DEMI
TUGAS
SINOPSIS
Seorang
polwan ditugaskan menyamar untuk menyusup ke dalam sindikat prostitusi kelas
tinggi. Namun misinya tak se-sederhana yang diduga.
Story
codes
MF,
M+/F, FF, MFF, M+/FF, anal, bd, b-mod, cr, dp, tort
DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi
adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika
pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah
mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif.
Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka
dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan
memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan
mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang
berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan
trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat
membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang
apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber
pendapatan bagi siapapun.
Demi
Tugas
Ninja
Gaijin & Pimp Lord
“Siapa
dia?” tanya wanita itu pada seorang lelaki bertubuh tegap di sampingnya yang
membungkukkan wajahnya hingga telinganya bisa mendengar dengan jelas pertanyaan
sang wanita, demi meningkahi dentuman beat music yang bergelora di dalam
nightclub itu.
“Namanya
Irina ma’am, terakhir bekerja sebagai sekretaris di perusahaan tambang
batubara.”
“Sumbermu
bisa dipercaya?” tanya wanita itu lagi.
Lelaki
itu mengangguk pasti, “Tukang koran yang kita taruh di sana yang memastikannya.”
“Lalu
alasan dia keluar?”
“Expat
yang memelihara dia keluar dari perusahaan itu, kembali ke negaranya. Sementara
gadis itu bukan favorit di perusahaan itu, banyak yang cemburu karena kedekatannya
dengan expat yang memang jadi rebutan.”
“Jadi
sekarang dia sedang melampiaskan kekesalannya….” Wanita itu mengangguk-anggukkan
kepalanya
“Dan
juga mencari sumber pemasukan lain,” kata lelaki bertubuh tegap itu.
“Dia
tidak dapat apa-apa dari expat itu?”
“Sepertinya
hubungan mereka baru saja mulai waktu si expat memutuskan pulang ke negaranya.
Dan dia mulai kesulitan untuk kembali hidup seperti sebelum expat itu
menyimpannya.”
“Perfect…”
kata wanita itu sambil bangkit dari duduknya dan mendekati Irina yang duduk di
depan bar, memandangi Bloody
Mary yang berada di
hadapannya. Irina sama sekali tidak tertarik dengan wanita yang sekarang duduk
di bangku di sampingnya.
“Vodka
Double on rocks,” pesan wanita itu, lalu dia duduk berbalik ke arah kerumunan,
wajahnya cerah ketika ia melihat seorang expat berumur datang menghampirinya.
“Hi,
dear. How are you doing?” kata pria itu kepada si wanita sambil keduanya
bercium pipi kiri dan kanan.
“Been
a long time, babe…” kata wanita itu, mempersilakan si expat berdiri di antara
dirinya dan Irina. Irina sedikit beringsut memberi tempat pada pria pertengahan
empatpuluhan dengan wajah biasa saja dan berperut sedikit tambun itu, yang
kemudian memesan minuman untuk dirinya.
Irina
sesekali mengerling ke dua orang yang kini bercengkrama itu, antara sedikit
terganggu dan tak peduli.
“Ah,
where’s my manners,” kata wanita itu sambil menegakkan punggungnya dan melihat
ke arah Irina. “Albert, this is my friend…” katanya.
Irina
tertegun, ia tak menyangka wanita itu mengenalkannya pada Albert bagai seorang
kawan lama, namun ia tak mau dianggap tidak sopan hingga ia menyambut uluran
tangan Albert.
“Irina,”
jawabnya singkat.
“A
lovely name,” kata Albert.
“Lovely
as the lady herself isn’t she?”
Irina
sedikit jengah, wanita yang tak dikenalnya ini mempelakukannya bagai seonggok
daging tanpa perasaan yang bisa dilempar begitu saja. Namun ia tak bergerak
untuk melempar minumannya, menampar wanita itu atau hal lainnya…. Ia hanya
berdiam diri, ia merasa kalau wanita itu dapat membaca permasalahan
keuangannya.
Memang
demikian ceritanya, ketika seorang bos expat dulu memelihara dirinya, ia tak
pernah merasa kekurangan, namun setelah lelaki itu pergi, gaji sebagai seorang
sekretaris ternyata jauh dari mencukupi gaya hidupnya yang sudah berubah.
“But
is the lovely lady willing to accompany me to make my gloomy night turn bright?”
tanya pria itu sambil matanya erat menatap mata sang gadis.
Wanita
itu menatap ke arah Irina, menanti….
Lengan
halus Irina menyentuh dagu sang expat, mengusap pipi lelaki itu, lalu ke
belakang kepalanya, menariknya halus dan….
Wanita
itu tersenyum melihat Irina ber-French kiss ria dengan Albert.
“Until
we meet again my dear,” kata lelaki itu sambil menggamit pinggang Nisa setelah
sebelumnya meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu sebagai pembayar
minuman dan tip untuk bartender yang tersenyum sangat lebar.
>>>>
Irina
mengikuti sang pria masuk ke dalam kamar hotel, memeluknya dari belakang lalu
menciumi tengkuknya, lehernya. Albert berbalik, tangannya meremasi payudara
sekal Irina, pahanya, pinggulnya, dan bermain nakal di selangkangannya. Sambil
mereka berdua menghentak lepas sepatu yang mereka kenakan.
Irina
mengetahui nafsu sang pria yang mulai menggelegak, dan ia tau kalau lelaki ini
tak mau menunggu lebih lama maka ia tak melakukan trick para pelacur, ia tak
meminta waktu untuk ke kamar mandi. Ia membiarkan lelaki itu mengangkat backless
nightdress yang dikenakannya sementara ia melepaskan kemeja penuh keringat dan
bau dari tubuh sang expat.
Ia
membiarkan sang lelaki merenggut bra dan underwear-nya, sementara ia melepaskan
gesper, lalu meloloskan celana tiga perempat yang digunakan pria itu lalu
bersimpuh di hadapan selangkangan sang expat, lalu dengan giginya ia menurunkan
celana dalam sang expat, dan kemudian ia merasakan remasan di kepala dan
rambutnya seiring makin masuknya penis sang expat ke dalam kerongkongannya.
>>>>>
Irina
menghembuskan rokoknya sambil berdiri di balkon apartment mewah itu, berbalut
sprai yang menutupi ketelanjangan tubuhnya. Ia memandang ke arah gelap malam,
ke arah lampu-lampu yang menunjukkan kalau metropolitan belum lagi terlelap.
Lalu
ia masuk ke dalam, mengenakan pakaiannya lagi dan merapikan seadanya, mengambil
uang yang memang ditujukan sebagai tip atas pelayanannya yang kini membuat sang
expat tertidur dengan tenang, dengan seulas senyum tersungging di bibir
keriputnya.
Perlahan
Irina menutup pintu kamar hotel itu dan melangkah sedikit terhuyung di koridor
menuju lift. Ia mengambil smartphonenya dan mengirim sebuah pesan…
Irina
tak memperdulikan pandangan mesum, melecehkan dan bernafsu para sekuriti,
cleaning service dan beberapa pekerja hotel. Toh kenyataannya ia kini memang
telah resmi menjadi wanita pemuas. Ia terus berjalan keluar dari lobi dan
menuju ke arah gerbang di mana taksi biasanya berkumpul, namun belum lama ia
berjalan sebuah sedan mewah berhenti di sampingnya.
Irina
menengok arah kursi belakang, dan ia melihat wanita yang telah menjual dirinya
duduk dengan anggun di sana. Irina lalu membuka pintu dan masuk, duduk di
sebelah sang wanita, dan mobilpun kembali melaju menuju tempat yang disebutkan Irina.
Irina
merasa sangat lelah. Ia pun lalu menyandarkan kepalanya ke bahu sang wanita
yang mengusap lembut kepala sang gadis, seakan ingin menghiburnya. Si wanita dapat
merasakan kelelahan mental dan beban moral yang dialami gadis di sampingnya , sebagaimana
dirinya alami dahulu ketika pertama kali ia menjual tubuhnya kepada lelaki.
Namun itulah harga yang harus dibayar sang gadis untuk kehidupan mewah yang
dijalaninya.
Di
depan gerbang sebuah kos-kosan mewah mobil itu berhenti. Wanita itu meminta
smartphone Irina, mengetikkan nomornya dan menyerahkannya kembali pada Irina.
Gadis
itu lalu melangkar ke luar kendaraan dan tanpa menoleh ke belakang ia masuk ke
dalam kamar kos-kosan itu. Sepanjang perjalanannya menuju kamar sayup-sayup ia
bisa mendengar deru persetubuhan dari beberapa kamar, erangan lirih, dengus
nafas yang memburu dan desah kepuasan.
Ia
mencoba menulikan telinganya dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Irina melempar
dompetnya sembarangan, lalu memandang ke arah cermin. Ia memandang wajahnya,
maskaranya yang sedikit luntur… Emosinya mengelegak, ia merobek nightgown-nya
merenggut putus bra dan panty yang dikenakannya. Dengan terisak ia masuk ke
dalam shower, lalu mengambil body scrub dan dengan terisak berusaha menyikat
tubuhnya dengan keras seakan mencoba menghilangkan aroma sang expat dari tubuhnya,
berkumur dan menelan air mentah shower, seakan mau menghilangkan aroma bibir,
liur, sperma dan rasa kelat anus sang expat yang ia puaskan beberapa jam tadi
dengan lidahnya. Ia menggosok, menggosok dan terus menggosok, Irina terisak, ia
bersandar pada dinding shower, menggelosor ke lantai dingin. Ia menaikkan kedua
lututnya rapat ke dada dan menangis sejadinya.
>>>>
Pria
setengah baya itu terbangun dari tidurnya, getar telepon di sampingnya
membangunkan dia untuk kali kedua malam ini. Ia duduk di samping ranjang
empuknya dan membaca pesan yang tertulis di layar dan mendesah.
Ia
bangkit menuju meja kerjanya yang memang diletakkan di kamarnya yang mewah itu.
Ia mengambil sebuah berkas dan menyalakan sebatang cerutu.
Pria
itu lalu mengangkat intercom, “n’Duk, tolong bawakan aku kopi.”
Ia
lalu kembali melihat pesan di layar itu dan memandang ke arah berkas di
hadapannya. Pesan kedua yang diterimanya meyakinkan dirinya kalau roda sudah
mulai berputar.
Ia
sadar kalau ia akan kehilangan cukup banyak, namun hal ini harus terjadi atau
ia sendiri akan terkena dampaknya. Lebih baik ia kehilangan banyak, namun pada
akhirnya ia akan memperoleh lebih banyak lagi.
Ia
lalu mengambil berkas itu dan membukanya.
Ia
tak pernah salah memilih orang, ia memiliki indra keenam untuk hal seperti itu,
dan semenjak ia melihat gadis itu ketika ia diundang koleganya untuk menghadiri
upacara penerimaan anggota baru, ia sudah tau kalau gadis itu akan memiliki
segalanya yang ia butuhkan untuk menjalankan tugas seperti ini.
Pria
itu meletakkan berkas ketika mendengar pintu kamarnya dibuka. Seorang gadis
muda berpenampilan manis dan lugu masuk membawa nampan dengan secangkir kopi
yang mengepul.
Dengan
sopan gadis itu meletakkan kopi di meja sang lelaki, “Silahkan nDoro.”
Lelaki
itu menatap sang gadis yang menunduk salah tingkah, ia tak pernah salah menilai
dan memilih orang.
“nDuk,
malam ini kamu temani aku, ya…”
Gadis
itu mengangguk malu, “Baik nDoro…” katanya sambil meloloskan dasternya, menampakkan
tubuh sempurna seorang gadis muda yang telanjang dan menantang. Gadis itu lalu
bersimpuh di hadapan sang pria, menyibakkan kimono sang pria dan mulai
memanjakan kelelakian sang pria yang perlahan mulai tegak mengacung.
Ya,
ia tak pernah salah dalam menilai orang…
Lagipula,
apalah salahnya ia menikmati hidupnya seperti ini, sama seperti istrinya
menikmati hidupnya sendiri, terlebih
seperti saat ini ketika sang nyonya dan beberapa temannya sedang “studi
banding” ke negara lain, dan berdasarkan informasi ajudan dari teman istrinya
yang sudah ia beli, ia tau kalau selama “studi banding” itu, istrinya juga
menjajal penis-penis gigolo muda di negara itu.
Ia
menghembuskan cerutunya, merengkuh sang gadis, mengajaknya ke tempat tidur, dan
menggumulinya dengan bernafsu….
Kopi
itu menjadi dingin… sama sekali tak tersentuh…
*****
BEBERAPA
WAKTU LALU
“Bisa
lihat wajahnya dengan jelas?” tanya seorang perwira polisi ke seorang polisi
wanita yang duduk di depannya mengintip laptop di atas meja. Mereka berdua
sedang memandangi foto yang kelihatannya diambil dengan kamera rahasia karena
agak buram dan goyang. Foto itu menampilkan beberapa orang perempuan duduk di
sofa di ruangan temaram. Satu yang di tengah terlihat berpenampilan “ramai”,
mengenakan kimono pendek bermotif belang zebra dengan tepi merah, rambutnya
digerai. Wajahnya kurang jelas.
“Siap
komandan, kurang jelas di foto ini,” kata si polwan.
“Oke,
kalau begitu lihat yang ini.” Si polwan menggumam melihat foto seorang komedian
terkenal merangkul perempuan yang di tengah tadi, dengan wajah lebih jelas. Wajahnya
putih dan cantik. Perempuan itu juga memakai kimono, dengan corak berbeda.
Rambut hitamnya diikat menjadi konde kecil di belakang kepalanya.
“Lebih
jelas. Dia ini suka banget pakai kimono ya?” tanya si polwan santai, seolah
sedang membahasnya bersama teman arisan.
“Mungkin
disesuaikan dengan identitas yang dia pakai dalam pekerjaannya, memang
kejepang-jepangan kan? ‘Madame Ryoko’. Nama aslinya Faria Rosalin, tapi
sepanjang kariernya dia sudah banyak dikenal dengan nama lain. Umur 35 tahun.”
“Kelihatan
lebih muda,” celetuk si polwan.
“Dia
pintar jaga penampilan,” sambung si komandan. “Dia sudah jadi target operasi
sesudah penggerebekan beberapa bulan lalu yang menangkap beberapa anak buahnya.
Tapi kita belum tahu seperti apa operasi dia, seberapa besar dan luas.”
Si
komandan berhenti sejenak lalu memandangi si polwan. “Saya tahu kamu sukses di
penugasan kemarin, hasilnya kan kita bisa tangkap sejumlah teroris dan ungkap
jaringan mereka. Makanya saya percaya kemampuan kamu. Lagian untuk tugas
seperti ini, tidak ada lagi yang cocok dalam kesatuan kita selain kamu. Saya
bisa kasih anggaran besar dan back up lumayan buat siapapun yang bisa masuk dan
bongkar operasi dia, tapi setelah saya pikir-pikir cuma kamu yang bisa masuk ke
sana.”
Si
polwan menghela nafas. “Tapi… apa saya harus…”
Komandannya
tiba-tiba berkata keras dan tegas. “Kamu ingat sumpah yang diucapkan ketika
pertama kali masuk kesatuan ini? Saya perintahkan sebut isinya.”
“Siap
komandan!” balas si polwan dengan tegas juga. Lalu dia mengulang sumpah itu
lagi. Termasuk “melaksanakan dinas dengan penuh pengabdian dan kesadaran” dan
“mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan sendiri, orang, atau
golongan.”
“Bagus.
Saya senang kamu ingat,” kata si komandan. “Ipda Juanisa, silakan meninggalkan
ruangan, besok harap melapor ke saya ke lokasi yang sudah ditentukan dalam
keadaan siap beroperasi, instruksinya ada dalam amplop ini dan segala
perlengkapan akan disediakan.”
*****
Beberapa
hari kemudian…
Ipda
Nisa berusaha untuk menahan perasaannya ketika dia melihat wajahnya sendiri di
cermin dalam kamar satu kos-kosan mewah yang menjadi pangkalan operasinya untuk
misi yang diberikan kepadanya. Beda sekali dengan tugas sebelumnya, ketika dia
diperintahkan menyamar dengan menutup seluruh tubuh dan wajahnya dengan pakaian
panjang agar bisa menjadi istri muda seorang pemimpin kelompok kepercayaan yang
akhirnya ditewaskan satuan elite dalam penyergapan anti teroris. Publik cuma
melihat dirinya digiring keluar rumah yang ditembaki tanpa melihat wajahnya
maupun sadar mengenai perannya menjebak si pemimpin berikut anak buahnya di
rumah itu. Setidaknya dalam tugas itu wajahnya tak dilihat siapapun kecuali
orang-orang yang sekarang sudah masuk kuburan. Di tugas sebelumnya lagi, dia
memang berpenampilan beda lagi, lebih mirip dengan yang sekarang, tapi dia
sekadar dijadikan umpan menjebak pengedar narkotika.
Dia
melihat betapa wajahnya berubah. Tapi bagaimanapun, lebih baik dia menyamar
dengan wujud agak jauh dari wajah aslinya. Secara psikologis dia merasa itu
lebih baik daripada perannya mempengaruhi dirinya sendiri. Menjaga jarak antara
samaran dan kehidupan nyata itu perlu.
Jeda
beberapa bulan sejak tugas terakhir menjadi masa persiapan untuk tugas baru
Nisa. Tugas terakhir yang membuatnya menutup tubuh terus itu sempat membuat
kulitnya pucat; kesempatan berlatih di luar ruang mengembalikan warna kulit
Nisa ke yang semula. Dan itu agak disesali oleh Nisa sendiri karena kulit
aslinya berwarna kecoklatan. Tubuhnya pun sudah kembali kencang sesudah kurang
gerak selama berbulan-bulan pada penyamaran sebelumnya. Dan dia bisa
menumbuhkan rambutnya cukup panjang. Polwan biasa sesuai peraturan harus
berambut pendek, tapi itu tidak berlaku bagi mereka yang bertugas penyamaran
seperti Nisa.
Baru
saja komandannya meninggalkan kamar kos yang cukup besar itu. Nisa telah
diinstruksikan berada di lokasi itu, yang ternyata adalah pangkalannya. Di
dalam kamar kos itu ada kamar mandi sendiri, ranjang king size, meja rias besar
dengan cermin, dan lemari penuh pakaian dan barang-barang, “perlengkapan misi”.
Kamar itu cukup mewah meski terkesan meriah, dengan kertas dinding berwarna merah
bercorak emas dan lampu bercahaya lembut di dinding. Ketika Nisa datang dan
melihat komandannya ada di dalam kamar itu, sesudah si komandan mengunci pintu,
Nisa langsung dimarahi.
“Ipda
Juanisa. Apa yang saya perintahkan kemarin waktu briefing di kantor saya?”
hardiknya
“Siap
Komandan! Saya diperintahkan melapor ke lokasi yang sudah ditentukan, kamar kos
ini,” jawab Nisa tegas.
“Dalam
keadaan apa?”
“Siap
Komandan! Dalam keadaan siap operasi.”
“Terus
kenapa kamu pakai pakaian biasa?”
“Siap
Komandan! Sesuai standar operasi penyamaran, saya sesuaikan penampilan saya.”
“Kamu
tau apa tugas kamu?”
“Siap
Komandan! Infiltrasi jaringan prostitusi Ryoko dengan penyamaran…”
“Dengan
penyamaran jadi apa?”
“…”
“Jawab
saya Ipda Nisa! Jadi apa kamu?”
“Siap
Komandan! Menyamar jadi calon pekerja seks komersial yang berusaha jadi anak buah
Ryoko!” kata Nisa, agak tercekat.
“Bahasamu
tuh, kayak wartawan saja. Nah, sekarang kamu sudah mirip belum sama PSK?”
Nisa
terdiam sejenak, dia memang hanya memakai pakaian biasa, kemeja putih dan
celana panjang hitam. Tanpa dia sempat menjelaskan, si komandan langsung
memerintahkan. “Kamu tampangnya masih terlalu bersih. Saya akan kirim orang
untuk bantu ubah penampilan kamu. Saya tinggal dulu dan kalau saya balik, saya
mau kamu sudah persiapkan penampilan untuk penyamaran.”
*****
Sesudah
komandan pergi, Nisa membuka lemari dan melihat meja rias. Penuh dengan
kosmetik dan baju-baju seksi. Tak lama kemudian pintu kosnya diketuk seseorang.
Si komandan balik lagi bersama seorang perempuan bertubuh montok yang membawa
tas besar. “Nisa, ini Widya, dia akan bantu kamu. Widya, tolong kamu bantu Nisa
ini untuk pekerjaannya. Oke? Saya tinggal lagi.”
Beberapa
jam kemudian polwan itu telah diubah penampilannya oleh Widya “sesuai dengan
tugas”. Rambut Nisa yang panjang diwarnai kecoklatan dan dibuat rada bergelombang,
gaya rambut terbaru yang sedang diminati. Alisnya yang tebal makin menonjol
sesudah wajahnya dibuat lebih cerah dengan foundation dan bedak. Dari lemari
Widya memilihkan rok hitam pendek, atasan ketat merah, stoking gelap yang
menutup paha, dan high heels warna emas.
Sesudahnya Widya menelepon seseorang, lalu pergi.
Sambil
menunggu Nisa mempelajari kamar kos mewah itu lebih lanjut. Ada juga televisi
LED besar dengan DVD player yang ditempel di dinding, dikelilingi set rak. Dia
geleng-geleng kepala melihat di rak itu tertumpuk buku, majalah, dan
DVD—semuanya berisi materi erotika atau pornografi. “Ini buat apa?” pikirnya.
Dia sedang membuka-buka satu majalah ketika pintu kamar dibuka lagi, kali ini
oleh komandannya. Laki-laki itu langsung nyengir ketika mendapati Nisa dengan
majalah laki-laki dewasa di tangannya.
Nisa |
“Nah,
ini sudah pas,” kata si komandan. “Kamu biasakan dirilah sama samaran ini, biar
bisa lancar. Ini saya bawakan berkas-berkas yang ada hubungannya dengan tugas
kamu.” Si komandan menyodorkan map. Nisa menerima dan membuka-bukanya, melihat
dokumen biodata beberapa orang.
“Ini
salah satu orang kepercayaan Ryoko,” kata komandan menunjuk foto seorang
laki-laki. “Menurut sumber, dia bisa jadi pintu masuk karena salah satu
tugasnya adalah mencari atau menerima orang baru. Kita sudah tahu dia biasanya
ada di mana. Kamu bisa temui dia di tempat-tempat ini.” Komandan menunjuk
sederetan nama restoran dan hotel yang tertulis. “Tugas kamu, yakinkan dia
supaya kamu bisa masuk.”
“Siap,
komandan.” Kali ini jawaban Nisa tertahan, tidak setegas sebelumnya, selagi dia
memperhatikan mata si komandan tak lepas-lepas menatapnya, dan si komandan
tersenyum.
“Kamu sudah siapkan skenario latar belakang?”
“Siap
komandan, sudah...” jawab Nisa.
“Jelaskan
ke saya.”
“Siap
komandan. Saya jadi Irina, mantan sekretaris di perusahaan asing. Baru dipecat
jadi em... butuh penghasilan tambahan. Makanya saya mau kerja seperti itu.”
“Hmm...”
gumam si komandan sambil berpikir sebentar, “Kurang rinci. Ini saya tambahkan.
Kamu jadi Irina, masih jadi sekretaris di perusahaan asing. Tadinya kamu jadi
simpanan bosnya yang orang bule, terus si bos pulang ke negaranya. Lalu kamu
merasa penghasilan berkurang, makanya butuh tambahan. Kamu dapat info soal
mereka dari kolega bisnis yang memang tugasnya entertain orang.”
“...”
Nisa tak bicara, ceritanya ditambahi jadi lebih berbumbu oleh si komandan.
“Kamu
mesti tau bahwa Ryoko tidak sembarangan ngambil anak buah. Dia bukan germo
kelas bawah yang menipu anak gadis di kampung buat dijual di kota. Ya, mungkin
dia pernah atau masih juga begitu sih, dengar-dengar jaringannya menyediakan
buat semua pangsa pasar—itu nanti kamu cari tau saja. Yang jelas banyak anak
buahnya itu high class, dan punya profesi utama bukan pelacur: mahasiswi,
sekretaris, perawat, atau malah istri orang yang dicuekin suami. Kamu bisa
tangkap kan tipe seperti apa mereka.”
Si
komandan menambahkan, “Skenario tadi sudah dari kasus lain yang kita bahas itu
kan? Kamu masuk ke perusahaan target kita, sekalian bongkar kasus pajak si
Mister Walker itu, sesudahnya baru masuk ke penugasan utama ini.”
“Siap
komandan, saya mengerti.”
“Baik.
Kamu pakai smartphone dan nomor ini untuk komunikasi langsung dengan saya. Saya
butuh totalitas kamu, Nisa. Cuma kamu yang bisa melakukan tugas ini,” kata si
komandan sambil menggenggam kedua tangan Nisa.
*****
Sepeninggal
si komandan, sekali lagi Nisa memandangi wajahnya di cermin. Dia mendesah,
memanyunkan bibirnya yang diwarnai merah darah sambil menyisiri rambutnya yang
coklat. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia memang perlu
berpenampilan seperti pelacur jika dia mau menyamar jadi pelacur. Dia mencoba
tersenyum. Wajah dengan riasan tebal di cermin tersenyum balik kepadanya,
senyuman yang terkesan nakal.
“Semuanya
akan baik-baik saja, Nisa,” Nisa membatin. “Aku akan masuk ke jaringan itu,
dapatkan bukti untuk membongkarnya, lalu kembali jadi Nisa yang biasa.”
Nisa |
Sambil
membatin, dia menepuk pistol kecil yang terselip di pinggangnya. Benda yang
mengingatkan dia bahwa dia adalah aparat hukum yang berhak sekaligus wajib
berusaha membasmi kejahatan demi masyarakat. Yang
kini harus ia simpan di lemari penyimpanan khusus dalam tempat tinggalnya agar
tidak menimbulkan kecurigaan korbannya.
“Aku
bisa jaga diri...” bisiknya kepada dirinya sendiri.
*****
Itu terjadi
beberapa bulan lalu, ketika demi benar-benar bisa melkukan infiltrasi kedalam
jaringan Ryoko yang terkenal ketat itu dan atas persetujuan dan arahan sang
komandan, Nisa benar-benar melamar ke salah satu perusahaan asing, berhasil
menggoda sang expat, Mr Walker bos perusahaan tersebut dengan elegan sehingga Mr Walker menjadikannya
simpanan.
Masa-masa
itu sebenarnya sedikit dinikmati Nisa, di mana ia bisa memiliki banyak hal yang
dengan gaji polisinya tentunya tak bisa ia nikmati. Dan juga kenikmatan ragawi dengan sang expat
yang benar-benar dinikmatinya. Mr Walker membuatnya mengalami petualangan seks yang
tentunya belum pernah ia rasakan. Sang expat mengajarinya gaya-gaya baru dalam
bercinta, mengeksplorasi dan mengeksploitasi seksualitas dengan vulgar…
Dan
kenangan itu kembali menjadi muram ketika sebagai tahap berikutnya ia
membeberkan penggelapan pajak yang dilakukan sang expat secara anonim hingga
lelaki yang telah memberikannya kenikmatan itu dideportasi.
Kini
dirinya tak perlu berpura-pura lagi, ia benar-benar merasakan kekurangan. Ia
benar-benar frustasi… dan Ryoko benar-benar mendekatinya.
*****
Suatu
malam.
Nisa
merapatkan jaket yang dipakainya selagi dia berjalan menyusuri jalan ramai di
kawasan “lampu merah” kota menuju satu restoran Jepang di tengahnya. Tempat itu
biasanya baru ramai menjelang sore, mobil-mobil mulai parkir memenuhi sisi
jalan, hampir semuanya berisi laki-laki yang lantas menghilang di balik
pintu-pintu karaoke, panti pijat, dan hotel yang bertebaran di kanan-kiri jalan.
Tak seperti di tempat lain, kawasan itu memenuhi kebutuhan pasar menengah
sehingga relatif tertutup. Hampir semua tempat hiburan di sana tidak berjendela
di depan, hanya pintu-pintu dengan papan nama serta iklan-iklan minuman keras,
tak memberi pemandangan mengenai transaksi-transaksi di dalamnya.
Nisa |
Seorang
laki-laki bermata sipit yang berjalan terhuyung mendekati Nisa dan berusaha
memeluknya. Nisa menghindar sehingga si sipit tersungkur ambruk ke trotoar. Dia
memaki-maki dalam bahasa Jepang. Rupanya seorang pebisnis ekspat yang
kebanyakan minum sake? Dua orang Jepang lain keluar dari pintu di dekat tempat
Nisa berada, lalu menolong si pebisnis yang terjatuh untuk berdiri. Pintu
itulah yang dituju Nisa. Di samping pintunya ada lentera dan papan nama
bertuliskan “Kiiro”. Nisa masuk, melewati bagian depan yang ternyata terang
benderang, memasuki ruang luas yang penuh asap rokok berbagai merek. Dia
celingukan mencari sasaran.
Seorang
waitress mendekati, sambil memandangi Nisa. “Ada yang bisa saya bantu?” kata si
pelayan.
“Saya
ada janji dengan Pak Eddy, beliau katanya ada di sini?” Nisa menyebut orang
yang dicarinya sambil memperhatikan seragam si pelayan yang terkesan seksi.
“Saya
tanya dulu ya,” kata si pelayan, yang pergi ke ujung ruangan. Nisa melihat si
pelayan masuk ke dalam satu ruangan tertutup, lalu keluar lagi membawa seorang
laki-laki gemuk. Bukan, bukan orang ini. Si pelayan lantas pergi sesudah si
gemuk berhadapan dengan Nisa.
“Pak Eddy
lagi ada urusan penting, dan gak ada janji dengan siapa-siapa. Titip nama dan
nomor telepon aja ke saya, nanti tunggu dihubungi,” kata si gemuk ketus.
Ditolak,
Nisa tak menyerah begitu saja. Dan dia memperhatikan sesuatu: si gemuk cuma
pasang tampang ketus tapi matanya jelalatan memperhatikan penampilan. Sesuai
perkiraan. Di sinilah keahlian menyamarnya diuji. Dan ujian pertamanya adalah
melewati orang ini, yang dia duga adalah pengawal atau ajudan sasarannya.
“Tolong,
saya perlu ketemu Pak Eddy,” pinta Nisa. “Urusan bisnis.”
“Bisnis?
Maaf, kami lagi nggak tertarik. Titip nama dan nomor saja...” tampik si gendut
“Ada
yang mau saya kasih lihat dia, saya yakin dia pasti berminat,” Nisa terus
mendorong, sambil memain-mainkan kancing jaketnya. “Atau mau lihat dulu?”
Tanpa
menunggu jawaban, Nisa membuka jaketnya, mengungkap belahan dada yang
terbungkus kaos kemben ketat di balik jaket itu. Satu tangannya lagi bergerak
menggerayangi selangkangan si gemuk. Nisa bisa merasakan wajahnya memanas;
andai cahaya di dalam ruang itu lebih terang, pasti si gemuk sudah melihat
wajahnya berubah merah karena menahan malu.
“Ini
yang ditawarin? Pak Eddy gak sembarangan nerima orang,” si gemuk berusaha
mengendalikan diri.
Nisa
memandang tajam ke arah lelaki gemuk itu. Keteguhannya sedang diuji, karena
kini ia berada di depan banyak orang yang keluar-masuk restoran dan dapat
melihat dirinya sedang menghancurkan lapis demi lapis harga diri demi
melaksanakan tugas. Tugas dari sang komandan dan dari “employer” barunya, Ryoko.
Dua
tugas berbeda namun saling berkaitan.
Maka
kini dengan mematikan rasa malunya, Nisa menelusupkan tangan ke balik celana si
gemuk dan mulai memanjakan kelelakian si gemuk yang mengeras, sementara tangannya
yang lain membimbing tangan gemuk berminyak sang lelaki untuk menelusup ke
balik rok span yang ia pakai, dan membiarkan tangan itu menikmati gundukan yang
menjadi incaran lelaki, yang tak tertutup apa-apa lagi, termasuk rambut
kemaluan.
Lelaki
gemuk itu tersenyum penuh kemenangan ketika Nisa mendekatkan bibir merah ke
telinganya dan berbisik, “Kamu boleh cobain tubuhku sesukamu sesudah urusan
dengan Pak Eddy selesai.”
Lelaki
itu lalu menggiring Nisa menuju ruangan VIP di restaurant itu, Ia meminta Nisa
untuk menanti di depan pintu geser itu sambil dirinya sendiri masuk ke dalam
menemui Tuan Eddy yang sedang menikmati hidangan bersama beberapa rekan.
Tuan
Eddy mengangguk kepada ajudannya yang gemuk itu, “Suruh masuk, kami sudah tunggu
dia.”
Seluruh
ruangan mendadak tertegun ketika ajudan gemuk itu membuka pintu geser. Nisa
langsung masuk dan begitu pintu geser ditutup lagi Nisa telah menanggalkan
seluruh pakaiannya hingga tak ada sehelai benangpun yang menutupi kepolosan
tubuhnya. Rambutnya yang tadi tergerai kini digelung ke belakang dan sepasang
sumpit telah tertancap di gelung rambutnya, menyangga rambut lebatnya dengan
indah.
Nisa
bersimpuh di depan pintu, lalu membungkuk memberi hormat pada para tamu yang
telah menantinya di dalam ruang makan itu. Dengan sensual ia melangkah
mengikuti panggilan Tuan Eddy.
Seluruh
tamu mengagumi keindahan tubuh Nisa yang memiliki definisi otot yang jelas,
tubuhnya begitu terawat bersih dengan payudara montok menantang walaupun tidak
terlalu besar, dihiasi puting yang tak terlalu menonjol namun indah, pinggul
yang indah, dan area vagina yang bersih terawat.
Tuan
Eddy tersenyum lebar, begitu puas dengan gadis yang dijanjikan Ryoko kepadanya.
Tubuh di hadapannya begitu menggairahkan, setiap gerak tubuhnya, liukan
pinggulnya begitu menggugah kelelakiannya, bahkan ketika dengan gerak sensual
gadis itu merebahkan diri ke atas meja, dan berbaring di sana, sedikit
menggeliat dan kemudian dengan satu helaan nafas sensual, berdiam diri
membiarkan dirinya menjadi bagian hiburan bagi para lelaki yang jelas menimati
persembahan dirinya itu.
Nisa
bisa merasakan sumpit-sumpit itu bergetar ketika menjepit lauk yang ditata
sedmikian rapi di atas tubuh telanjangnya. Ia bisa merasakan liur para lelaki
yang menetes bukan karena nikmatnya makanan yang berbaring lembut menutupi
kulit kencangnya, jakun yang naik turun bukan karena menelan makanan. Ia
merasakan hanya rasa gengsi yang masih membuat para lelaki itu tidak bergegas
menerkam dirinya, menyetubuhinya, bahkan memperkosanya.
Kini
makanan sudah selesai berpindah diri ke dalam perut para lelaki yang juga mulai
mabuk karena pengaruh cairan ragi beras yang lebih dikenal dengan nama sake
itu, dengan tertib Nisa bangkit dari atas meja lalu bersimpuh di ujung meja,
berdiam dengan patuh sementara para lelaki berdiskusi tentang kontrak suplai
bahan makanan yang bisa menyebakan pundi kantong mereka makin tebal sementara
rakyat kecil semakin tercekik.
Nisa
merasa kalau dirinya dijadikan sebagai pengalih perhatian, di mana Tuan Eddy
menjadi pihak yang sangat memerlukan deal ini, dan ia mengetahui kelemahan para
lelaki yang dengan tergesa menyetujui semua syarat yang diajukan oleh dirinya
karena sudah sangat ingin mengeluarkan benih kelelakian mereka ke dalam lubang
kenikmatan seorang wanita yang kini berdiam diri, bersimpuh menahan dinginnya
air conditioner dalam ruang privat itu.
Dan
ketika tanda tangan telah dibubuhkan, Tuan Eddy bangkit dengan anggun, lalu
melangkah menuju pintu geser dan berkata, “Selamat menikmati”
Dan
ketika pintu tertutup, tiga lelaki kelaparan itu segera menerjang Nisa, tak ada
lagi rasa malu, jengah atau risih, mereka serempak menggerayangi tubuh sekal
Nisa, mencium, mencubit, meremas hingga payudara, buah pinggul dan buah pantat
Nisa memerah.
Mereka
begitu buas mengaduk vagina dan lubang anus nisa dengan jari-jari mereka yang
tak bercuci, dan baru saja menandatangani kontrak yang bisa membuat jutaan rakyat
negeri ini menjerit.
Dan
mereka juga menuntut pemuasan dari Nisa, mereka menuntut Nisa untuk memuaskan
kelelakian mereka yang menggelegak, mereka meminta gadis itu untuk memberikan
servis berupa mandi kucing pada tubuh berkeringat mereka, menuntunnya menjilati
ketiak, lipatan paha, jemari kaki yang bau, lubang pembuangan mereka, dan tentu
saja memberikan kehangatan menyeluruh pada penis mereka yang artinya hidung
indah sang gadis harus bersentuhan dengan perut bawah para lelaki yang
rata-rata buncit itu, bersemayam di rimbunnya bulu kemaluan mereka yang tak
terawat, dan tenggorokannya harus merusaha keras untuk mengatur gag reflex demi
menelan utuh batang-batang penis yang sebenarnya tak terlalu keras itu.
Ketiga
lelaki itu tak menyadari kalau dari balik celah pintu pantry sebuah camcorder
beresolusi tinggi berdengung pelan merekam adegan threeways yang sedang mereka
lakukan pada tubuh sekal Nisa, mereka hanya tahu penis mereka bergantian menimati
vagina, anus dan mulut sang gadis yang nampak pasrah secara sensual mengimbangi
nafsu liar mereka. Mereka sama sekali tak menyadari kalau lelaki gemuk yang
tadi mengantar Nisa ke dalam ruangan itu kini sedang tersenyum penuh
kemenangan.
Nisa
tergeletak lemah, di tatami ruang makan itu, tubuhnya begitu sakit, letih dan
lemah setelah dihajar habis-habisan oleh para lelaki yang baru saja pergi
meninggalkan tubuhnya begitu saja bagai seonggok daging tanpa nyawa, bahkan
bagai sebuah kain kumal yang dibuang begitu saja setelah dipakai utuk memuaskan
mereka.
Ia
mencoba bangkit untuk menuju kamar mandi ketika lelaki gemuk itu masuk ke dalam
ruangan, lalu dengan kasar menjambak rambutnya yang kini kusut masai dan membantingnya
ke atas meja makan hingga terlentang sementara kepalanya terjuntai di ujung
meja.
Mata
Nisa nanar menadang lelaki yang kemudian membuka celana manampakkan
kelelakiannya yang tegak bagaikan tonggak kayu itu dan kemudian mendekatinya.
Telinganya yang tertutup sperma samar mendengar ucapan sang lelaki “Aku tagih
janjimu…”, dan kembali gadis yang sudah kelelahan itu harus berjuang menarik
nafas ketika sang lelaki gemuk menyetubuhi mulutnya dalam posisi kepala
terjuntai sehingga penis kerasnya dengan leluasa masuk dan merojok jauh sampai tenggorokan
sementara payudaranya begitu sakit karena remasan brutal tangan gemuk sang
lelaki seakan ingin merenggut bukit keindahannya itu.….
Dan
itu adalah permulaannya….
Para
pelayan wanita merasaa kasihan melihat tubuh Nisa tertatih, terhuyung
meninggalkan restoran itu. Mereka tahu betapa buasnya para tamu yang tadi menikmati
pelayanan dari sang gadis, dan mereka juga tahu betapa buas dan kasarnya lelaki
gemuk bodyguard Tuan Eddy yang tadi menikmati tubuh letih sang gadis yang kini
menghilang dari balik pintu restoran ke dalam gelap malam.
+++
Mata
sang gadis mengabur antara letih dan air mata serta semprotan sperma yang tak
tuntas dibersihkannya ketika ia tiba di tempat tinggalnya, ia memandang huruf-huruf
yang tak jelas yang terpampang di layar smartphone yang ia genggam dengan
tangan bergetar….
“Ah
masa bodoh….” Batinnya lelah…. Nisa melempar smartphone itu ke atas kasur,
melepas pakaiannya yang kusut itu serampangan, lalu tanpa merasa harus
membersihkan tubuhnya, ia menjatuhkan tubuh telanjangnya yang kini penuh
cupangan, tanda remasan, dan lapisan tipis kerak sperma ke atas kasur dan
langsung terlelap. Masuk ke alam tidur yang tak bermimpi.
*****
“Sudah
sampai mana?”
“Dia
lagi ngetes saya. Sudah ada dua kali ujian. Nanti malam yang ketiga.”
“Seperti
apa ujiannya?”
“…”
“Harap
jelaskan, Ipda Nisa.”
“Tes
pertama, saya diminta menemani seorang expat di hotel.”
“Menemani?”
“…Tidur
sama bule itu.”
“Dibayar?”
“Iya…”
“Berapa?”
“Sejuta.”
“Bagaimana
membayarnya? Cash ke kamu langsung? Atau transfer ke dia?”
“Kalau
transfer ke dia saya nggak lihat, tapi saya dikasih tip sejuta cash sama bule
itu.”
“Oke.
Jadi harga kamu sejuta ya.”
“…”
“Yang
kedua gimana?”
“Saya
disuruh layanin 3 orang di satu restoran Jepang.”
“Seperti
apa, tolong dijelaskan dengan lengkap.”
“…Naked
sushi… terus digilir sama tiga orang itu.”
“Berarti
dipake sama tiga-tiganya ya. Siapa mereka?”
“Yang
nanggap pengusaha, namanya Eddy. Tapi dia tidak ikutan. Tiga orang itu kalau
nggak salah pejabat… yang satunya mungkin orang politik. Saya tidak tahu pasti.
Susah mengenalinya.”
“Mereka
bikin kamu sibuk banget ya. Jadi yang ketiga apa?”
“Ada
pembukaan hotel baru… dia ikut terlibat di entertain-nya.”
“Oke.
Teruskan penyelidikan kamu. Semoga berhasil, Nisa.”
Nisa
menaruh smartphone sesudah sang komandan menutup pembicaraan. Malam itu dia
akan kembali bertugas untuk Ryoko. Dan di kamar kosnya sudah ada Widya yang
siap membuatnya kembali menjadi “Irina”. Widya bekerja di salon tak jauh dari
sana, dia sudah dibuat bisa menjaga rahasia oleh sang komandan. Nisa sebenarnya
penasaran perempuan macam apa yang biasa Widya layani di salon itu, karena
riasannya selalu berkonsep “nakal”, tak pernah natural atau anggun.
Malam
itu dia diminta datang oleh Ryoko ke pesta pembukaan satu hotel yang berkonsep
hiburan malam. Poster acara itu yang dikirim Ryoko ke smartphone-nya menyebut
nama banyak artis dan DJ sebagai bintang tamu. Nisa membuka-buka lagi SMS-SMS
Ryoko selagi Widya mengubah warna rambutnya menjadi pirang. Ryoko memintanya
untuk tampil menyolok; Nisa memperkirakan suasana pesta akan temaram jadi dia
berusaha membuat penampilannya segemerlap mungkin.
Ketika
sudah selesai, Widya kembali ke tempat kerjanya; tak lama kemudian Ryoko
mengirim SMS lagi memberitahu dia sudah ada di luar, menjemput. Nisa pergi; Irina
keluar kamar kos dan masuk ke mobil SUV berwarna silver berkaca gelap yang
berhenti di depan rumah kosnya.
*****
BERSAMBUNG