di sana. Irina lalu membuka pintu dan masuk, duduk di sebelah sang wanita, dan mobilpun kembali melaju menuju tempat yang disebutkan Irina.

Irina merasa sangat lelah. Ia pun lalu menyandarkan kepalanya ke bahu sang wanita yang mengusap lembut kepala sang gadis, seakan ingin menghiburnya. Si wanita dapat merasakan kelelahan mental dan beban moral yang dialami gadis di sampingnya , sebagaimana dirinya alami dahulu ketika pertama kali ia menjual tubuhnya kepada lelaki. Namun itulah harga yang harus dibayar sang gadis untuk kehidupan mewah yang dijalaninya.

Di depan gerbang sebuah kos-kosan mewah mobil itu berhenti. Wanita itu meminta smartphone Irina, mengetikkan nomornya dan menyerahkannya kembali pada Irina.

Gadis itu lalu melangkar ke luar kendaraan dan tanpa menoleh ke belakang ia masuk ke dalam kamar kos-kosan itu. Sepanjang perjalanannya menuju kamar sayup-sayup ia bisa mendengar deru persetubuhan dari beberapa kamar, erangan lirih, dengus nafas yang memburu dan desah kepuasan.

Ia mencoba menulikan telinganya dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Irina melempar dompetnya sembarangan, lalu memandang ke arah cermin. Ia memandang wajahnya, maskaranya yang sedikit luntur… Emosinya mengelegak, ia merobek nightgown-nya merenggut putus bra dan panty yang dikenakannya. Dengan terisak ia masuk ke dalam shower, lalu mengambil body scrub dan dengan terisak berusaha menyikat tubuhnya dengan keras seakan mencoba menghilangkan aroma sang expat dari tubuhnya, berkumur dan menelan air mentah shower, seakan mau menghilangkan aroma bibir, liur, sperma dan rasa kelat anus sang expat yang ia puaskan beberapa jam tadi dengan lidahnya. Ia menggosok, menggosok dan terus menggosok, Irina terisak, ia bersandar pada dinding shower, menggelosor ke lantai dingin. Ia menaikkan kedua lututnya rapat ke dada dan menangis sejadinya.

>>>> 

Pria setengah baya itu terbangun dari tidurnya, getar telepon di sampingnya membangunkan dia untuk kali kedua malam ini. Ia duduk di samping ranjang empuknya dan membaca pesan yang tertulis di layar dan mendesah.

Ia bangkit menuju meja kerjanya yang memang diletakkan di kamarnya yang mewah itu. Ia mengambil sebuah berkas dan menyalakan sebatang cerutu.

Pria itu lalu mengangkat intercom, “n’Duk, tolong bawakan aku kopi.”

Ia lalu kembali melihat pesan di layar itu dan memandang ke arah berkas di hadapannya. Pesan kedua yang diterimanya meyakinkan dirinya kalau roda sudah mulai berputar.

Ia sadar kalau ia akan kehilangan cukup banyak, namun hal ini harus terjadi atau ia sendiri akan terkena dampaknya. Lebih baik ia kehilangan banyak, namun pada akhirnya ia akan memperoleh lebih banyak lagi.

Ia lalu mengambil berkas itu dan membukanya.

Ia tak pernah salah memilih orang, ia memiliki indra keenam untuk hal seperti itu, dan semenjak ia melihat gadis itu ketika ia diundang koleganya untuk menghadiri upacara penerimaan anggota baru, ia sudah tau kalau gadis itu akan memiliki segalanya yang ia butuhkan untuk menjalankan tugas seperti ini.

Pria itu meletakkan berkas ketika mendengar pintu kamarnya dibuka. Seorang gadis muda berpenampilan manis dan lugu masuk membawa nampan dengan secangkir kopi yang mengepul.

Dengan sopan gadis itu meletakkan kopi di meja sang lelaki, “Silahkan nDoro.”

Lelaki itu menatap sang gadis yang menunduk salah tingkah, ia tak pernah salah menilai dan memilih orang.

“nDuk, malam ini kamu temani aku, ya…”

Gadis itu mengangguk malu, “Baik nDoro…” katanya sambil meloloskan dasternya, menampakkan tubuh sempurna seorang gadis muda yang telanjang dan menantang. Gadis itu lalu bersimpuh di hadapan sang pria, menyibakkan kimono sang pria dan mulai memanjakan kelelakian sang pria yang perlahan mulai tegak mengacung.

Ya, ia tak pernah salah dalam menilai orang…

Lagipula, apalah salahnya ia menikmati hidupnya seperti ini, sama seperti istrinya menikmati hidupnya  sendiri, terlebih seperti saat ini ketika sang nyonya dan beberapa temannya sedang “studi banding” ke negara lain, dan berdasarkan informasi ajudan dari teman istrinya yang sudah ia beli, ia tau kalau selama “studi banding” itu, istrinya juga menjajal penis-penis gigolo muda di negara itu.

Ia menghembuskan cerutunya, merengkuh sang gadis, mengajaknya ke tempat tidur, dan menggumulinya dengan bernafsu….

Kopi itu menjadi dingin… sama sekali tak tersentuh…

*****

BEBERAPA WAKTU LALU

“Bisa lihat wajahnya dengan jelas?” tanya seorang perwira polisi ke seorang polisi wanita yang duduk di depannya mengintip laptop di atas meja. Mereka berdua sedang memandangi foto yang kelihatannya diambil dengan kamera rahasia karena agak buram dan goyang. Foto itu menampilkan beberapa orang perempuan duduk di sofa di ruangan temaram. Satu yang di tengah terlihat berpenampilan “ramai”, mengenakan kimono pendek bermotif belang zebra dengan tepi merah, rambutnya digerai. Wajahnya kurang jelas.

“Siap komandan, kurang jelas di foto ini,” kata si polwan.

“Oke, kalau begitu lihat yang ini.” Si polwan menggumam melihat foto seorang komedian terkenal merangkul perempuan yang di tengah tadi, dengan wajah lebih jelas. Wajahnya putih dan cantik. Perempuan itu juga memakai kimono, dengan corak berbeda. Rambut hitamnya diikat menjadi konde kecil di belakang kepalanya.

“Lebih jelas. Dia ini suka banget pakai kimono ya?” tanya si polwan santai, seolah sedang membahasnya bersama teman arisan.

“Mungkin disesuaikan dengan identitas yang dia pakai dalam pekerjaannya, memang kejepang-jepangan kan? ‘Madame Ryoko’. Nama aslinya Faria Rosalin, tapi sepanjang kariernya dia sudah banyak dikenal dengan nama lain. Umur 35 tahun.”

“Kelihatan lebih muda,” celetuk si polwan.

“Dia pintar jaga penampilan,” sambung si komandan. “Dia sudah jadi target operasi sesudah penggerebekan beberapa bulan lalu yang menangkap beberapa anak buahnya. Tapi kita belum tahu seperti apa operasi dia, seberapa besar dan luas.”

Si komandan berhenti sejenak lalu memandangi si polwan. “Saya tahu kamu sukses di penugasan kemarin, hasilnya kan kita bisa tangkap sejumlah teroris dan ungkap jaringan mereka. Makanya saya percaya kemampuan kamu. Lagian untuk tugas seperti ini, tidak ada lagi yang cocok dalam kesatuan kita selain kamu. Saya bisa kasih anggaran besar dan back up lumayan buat siapapun yang bisa masuk dan bongkar operasi dia, tapi setelah saya pikir-pikir cuma kamu yang bisa masuk ke sana.”

Si polwan menghela nafas. “Tapi… apa saya harus…”

Komandannya tiba-tiba berkata keras dan tegas. “Kamu ingat sumpah yang diucapkan ketika pertama kali masuk kesatuan ini? Saya perintahkan sebut isinya.”

“Siap komandan!” balas si polwan dengan tegas juga. Lalu dia mengulang sumpah itu lagi. Termasuk “melaksanakan dinas dengan penuh pengabdian dan kesadaran” dan “mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan sendiri, orang, atau golongan.”

“Bagus. Saya senang kamu ingat,” kata si komandan. “Ipda Juanisa, silakan meninggalkan ruangan, besok harap melapor ke saya ke lokasi yang sudah ditentukan dalam keadaan siap beroperasi, instruksinya ada dalam amplop ini dan segala perlengkapan akan disediakan.”

“Siap komandan!” Polwan itu, Ipda Juanisa, yang biasa dipanggil Nisa, memberi hormat.

Juanisa




*****

Beberapa hari kemudian…

Ipda Nisa berusaha untuk menahan perasaannya ketika dia melihat wajahnya sendiri di cermin dalam kamar satu kos-kosan mewah yang menjadi pangkalan operasinya untuk misi yang diberikan kepadanya. Beda sekali dengan tugas sebelumnya, ketika dia diperintahkan menyamar dengan menutup seluruh tubuh dan wajahnya dengan pakaian panjang agar bisa menjadi istri muda seorang pemimpin kelompok kepercayaan yang akhirnya ditewaskan satuan elite dalam penyergapan anti teroris. Publik cuma melihat dirinya digiring keluar rumah yang ditembaki tanpa melihat wajahnya maupun sadar mengenai perannya menjebak si pemimpin berikut anak buahnya di rumah itu. Setidaknya dalam tugas itu wajahnya tak dilihat siapapun kecuali orang-orang yang sekarang sudah masuk kuburan. Di tugas sebelumnya lagi, dia memang berpenampilan beda lagi, lebih mirip dengan yang sekarang, tapi dia sekadar dijadikan umpan menjebak pengedar narkotika.

Dia melihat betapa wajahnya berubah. Tapi bagaimanapun, lebih baik dia menyamar dengan wujud agak jauh dari wajah aslinya. Secara psikologis dia merasa itu lebih baik daripada perannya mempengaruhi dirinya sendiri. Menjaga jarak antara samaran dan kehidupan nyata itu perlu.

Jeda beberapa bulan sejak tugas terakhir menjadi masa persiapan untuk tugas baru Nisa. Tugas terakhir yang membuatnya menutup tubuh terus itu sempat membuat kulitnya pucat; kesempatan berlatih di luar ruang mengembalikan warna kulit Nisa ke yang semula. Dan itu agak disesali oleh Nisa sendiri karena kulit aslinya berwarna kecoklatan. Tubuhnya pun sudah kembali kencang sesudah kurang gerak selama berbulan-bulan pada penyamaran sebelumnya. Dan dia bisa menumbuhkan rambutnya cukup panjang. Polwan biasa sesuai peraturan harus berambut pendek, tapi itu tidak berlaku bagi mereka yang bertugas penyamaran seperti Nisa.

Baru saja komandannya meninggalkan kamar kos yang cukup besar itu. Nisa telah diinstruksikan berada di lokasi itu, yang ternyata adalah pangkalannya. Di dalam kamar kos itu ada kamar mandi sendiri, ranjang king size, meja rias besar dengan cermin, dan lemari penuh pakaian dan barang-barang, “perlengkapan misi”. Kamar itu cukup mewah meski terkesan meriah, dengan kertas dinding berwarna merah bercorak emas dan lampu bercahaya lembut di dinding. Ketika Nisa datang dan melihat komandannya ada di dalam kamar itu, sesudah si komandan mengunci pintu, Nisa langsung dimarahi.

“Ipda Juanisa. Apa yang saya perintahkan kemarin waktu briefing di kantor saya?” hardiknya

“Siap Komandan! Saya diperintahkan melapor ke lokasi yang sudah ditentukan, kamar kos ini,” jawab Nisa tegas.

“Dalam keadaan apa?”

“Siap Komandan! Dalam keadaan siap operasi.”

“Terus kenapa kamu pakai pakaian biasa?”

“Siap Komandan! Sesuai standar operasi penyamaran, saya sesuaikan penampilan saya.”

“Kamu tau apa tugas kamu?”

“Siap Komandan! Infiltrasi jaringan prostitusi Ryoko dengan penyamaran…”

“Dengan penyamaran jadi apa?”

“…”

“Jawab saya Ipda Nisa! Jadi apa kamu?”

“Siap Komandan! Menyamar jadi calon pekerja seks komersial yang berusaha jadi anak buah Ryoko!” kata Nisa, agak tercekat.

“Bahasamu tuh, kayak wartawan saja. Nah, sekarang kamu sudah mirip belum sama PSK?”

Nisa terdiam sejenak, dia memang hanya memakai pakaian biasa, kemeja putih dan celana panjang hitam. Tanpa dia sempat menjelaskan, si komandan langsung memerintahkan. “Kamu tampangnya masih terlalu bersih. Saya akan kirim orang untuk bantu ubah penampilan kamu. Saya tinggal dulu dan kalau saya balik, saya mau kamu sudah persiapkan penampilan untuk penyamaran.”

*****

Sesudah komandan pergi, Nisa membuka lemari dan melihat meja rias. Penuh dengan kosmetik dan baju-baju seksi. Tak lama kemudian pintu kosnya diketuk seseorang. Si komandan balik lagi bersama seorang perempuan bertubuh montok yang membawa tas besar. “Nisa, ini Widya, dia akan bantu kamu. Widya, tolong kamu bantu Nisa ini untuk pekerjaannya. Oke? Saya tinggal lagi.”

Beberapa jam kemudian polwan itu telah diubah penampilannya oleh Widya “sesuai dengan tugas”. Rambut Nisa yang panjang diwarnai kecoklatan dan dibuat rada bergelombang, gaya rambut terbaru yang sedang diminati. Alisnya yang tebal makin menonjol sesudah wajahnya dibuat lebih cerah dengan foundation dan bedak. Dari lemari Widya memilihkan rok hitam pendek, atasan ketat merah, stoking gelap yang menutup paha, dan high heels warna emas. Sesudahnya Widya menelepon seseorang, lalu pergi.

Nisa
 Sambil menunggu Nisa mempelajari kamar kos mewah itu lebih lanjut. Ada juga televisi LED besar dengan DVD player yang ditempel di dinding, dikelilingi set rak. Dia geleng-geleng kepala melihat di rak itu tertumpuk buku, majalah, dan DVD—semuanya berisi materi erotika atau pornografi. “Ini buat apa?” pikirnya. Dia sedang membuka-buka satu majalah ketika pintu kamar dibuka lagi, kali ini oleh komandannya. Laki-laki itu langsung nyengir ketika mendapati Nisa dengan majalah laki-laki dewasa di tangannya.

“Nah, ini sudah pas,” kata si komandan. “Kamu biasakan dirilah sama samaran ini, biar bisa lancar. Ini saya bawakan berkas-berkas yang ada hubungannya dengan tugas kamu.” Si komandan menyodorkan map. Nisa menerima dan membuka-bukanya, melihat dokumen biodata beberapa orang.

“Ini salah satu orang kepercayaan Ryoko,” kata komandan menunjuk foto seorang laki-laki. “Menurut sumber, dia bisa jadi pintu masuk karena salah satu tugasnya adalah mencari atau menerima orang baru. Kita sudah tahu dia biasanya ada di mana. Kamu bisa temui dia di tempat-tempat ini.” Komandan menunjuk sederetan nama restoran dan hotel yang tertulis. “Tugas kamu, yakinkan dia supaya kamu bisa masuk.”

“Siap, komandan.” Kali ini jawaban Nisa tertahan, tidak setegas sebelumnya, selagi dia memperhatikan mata si komandan tak lepas-lepas menatapnya, dan si komandan tersenyum.

 “Kamu sudah siapkan skenario latar belakang?”

“Siap komandan, sudah...” jawab Nisa.

“Jelaskan ke saya.”

“Siap komandan. Saya jadi Irina, mantan sekretaris di perusahaan asing. Baru dipecat jadi em... butuh penghasilan tambahan. Makanya saya mau kerja seperti itu.”

“Hmm...” gumam si komandan sambil berpikir sebentar, “Kurang rinci. Ini saya tambahkan. Kamu jadi Irina, masih jadi sekretaris di perusahaan asing. Tadinya kamu jadi simpanan bosnya yang orang bule, terus si bos pulang ke negaranya. Lalu kamu merasa penghasilan berkurang, makanya butuh tambahan. Kamu dapat info soal mereka dari kolega bisnis yang memang tugasnya entertain orang.”

“...” Nisa tak bicara, ceritanya ditambahi jadi lebih berbumbu oleh si komandan.

“Kamu mesti tau bahwa Ryoko tidak sembarangan ngambil anak buah. Dia bukan germo kelas bawah yang menipu anak gadis di kampung buat dijual di kota. Ya, mungkin dia pernah atau masih juga begitu sih, dengar-dengar jaringannya menyediakan buat semua pangsa pasar—itu nanti kamu cari tau saja. Yang jelas banyak anak buahnya itu high class, dan punya profesi utama bukan pelacur: mahasiswi, sekretaris, perawat, atau malah istri orang yang dicuekin suami. Kamu bisa tangkap kan tipe seperti apa mereka.”

Si komandan menambahkan, “Skenario tadi sudah dari kasus lain yang kita bahas itu kan? Kamu masuk ke perusahaan target kita, sekalian bongkar kasus pajak si Mister Walker itu, sesudahnya baru masuk ke penugasan utama ini.”

“Siap komandan, saya mengerti.”

“Baik. Kamu pakai smartphone dan nomor ini untuk komunikasi langsung dengan saya. Saya butuh totalitas kamu, Nisa. Cuma kamu yang bisa melakukan tugas ini,” kata si komandan sambil menggenggam kedua tangan Nisa.

*****

Sepeninggal si komandan, sekali lagi Nisa memandangi wajahnya di cermin. Dia mendesah, memanyunkan bibirnya yang diwarnai merah darah sambil menyisiri rambutnya yang coklat. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia memang perlu berpenampilan seperti pelacur jika dia mau menyamar jadi pelacur. Dia mencoba tersenyum. Wajah dengan riasan tebal di cermin tersenyum balik kepadanya, senyuman yang terkesan nakal.
Nisa


“Semuanya akan baik-baik saja, Nisa,” Nisa membatin. “Aku akan masuk ke jaringan itu, dapatkan bukti untuk membongkarnya, lalu kembali jadi Nisa yang biasa.”

Sambil membatin, dia menepuk pistol kecil yang terselip di pinggangnya. Benda yang mengingatkan dia bahwa dia adalah aparat hukum yang berhak sekaligus wajib berusaha membasmi kejahatan demi masyarakat. Yang kini harus ia simpan di lemari penyimpanan khusus dalam tempat tinggalnya agar tidak menimbulkan kecurigaan korbannya.

“Aku bisa jaga diri...” bisiknya kepada dirinya sendiri.

*****

Itu terjadi beberapa bulan lalu, ketika demi benar-benar bisa melkukan infiltrasi kedalam jaringan Ryoko yang terkenal ketat itu dan atas persetujuan dan arahan sang komandan, Nisa benar-benar melamar ke salah satu perusahaan asing, berhasil menggoda sang expat, Mr Walker bos perusahaan tersebut  dengan elegan sehingga Mr Walker menjadikannya simpanan.

Masa-masa itu sebenarnya sedikit dinikmati Nisa, di mana ia bisa memiliki banyak hal yang dengan gaji polisinya tentunya tak bisa ia nikmati.  Dan juga kenikmatan ragawi dengan sang expat yang benar-benar dinikmatinya. Mr Walker membuatnya mengalami petualangan seks yang tentunya belum pernah ia rasakan. Sang expat mengajarinya gaya-gaya baru dalam bercinta, mengeksplorasi dan mengeksploitasi seksualitas dengan vulgar…

Dan kenangan itu kembali menjadi muram ketika sebagai tahap berikutnya ia membeberkan penggelapan pajak yang dilakukan sang expat secara anonim hingga lelaki yang telah memberikannya kenikmatan itu dideportasi.

Kini dirinya tak perlu berpura-pura lagi, ia benar-benar merasakan kekurangan. Ia benar-benar frustasi… dan Ryoko benar-benar mendekatinya.

*****

Suatu malam.

Nisa merapatkan jaket yang dipakainya selagi dia berjalan menyusuri jalan ramai di kawasan “lampu merah” kota menuju satu restoran Jepang di tengahnya. Tempat itu biasanya baru ramai menjelang sore, mobil-mobil mulai parkir memenuhi sisi jalan, hampir semuanya berisi laki-laki yang lantas menghilang di balik pintu-pintu karaoke, panti pijat, dan hotel yang bertebaran di kanan-kiri jalan. Tak seperti di tempat lain, kawasan itu memenuhi kebutuhan pasar menengah sehingga relatif tertutup. Hampir semua tempat hiburan di sana tidak berjendela di depan, hanya pintu-pintu dengan papan nama serta iklan-iklan minuman keras, tak memberi pemandangan mengenai transaksi-transaksi di dalamnya.

Nisa


Seorang laki-laki bermata sipit yang berjalan terhuyung mendekati Nisa dan berusaha memeluknya. Nisa menghindar sehingga si sipit tersungkur ambruk ke trotoar. Dia memaki-maki dalam bahasa Jepang. Rupanya seorang pebisnis ekspat yang kebanyakan minum sake? Dua orang Jepang lain keluar dari pintu di dekat tempat Nisa berada, lalu menolong si pebisnis yang terjatuh untuk berdiri. Pintu itulah yang dituju Nisa. Di samping pintunya ada lentera dan papan nama bertuliskan “Kiiro”. Nisa masuk, melewati bagian depan yang ternyata terang benderang, memasuki ruang luas yang penuh asap rokok berbagai merek. Dia celingukan mencari sasaran.

Seorang waitress mendekati, sambil memandangi Nisa. “Ada yang bisa saya bantu?” kata si pelayan.

“Saya ada janji dengan Pak Eddy, beliau katanya ada di sini?” Nisa menyebut orang yang dicarinya sambil memperhatikan seragam si pelayan yang terkesan seksi.

“Saya tanya dulu ya,” kata si pelayan, yang pergi ke ujung ruangan. Nisa melihat si pelayan masuk ke dalam satu ruangan tertutup, lalu keluar lagi membawa seorang laki-laki gemuk. Bukan, bukan orang ini. Si pelayan lantas pergi sesudah si gemuk berhadapan dengan Nisa.

“Pak Eddy lagi ada urusan penting, dan gak ada janji dengan siapa-siapa. Titip nama dan nomor telepon aja ke saya, nanti tunggu dihubungi,” kata si gemuk ketus.

Ditolak, Nisa tak menyerah begitu saja. Dan dia memperhatikan sesuatu: si gemuk cuma pasang tampang ketus tapi matanya jelalatan memperhatikan penampilan. Sesuai perkiraan. Di sinilah keahlian menyamarnya diuji. Dan ujian pertamanya adalah melewati orang ini, yang dia duga adalah pengawal atau ajudan sasarannya.

“Tolong, saya perlu ketemu Pak Eddy,” pinta Nisa. “Urusan bisnis.”

“Bisnis? Maaf, kami lagi nggak tertarik. Titip nama dan nomor saja...” tampik si gendut

“Ada yang mau saya kasih lihat dia, saya yakin dia pasti berminat,” Nisa terus mendorong, sambil memain-mainkan kancing jaketnya. “Atau mau lihat dulu?”

Tanpa menunggu jawaban, Nisa membuka jaketnya, mengungkap belahan dada yang terbungkus kaos kemben ketat di balik jaket itu. Satu tangannya lagi bergerak menggerayangi selangkangan si gemuk. Nisa bisa merasakan wajahnya memanas; andai cahaya di dalam ruang itu lebih terang, pasti si gemuk sudah melihat wajahnya berubah merah karena menahan malu.

“Ini yang ditawarin? Pak Eddy gak sembarangan nerima orang,” si gemuk berusaha mengendalikan diri.

Nisa memandang tajam ke arah lelaki gemuk itu. Keteguhannya sedang diuji, karena kini ia berada di depan banyak orang yang keluar-masuk restoran dan dapat melihat dirinya sedang menghancurkan lapis demi lapis harga diri demi melaksanakan tugas. Tugas dari sang komandan dan dari “employer” barunya, Ryoko.

Dua tugas berbeda namun saling berkaitan.

Maka kini dengan mematikan rasa malunya, Nisa menelusupkan tangan ke balik celana si gemuk dan mulai memanjakan kelelakian si gemuk yang mengeras, sementara tangannya yang lain membimbing tangan gemuk berminyak sang lelaki untuk menelusup ke balik rok span yang ia pakai, dan membiarkan tangan itu menikmati gundukan yang menjadi incaran lelaki, yang tak tertutup apa-apa lagi, termasuk rambut kemaluan.

Lelaki gemuk itu tersenyum penuh kemenangan ketika Nisa mendekatkan bibir merah ke telinganya dan berbisik, “Kamu boleh cobain tubuhku sesukamu sesudah urusan dengan Pak Eddy selesai.”

Lelaki itu lalu menggiring Nisa menuju ruangan VIP di restaurant itu, Ia meminta Nisa untuk menanti di depan pintu geser itu sambil dirinya sendiri masuk ke dalam menemui Tuan Eddy yang sedang menikmati hidangan bersama beberapa rekan.

Tuan Eddy mengangguk kepada ajudannya yang gemuk itu, “Suruh masuk, kami sudah tunggu dia.”

Seluruh ruangan mendadak tertegun ketika ajudan gemuk itu membuka pintu geser. Nisa langsung masuk dan begitu pintu geser ditutup lagi Nisa telah menanggalkan seluruh pakaiannya hingga tak ada sehelai benangpun yang menutupi kepolosan tubuhnya. Rambutnya yang tadi tergerai kini digelung ke belakang dan sepasang sumpit telah tertancap di gelung rambutnya, menyangga rambut lebatnya dengan indah.

Nisa bersimpuh di depan pintu, lalu membungkuk memberi hormat pada para tamu yang telah menantinya di dalam ruang makan itu. Dengan sensual ia melangkah mengikuti panggilan Tuan Eddy.

Seluruh tamu mengagumi keindahan tubuh Nisa yang memiliki definisi otot yang jelas, tubuhnya begitu terawat bersih dengan payudara montok menantang walaupun tidak terlalu besar, dihiasi puting yang tak terlalu menonjol namun indah, pinggul yang indah, dan area vagina yang bersih terawat.

Tuan Eddy tersenyum lebar, begitu puas dengan gadis yang dijanjikan Ryoko kepadanya. Tubuh di hadapannya begitu menggairahkan, setiap gerak tubuhnya, liukan pinggulnya begitu menggugah kelelakiannya, bahkan ketika dengan gerak sensual gadis itu merebahkan diri ke atas meja, dan berbaring di sana, sedikit menggeliat dan kemudian dengan satu helaan nafas sensual, berdiam diri membiarkan dirinya menjadi bagian hiburan bagi para lelaki yang jelas menimati persembahan dirinya itu.

Nisa bisa merasakan sumpit-sumpit itu bergetar ketika menjepit lauk yang ditata sedmikian rapi di atas tubuh telanjangnya. Ia bisa merasakan liur para lelaki yang menetes bukan karena nikmatnya makanan yang berbaring lembut menutupi kulit kencangnya, jakun yang naik turun bukan karena menelan makanan. Ia merasakan hanya rasa gengsi yang masih membuat para lelaki itu tidak bergegas menerkam dirinya, menyetubuhinya, bahkan memperkosanya.

Kini makanan sudah selesai berpindah diri ke dalam perut para lelaki yang juga mulai mabuk karena pengaruh cairan ragi beras yang lebih dikenal dengan nama sake itu, dengan tertib Nisa bangkit dari atas meja lalu bersimpuh di ujung meja, berdiam dengan patuh sementara para lelaki berdiskusi tentang kontrak suplai bahan makanan yang bisa menyebakan pundi kantong mereka makin tebal sementara rakyat kecil semakin tercekik.

Nisa merasa kalau dirinya dijadikan sebagai pengalih perhatian, di mana Tuan Eddy menjadi pihak yang sangat memerlukan deal ini, dan ia mengetahui kelemahan para lelaki yang dengan tergesa menyetujui semua syarat yang diajukan oleh dirinya karena sudah sangat ingin mengeluarkan benih kelelakian mereka ke dalam lubang kenikmatan seorang wanita yang kini berdiam diri, bersimpuh menahan dinginnya air conditioner dalam ruang privat itu.

Dan ketika tanda tangan telah dibubuhkan, Tuan Eddy bangkit dengan anggun, lalu melangkah menuju pintu geser dan berkata, “Selamat menikmati”

Dan ketika pintu tertutup, tiga lelaki kelaparan itu segera menerjang Nisa, tak ada lagi rasa malu, jengah atau risih, mereka serempak menggerayangi tubuh sekal Nisa, mencium, mencubit, meremas hingga payudara, buah pinggul dan buah pantat Nisa memerah.

Mereka begitu buas mengaduk vagina dan lubang anus nisa dengan jari-jari mereka yang tak bercuci, dan baru saja menandatangani kontrak yang bisa membuat jutaan rakyat negeri ini menjerit.

Dan mereka juga menuntut pemuasan dari Nisa, mereka menuntut Nisa untuk memuaskan kelelakian mereka yang menggelegak, mereka meminta gadis itu untuk memberikan servis berupa mandi kucing pada tubuh berkeringat mereka, menuntunnya menjilati ketiak, lipatan paha, jemari kaki yang bau, lubang pembuangan mereka, dan tentu saja memberikan kehangatan menyeluruh pada penis mereka yang artinya hidung indah sang gadis harus bersentuhan dengan perut bawah para lelaki yang rata-rata buncit itu, bersemayam di rimbunnya bulu kemaluan mereka yang tak terawat, dan tenggorokannya harus merusaha keras untuk mengatur gag reflex demi menelan utuh batang-batang penis yang sebenarnya tak terlalu keras itu.

Ketiga lelaki itu tak menyadari kalau dari balik celah pintu pantry sebuah camcorder beresolusi tinggi berdengung pelan merekam adegan threeways yang sedang mereka lakukan pada tubuh sekal Nisa, mereka hanya tahu penis mereka bergantian menimati vagina, anus dan mulut sang gadis yang nampak pasrah secara sensual mengimbangi nafsu liar mereka. Mereka sama sekali tak menyadari kalau lelaki gemuk yang tadi mengantar Nisa ke dalam ruangan itu kini sedang tersenyum penuh kemenangan.

Nisa tergeletak lemah, di tatami ruang makan itu, tubuhnya begitu sakit, letih dan lemah setelah dihajar habis-habisan oleh para lelaki yang baru saja pergi meninggalkan tubuhnya begitu saja bagai seonggok daging tanpa nyawa, bahkan bagai sebuah kain kumal yang dibuang begitu saja setelah dipakai utuk memuaskan mereka.

Ia mencoba bangkit untuk menuju kamar mandi ketika lelaki gemuk itu masuk ke dalam ruangan, lalu dengan kasar menjambak rambutnya yang kini kusut masai dan membantingnya ke atas meja makan hingga terlentang sementara kepalanya terjuntai di ujung meja.

Mata Nisa nanar menadang lelaki yang kemudian membuka celana manampakkan kelelakiannya yang tegak bagaikan tonggak kayu itu dan kemudian mendekatinya. Telinganya yang tertutup sperma samar mendengar ucapan sang lelaki “Aku tagih janjimu…”, dan kembali gadis yang sudah kelelahan itu harus berjuang menarik nafas ketika sang lelaki gemuk menyetubuhi mulutnya dalam posisi kepala terjuntai sehingga penis kerasnya dengan leluasa masuk dan merojok jauh sampai tenggorokan sementara payudaranya begitu sakit karena remasan brutal tangan gemuk sang lelaki seakan ingin merenggut bukit keindahannya itu.….

Dan itu adalah permulaannya….


Para pelayan wanita merasaa kasihan melihat tubuh Nisa tertatih, terhuyung meninggalkan restoran itu. Mereka tahu betapa buasnya para tamu yang tadi menikmati pelayanan dari sang gadis, dan mereka juga tahu betapa buas dan kasarnya lelaki gemuk bodyguard Tuan Eddy yang tadi menikmati tubuh letih sang gadis yang kini menghilang dari balik pintu restoran ke dalam gelap malam.

+++

Mata sang gadis mengabur antara letih dan air mata serta semprotan sperma yang tak tuntas dibersihkannya ketika ia tiba di tempat tinggalnya, ia memandang huruf-huruf yang tak jelas yang terpampang di layar smartphone yang ia genggam dengan tangan bergetar….

“Ah masa bodoh….” Batinnya lelah…. Nisa melempar smartphone itu ke atas kasur, melepas pakaiannya yang kusut itu serampangan, lalu tanpa merasa harus membersihkan tubuhnya, ia menjatuhkan tubuh telanjangnya yang kini penuh cupangan, tanda remasan, dan lapisan tipis kerak sperma ke atas kasur dan langsung terlelap. Masuk ke alam tidur yang tak bermimpi.

*****

“Sudah sampai mana?”

“Dia lagi ngetes saya. Sudah ada dua kali ujian. Nanti malam yang ketiga.”

“Seperti apa ujiannya?”

“…”

“Harap jelaskan, Ipda Nisa.”

“Tes pertama, saya diminta menemani seorang expat di hotel.”

“Menemani?”

“…Tidur sama bule itu.”

“Dibayar?”

“Iya…”

“Berapa?”

“Sejuta.”

“Bagaimana membayarnya? Cash ke kamu langsung? Atau transfer ke dia?”

“Kalau transfer ke dia saya nggak lihat, tapi saya dikasih tip sejuta cash sama bule itu.”

“Oke. Jadi harga kamu sejuta ya.”

“…”

“Yang kedua gimana?”

“Saya disuruh layanin 3 orang di satu restoran Jepang.”

“Seperti apa, tolong dijelaskan dengan lengkap.”

“…Naked sushi… terus digilir sama tiga orang itu.”

“Berarti dipake sama tiga-tiganya ya. Siapa mereka?”

“Yang nanggap pengusaha, namanya Eddy. Tapi dia tidak ikutan. Tiga orang itu kalau nggak salah pejabat… yang satunya mungkin orang politik. Saya tidak tahu pasti. Susah mengenalinya.”

“Mereka bikin kamu sibuk banget ya. Jadi yang ketiga apa?”

“Ada pembukaan hotel baru… dia ikut terlibat di entertain-nya.”

“Oke. Teruskan penyelidikan kamu. Semoga berhasil, Nisa.”

Nisa menaruh smartphone sesudah sang komandan menutup pembicaraan. Malam itu dia akan kembali bertugas untuk Ryoko. Dan di kamar kosnya sudah ada Widya yang siap membuatnya kembali menjadi “Irina”. Widya bekerja di salon tak jauh dari sana, dia sudah dibuat bisa menjaga rahasia oleh sang komandan. Nisa sebenarnya penasaran perempuan macam apa yang biasa Widya layani di salon itu, karena riasannya selalu berkonsep “nakal”, tak pernah natural atau anggun.

Malam itu dia diminta datang oleh Ryoko ke pesta pembukaan satu hotel yang berkonsep hiburan malam. Poster acara itu yang dikirim Ryoko ke smartphone-nya menyebut nama banyak artis dan DJ sebagai bintang tamu. Nisa membuka-buka lagi SMS-SMS Ryoko selagi Widya mengubah warna rambutnya menjadi pirang. Ryoko memintanya untuk tampil menyolok; Nisa memperkirakan suasana pesta akan temaram jadi dia berusaha membuat penampilannya segemerlap mungkin.

Ketika sudah selesai, Widya kembali ke tempat kerjanya; tak lama kemudian Ryoko mengirim SMS lagi memberitahu dia sudah ada di luar, menjemput. Nisa pergi; Irina keluar kamar kos dan masuk ke mobil SUV berwarna silver berkaca gelap yang berhenti di depan rumah kosnya.

*****
BERSAMBUNG