SLUTTY WIFE TIA 9: HUJAN DAN
KILAT
SINOPSIS
Pak Walikota telah memilih
Tia untuk melayaninya secara pribadi.
Sementara Bram dan Citra menyusul ke hotel tempat Tia berada. Niat Bram hanya satu: Jemput Tia!
Story codes:
M/F, M+/FF, cons, rom
DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi
dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa,
jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis
sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita
ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah
kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam
cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku
dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu
menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan
seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis
menentang semua itu. Penulis harap
pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh
keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini
dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.
CREDITS
Terima kasih untuk Mr.
Shusaku (KisahBB) yang memilihkan judul seri Slutty Wife Tia. Terima kasih juga untuk “Sarah” yang memberi
inspirasi untuk adegan di bab ini.
Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs
anda? Silakan kontak penulis di
ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.
Slutty Wife Tia 9
Hujan dan Kilat
-Ninja Gaijin-
-ringkasan cerita
sebelumnya-
Tia mengubah penampilannya
menjadi seperti yang disukai Bram suaminya, menjadi lebih seksi dan binal. Mang Enjup, atasan Bram, mengetahui perubahan
Tia dan mempengaruhi Tia lebih lanjut menggunakan ilmu hipnotis. Kemudian Mang Enjup mengumpankan Tia kepada
Pak Walikota, dalam persaingan tender proyek besar. Bram menyadari apa yang telah dilakukan Mang
Enjup, dan segera bergegas mencari Tia…
*****
Jam berapa sekarang…?
Di tengah himpitan dan
hentakan, Shenny malah memikirkan waktu.
Dia sudah lelah melawan nafsu liar kumpulan manusia buruk rupa yang
menjadi tamu istimewa pesta gila Pak Walikota di kamar Hotel V. Jadi dia sudah tak peduli lagi ketika untuk
kelima kalinya ada seseorang di antara mereka yang menindih dan
menyetubuhinya. Yang dia pikir hanya
‘kapan semua ini akan selesai’.
Mata sipitnya kini menatap kosong
berkeliling ruangan. Dilihatnya pelacur
impor itu, Gaby, masih saja aktif melayani orang-orang di sana. Perempuan Latino itu berlutut di depan
seseorang, dan dari belakangnya Shenny melihat kepala Gaby yang berambut coklat
bergelombang bergerak-gerak di depan selangkangan orang itu. Masih
kuat nyepong, dia…
Tapi ketika Shenny mencari
dua orang lagi, Tia dan Pak Walikota, keduanya tidak ada di sana. Ke mana mereka? Dia tidak melihat mereka keluar kamar. Tadi memang Pak Walikota menarik tangan Tia
dan mengajaknya ke arah belakang, lalu mereka tidak terlihat lagi. Apa Tia ada di satu kamar di belakang…
Lamunan Shenny terhenti
ketika gigitan dan jilatan orang yang menyetubuhinya pada payudaranya yang
kecil tapi kencang membuatnya nyaris klimaks lagi. Dia benci situasi itu. Pikiran dan harga dirinya tak suka mesti
melayani manusia-manusia jelek ini, tapi tubuhnya berkhianat dan mau saja
diajak menikmati sensasi.
“Ohh~” jerit Shenny,
berusaha menahan rasa malu. Dengan
segala cara dia menyangkal bahwa apa yang dialaminya sekarang itu nikmat. Dia gengsi kalau pertahanannya dibobol lagi
seperti beberapa menit lalu, ketika dia orgasme sesudah disetubuhi tiga orang.
Aku ingin keluar dari sini… aku ingin keluar dari
sini… aku ingin keluar dari sini…
*****
“Makasih buat kerjanya,”
kata si manajer kepada kedua teknisi yang baru melapor. “Emang kerjaan rutin sih, tapi kita tetap
harus jamin sistem alarm kebakaran kita berfungsi.”
“Sama-sama, bos,” kata salah
seorang teknisi itu. “Jangan lupa jadwal
pemeriksaannya tiap enam bulan ya.”
Dua teknisi dari perusahaan
alarm kebakaran meninggalkan kantor manajer pemeliharaan gedung Hotel V. Ketika menunggu lift, salah satunya nyeletuk.
“Kita lupa periksa semua yang di lantai lima…”
“Lho, kan udah tadi?”
temannya menanggapi.
“Kamu baru sekali ya ke
sini? Dulu saya ikut pas pertama kali
hotel ini pasang alarm. Nah, di lantai
lima itu kan kamar-kamar suite-nya. Tadi
emang kita masuk ke beberapa yang kosong kan.
Tapi ada yang kita nggak bisa periksa karena lagi ada isinya. Di kamar-kamar di sana, ada satu yang
bertingkat.”
“Bertingkat? Maksudnya gimana?”
“Itu kamar masuknya dari
lantai lima, tapi di dalamnya ada tangga sendiri ke kamar lain di atas… di
atap, lantai 6, kamar penthouse.
Harusnya di sana ada sambungan alarm kebakaran dan pipa air juga. Tapi kita nggak periksa kamar itu, soalnya
tadi kamar-kamar yang kita masukin nggak ada yang ada tangga ke lantai 6-nya.”
“Apa sebelum pulang kita
periksa penthousenya dulu? Biar tuntas
kerjaan kita…”
“Kita bisa sih naik ke atap
lewat tangga darurat, cuma kita ga bisa masuk ke kamar itu dari luar. Mesti dari kamar induknya di lantai
lima. Nah, tadi kamu lihat juga
kan? Di depan pintu kamar itu ada
orang. Kayaknya pengawal. Barangkali lagi ada orang penting di
dalamnya. Makanya tadi kita nggak masuk
ke sana.”
“Ooo…”
“Besok-besok lagi aja kita
periksa yang di sana, kalau lagi nggak ada orang.”
“Eh, Bang… Kenapa mesti ada
kamar yang bentuknya aneh kayak gitu ya?”
“Yah… Kayak ga ngerti aja
kamu. Pemandangan di atas kan bagus,
lumayan ga kehalang bangunan lain, cocok tuh buat…”
“Buat apa?”
“…Kamu kayak ga tau aja ini
hotel apa.”
“Oh.”
Pintu lift terbuka dan
mereka turun. Samar-samar tercium wangi
parfum perempuan dalam lift. Bekas
seorang perempuan yang baru naik ke lantai lima bersama adiknya.
*****
Bram dan Citra melangkah
keluar dari lift yang sepi. Sesudah
mereka meninggalkan lift, lift itu akan turun lagi dan dimasuki dua teknisi di
lantai di bawahnya.
Bram celingukan melihat
koridor hotel yang sepi. Lampu temaram,
kertas dinding bercorak ramai, karpet yang mulai usang. Citra sebaliknya, berjalan di sana ibarat
berjalan di dalam rumahnya sendiri. Dulu
ketika kehidupannya lebih liar daripada sekarang, Citra mungkin bisa seminggu
3-4 kali keluar-masuk berbagai hotel, menemui laki-laki yang berbeda tiap hari.
Di ujung koridor terdapat pertigaan. Citra memberi isyarat kepada Bram agar tidak
buru-buru. Dia tahu ada apa di
situ. Koridor tempat mereka berada
berakhir di satu dinding, bertemu koridor lain yang merentang ke kanan dan
kiri.
“Sebelah kanan, ada tangga ke
bawah. Ke sebelah kiri, di ujung
koridor, ada pintu ke kamar suite. Kalau
perkiraanku benar, Tia pasti ada di dalam situ.”
Di ujung koridor, tepat
sebelum pertigaan, Citra mengeluarkan tempat bedak yang bercermin dari dalam
tasnya. Dia berdiri membelakangi dinding
di sebelah kiri, membuka cermin, lalu mengintip ke arah ujung lorong sebelah
kiri. Bram ikut melihat.
“Kaca spion” itu menunjukkan
seorang laki-laki berambut cepak berdiri di depan pintu kamar suite.
“Ada yang jaga,” kata Citra. “Gimana cara kamu ngelewatin dia?”
Bram memikirkan kemungkinan
dia melumpuhkan si cepak. Citra bisa
membaca pikiran adiknya.
“Kamu yakin bisa menang
berantem sama begituan? Itu bodyguard,
Bram. Bisa aja kamu menang, tapi ga
gampang. Lagian kamu cuma bisa datang dari
depan. Nggak bisa sergap dia dari
belakang.”
“Terus… Gimana kita bisa
singkirin dia Kak?”
“Aku bisa bikin dia pergi
dari sana,” kata Citra yang sekarang menggunakan cerminnya untuk mengecek
penampilan. “Tapi aku ga tau gimana
caranya supaya kamu bisa masuk ke sana.”
Mata Bram melihat ke
sekelilingnya. Kertas dinding, karpet,
hiasan, langit-langit.
“…bisa nggak, ya?” katanya
seperti melamun sendiri. Citra senyum.
“Kamu ada ide?” tanya Citra.
“Nggak tau bakal mempan atau
enggak,” kata Bram, wajahnya lebih cerah dari tadi. “Kalau berhasil, aku nggak perlu dobrak pintu
buat ngambil Tia dari dalam sana. Tapi
aku tetap perlu bantuan Kakak buat nyingkirin bodyguard itu.”
*****
PENTHOUSE
Pak Walikota duduk selonjor
di atas tempat tidur king size, mengenakan kimono. Terdengar suara percikan air dari kamar
mandi. Di depan tempat tidur terdapat
jendela lebar yang gordennya dibuka, menampilkan pemandangan langit menjelang
sore dan gedung-gedung bertingkat di kota.
Kota-nya.
Kalau hanya melihat
penampilan luar, semua orang akan merasa Pak Walikota sudah mengecap hidup yang
sempurna. Karier yang lancar dan terus
menanjak, dari aparat menjadi pejabat, dengan kekuasaan dan kemakmuran yang
makin lama makin besar. Semua laki-laki
pasti mendambakan apa yang telah didapatnya.
Namun di balik penampilan
penuh kejayaan, selalu saja ada yang tidak sempurna. Kadang kekayaan dan kekuasaan tidak juga bisa
mendatangkan kebahagiaan bagi pemiliknya.
Karena acap kali kebahagiaan terletak pada hal-hal yang tidak ada
hubungannya dengan dua itu.
Itulah yang dirasakan Pak
Walikota. Meski dia boleh dikata bisa
mendapat segalanya, sebenarnya ada hal-hal yang tak bisa dia dapatkan, meski
dengan segala jabatan dan hartanya.
Makanya dia terus terobsesi oleh sesuatu.
Tia.
Pesta seks antara tiga
perempuan dan kumpulan orang jelek membuatnya yakin bahwa dia tak akan
dikecewakan. Kini tinggal langkah
terakhir. Dia tadi mengulurkan tangannya
ke Tia. Dia membawa Tia menuju satu
pintu di kamar suite itu. Di balik pintu
terdapat tangga ke atas, menuju satu kamar khusus di lantai enam. Kamar itu adalah kamar istimewa yang
tersendiri, dengan pemandangan kota dari atas.
Tiada yang mengganggu. Dua
perempuan lainnya, Gaby dan Shenny, biarlah melayani orang-orang suruhannya
sampai mereka puas.
Tia
Tia tak banyak bicara, tapi
terus tersenyum selagi dia dituntun Pak Walikota menaiki tangga menuju kamar
lantai 6 itu. Kamarnya indah dan luas,
sama seperti kamar induknya di bawah.
Sesudah membukakan pintu, Pak Walikota berbalik badan dan menatap Tia. Pemandangan yang membuatnya sekali lagi
menahan nafas. Ketika diajak ke atas
tadi, Tia sedang telanjang bulat, dan Tia tidak mengenakan lagi pakaiannya. Dalam keadaan habis disetubuhi itu, entah
kenapa, Tia tampak lebih menggairahkan bagi Pak Walikota. Rambut panjangnya sudah dia gerai. Wajah dan bentuk tubuhnya lebih mengatakan
keanggunan, beda dengan keseksian Gaby dan Shenny. Sikapnya yang tenang namun berani tadi juga
beda dengan Gaby yang terkesan hanya bekerja memuaskan nafsu atau Shenny yang tak
rela.
Pak Walikota menikmati sosok
Tia di hadapannya. Tubuh Tia yang
ramping tapi berisi, dengan payudara berukuran sedang dan pinggul montok, dan
kaki panjang indah.
Tia melihat di sana ada
kamar mandi. “Ehm… Pak… Boleh saya mandi
dulu?” pintanya.
“Silakan,” Pak Walikota
mengizinkan. Tia pun berjalan ke kamar
mandi. Pak Walikota mendengar shower
dinyalakan dan tirai ditarik. Dia
sendiri kemudian duduk santai di atas tempat tidur.
Dan selagi Tia membersihkan
tubuh, Pak Walikota memejamkan mata, membayangkan betapa bergairahnya Tia tadi
di bawah, dan apa yang mau dia lakukan kepada Tia…
Lamunannya berhenti ketika
Tia keluar dari kamar mandi, berbungkuskan handuk.
“Ayo ke sini,” panggil Pak
Walikota.
******
KORIDOR
Bram berdiri menunggu di dekat
pertigaan lorong sementara Citra menjauh dari
sana, menelepon seseorang. Si bodyguard
masih berdiri mematung di depan pintu yang harus dijaganya. Beberapa lama kemudian, Citra selesai menelepon dan kembali mendekati Bram.
“Oke. Kamu cari tempat sembunyi dulu, jangan sampai
kelihatan di sepanjang koridor ini.
Kakak mau singkirin orang itu.” Citra tersenyum mantap.
“Hati-hati, Kak,” pesan Bram
selagi dia menjauh ke ujung koridor, pindah ke bagian yang tak terlihat dari
dekat pertigaan. Mereka sudah menyusun
rencana dan sekarang saatnya beraksi.
Citra menyelipkan sebatang
rokok ke bibirnya lalu melangkah ke pertigaan koridor.
*****
“Punya korek, nggak?”
Si pengawal pribadi Walikota
yang sedang berdiri menjaga pintu kamar sewaan atasannya terperangah melihat
seorang perempuan cantik berjalan keluar dari koridor sebelah menuju tempatnya
berdiri.
“Bang,” ulang Citra, “Punya
korek nggak?”
Kalau perempuan lemahnya
dengan kata-kata, laki-laki lemahnya dengan penampilan. Si pengawal yang memang sedang bosan karena
disuruh menjaga di luar jadi melongo memandangi Citra di hadapannya. Dengan rok pendek dan blus ketat serba hitam,
Citra tampak menawan. Dia pasang tampang
bosan sambil berkacak pinggang di depan si pengawal.
“Emh,” si pengawal merogoh
ke dalam kantong dan mengeluarkan korek gas, lalu menyodorkannya ke Citra. Tapi Citra tidak bergerak.
“Sini dong,”
panggilnya. “Nyalain,” katanya sambil
memberi isyarat ke arah rokok yang terselip di bibir merahnya. Citra sangat percaya diri dengan kemampuannya
menguasai laki-laki. Pegang nafsunya,
dan laki-laki paling kaya, paling pintar, paling perkasa pun takluk. Dia menunggu pesonanya bekerja. Benar, si pengawal menurut. Pemuda tegap itu maju mendekati Citra dan
menyalakan korek api untuk menyulut rokok Citra.
“Makasih,” kata Citra sambil
mulai mengisap rokok. “Eh… lagi bosen
yah?”
“Hehe, iya,” celetuk si
pengawal.
“Mau bantuin aku gak?”
celetuk Citra.
“Bantu apa nih?” kata si
pengawal.
Si pengawal jadi bersender
di dinding di sebelah Citra.
“Barusan abis dibooking ama
om-om nih aku,” kata Citra, “Nggak sampai lima menit dia udah crot, lagian
itunya kecil banget cuma segede jempol.
Cuma, dia jago ngegini giniin,”—sambil Citra menjulurkan lidahnya,
menjilat-jilat udara di depan mulutnya—“bisa sampai aku nyaris keluar, tapi
terus dia malah pengennya ngentot aja.”
“Terus?” tanya si pengawal.
“Kentang nih,” kata Citra.
“Bisa bikin aku keluar gak?”
Si pengawal bengong disodori
tawaran seperti itu.
“Itu om-om udah pulang,
nggak bisa bangun lagi burungnya. Tapi
kamar bekas aku sama dia masih bisa dipakai.
Mau nggak? Di sebelah sana…
Sebentar aja deh.”
“Euhm… Beneran nih?” si
pengawal tak percaya.
“Iyalah… Kenapa? Ga doyan
cewek ya?” goda Citra.
“Hahaha… Siapa takut?” kata
si pengawal. Citra mendekat lalu
merangkul pinggang si pengawal.
“Badan kamu gede…” puji
Citra. “Itunya gede juga nggak?” Sambil tangan Citra nakal menyentuh permukaan
celana bagian selangkangan.
Si pengawal mulai merasa
panas dingin menghadapi godaan Citra.
Tugasnya untuk menjaga pintu mulai terlupakan.
“Ohhh…” desah Citra. “Ayo… ke kamar yuk?”
“Eng, tapi…”
“Ayoooo~” pinta Citra dengan
manja. Dia menarik lengan si
pengawal. Awalnya lengan kokoh itu tak
bergerak. Namun digerayangi terus oleh Citra,
luluh juga pertahanannya. Dia mulai
melangkah mengikuti Citra.
Citra tadi menelepon pegawai
hotel kenalannya. Minta disediakan kamar
kosong; yang belum dibereskan juga tidak apa-apa. Mengingat kamar-kamar hotel itu lebih sering
dipakai short time, kamar dengan keadaan seperti yang dimintanya kebetulan
tersedia. Di lantai yang berbeda
memang. Tapi si pengawal itu mau saja
diajak Citra meninggalkan posisinya.
Keduanya berjalan menyusur koridor menuju tangga ke bawah. Di depan tangga, Citra berbalik, berjinjit
supaya bisa menjangkau ke atas, dan memberi french kiss kepada si pengawal.
*****
Sepuluh menit lebih Bram
menunggu di ujung koridor yang jauh dari pintu kamar Pak Walikota. Dia bertanya-tanya, apa kakaknya sudah
berhasil menyingkirkan si pengawal? Bram
merasa waktunya sudah cukup lama, dan dia berjalan mendekat ke pertigaan. Sepi.
Tidak ada suara. Tidak ada orang?
Bram memberanikan diri untuk
melongok ke arah pintu kamar Pak Walikota.
Kosong! Citra sudah berhasil
menyingkirkan si pengawal. Artinya kakaknya
itu berhasil merayu si pengawal untuk pergi ke—
Bram menghentikan pikirannya di situ, tidak mau membayangkan kakaknya
mau apa dengan si pengawal. Bram
kemudian mendekat ke pintu itu. Sampai
merapat ke pintu. Dicobanya mendorong
pintu. Tidak bergerak. Dilihatnya ke arah gagang pintu. Di sebelah gagang pintu ada slot kartu. Terkunci dengan kartu.
Bram ganti memperhatikan
lantai. Tidak terlihat apa-apa di karpet
di depan pintu. Tidak ada barang
jatuh. Tidak ada kartu kunci. Andai rencana mereka itu melibatkan mencopet
kunci dari si pengawal, Citra jelas tidak berhasil melakukannya.
Pintu itu terlihat
kokoh. Dobrak?
Tapi memang bukan itu
rencananya sejak awal.
Tentu saja pintu itu akan
terkunci. Dan apakah membukanya, dengan
kunci ataupun dengan paksa, itu strategi terbaik?
Bram memandangi seluruh
bagian pintu, lalu mundur dan memperhatikan sekeliling. Kiri, kanan. Atas,
bawah. Lantai, dinding, pintu.
Bram meraba suatu barang
dalam kantongnya. Barang yang tadi dia
ambil dari tangan kakaknya.
Karena perlindungan yang bisa diberikan seorang
laki-laki kepada kekasihnya tidak mesti dengan kekuatan belaka…
*****
PENTHOUSE
Pak Walikota menahan nafas
ketika Tia berjalan mendekat.
Langkah-langkahnya seperti macan lapar mengintai mangsa. Seksi dan menggoda. Tatap mata Tia membangkitkan nafsu badani Pak
Walikota yang mulai tak tertahan. Ketika
sudah dekat dengan tempat tidur, Tia berhenti.
Sambil melempar senyum nakal dia berbalik, menggoyang tubuh, lalu
membuka balutan handuk yang menutup tubuhnya.
Dia membuka dadanya membelakangi Pak Walikota. Sambil menengok ke belakang, matanya
mengerling genit. Tapi lantas handuk itu
dia naikkan lagi kembali menutup dadanya.
Kemudian dia berbalik, dan mengelus pahanya di tepi bawah handuk. Sambil mengelus, terangkat sedikitlah handuk
itu. Tia menggigit bibir, lalu kembali
membelakangi Pak Walikota. Handuk
dilepas lagi, turun memperlihatkan punggung, lalu ditarik sampai menutupi bahu;
kali ini bagian bawah-lah yang terbuka, pantat dan pinggul Tia. Tia berbalik lagi, handuknya turun lagi
menutupi dada, tapi kali ini tangannya menurunkan handuk sambil menutupi
payudara kanan. Tangan Tia kemudian
meremas lembut dan mengusap-usap payudara kanannya; gundukan daging yang cantik
itu bergerak berputar lambat mengikuti gerak tangan Tia. Kembali lagi Tia menutup dadanya dengan
handuk.
Tanpa berkata apa-apa Pak
Walikota menikmati pertunjukan striptease Tia di depannya. Benar-benar “strip” & “tease”. Menelanjangi sambil menggoda. Sesudah membungkus lagi tubuhnya dengan
handuk, Tia kemudian menahan handuk di depan dada dengan lengan tapi melepas
sisanya, sehingga handuk itu menggantung menutupi dada ke bawah, tapi tubuh
belakang dan sampingnya tak tertutupi.
Tia lalu sengaja memutar tubuh ke samping sehingga Pak Walikota bisa
melihat sekujur sisi tubuhnya yang sedang tak tertutup handuk. Terakhir, Tia pelan-pelan membiarkan handuk
itu merosot ke lantai sehingga dirinya pun bugil seluruhnya di hadapan Pak
Walikota.
Pak Walikota bergeser
mendekati Tia, sehingga posisinya berubah jadi duduk di pinggir tempat
tidur. Dia menjulurkan kedua tangan ke
depan dan mencengkeram pinggang Tia. Tia
berbalik, menungging membokongi Pak Walikota, memamerkan pantatnya yang
bahenol, meremas-remas kedua belahannya.
Tia masuk ke dalam peran dengan sungguh-sungguh, bertindak seperti
seorang pelacur betulan, mengumbar tubuhnya untuk mendapatkan perhatian penuh
nafsu laki-laki.
Dapat dilihat Pak Walikota
mulai panas melihat pertunjukan cabul yang disajikan Tia. Matanya terpaku pada tubuh Tia, menatap
lapar! Dia tampak siap menerkam Tia dan
melampiaskan gairahnya.
Namun seolah masih ada
sesuatu yang membuat Pak Walikota masih menahan diri…
Tia berbalik badan dan
menggenggam kerah kimono yang dipakai Pak Walikota. Wajah laki-laki paro baya itu berubah
khawatir. Tapi Tia tak mempedulikannya
selagi dia pelan-pelan membuka kimono itu.
Ketika tubuh atas Pak
Walikota terbuka, Tia terhenyak kaget.
Ini rupanya yang membuat Pak Walikota ragu.
Tubuhnya besar dan
atletis. Gagah, karena masa lalunya
sebagai perwira. Namun tubuh Pak
Walikota ternyata penuh bekas luka menjijikkan.
Bertahun-tahun lalu, ketika
masih berpangkat rendah dan bertugas di daerah konflik, Pak Walikota mengalami
musibah. Dia ikut dalam konvoi kendaraan
yang disergap kelompok perlawanan. Truk
yang ditumpanginya terkena tembakan dan meledak. Dia masih lebih beruntung daripada
kawan-kawan sekesatuannya yang tewas atau cacat karena ledakan truk itu, tapi
dia mengalami luka bakar parah di sebagian besar tubuh. Bola api ledakan membakar tubuhnya dan dia
terlempar keluar truk dalam keadaan membara, menjerit kesakitan. Dia diselamatkan kawan-kawannya dan segera
diangkut untuk dirawat, tapi sesudahnya dia hidup dengan tubuh rusak.
Itulah yang sedang Tia
saksikan sesudah dia membuka kimono Pak Walikota. Tubuh tegap itu penuh bekas luka dan
pertumbuhan kulit yang tak teratur, yang sebagian besar ada di sisi kanan
tempat dulu ledakan menyambarnya. Kulit
tubuhnya berbercak tak teratur, putih, coklat gelap. Puting kanannya sudah tak ada, mungkin rusak
dan diangkat. Di sana-sini terlihat
benjolan parut bekas luka. Sungguh
mengerikan dan siapapun yang melihatnya bakal membayangkan kejadian macam apa
yang bisa merusak tubuh orang sampai jadi seperti itu.
“Kamu… takut?” Pak Walikota
menghela nafas, suaranya terdengar pasrah.
“Jijik?”
Tia tidak menjawab, malah
dia mengelus salah satu benjolan bekas luka.
“Sakitkah… Pak?” tanya-nya dengan nada lembut.
“Nggak… Aku udah biasa…”
kata Pak Walikota. “Tapi… Tolong jawab pertanyaanku,
Tia.”
Tubuh yang rusak itu
terus-menerus membuat kehidupan Pak Walikota tak sempurna. Pertama, sejak tubuhnya jadi penuh bekas luka
mengerikan, istrinya tak lagi mau tidur dengannya. Hubungan suami-istri mereka jadi mendingin
dan sebatas hubungan formal, mereka tetap tampil sebagai suami-istri di depan
umum namun inti hubungan itu telah hilang dengan enggannya sang istri
bersetubuh dengan suaminya. Pada
akhirnya sang istri tak dapat menerima kenyataan bahwa tubuh suaminya telah
rusak, dan hilanglah keintiman di antara mereka, yang tersisa hanyalah status suami-istri
yang kosong. Kehilangan kasih sayang,
perwira muda dengan tubuh rusak itu berusaha keras membangun karier dan
reputasinya sehingga pangkatnya naik dengan cepat dan jabatannya makin tinggi
hingga akhirnya dia berhasil meraih kedudukan Walikota. Semakin dia kaya dan berkuasa, mulailah dia
berusaha mencari lagi kenikmatan yang tak didapatnya dari istrinya. Tidak susah baginya mendapatkan perempuan. Tapi… kekecewaan yang didapatnya. Dia bisa membayar perempuan mana saja, tapi
dia tak bisa menghilangkan rasa jijik mereka ketika melayaninya. Dan dia tak suka ketika itu terjadi.
Itulah alasannya dia
mengadakan acara tadi. Pak Walikota
tahu, selain uang suap, para pengusaha yang mengincar proyek pemerintah bakal
menyodorkan perempuan juga. Dia tidak
mau menikmati suguhan mereka begitu saja.
Baginya sebagai pejabat tinggi, mendapatkan perempuan cantik sekelas
Gaby dan Shenny itu mudah. Tapi itu
tidak membuatnya senang. Untuk apa
membawa perempuan cantik ke ranjang lalu ketika disetubuhi dia memalingkan
muka, memejamkan mata, atau pasang tampang tak suka? Makanya dia menyiapkan sekelompok orang jelek
untuk menguji perempuan-perempuan yang disodorkan kepadanya. Dia ingin tahu apakah Gaby, Shenny, dan Tia
sama saja dengan yang lain.
Dan Pak Walikota juga telah
terobsesi dengan Tia, sebagaimana sudah diceritakan. Karena itulah dia lega Tia lulus dari ujian
harus melayani orang-orang jelek tadi.
Dan sekarang dia sedang meminta kepastian lagi dari Tia.
“Apa kamu jijik sama
badanku, Tia…?”
Tia tersenyum dan mengelus
dada Pak Walikota.
“Enggak, Pak…” jawab Tia.
Pak Walikota tidak tahu,
tapi pikiran Tia yang telah dibentuk oleh Mang Enjup dan Dr. Loren membuat Tia
tidak jijik dan ngeri terhadap apapun.
“Rata-rata perempuan jijik
sama badanku…” Pak Walikota curhat.
“Bapak tenang aja…” hibur
Tia.
Kata-kata itu Tia sambung
dengan ciuman hangat ke bibir Pak Walikota.
Di tengah pergumulan bibir, Tia meraih tangan Pak Walikota dan menyentuhkan
tangan itu ke payudaranya. Tangan Tia
yang satunya lagi mengelus paha Pak Walikota, ke arah pangkal menuju
selangkangannya yang masih bercelana dalam.
Tangan itu mengusap-usap kejantanan yang menegang di balik sana. Pak Walikota serasa berada di surga, dan
seorang bidadari cantik telah ditugaskan untuk melayaninya… Tia mengeluarkan
batang yang tegak itu dari bungkusnya, dan terus mengelus-elusnya. Sekalian dia melepaskan celana dalam Pak
Walikota hingga mereka pun bugil berdua.
Untungnya kemaluan Pak
Walikota luput dari musibah yang menimpa tubuhnya dulu, tidak ada bekas luka
apapun… Barang yang tegak kencang itu cukup besar, berwarna gelap. Tia menghentikan ciumannya. Dia berubah posisi badan dari berdiri ke
berjongkok di depan Pak Walikota yang duduk.
Muka Tia mendekat ke selangkangan Pak Walikota.
Tia mencekal pangkal batang
kejantanan Pak Walikota, dan menggoyang-goyangkannya. Dengan penuh rasa sayang Tia lalu
mengusap-usapkan ereksi hangat itu ke pipinya.
Pak Walikota mengerang nikmat.
Tia bahkan menampar-namparkan batang Pak Walikota ke pipi dan bibirnya.
“Ahhh… Paak… Gede yaa…” kata
Tia menggoda. Tia menjulurkan lidahnya
selagi menampar-namparkan penis itu ke bibirnya sehingga beberapa kali lidahnya
menyentuh batang itu. Matanya merem
melek, melirik seksi ke arah Pak Walikota, seolah sedang membayangkan bagaimana
rasanya menikmati kelelakian Pak Walikota.
Kemudian Tia berlutut di
depan Pak Walikota, menaikkan tubuhnya sehingga kedua payudaranya mendekat ke
penis tegak Pak Walikota. Kemudian dia
sorongkan kedua payudaranya mendesak ereksi Pak Walikota. Ujung penis mencuat di atas belahan dadanya,
dan disambut bibir lembut Tia. Dengan
penuh semangat Tia menjulurkan lidahnya, berputar-putar mengusap kepala penis
itu, sebagaimana dia tahu disukai banyak laki-laki. Kemudian penis panjang itu terbenam di
himpitan dua gunung kembar yang digerakkan ke atas oleh pemiliknya. Tubuh Pak Walikota mulai bergoyang,
menyetubuhi buah dada Tia. Nafasnya
makin cepat dan kasar; tidak akan lama lagi…
“Ayo keluarin Pak,” dan Tia
mencucup kepala penis itu lagi. “Mau
keluarin di mulutku apa dadaku…?” selagi kejantanannya merasakan jepitan dada
Tia. Pak Walikota cuma bisa pasrah
menghadapi godaan Tia. Tak tahan lagi…
“Ungh… !!??”
Ejakulasinya ditahan!
Ketika mau menyembur,
tiba-tiba Tia memencet dan meremas kepala burung Pak Walikota. Meski kemaluannya berdenyut hendak menyembur,
semburannya tertahan karena jalan keluarnya ditutup. Pak Walikota mengerang frustrasi.
“Jangan dulu ya…” kata Tia
dengan nada nakal. Kemudian dia meminta
Pak Walikota berdiri dengan punggung menempel di dinding. Serbuan sensual berikutnya pun dilancarkan. Tia berdiri membelakangi Pak Walikota,
merapat, lalu membungkuk sambil menonjolkan pantatnya ke belakang. Belahan pantatnya menyentuh kelelakian Pak
Walikota. Sepasang daging pantat yang
mulus empuk itu mengelus bawah perut Pak Walikota. Naik turun menyusuri panjang batang. Kadang bergeol ke kanan dan kiri. Kadang mundur mendesak. Sementara yang empunya pantat meremas-remas
sendiri kedua sisi luar pantatnya sambil mendesah-desah bergairah.
“Aahnn… Enak nggak Pak? Enak nggak geolan pantat Tia?” Tia mencumbu
dengan kata-kata saru, cukup mengejutkan Pak Walikota yang tak mengira
kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulut perempuan baik-baik. Tia kemudian meraih ke belakang dan mengubah
posisi kejantanan Pak Walikota. Yang
tadinya tegak dan di atas pantat kini dipindah mengacung ke depan bawah dan
dijepit di antara kedua paha dan kewanitaan Tia. Pak Walikota menahan nafas.
“Pak… Gerakin maju mundur
ya?” pinta Tia. Sesuai permintaan, Pak
Walikota mulai bergerak, kemaluannya tercengkeram “paramek” (paha rasa memek),
ujung burungnya mencuat-cuat di depan bawah perut Tia. Laki-laki paro baya itu menggumam senang. Rasanya seperti bermasturbasi, hanya dengan
bantuan paha, bukan jari. Kemudian Pak
Walikota menyadari bahwa Tia menikmatinya juga, karena penisnya bergesekan
dengan bibir vagina Tia, dan bibir itu terasa mulai basah dan licin. Bahkan bisa terasa cengkeraman paha Tia makin
becek, karena kemaluan Tia mengeluarkan cairan.
Tanpa malu-malu Tia mengerang nikmat, dan Pak Walikota mulai menambah
kecepatan gerak.
Tangan Pak Walikota yang
tadinya nganggur bergerak ke atas, awalnya ragu mau menyentuh Tia atau
tidak. Lalu kemudian dia putuskan itu
tidak apa-apa, dan dia meletakkan kedua tangannya di atas pantat Tia, dengan
jari terentang yang kemudian mencengkeram kedua buah pantat Tia. Dia menghela nafas, melihat bagaimana Tia
menggeliat dan gemetar kesenangan selagi pahanya disetubuhi. Apalagi tangan Tia juga ikut bermain, mengusap-usap
bagian bawah penis Pak Walikota yang maju-mundur.
“Mmmmh, enak Paakh,” erang
Tia lembut.
“Ah. Mau keluar…” kata Pak
Walikota. Mendengar itu, Tia malah makin
gencar memasturbasi Pak Walikota, dan air mani Pak Walikota pun tiba-tiba
menyemprot.
“Ah, aahhh…!” Pak Walikota
menyodokkan pinggulnya ke depan, menuju jepitan paha Tia. Semprotannya mendarat di tangan Tia yang
memang sengaja menghadang di depan lubang.
Tia menjepit-jepitkan pahanya memompa semburan demi semburan yang
kemudian dia tadah dengan tangan.
Perempuan muda itu tampak menggeliat lembut selagi Pak Walikota
mendapatkan orgasme.
“Ih kental…” komentar Tia
selagi setetes mani merambat jatuh dari tangannya. Dia berbalik lalu menjilati cairan kental yang
ditampung di tangannya itu sampai bersih.
Lalu dia tersenyum dan menjilat bibir seolah-olah habis mencicip sesuatu
yang amat nikmat. Tapi Tia belum
puas. Dia kembali menggarap kejantanan
Pak Walikota, agar batang itu kembali tegak dan siap beraksi.
*****
LANTAI 4
“jemput tia. gausah pikirin
kakak, kakak bs pulang sendiri”
Citra sempat mengirim SMS
itu sebelum dia membuka pintu kamar kosong yang sudah disediakan untuknya. Beda dengan kamar-kamar suite di lantai lima,
kamar-kamar di lantai empat lebih kecil dan sederhana, karena sebagian besar
penggunanya hanya berada 3 jam di sana.
Sesudah memilih perempuan di bawah, para hidung belang yang ingin
memuaskan nafsunya biasa menuju ke kamar-kamar ini yang tersedia lumayan banyak
di Hotel V. Selain perlengkapan kamar
hotel biasa seperti tempat tidur, lemari, dan TV, di kamar-kamar itu terdapat
cermin di dinding dan langit-langit.
Kamar mandinya bukan berupa kamar sendiri, melainkan kotak 1x2 meter
berdinding bening dengan shower.
Dia langsung mengajak duduk
si pengawal di tempat tidur dan menanyakan nama. “Afri,” kata si pengawal malu-malu. Citra mengaku bernama “Fenti” kepada Afri,
lalu bergeser duduk merapat ke Afri. Dilihatnya
Afri tegang dan tidak santai—karena merasa meninggalkan tugas, jadi Citra
merayu-rayu si pengawal agar makin terlena.
Kata-kata manis tidak perlu
banyak. Citra menyambung dengan kecupan
ke pipi.
“Kok diem aja… Kamu suka aku
nggak?” tanya Citra dengan nada manja.
“Eh, iya, suka Fen…” Mulai
terlihat bahwa Afri sedang mempelajari kecantikan Citra. Dalam kamar yang temaram itu, wajah Citra
tampak bercahaya. Tak salah tadi dia
repot-repot bedakan dulu di mobil Bram.
Bra-nya membuat dadanya kelihatan lebih membusung, dan Afri juga terlihat
melirik ke sana. Dasar laki-laki, Citra
membatin. Walaupun diam saja tapi
sebenarnya melirik juga, dan pasti ketahuan kalau sedang lihat-lihat.
“Cium dong,” tantang
Citra. Sepasang bibir merah yang manis
menyediakan diri di depan Afri. Pengawal
itu ragu, masih tak percaya ada perempuan menyodorkan diri seperti itu
kepadanya. Ditambah lagi Citra
menggenggam tangannya, lalu lanjut mengelus lengannya. Afri merinding merasakan halusnya tangan
Citra. Citra lalu menarik tangan Afri ke
balik roknya, agar si pengawal bisa mengelus pahanya. Dan selagi membimbing tangan Afri ke arah
pangkal paha, Citra mencondongkan badan ke depan dan mencium bibir Afri.
Afri masih bujangan, dan
sedang tak punya pacar. French kiss dari
Citra mengejutkannya. Ketika lidah Citra
membuka bibirnya dan bergulat dengan lidahnya, si pengawal menahan nafas. Selesai menjelajahi rongga mulut Afri, Citra
melepas ciumannya dan ganti menjilati leher Afri. Lalu balik lagi ke mulut, satu lagi french
kiss dan mengulum lidah Afri. Citra
merasakan nafas si pengawal jadi memburu, lalu menjulurkan tangannya ke bagian
selangkangan celana Afri. Tangan satunya
lagi dengan gemas meremas kepala Afri yang berambut cepak. Tahu-tahu saja posisi Citra sudah menunggangi
selangkangan Afri, kepalanya berada sedikit di atas kepala si pengawal. Citra merasakan kedua tangan Afri menjamah
pantatnya. Bagus. Si pengawal mulai
berani. Dan itu wajar. Seharian dia bertugas mengawal tiga perempuan
cantik, lalu tadi di dalam dia sempat menonton pesta seks ketiganya melawan
kumpulan orang jelek. Anunya protes
minta ikutan, tapi dia tak berani ikut kalau tidak diperintahkan bosnya, Pak
Walikota. Bahkan tadi dia sempat mencegah
Shenny kabur. Karena tidak tahan, dia
pindah berjaga di luar. Tapi di luar dia
malah bertemu perempuan ini, “Fenti”…
“Aku buka ya?” kata
Citra. Tanpa menunggu jawaban Afri,
Citra membuka satu demi satu kancing kemeja safari yang dipakai si pengawal,
lalu langsung melepas kemeja itu.
Dilihatnya tubuh Afri yang gempal seperti petinju. Citra tersenyum; pemuda bertubuh gempal itu
ternyata sifatnya malu-malu. Lalu Citra
kembali mencium bibir Afri sambil mengelus-elus bahu dan wajah Afri. Citra membantu Afri melepas kaos dalam lalu
dia teruskan menggodai pemuda itu dengan menjilati putingnya. Sekalian, Citra membuka resleting celana Afri
dan membebaskan kejantanan Afri dari dalam bungkusnya.
“Udah keras nih,” kata Citra
sambil mengocok-ngocok batang kejantanan Afri.
Bentuknya pendek tapi berdiameter lumayan. Citra melepas Afri dan merebahkan diri di
tempat tidur. Dia melipat lututnya dan
menjangkau ke bawah, langsung mencopot rok dan celana dalam. Dipanggilnya Afri supaya mendekat. Si pengawal sudah melepas semua bajunya juga
dan sekarang berlutut di hadapan Citra, penisnya yang tegang menunjuk ke arah
kewanitaan Citra yang sudah menunggu.
Citra meraih tasnya dan merogoh ke dalam, lalu mengeluarkan sebungkus
kondom.
“Pakai dulu ya?” kata Citra. Dengan cekatan Citra merobek bungkus kondom
dan memasangkannya ke penis Afri. Lalu dia
menggeser bagian bawah tubuhnya, meraih batang yang sudah diberi pengaman itu,
dan memasukkannya ke dalam kewanitaannya.
“Ayo goyang,” perintah Citra.
“Entot aku Fri…”
Afri memang bujangan, tapi
dia sudah tidak perjaka, gara-gara pernah diajak jajan oleh teman-temannya ke
lokalisasi beberapa kali. Jadi dia sudah
tahu apa yang harus dilakukan. Dia
langsung bergerak maju-mundur menikmati gratisan dari “Fenti”.
“Ah… ah… ahah enakh!” Citra
ber-acting sebagaimana layaknya seorang pelacur pemuas nafsu, kedua lengannya
meraih ke atas dan kedua tangannya mencengkeram bantal, kepalanya menengadah
dan berpaling, bibirnya mengerang-erang keenakan. “Ah… hah… ah jangan… ah enak…!!” Meskipun tak begitu terangsang, vagina Citra
menjepit penis Afri.
“Ayohh… Lagii… lagi… terus…”
Citra menjerit-jerit seolah bernafsu, sambil tangannya meremasi buah dadanya
yang masih terbungkus baju. Pinggulnya
bergerak mendesakkan seluruh bagian kejantanan Afri ke dalam vagina. Afri juga mulai berani, tangannya mulai
menjamah bagian-bagian lain tubuh Citra. Apalagi Citra sengaja “berisik” demi
memancing nafsu Afri agar makin bergejolak.
“Enak banget… terus sayang… aku suka sayang…” dengan kata-kata seperti
itu, Citra memacu ego kelelakian Afri.
Sebagai wanita penggoda berpengalaman, Citra tahu bagaimana membuat
laki-laki lawan mainnya merasa “perkasa”.
Citra lalu berganti posisi,
dia menyuruh Afri rebahan sementara dia bergerak mengangkangi selangkangan Afri
sambil menghadap wajah Afri, posisi woman on top. Dia menggenggam penis Afri yang masih tegak
dan mengarahkan lagi ke rekahan kewanitaannya.
Sambil tersenyum seksi Citra mulai menunggangi bawah perut Afri. Sekalian dia membuka kaos ketatnya. Afri langsung menyambut, kedua tangannya
menjamah kedua payudara Citra bersamaan, menekan-nekan puting Citra. Citra tampak kegelian dan kedua lengannya
bergerak seolah mengusir tangan Afri.
“Ah… janganh… geli… pentilku gelii… Nanti aku cepet keluarh…”
Citra akhirnya menjauhkan
tangan-tangan Afri dari payudaranya. Dia
kegelian betulan, dan terangsang, ada titik sensitif di payudaranya. Sekalian dia mengubah posisi kaki, dari
tadinya berlutut seperti menunggangi sekarang menjadi berjongkok mengangkang
untuk mengubah posisi tusukan di kemaluannya.
Kedua tangan Afri digenggamnya dan dia mengubah gerakan jadi naik-turun. Tapi akhirnya Citra melepas tangan Afri dan
keasyikan ajrut-ajrutan di atas Afri.
Bunyi “cpok-cpok-cpok” kulit bertemu kulit terdengar tiap kali pantat
Citra menghantam perut Afri. Bosan
dengan posisi itu, Citra lalu berhenti dan memutar tubuh sehingga membelakangi
Afri, posisi reverse cowgirl, tanpa mencabut tusukan kejantanan Afri. Dia langsung beraksi, pantatnya mengulek
selangkangan Afri, nafasnya terengah memburu.
Afri menikmati pemandangan punggung dan pantat mulus Citra menggelinjang
di depannya.
Citra berhenti lagi, lalu
mengangkat pinggulnya sehingga kemaluan Afri keluar dari dalam tubuhnya. Dia mengubah posisi dengan canggung karena
masih mengenakan sepatu hak tinggi—dia tahu banyak laki-laki suka dia tetap
memakai sepatu hak tinggi ketika bersetubuh—berbalik kemudian merayap ke arah
wajah Afri.
“Aku mau dientot dari
belakang… dogy… ayo,” pinta Citra. Afri
langsung bergerak, berposisi berlutut di belakang Citra yang menungging, dan
tanpa banyak basa-basi menyetubuhi perempuan cantik yang baru dia kenal itu
dari belakang. Afri kembali melihat
wajah mesum Citra yang pasang ekspresi keenakan, menoleh ke belakang seolah
ingin melihat bagaimana penis Afri menggempur liang kenikmatan. Tubuh Citra terguncang-guncang dihantam
serangan demi serangan.
Jeritan-jeritannya pun makin seru.
Lama-lama posisi doggy style berubah karena Citra tergolek ke sisi
kiri. Paha kanan Citra menyelip di bawah
selangkangan Afri sementara pergelangan kaki kirinya digenggam Afri.
“Hah… ah… ah mau keluar…!”
seru Afri di tengah dengusan nafasnya.
Citra juga berpura-pura mau orgasme, melengking-lengking tak karuan
seolah sampai ke puncak kenikmatan. Lalu
Citra merasa goyangan Afri berhenti dan Afri menancapkan dalam-dalam penisnya. Mendengar suara erangan Afri, Citra tahu si
pengawal itu sedang berejakulasi, maka dia pun menjerit pura-pura klimaks. Pinggulnya dia gerakkan memutar, memeras
batang yang berejakulasi di dalam vagina.
Afri mundur mencabut
barangnya. Citra memutar tubuh, berbalik
jadi menghadap Afri, lalu meraih ke kemaluan Afri untuk mencabut kondom yang
penuh.
“Hmm~! Pejunya banyak yaa…” kata Citra sambil
nyengir, menggoyang-goyang kantong lateks berisi cairan putih yang barusan
dilepasnya dari kejantanan Afri. Dengan
profesional dia mengikat ujung kondom sehingga isinya tak bisa keluar. Dilihatnya Afri yang masih kelihatan
fit.
Mungkin Bram masih perlu waktu, pikir Citra.
“Masih ada sisanya nggak?”
tantang Citra sambil menjilat bibir.
Afri nyengir.
*****
KORIDOR
Bram membaca SMS dari kakaknya
barusan, yang memesankan supaya dia fokus ke Tia. Dia menyimpan lagi HP-nya di dalam dompet di
ikat pinggangnya. Lalu Bram melihat ke
langit-langit koridor.
Pertama-tama Bram memastikan
tidak ada kamera CCTV di langit-langit.
Artinya, apapun yang mau dia lakukan, tidak ada yang bakal
merekamnya. Kedua, dia mencari satu lagi
benda di langit-langit.
Ketemu!
Di langit-langit, kira-kira
setengah jalan dari pintu kamar suite ke pertigaan koridor, Bram melihat sprinkler,
keran air darurat untuk pemadam kebakaran.
Dia berusaha menjangkau sprinkler itu tapi letaknya cukup tinggi. Bram lantas menyeret satu pot tanaman yang
besar ke sana. Setelah sekali lagi
memastikan tidak ada orang berkeliaran di koridor, Bram berdiri di atas pot
besar itu dan merogoh ke dalam kantong.
Tadi di dalam lift dia
mengambil korek api gas milik Citra.
Korek itu sekarang menjadi bagian rencananya.
Bram menyalakan korek gas
dan menggunakan apinya untuk memanaskan sprinkler.
*****
PENTHOUSE
Tangan lembut Tia
mendatangkan kehidupan. Kejantanan Pak
Walikota tidak dibiarkan lemas begitu saja sesudah tadi ejakulasi. Beberapa kali kocokan sudah cukup untuk
membangunkannya lagi. Tia merasakan
hangat batang itu, terbakar panas gairah pemiliknya untuk mencicip kenikmatan
terlarang.
Pak Walikota berbaring
telentang di tempat tidur. Tia
berjongkok mengangkang di atas selangkangannya.
Tia membukakan pintu kewanitaannya bagi penis Pak Walikota selagi dia
merendahkan jongkoknya…
“HHAA… GHNN!!”
Tubuh cantik Tia tiba-tiba
gemetar dan ambruk menindih dada Pak Walikota, tepat ketika kejantanan Pak
Walikota terhunjam seluruhnya menembus vaginanya. Pak Walikota bingung dan segera menggenggam
Tia.
“Tia… Tia? Ada apa?”
“Ahh… Pakk… T-Tia keluarr…”
rintih Tia. Pak Walikota tersenyum
kecil. Terbersit sedikit rasa bangga
karena merasa bisa membuat Tia orgasme.
Padahal sebenarnya Tia memang sudah terangsang berat sejak tadi melayani
orang-orang jelek di bawah, dan klimaksnya ibarat tinggal menunggu kena “satu
sentilan” lagi.
“Nggak apa-apa… Bapak
terusin ya? Entot Tia…” dengan wajah memerah sesudah terlanda orgasme, Tia
mengatakan itu. Tentu saja Pak Walikota
tak menolak. Dia akhirnya mendapat juga
apa yang diidam-idamkannya, bersanggama dengan Tia. Dengan lembut Pak Walikota mulai bergerak,
makin lama makin kencang mengguncang Tia di atasnya. Tia yang masih lemah pasca-orgasme pasrah,
menerima dirinya dijadikan pelampiasan nafsu Pak Walikota. Wajahnya bersandar di atas dada Pak Walikota
yang penuh bekas luka, namun tak ada sedikitpun rasa jijik. Itulah yang membuat Pak Walikota makin
antusias. Makin tinggi kedudukan
seseorang dan makin terpenuhi kebutuhannya, biasanya impiannya makin tinggi dan
sukar. Dalam hal Pak Walikota, impiannya
adalah kembali menikmati pelampiasan nafsu badani bersama perempuan yang mau
menerimanya tanpa jijik karena tubuhnya yang rusak. Lebih spesifik lagi, dengan Tia, perempuan
muda yang sebenarnya bersuami namun telah menjadi obsesinya selama beberapa
tahun. Dan tiada yang mengalahkan
puasnya merasakan impian yang kesampaian.
“Emh, mmmmh…” Tia menengadah
dan mencium Pak Walikota. Pak Walikota
membalas ciuman itu dengan lembut, tangannya mengelus rambut Tia. Iri.
Pak Walikota iri sekali dengan Bram.
Anak muda itu mendapat istri yang dari luar terlihat begitu cantik dan
anggun, dan dalamnya ternyata binal dan seksi.
Tia sendiri sedang tak ingat
dengan Bram suaminya. Dia sedang
mematuhi pemrograman bejat yang terpasang.
Semua perubahan yang terjadi—makeover dari Citra, sugesti dari Mang
Enjup dan Dr Loren—dia sudah tak tahu lagi apa alasannya. Memang awalnya dia berubah demi memuaskan
selera Bram. Dan itu berhasil, Bram
kelihatan lebih menyukai penampilan dan pembawaannya yang baru. Tapi Tia belum juga menyadari bahwa ada pihak
yang memanfaatkan kecenderungan barunya demi kepentingan sendiri. Sugesti Mang Enjup membuatnya terobsesi
memuaskan nafsu laki-laki. Semua
laki-laki, bukan hanya yang paling berhak yakni Bram. Dan Dr Loren memperkuat sugesti itu dengan
menghapus trauma-nya. Tia yang
seharusnya menjadi seorang istri setia dijerumuskan. Mang Enjup melacurkannya kepada Pak
Walikota. Dan Tia tidak menolak
itu. Dia seorang istri, namun sudah
menjadi tak ubahnya seorang pelacur juga…
*****
KAMAR SUITE LT. 5
Stamina orang-orang yang ada
di sana seolah tidak ada habisnya. Gaby
sedang menyepong entah penis keberapa sambil berposisi menungging dan di
belakangnya ada yang menyetubuhinya.
Rambut perempuan Latino itu sudah kusut, tubuhnya mandi keringat, dan
kemaluannya mulai terasa panas. Dia
sudah pernah terlibat pesta seks, tapi jarang-jarang durasinya bisa selama
itu. Entahlah. Apa mungkin karena yang terlibat ini
orang-orang yang dalam keadaan normal sulit mendapat perempuan, sehingga mereka
memanfaatkan kesempatan langka sebaik-baiknya?
Dari tadi dia menunggu kapan orang-orang itu puas semua. Tapi mereka terus kembali dan kembali. Bergantian, melahap dia dan melahap perempuan
sipit itu. Sementara Tia dan Pak
Walikota sudah tidak di sana.
“Aa… ahhh…” terdengar rintih
lemah Shenny yang dipaksa orgasme lagi.
Gaby kasihan mendengarnya. Shenny
sudah hampir pingsan tapi orang-orang itu tak ada yang peduli. Ditambah lagi, karena tadi Shenny bersikap
angkuh, mereka lebih gemas dan kasar menyetubuhinya. Wajah putih Shenny belepotan sperma; tadi ada
yang berejakulasi di sana. Shenny
sendiri sudah tidak bisa protes, apalagi melawan. Dia tergolek seperti boneka yang ditinggal
pemiliknya. Itulah dia sekarang: boneka
cantik yang tak berdaya, mainan laki-laki.
Ditelanjangi, digagahi, dihujani mani.
Tidak adakah yang bisa
menghentikannya? Yang bisa menarik
mereka keluar dari lingkaran keji itu?
*****
KORIDOR
Di sprinkler pemadam
kebakaran, ada sumbat pemicu berupa tabung kaca yang menghalangi bukaan pipa
air. Tabung kaca itu dirancang agar
pecah apabila mencapai suhu tertentu—yang menandakan di dekatnya ada api. Api di ujung korek gas yang disodorkan Bram
sudah hampir sepuluh menit membakar tabung kaca di sprinkler depan pintu kamar
suite…
PYARR!
BYUUUURRR…
Bram nyengir ketika tabung
kaca itu pecah dan air keluar memancar membasahi koridor. Sedetik kemudian terdengar—
KRIIIIIINGGGGGGG…
Seiring tersemburnya air
dari pipa pemadam kebakaran, alarm berbunyi dan sprinkler-sprinkler lain di
sekitarnya jadi aktif, ikut mengguyur interior hotel dengan air. Bram turun dari pot tanaman yang dari tadi
diinjaknya untuk mencapai sprinkler yang disundut dan bergerak ke arah pintu
kamar suite menembus hujan buatan. Di
depan pintu itu dia merapat ke arah sisi berengsel, menunggu reaksi.
*****
KAMAR SUITE LT. 5
Dering alarm kebakaran
membahana mengalahkan suara desah nafsu manusia. Beberapa sprinkler di dalam kamar suite ikut
aktif, menyemprotkan air ke seluruh ruangan.
Gaby menjerit ketika air dingin menerpa kulitnya. Shenny memejamkan mata. Kumpulan orang jelek kebingungan sejenak,
kemudian salah seorang di antara mereka teriak “Kebakaran!?” dan semuanya jadi
panik. Beberapa yang paling panik
langsung berlari menuju pintu tanpa peduli keadaan mereka. Meskipun pintu kamar tak bisa dibuka kecuali
dengan kunci kartu dari luar, di sisi dalam pintu bisa langsung dibuka dengan
memutar gagang. Orang yang paling dekat
pintu membuka pintu dan langsung keluar.
Bram di samping pintu
melihat seorang laki-laki jelek basah kuyup dan telanjang muncul dari
pintu. Bram langsung berteriak-teriak
“Ada kebakaran! Ayo cepat semuanya keluar!
Ke tangga darurat di ujung sana!”
Sambil berpura-pura menjadi pegawai hotel, Bram menahan pintu tetap
terbuka sambil menggerak-gerakkan tangan menunjukkan arah. Seisi ruangan terburu-buru keluar. Sebagian masih sempat berpakaian, walaupun
kadang mereka asal comot saja sehingga mengambil pakaian orang lain sehingga
ada yang keluar dengan memegangi celana yang terlalu besar, ada yang cuma
sempat pakai kaos, dan lainnya. Gaby
sempat menyambar kemeja orang dan memakainya, dan dia termasuk yang cepat
keluar walaupun sekujur tubuhnya lelah.
Penghuni kamar-kamar lain juga terlihat keluar menyelamatkan diri. Koridor jadi ramai dengan orang-orang yang
panik, semua bergegas menuju pintu tangga darurat di ujung.
Semuanya terjadi begitu
cepat. Dalam sekejap kamar suite yang
tadinya penuh tubuh-tubuh manusia yang saling belit dalam nafsu itu kosong,
penghuninya lari menyelamatkan diri dengan berbagai kadar ketelanjangan. Tapi dari semua orang yang melewatinya di
pintu, Bram tidak melihat Tia maupun Pak Walikota. Bram melangkah masuk, menembus hujan gerimis
sprinkler yang mulai melemah.
Di dalam, Bram melihat
ruangan besar yang berantakan dan basah kuyup.
Di tengah ruangan itu Bram mendapati seorang perempuan yang tersungkur
dan berusaha berdiri; perempuan itu telanjang.
Shenny terlalu lemah untuk bisa buru-buru menyelamatkan diri. Bram menghampirinya.
“Masih ada orang lain di
dalam sini?” tanya Bram. Shenny tidak
menjawab, hanya menunjuk ke arah belakang.
Bram membantunya berdiri, mengambilkan sehelai baju (entah punya siapa
karena baju Shenny sendiri sudah robek-robek) lalu menutupi tubuh Shenny dengan
baju itu. Bram lalu memapah Shenny ke
pintu.
“Xiexie…” bisik Shenny,
mengucap terima kasih dalam bahasa ibunya.
Tapi Bram hanya mengantar sampai ke pintu dan membukakan pintu. “Tangga darurat di ujung sana. Saya mau periksa ke dalam, siapa tahu masih
ada orang,” pesannya kepada Shenny yang kemudian berjalan tertatih-tatih ke
tangga darurat. Di bawah hujan dari
pipa-pipa air pemadam kebakaran, air mata Shenny mengalir.
*****
KAMAR LT. 4
Ketika alarm berbunyi, Afri
sedang memeluk erat tubuh Citra yang digumulinya.
Sprinkler di sana tidak ikut
aktif, tapi alarm kebakaran menyala juga di lantai 4. Karuan, Afri kaget.
“Ada apa ini?” katanya
sambil melepas pelukannya dan keluar dari tubuh Citra. Citra agak dongkol, karena sedikit lagi dia
klimaks. Tapi dia sudah tahu rencana
Bram, jadi dia tidak heran. Tugasnya
satu lagi…
Afri berpakaian dengan
buru-buru. Citra juga. Sebisanya Citra tidak mau sampai kalah gesit
dari Afri. Begitu Afri bergegas keluar,
Citra tidak ketinggalan. Di luar,
orang-orang yang sedang ada di kamar lain—umumnya para PSK dari lounge bawah
dan tamu—berkerumun dan semuanya bergerak menuju tangga darurat. Dengan sendirinya Afri dan Citra juga terbawa
arus manusia. Afri berbicara dengan
beberapa orang dan menyimpulkan bahwa barusan itu alarm kebakaran.
Di tangga darurat, Afri
menunjukkan gelagat seperti yang Citra sudah duga. Dia mau melawan arus dan naik ke lantai
5. Pasti karena dia mau memeriksa
keadaan orang yang seharusnya dia kawal, Pak Walikota. Citra langsung menarik lengannya.
“Mau ke mana, ini orang-orang
pada ke bawah?” tanya Citra.
“Aku mesti balik ke, …
bosku. Dia di atas,” kata Afri. Afri tak mau menyebut “Pak Walikota”.
“Dia pasti udah ke bawah
juga, lihat tuh orang-orang dari atas juga pada turun, ayo kita turun dulu aja
nanti baru dicari di bawah,” bujuk Citra.
Afri masih mau naik tapi dia terdorong-dorong oleh arus orang-orang yang
turun, maka akhirnya dia pun mengikuti kata Citra.
*****
KAMAR SUITE LT. 5
Bram membuka tiap pintu
dalam kamar suite itu sambil harap-harap cemas, bersiap menemukan Tia di balik
pintu. Entah dalam keadaan apa. Orang-orang berbagai bentuk dan ukuran yang
tadi melewatinya jelas habis melakukan sesuatu yang membuat mereka telanjang…
Bram menebak-nebak apa yang barusan terjadi, dan dia sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan.
“Brak!”
Setiap pintu dibukanya
dengan gebrakan, seolah mau mengagetkan siapapun di dalamnya. Kamar tidur.
Kamar tidur. Kamar mandi. Semua kosong dan tak terlihat seperti bekas
dipakai orang. Di satu kamar dia
menemukan tas baju dan barang-barang pribadi seseorang. Pak Walikota.
Dia masih ada di sini. Tapi di mana?
Dan Tia juga pastinya masih
ada di dalam sana.
Bram melihat telepon seluler
mahal, mungkin milik Pak Walikota, yang kebasahan terguyur air dari sprinkler
di kamar itu. Dia meraba pinggangnya
sendiri. Dompet HP-nya tertutup rapat
sehingga biarpun dia sendiri basah kuyup kena semburan sprinkler, ponselnya
aman.
Tapi dia belum juga
menemukan Tia. Satu pintu lagi.
Di balik pintu terakhir yang
Bram buka, ada tangga ke atas.
Berdebar-debar, Bram menaiki
tangga itu. Di sana tidak ada sprinkler
sehingga tangganya kering. Di ujung
tangga ada pintu…
Ketika menggenggam gagang
pintu di ujung atas tangga, Bram menenangkan diri dulu. Kalau di semua ruangan di bawah tidak ada
Tia, maka Tia ada di sini…
Dan waktu Bram merapatkan
tubuhnya ke pintu itu, samar-samar dia mendengar…
“…ooh… ahh… aah…”
Tapi Bram tak terburu
nafsu. Dia masih sempat memikirkan
sesuatu. Tangannya kembali bergerak
mengambil satu barang bawaannya…
*****
PENTHOUSE
“AAHH!! AHH!
PAAKK!! TERUS PAK!”
Pak Walikota makin bernafsu
melihat Tia yang sampai menjerit-jerit keenakan. “Pelacur”-nya itu ternyata berisik di
ranjang, tepat seperti yang dia sukai. Dia
berposisi tegak berlutut di ranjang sementara Tia rebah telentang. Kedua kaki Tia memeluk pinggang Pak Walikota,
seolah mau mendesakkan kejantanan Pak Walikota makin dalam. Kedua tangan Tia mencengkeram seprai, tak kuasa
menahan derasnya aliran kenikmatan. Pak
Walikota menyukai bagaimana kedua payudara Tia bergoyang-goyang ikut irama
gerak tubuhnya, dan ekspresi wajah Tia yang dimabuk birahi. Mereka berdua tidak tahu apa yang terjadi di
lantai-lantai lain hotel, karena—sungguh ini hanya kebetulan—koneksi alarm
kebakaran ke penthouse memang sedang rusak, dan dua teknisi yang hari itu
memeriksa alarm tidak memeriksa ke sana.
Maka yang mengagetkan mereka bukanlah bunyi. Melainkan…
Dua kilatan cahaya
mengagetkan Pak Walikota. Dia langsung
menoleh ke arah cahaya itu dan sekali lagi terjadi kilatan cahaya.
Di pintu penthouse, Pak
Walikota melihat seorang laki-laki muda yang membidikkan ponsel berkamera ke
arahnya. Kilatan-kilatan cahaya tadi
berasal dari lampu kilat kamera.
Pak Walikota kaget setengah
mati. Lalu dia menyadari apa yang
barusan terjadi.
Anak muda itu mengabadikan dirinya dalam posisi
memalukan!
Maka reaksi pertamanya
adalah murka.
“Apa-apaan ini? Siapa kamu?
Sini. Ke sinikan HP-nya!”
Pak Walikota yang kalap
langsung mencabut “senjata”-nya dari dalam vagina Tia. Bram melihat Pak Walikota berjalan dengan
marah ke arahnya, tubuh besarnya tegap, telanjang, dan penuh bekas luka. Dengan nekad Bram sekali lagi memotret, tepat
di depan muka Pak Walikota. Lampu kilat
memaksa Pak Walikota memejamkan mata.
“Ah! Sial!”
Pak Walikota sekejap tak bisa melihat karena pandangannya disergap
cahaya terang, dan sejenak matanya berkunang-kunang. Bram memanfaatkan kesempatan yang cuma
sedetik itu untuk menghindar dari depan Pak Walikota dan melesat menuju Tia
yang tergeletak di ranjang. Mengetahui
orang yang memotretnya menghindar, Pak Walikota berbalik dan kembali memburu ke
arah Bram.
Bram sempat menggenggam
lengan Tia, tapi tidak sempat berbicara sebelum Pak Walikota menerkamnya. Pak Walikota memiting leher Bram di
ranjang. Tapi Pak Walikota lupa tubuhnya
sangat tak terlindung dan…
DUGG!
Entah refleks atau sengaja,
Bram mengayunkan kakinya dan menendang selangkangan Pak Walikota keras-keras. Pak Walikota melolong kesakitan dan
cengkeramannya terlepas. Bram langsung
mendorong Pak Walikota sampai terjengkang di lantai, lalu menarik lengan Tia.
“Auhh… Bajingan! Siapa kamu?
Wartawan? Kamu berani
macam-macam…” Pak Walikota mengancam, tapi ancamannya itu terdengar menggelikan
karena dikeluarkan dalam posisi bergelung memegangi selangkangan di
lantai.
Bram berdiri di depan Pak
Walikota yang meringkuk di lantai, tangan kiri membidikkan lensa kamera telepon
ke arah Pak Walikota, tangan kanan merangkul Tia. Tia terlihat kaget sampai tak bisa
berkata-kata.
“Saya suaminya, Pak,” kata Bram. Dia baru menyadari betapa menjijikkan pejabat
tinggi di hadapannya. Bukan karena
tubuhnya yang rusak, tapi karena orang ini, entah bagaimana caranya, telah
mencabuli istrinya.
“Sini. Sinikan HP kamu!!” Pak Walikota berusaha
bangun sambil menahan nyeri, lengannya terjulur mau merebut telepon Bram. Tapi Bram mengancam balik.
“Bapak maju lagi, foto-foto
ini langsung saya sebar ke internet,” kata Bram. Bram memencet beberapa tombol lalu membalik
handphone sehingga Pak Walikota bisa melihat foto yang tadi Bram ambil, jelas
menunjukkan wajahnya ketika sedang menyetubuhi Tia. Di pojok foto itu terlihat tulisan “Upload?”
dan Bram siap menekan tombol di bawahnya.
Baik Pak Walikota maupun
Bram sama-sama merasa panas dingin. Pak
Walikota merasa seperti ditodong, aib bagi dirinya akan tersiar dalam beberapa
detik kalau sampai foto-foto itu di-upload.
Bram sendiri gemetaran, sebagian karena dingin akibat bajunya basah,
tapi lebih banyak karena dia sedang menggertak seorang pejabat dan dia sendiri
tidak yakin ancamannya bakal mempan.
Tapi Bram merasakan hangat
tubuh Tia yang merapat ke tubuhnya dan dia menjadi tambah berani.
“Saya cuma mau jemput istri
saya, Pak,” kata Bram tenang. “Kita
anggap saja kejadian ini tidak pernah ada.
Saya tahu Bapak orang terhormat… dan saya sendiri mau Bapak tetap
terhormat. Jadi saya minta Bapak biarkan
kami pergi.”
Pak Walikota tak bisa
berkata apa-apa. Dia sendiri masih
bingung kenapa Bram bisa masuk ke penthouse.
Dalam keadaan panik akalnya tak jalan.
Dia bukannya orang yang tak bisa mengancam. Tapi dia tadi kaget ketika Bram tidak gentar
dengan ancamannya dan malah balik mengancam.
Dan dalam hati kecilnya dia menyadari sendiri bahwa yang dilakukannya
memang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Dia akan sukar membela diri kalau sampai tersebar ada fotonya beradegan
intim dengan seorang perempuan yang bukan istrinya—istri orang lain,
malah. Tapi dia tak bisa menekan
laki-laki itu karena, akibat kemajuan zaman, dalam sekejap seluruh dunia bisa
langsung melihat segala yang disembunyikannya.
Jadi dia hanya bisa bengong
menonton ketika Bram berjalan pelan-pelan membawa Tia menuju pintu.
Bram membuka pintu. Sebelum keluar dari kamar itu membawa Tia,
dia melontarkan peringatan sekali lagi.
“Saya nggak akan sebar
foto-foto ini selama Bapak tidak ganggu kami… Mohon Bapak ingat hubungan baik
Bapak dengan keluarga kami. Itu buat
kebaikan kita semua.”
Bram dan Tia kemudian keluar
dari penthouse.
Pak Walikota merasakan
kepalanya berat. Dan selangkangannya
sakit. Dia ambruk lagi, meringkuk,
seperti tidak ada tenaga untuk bangun.
Dia mulai berteriak-teriak.
“Afri! Afriii!” Dia memanggil
pengawalnya. Sia-sia, orang yang
dipanggil sedang ada di bawah bersama para tamu dan karyawan yang menyelamatkan
diri dari “kebakaran”, dan malah mencari-cari Pak Walikota di bawah.
*****
“Mas…” seru Tia lirih kepada
Bram ketika mereka berdua kembali di kamar suite lantai 4. Bram menoleh dan melihat wajah cantik
istrinya yang tampak kelelahan. Dia
membuka kamar mandi; di sana tadi dia melihat ada beberapa kimono handuk, jadi
diambilnya satu dan dipakaikannya kimono handuk itu kepada Tia.
“Ayo kita pulang, Sayang,”
kata Bram lembut. Semburan air dari
sprinkler yang aktif mulai lemah. Tanpa
banyak kata, dengan genggaman tangan amat erat, keduanya melangkah keluar dari
kamar suite. Koridor yang basah. Tangga darurat, lantai demi lantai. Pada tiap langkah, Bram tak melepas
rangkulannya atas Tia.
Sampai di bawah, Bram tak
mencari Citra. Kakaknya bisa mengurus
dirinya sendiri. Suasana ramai oleh
orang-orang yang kebingungan mengira ada kebakaran; tanpa menarik perhatian
siapapun, Bram langsung menuju mobilnya di tempat parkir. Ketika dia duduk di belakang kemudi dan Tia
duduk di sampingnya, dia merasa sedikit lega.
Secepat mungkin Bram meninggalkan hotel itu, menuju rumah. Sepanjang perjalanan Bram dan Tia sama-sama
membisu.
Tak lama kemudian mereka
sampai di rumah. Bram memasukkan mobil
ke garasi lalu membantu Tia keluar.
Lalu Bram merasakan sesuatu
dalam dadanya yang membuat dia tidak ingin membiarkan Tia berjalan sendiri dari
mobil ke dalam rumah. Tiba-tiba
digendongnya istrinya itu, seolah mereka pengantin baru, dengan dua tangan di
depan tubuh. Dengan agak repot Bram
membuka pintu sambil menggendong Tia, lalu dia langsung memboyong Tia ke kamar
tidur mereka. Di sana dia membaringkan
Tia dengan lembut di tempat tidur.
Dilihatnya mata Tia
berkaca-kaca. “Mas… Aku… aku…” Tia tak
sempat melanjutkan apapun yang mau dikatakannya, karena Bram keburu memeluk dan
menciumnya. Dalam kepala Bram sendiri
terngiang potongan-potongan kata-kata yang didengar dan diucapkannya, sekitar
setahun lalu…
“Saya nikahkan ananda… Bramanda Arditya… dengan anak
saya yang bernama Setiawati Rasni… “
“Saya terima nikahnya Tia… maaf, Setiawati Rasni…”
Bram masih ingat bagaimana
hadirin dan penghulu waktu itu tertawa ketika dia salah menyebut nama panggilan
Tia dan bukan nama lengkapnya ketika mengucap ijab kabul. Suasana bahagia namun tegang jadi cair, tapi
janji kesepakatan nikah itu dia ucapkan sungguh-sungguh, dan dia menerima Tia
dalam hidupnya dengan segala tanggung jawab yang menyertai.
Termasuk, tentunya, menjaga
istrinya.
Bram sendiri baru menyadari
betapa nekad tindakannya tadi. Mulai
dari membuat kehebohan dengan menyabot sistem pemadam kebakaran hotel, sampai
berkonfrontasi langsung dengan seorang pejabat tinggi. Mengancam walikota! Kalau untuk alasan lain, Bram mungkin akan
pikir-pikir melakukan semua itu. Tapi
kalau demi Tia…
“Maafkan aku…” bisik Bram ke
telinga Tia. “Mulai sekarang aku nggak
akan lepaskan kamu lagi…”
*****
-
-
-
I just
want you close
Where you can stay forever
You can be sure
That it will only get better
Where you can stay forever
You can be sure
That it will only get better
Rasanya seolah malam pertama
lagi bagi Bram. Biarpun dia hanya
meninggalkan Tia beberapa hari, namun pertemuannya kembali dengan istrinya
harus didahului perjuangan. Namun dia
sadar, demi Tia dia mau menahan diri dan menempuh semua bahaya.
You and
me together
Through the days and nights
I don't worry 'cause
Everything's going to be alright
People keep talking they can say what they like
But all i know is everything's going to be alright
Through the days and nights
I don't worry 'cause
Everything's going to be alright
People keep talking they can say what they like
But all i know is everything's going to be alright
Setelah tenang, Tia
menceritakan segalanya. Mulai dari
keputusannya mengubah penampilan atas saran Citra. Lalu semua yang dia sadari telah dia alami. Segala kejadian aneh, segala perbuatan yang
seharusnya tak dia lakukan, peristiwa-peristiwa yang Bram belum tahu. Bram sendiri, berdasarkan cerita Citra, tahu
hal-hal lain yang Tia sendiri tak tahu, tapi dia biarkan istrinya menumpahkan
semuanya. Termasuk bagaimana Mang Enjup
melibatkannya untuk melobi Pak Walikota, yang menyebabkan dia jadi ada di
hotel.
When the
rain is pouring down
And my heart is hurting
You will always be around
This I know for certain
And my heart is hurting
You will always be around
This I know for certain
Tia menyelesaikan ceritanya
dan diam menunggu reaksi Bram. Marah? Kecewa?
Tidak, bukan itu. Bram memeluknya
erat, menciumnya, dan malah meminta maaf.
Bram tahu, akar perubahan Tia ada di dirinya sendiri, keinginan dan
kesukaannya. Dia senang dengan perubahan
penampilan dan sikap istrinya, tapi dia tak tahu bahwa perubahan itu kebablasan
dan telah menjerumuskan Tia.
You and
me together
Through the days and nights
I don't worry 'cause
Everything's going to be alright
People keep talking they can say what they like
But all i know is everything's going to be alright
Through the days and nights
I don't worry 'cause
Everything's going to be alright
People keep talking they can say what they like
But all i know is everything's going to be alright
Kata-kata sudah cukup, dan
digantikan oleh sentuhan. Karena mereka
sepasang kekasih, dan yang mereka butuhkan bukan kata-kata. Mereka butuh bersatu kembali, dan itulah
persatuan jiwa-raga dua manusia yang sebenarnya…
I know
some people search the world
To find something like what we have
I know people will try, try to divide, something so real
So till the end of time I'm telling you there ain't no one
To find something like what we have
I know people will try, try to divide, something so real
So till the end of time I'm telling you there ain't no one
Maka ketika mereka kembali bersatu,
satu-tubuh, Bram di dalam Tia, semua terasa lancar dan wajar kembali. Bram tidak menginginkan apa-apa lagi selain
istri yang dicumbunya. Tia merasa nyaman
memasrahkan diri kepada suaminya. Dan
semua rindu, sesal, gairah, serta cinta disempurnakan dengan sampainya mereka
berdua bersamaan ke puncak kenikmatan.
Sepenggal surga yang dititipkan di dalam tubuh manusia.
No one,
no one
Can get in the way of what I'm feeling
No one, no one, no one
Can get in the way of what I feel for you
Can get in the way of what I'm feeling
No one, no one, no one
Can get in the way of what I feel for you
--“No One”, Alicia Keys
-
-
-
*****
-
-
-
SATU SETENGAH TAHUN KEMUDIAN
Aku berusaha keras menahan
supaya tidak buru-buru mencapai klimaks.
Sedikit lagi, ingin kubiarkan dia mendapat kenikmatan duluan. Kalau tidak, dia bakal kesal dan merecokiku
terus untuk cepat-cepat mampir lagi.
“AHH!! IYA TERUSS!!
KONTOL KAMU… AHG! MENTOK! PANJANG BANGET! NGHAHH!!
KAMU APAIN AKUUU…”
Kuperhatikan wajah Citra di
bawahku yang terguncang-guncang selagi kugenjot dia kencang-kencang. Lipstik merah menornya sudah terhapus ciuman
demi ciuman kami, lapisan bedak tebal di mukanya pudar kena keringat. Namun rias matanya masih utuh dan seksi. Dia berteriak-teriak keras sekali sehingga
aku yakin siapapun yang ada di bangunan ini bisa mendengarnya. Kata-katanya, aku tak percaya sepenuhnya,
karena aku tahu dia perempuan penggoda berpengalaman yang pasti lihai memikat
dengan ucapan.
“HNNNGGGGHHH!!!!” Tiba-tiba
Citra mengejang, memelukku erat dan mencium bibirku, saking kerasnya sampai
kukira dia bukan mencium tapi menggigit.
Selangkanganku terasa basah. Ah,
dia sudah keluar…
Sesudah puas, Citra
melepasku, wajahnya ambruk kembali ke bantal.
Kucium keningnya yang basah oleh keringat, tepat di antara kedua alisnya
yang dilukis.
“Ahh… Sayang… maaf aku
keluar duluan… Sekarang giliran kamu ya?” Seperti biasa, dia selalu minta maaf
kalau dia dapat orgasme duluan. Tapi
kami sama-sama lebih suka seperti itu, karena kalau aku yang duluan, malah
repot membuat dia ikut klimaks. Dia
langsung menjalankan prosedur standarnya.
Dia mulai mendesah-desah lagi, berlebihan, sambil membisikkan kata-kata
kotor sementara liangnya yang becek kusumbat dengan batangku…
“Ah… oh… fuck me baby… Entot
aku… Entot Citra… Aku pengen peju kamu… Semburin peju kamu di dalam memek aku…
Ahhn…”
Dan biasanya kalau dia sudah
keluar, kulepas juga kontrol atas kontolku, kubiarkan orgasme yang kutahan
berjalan dengan sendirinya.
“Ahh… ah Cit… aku… NGHH!!”
Kurasakan kemaluanku
menegang dan meledak di hangat jepitan vagina Citra, entah kenapa terasa lebih
hangat, dan kutembakkan benihku di dalam sana sambil kepalaku menyuruk ke dada
Citra.
“Ah… terus Sayang… aku suka
banget kalo kamu keluarin di dalam…” Citra menyemangatiku sambil satu tangan
memeluk kepalaku dan mengelus-elus rambutku, tangan lain mengitik-ngitik lubang
anusku, dan pinggulnya digoyang perlahan memeras penisku. Penisku berkedut-kedut di dalam vaginanya,
melontarkan seluruh isinya. Ketika
semuanya sudah keluar tubuhku ambruk menimpa tubuh Citra.
“Unghhh…” keluhku, keenakan
sekaligus kelelahan. Citra tersenyum
lalu mendorong tubuhku. Ketika kucabut
senjataku yang masih tersisa ketegangannya…
“Lho, kok copot?” gumamku
melihat kondom yang tadi kupasang sudah tidak ada.
“Eish… nyangkut di
dalam. Pantesan tadi enak banget…” kata
Citra yang kemudian menuju kamar mandi untuk segera cuci-cuci.
Aku ambruk lagi, telungkup,
sambil nyengir dan berharap kalau Citra langsung membasuh kewanitaannya,
kecelakaan crot di dalam itu tidak bikin aku jadi harus bertanggung jawab…
Setelah berbaring beberapa
lama, aku bangun dan membersihkan diri juga.
Citra sudah selesai. Ketika aku
keluar dari kamar mandi mengenakan handuk, kulihat Citra sudah kembali
mengenakan pakaian, kaos ketat dan rok mini.
Selesai berpakaian, Citra mengajakku keluar dari kamar itu.
“Ayo, kita ngobrolnya di
depan aja,” ajak Citra. Kami pun keluar
dari kamar itu menuju bagian depan.
Tempat itu adalah salon Citra.
Di depan, dua perempuan
sedang duduk-duduk. Yang satu bertubuh
pendek montok dengan payudara besar dan rambut diwarnai pirang. Satunya lagi bertubuh langsing. Mereka adalah Widy, anak buah Citra yang sudah
lama ikut dengan Citra, dan Haula, mantan SPG kosmetik yang baru diajak kerja
Citra di tempatnya.
Widy nyeletuk, “Udah lega,
Mbak Citra? Kan Masnya udah dateng
nengokin. Pasti kepalanya udah nggak
pusing lagi ni~”
“Hus, jangan sembarangan,”
seru Citra. Aku dan Citra lalu duduk
agak jauh dari Widy dan Haula.
“Lanjutin ceritanya,”
kumulai lagi pembicaraan. “Tadi kepotong
di bagian adik kamu bawa pulang istrinya.”
“Kamu kenapa sih penasaran
banget ama mereka?” tanya Citra sambil mengerling genit. “Kok bukannya penasaran sama akuu?”
Aku senyum saja. Tapi, sejak aku mulai dengar kisah Bram dan
Tia dari Citra, aku memang tertarik.
Citra mesem-mesem, lalu
kembali bercerita.
“Beberapa hari sesudah itu,
Bram ketemu sama orangtua kami. Dia
ngasih tahu tentang pembukaan cabang baru perusahaan di kota-nya Enrico. Lalu dia minta untuk diserahi tanggung jawab
pegang cabang itu. Orangtua kami setuju. Jadi Bram langsung boyong Tia, pindah ke
sana.”
“Bram juga mau jauhin Tia
dari Mang Enjup dan Pak Walikota ya,” kutimpali.
“Iya, emang itu niat
adikku. Sesudahnya ya … mereka berdua di
sana,” Citra menyudahi ceritanya. Aku
mengangguk-angguk.
“Tapi mereka masih sering
pulang nengok rumah. Rumah sebelah,
rumah mereka. Aku yang diminta jagain,
tapi aku lebih suka di sini. Dan mereka
kemarin bilang mau datang hari ini,” kata Citra.
Beberapa lama kemudian,
kudengar suara mobil berhenti tak jauh dari salon. Citra keluar.
Aku mengikuti. Kulihat mobil
terparkir di depan rumah sebelah. Dari
dalamnya keluar beberapa orang. Pertama,
dari balik pintu pengemudi, muncul seorang laki-laki muda. Citra mendekati dan merangkulnya. Laki-laki muda itu pasti Bram. Kuperkirakan dia seumuran denganku.
Lalu dari pintu penumpang,
muncullah seorang perempuan cantik. Rambutnya
yang lurus sebahu digerai, tubuhnya yang aduhai terbungkus pakaian yang anggun
namun aku bisa melihat lengkung pinggulnya yang cantik membentuk di balik rok. Wajahnya dirias dengan apik.
Inikah Tia?
Aku sudah mendengar
ceritanya dari Citra. Semua yang mereka
alami. Dan rasanya cocok kalau perempuan
muda ini jadi tokoh utamanya. Meski
pakaiannya tergolong sopan dan dandanannya tak semeriah Citra, Tia memancarkan
aura keseksian yang sangat kuat, dari penampilan maupun pembawaan. Perubahannya tidak hilang. Tapi aku yakin sekarang dia hanya menyajikan
dirinya seperti itu bagi suaminya.
Yang belum Citra ceritakan
adalah yang sedang digendong Tia.
Seorang bayi yang lucu, berumur kira-kira tiga atau empat bulan… Kucoba
melihat wajah bayi itu dengan lebih jelas, dan ketika kulihat kemiripan anak
itu dengan Bram, entah kenapa hatiku terasa lega.
Dari jauh kuperhatikan
keluarga muda itu; Bram, Tia, dan buah hati mereka. Kelihatannya mereka bahagia. Namun di balik itu ada kisah yang seru. Tentang sepasang kekasih yang saling berjuang
demi pasangannya. Rasanya sayang kalau
berlalu begitu saja.
Maka itu, kutuliskan kisah
mereka.
-
SLUTTY WIFE TIA – TAMAT
Ninja Gaijin
Juli 2009—Juli 2011
*****
-CATATAN PENULIS
Terima kasih kepada:
-Shusaku Kato yang
menerbitkan cerita ini di blognya dan memberi judul “Slutty Wife Tia”
-Rekan-rekan penulis yang
menginspirasi, menyemangati, dan berbagi ilham: Pujangga Binal, Dr H, Pimp
Lord, Chads, Yohana, Pendekar Maboek, Bridesexstory Writer, Race Bannon, Mario
Soares, Henz, Bang Haris, Diny Yusvita.
-Para pembaca yang selalu
menunggu dan menagih lanjutan cerita, tapi juga jadi teman bicara yang
menyenangkan dan sumber ide.
“Slutty Wife Tia” berawal
dari beberapa artikel yang saya baca di internet, salah satunya ini: http://alturl.com/b2dfd dan dari sana
muncullah ide untuk cerita Tia. Seiring
waktu, ceritanya berkembang dan membawa saya masuk ke dunia lain, bertemu
orang-orang, dan mungkin berpengaruh ke hidup saya sendiri… Semoga cerita ini
bisa memuaskan bagi para pembaca.
We don't
need lists of rights and wrongs, tables of do's and don'ts: we need books,
time, and silence. Thou shalt not is soon forgotten, but Once upon a time lasts
forever.
--Philip
Pullman