DEMI TUGAS 2
SINOPSIS
Seorang polwan
ditugaskan menyamar untuk menyusup ke dalam sindikat prostitusi kelas tinggi.
Namun misinya tak se-sederhana yang diduga.
Story codes
MF, M+/F, FF,
MFF, M+/FF, anal, bd, b-mod, cr, dp, tort
DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas
dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap
tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah
tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh,
tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang
(profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini
adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa
di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata
adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat
membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan
tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.
Demi Tugas 2
Ninja Gaijin
& Pimp Lord
“You look sexy, babe!” seru Ryoko menyambut
Nisa yang baru masuk mobil. “Dipirangin ya? Cocok kamu jadi blonde gini. Pasti
entar pada ngelihatin kamu semua deh. Ayo, kita jalan,” katanya. Mobil langsung
melesat. Nisa tahu harga mobil itu bisa mencapai setengah miliar. Sebegitu
menguntungkankah bisnis Ryoko?
“Eh, Pak Eddy tadi telepon, dia bilang
teman-temannya puas sama kamu,” kata Ryoko. “Kapan-kapan dia mau booking Irina
lagi, katanya.”
“Buat kayak kemarin lagi atau buat dia
sendiri?” kata Nisa.
“Biasanya kalau dia sih pasti bukan buat
dia sendiri. Tapi malam ini pokoknya kamu harus tampil oke ya. Steal the show.
Aku yakin kamu nggak bakal pulang cepat….”
“Pulang pagi?” tanya Nisa.
“Hahaha…” Ryoko hanya tertawa. “Tergantung
kamu-lah say. Pulang pagi, pulang besok siang, pulang minggu depan habis
dikekepin tamu… Yang penting jangan nggak pulang aja.”
*****
“Now baby boy listen to me, boy show me
How you’re gonna get me paralyzed”
How you’re gonna get me paralyzed”
Nisa langsung disergap suasana pesta yang
riuh di dalam ruangan klub tempat pesta pembukaan Hotel Scarlet. Lirik lagu
barusan dinyanyikan oleh penyanyi aslinya, Nez, yang tampil lebih seksi daripada
biasanya. Laki-laki dan perempuan berbaur di lantai dansa, ditingkahi lampu
kelap-kelip. Dia tidak hanya bersama Ryoko. Ada 4 anak buah Ryoko lainnya, yang
tadi datang dengan mobil lain—hanya Nisa yang semobil dengan Ryoko. Ketika
melintas lantai klub, beberapa laki-laki mencoba mendekati Nisa dan yang lain
untuk mengajak dansa, tapi semuanya ditolak. Ryoko membawa rombongannya ke satu
pojok ruangan di mana ada beberapa sofa mengelilingi satu bar. Satu set sofa
yang masih kosong menjadi tempat mereka. Tapi Ryoko tak langsung duduk, dia
berkeliling menyapa orang-orang yang duduk di sofa lain. Di tempat temaram itu
Nisa mengenali beberapa wajah: ada seorang artis sinetron, ada model, ada
beberapa yang tampangnya seperti pengusaha.
Ryoko sudah menjelaskan bahwa malam itu
akan ada “kontes”. Nisa duduk, menunggu giliran… Matanya mempelajari semua yang
datang. Pukul 11. Pukul 12. Pengunjung silih berganti. Beberapa datang ke
sofa-sofa sekeliling bar, yang Nisa simpulkan sebagai tempat VIP; lainnya
menyalurkan energi beradu tubuh dan aksi di depan panggung yang menampilkan
Nez. Tepat pukul 12 Nez menutup konsernya, memberi salam ke penonton, lalu
turun ke belakang panggung. Menggantikan Nez adalah beberapa DJ biasa yang
memainkan house music.
“Sebentar lagi. Ayo kita semua siap-siap,”
Ryoko berdiri mengajak anak buahnya menuju ke satu tempat. Nisa baru kali ini
melihat sesama “dagangan” Ryoko. Fina dan Vonny sehari-harinya berprofesi
public relations, namun mereka kelihatan berpengalaman. Terlihat dari busana
dan dandanan mereka yang glamor. Ella, mahasiswi, kelihatan polos dan salah
tempat berada di sana. Tapi tubuhnya yang bagus ditonjolkan dengan bajunya yang
seksi. Terakhir, Putri, yang mengaku tidak punya pekerjaan lain, bertubuh kurus
kering dan matanya agak kosong, tapi lidahnya bertindik dan sekujur lengannya
bertato.
Beberapa kelompok lain juga bangkit. Banyak
perempuan muda dan satu laki-laki atau satu perempuan lebih tua (dan satu
kelompok dipimpin seorang banci gendut). Semuanya menuju pintu yang ternyata mengarah
ke belakang panggung. Di sana mereka semua berkumpul, mungkin 25 orang
perempuan dan lain-lain. Pukul 1 pagi. MC mengumumkan.
“Alright ladies and criminals! Malam ini
kita ada acara Miss Scarlet Angel! Sebentar lagi kita saksikan para angels tampil
di depan kita! HERE WE GOOOO! Sambut para ANGELS!!!!”
Sepasang rapper tampil di depan bagian
panggung yang menghadap ke daerah sofa VIP. Mereka beraksi namun segera jelas
bahwa acara utamanya adalah penampilan para Angels, perempuan-perempuan seksi
yang berkumpul di belakang panggung.
“Let’s start with the lovely Miss
AUSTINNNNN!”
MC memanggil “Austin”, dan seorang
perempuan muda dari kelompok lain keluar ke panggung. Tubuhnya jangkung,
rambutnya yang panjang dibuat ikal. Pahanya yang mulus membawanya melangkah
dengan percaya diri ke tengah panggung di mana dia disambut sorak sorai
penonton. Austin menari seksi sesudah sampai di tengah panggung, berusaha
menarik perhatian, sampai MC memanggil nama berikutnya dan Austin mundur ke
arah belakang, tapi tetap di panggung dan bergoyang pelan mengikuti house
music.
“Next we have… the HOT! Miss Sendy!”
Sendy mendapat giliran kedua, juga dari
rombongan lain, tubuhnya lebih pendek dari Austin dengan rambut megar, tarian
seksinya lebih vulgar daripada Austin. Nama demi nama disebut, termasuk Fina
dan Putri dari rombongan Ryoko. Nisa sempat kaget ketika melihat Putri yang
tadi bengong saja itu ternyata berani memelorotkan sedikit hotpantsnya untuk
memperlihatkan tato di bagian atas belahan pantatnya ke penonton.
“And now… Miss IRINAAAA!!”
Giliran Nisa! Dia melangkah ke tengah
panggung dengan tegap seolah berbaris. Dia sudah memilih penampilan yang tepat,
serba emas: rambut pirang dengan gaya side swept, gaun ketat warna emas dengan
punggung terbuka, sandal bertumit tinggi, perhiasan besar-besar. Musik
menggelegar dari speaker di belakang Nisa sementara kedua rapper mengoceh. Dia
bisa melihat banyak wajah orang di depannya, berteriak-teriak dan
bersorak-sorai. Tangannya menggenggam sesuatu yang akan membantunya…
Nisa |
Nisa tahu apa yang harus dilakukan dan
membiarkan tubuhnya mengambil alih, menari mengikuti musik. Di tengah trance-nya
dalam menari, Irina medekatkan dirinya ke tepi
panggung, matanya melirik ke sebuah objek yang ia tau akan menjadi senjata
rahasianya. Ia
tak mengacuhkan pandangan heran penonton, lalu membungkuk di tepi panggung, membiarkan
belahan payudaranya terpampang menggoda mata para lelaki, dan tanpa di sangka-sangka mengambil satu pitcher bir yang
ada di meja dekat panggung dan menumpahkan isinya ke
dadanya. Penonton langsung riuh menggila. Diteriaki mesum, Nisa entah kenapa
malah merasa bangga. Sedetik kemudian dia merasa aneh, kenapa harus bangga
ketika memamerkan tubuh di depan orang banyak seperti ini. Tapi kemudian MC
menyebutkan nama yang mendapat giliran berikutnya dan Nisa mesti bergabung
bersama yang lain di bagian belakang panggung.
Sesudah semuanya maju, para “Angels”
dipersilakan kembali ke belakang panggung. Nisa langsung masuk ke toilet
perempuan. Di sana juga ada beberapa perempuan lain yang tadi ikut kontes.
Salah satunya menatap tajam ke dia, seorang anggota rombongan lain. Samar-samar
Nisa seperti ingat pernah melihat wajah si gadis yang menatap itu ke dia. Apa
dia pernah masuk TV atau semacamnya?
“Gilaaa! Irina… Berani banget kamu, say!
Nih kubawain baju gantinya,” Ryoko tiba-tiba masuk ke toilet dan heboh sendiri,
dan si gadis yang memelototi Nisa pun menyingkir. Nisa dengan cuek melepas baju
warna emasnya yang basah dan mengganti dengan baju lain yang tak kalah seksi,
lalu membetulkan riasan wajahnya yang tadi sempat terciprat bir.
Sementara Ryoko terus mencerocos memuji ide Irina untuk membasahi diri di
panggung.
“Taruhan, kalo kamu ga lolos ke babak
lelang aku mau botakin rambut,” kata Ryoko sambil nyengir. “Here let me help
you babe…” lalu dia membantu Irina memulas lipstik kembali.
Setelah itu, MC memanggil lagi para Angels
ke panggung, semua berjejer. Penonton sepertinya habis dihalau dari depan
panggung oleh para bouncer dan karyawan club, sehingga depan panggung kosong
sampai ke wilayah sofa-sofa VIP. Nisa memandang ke arah sana, wajah-wajah
mereka yang duduk di sana tak terlihat. Lalu MC mengumumkan hasil “voting para
juri” yang rupanya adalah mereka yang duduk di sofa. Para tamu VIP itu memilih
5 cewek untuk masuk ke tahap berikutnya, “Angel Auction” di mana mereka
kemudian bisa ikut lelang “kencan” dengan Angels yang dipilih. Dengan basa-basi
MC menyatakan bahwa uang hasil lelang akan disumbangkan untuk tujuan sosial.
Sebagian memang benar, namun orang-orang seperti Ryoko dan para pemimpin
rombongan—para germo—lainnya tahu bahwa sebagian uang itu akan jadi keuntungan
mereka.
“Yang pertama lolos ke auction adalah… IRINA!”
Nisa pura-pura senang seperti kontestan
acara putri-putrian, lalu maju ke depan. Dia yakin bisa lolos, tapi tak mengira
bakal dipilih pertama. Dilihatnya Ryoko bertepuk tangan dan girang, karena
tidak mesti botak sebagaimana yang dia bilang di toilet tadi. Selanjutnya
terpilih empat nama lain: Sendy, Helen, Gita, dan salah satu anak buah Ryoko
lainnya yaitu Putri.
Babak lelang pun dimulai, dan ini terbatas
kepada para tamu VIP di sofa saja. Semua penawaran dimulai di harga satu juta
dan peserta yang berminat menawar bisa mengangkat tongkat yang ujungnya
ditempeli papan bulat bertuliskan nomor dan dicat fluoresen sehingga menyala
dalam gelap. Sesuai urutan abjad, Gita adalah yang pertama dilelang. Dia tampak
masih muda, mungkin belasan tahun, dengan tubuh lentur; pada giliran tampilnya
tadi dia melakukan split di atas panggung. Lelangnya berlangsung cepat, hanya
tiga kali naik harga; Gita pun menghasilkan “sumbangan” empat juta. Berikutnya
Helen, dia ini yang tadi memelototi Nisa di toilet, dan ternyata dia mantan
artis remaja yang hanya pernah satu kali main sinetron—jadi pemeran yang hanya
muncul satu episode pula—dan lelangnya menghasilkan enam juta. Putri berkacak
pinggang ke arah para tamu VIP ketika gilirannya untuk ditawar. Sialnya, hanya
satu yang menawar dia. Jadilah dia hanya dapat dua juta. Kelak Nisa akan tahu
bahwa yang menawar kencan Putri sebenarnya seorang perempuan juga, seorang
eksekutif terkenal berambut pendek yang memang doyan sesama.
“Lima juta… lima juta ayo ada lagi yang
minat? Satu… dua… tiga… Yak! SOLD! Kita dapat Lima Juta dari bapak yang
jenggotan di sana itu! Baik Sendy silakan, oh ya itu si Bapak datang sendiri,
pick up your date ya Pak…” Seorang laki-laki gendut jangkung berjenggot,
bertampang Timteng, menggamit Sendy yang ketawa-ketiwi untuk “kencan”. Keduanya
meninggalkan panggung sambil si MC sekali lagi mengingatkan bahwa uang yang
diperoleh dari lelang “untuk sumbangan sosial”. Akhirnya tiba giliran Nisa.
“Oke ladies and criminals… sekarang kita
tampilkan Miss Irina yang tadi sudah berbasah basah basah di depan kita,
moga-moga rejekinya lebih basah daripada yang sebelumnya, ya? Baik lelangnya
kita mulai, satu juta. Ada yang mau dua juta? Dua juta? Ya, dua juta! Dua juta…
tiga juta? Ya tiga juta! Oh! Langsung ada yang nawar empat juta. Lima juta…?”
MC terus mencerocos selagi harga kencan Irina
naik terus ke tujuh juta. Dan tinggal dua orang yang berlomba menawarnya.
“Yak, kencan dengan Irina sekarang berharga
tujuh juta. Delapan juta, ada yang mau delapan juta?” Satu bulatan berwarna
fluoresen terangkat dalam gelap. Salah satu penawarnya mau delapan juta.
“Oke, delapan juta, ternyata buat Boss Tandy!
Ada yang mau sembilan juta?”
Nama si penawar ternyata “Tandy”. Namun di
sebelah kanannya terangkat lagi satu bulatan fluoresen.
“Ooo! Kali ini Boss Igo! Sembilan juta,
Boss Igo!”
Kedua penawar yang duduk berdekatan itu,
Tandy dan Igo, terus berusaha saling mengalahkan dan menaikkan terus harga Irina
sampai dua belas juta dan lebih. Tamu lain sudah tidak ada lagi yang mau
bersaing.
“Lima belas juta buat Boss Tandy,” seru si
MC. “Boss Igo mau enam belas juta?”
Igo tidak mengangkat lagi tongkat penawarannya.
“Lima belas juta buat Boss Tandy. Ada lagi
yang mau nawar…? Satu… dua… tiga…” MC berhenti sebentar, “SOLD! Lima belas juta
untuk kencan bersama Miss Irina, jatuh kepada Boss kita, Tandy!” Sesudahnya
lampu terang kembali, dan Nisa bisa melihat bahwa Tandy dan Igo sebenarnya
duduk satu meja. Mereka berdua dan orang-orang lain yang duduk di meja itu
semuanya anak muda, mungkin anak-anak orang kaya atau pengusaha muda. Igo
menyalami Tandy sambil menepuk-nepuk lalu menonjok pelan bahu Tandy. Nisa bisa
melihat, Tandy bertubuh gempal dengan rambut keriting dan kulit gelap,
sementara Igo berambut panjang dikuncir, ganteng, bertubuh langsing. Keduanya
berbarengan maju ke dekat Nisa untuk menjemputnya. Ketika Tandy sudah mendekat,
Igo pergi sambil menceletuk “Ntar gantian ya bro.” Ryoko langsung mendekat ke
Tandy dan Nisa. Ryoko memberikan secarik kertas bertuliskan angka-angka, lalu
membawa Nisa pergi.
Sambil bergerak menjauh, smartphone Ryoko
berbunyi. SMS dari bank. Transfer 15 juta masuk dari rekening Tandy. Ryoko
langsung nyengir, kemudian memberi instruksi ke Nisa.
*****
Kamar hotel itu terlalu dingin, dan Nisa
mematikan AC-nya. Refleksnya sebagai aparat terlatih membuat dia langsung
mengamati sekeliling. Dan yang dilihatnya di sekeliling adalah pantulan bayangannya
sendiri. Hotel yang menyediakan cermin sebanyak ini di dalam kamar pasti hotel
berorientasi “hiburan”. TV layar datar di dinding juga menyajikan beberapa
saluran yang menayangkan film porno. Satu-satunya bagian kamar yang tertutup
dari pandangan hanya WC. Shower berada di ruangan sebelahnya yang berdinding
kaca. Orang yang mandi di sana pasti terlihat dari arah ranjang. Lantai parket
kayunya mulus.
Cermin di tiap sisi kamar hotel memaksa Nisa melihat wajahnya sendiri ke manapun dia menghadap.
Cermin di tiap sisi kamar hotel memaksa Nisa melihat wajahnya sendiri ke manapun dia menghadap.
“Cewek nakal… Perek… Lonte…”
Nisa merasa seolah-olah ada yang
meneriakinya seperti itu. Mungkin di antara penonton kontes tadi ada yang
berteriak demikian. Dan kenapa tidak? Yang dia lihat di cermin itu memang
pantas disebut cewek nakal. Berambut pirang, make-up tebal, baju seksi. Duduk
di dalam kamar hotel menunggu orang yang sudah membeli dirinya untuk semalam.
Biarpun mahal, tetap saja dia menjual harga dirinya sebagai perempuan.
Untuk apa?
Dedikasi kepada tugas?
Apa harus sampai seperti ini
pengorbanannya?
Nisa tak bisa lolos. Dalam kepalanya,
panggilan-panggilan mesum terhadapnya terus bergema. Dia meringis. Bayangan
pelacur di cermin ikut meringis.
Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. “Hai
Irina,” sapa Tandy. Pemenang lelang itu masuk dan langsung duduk di ranjang di
sebelah Nisa. Berbasa-basi sebentar, Tandy mengaku “orang partai” kepada Nisa.
Umurnya baru 30 tahun, tapi wajahnya tampak lebih tua. Sesudahnya Nisa akan
tahu bahwa Tandy seorang mantan aktivis mahasiswa yang kemudian direkrut partai
dan menjadi staf lembaga pembuat undang-undang. Sementara Igo, temannya yang
kalah lelang, adalah anak pengusaha yang menjadi pengurus partai itu; Igo
sengaja mengalah karena sebenarnya sudah membooking cewek lain.
“Irina” lalu berdiri, berjalan ke depan
Tandy yang duduk di ranjang. Dia berlutut dan membuka resleting celana Tandy,
membebaskan penis Tandy yang sudah membengkak. Irina meniup sepanjang
kejantanan itu yang tegak menunjuk ke atas. Tanpa menggunakan tangan, Irina
langsung membuka mulutnya lebar-lebar dan melahap seluruh kepala burung Tandy.
Mata Irina menatap mata Tandy dan pipinya mengempis selagi dia mengisap lembut.
Tandy memandang cermin di samping ranjang dan melihat seluruh adegan cabul itu.
Gadis yang berlutut dan penis yang masuk ke dalam mulut…
“Shit!”
Tandy mengumpat. Sejenak Irina melepas
kulumannya dan Tandy ternyata tidak tahan. Muncratlah dia tepat di depan muka Irina;
Tandy seperti mau menangkap kepala Irina agar cipratan mani itu tumpah ke muka
tapi Irina terlalu cepat dan akibatnya semburan mani Tandy hanya jatuh di
lantai dan lutut Irina. Lantai parket kayunya mulus… Gampang membersihkannya.
Tak mau buang-buang waktu, Irina langsung
membuka semua baju. Tandy juga buka baju. Karena masih muda, Tandy mudah dibuat
tegang lagi dengan elusan tangan Irina. Sementara tangan Tandy menjamah kedua
payudara Irina, menggodai pentilnya sampai mencuat keras. Irina langsung
telentang pasrah, mengangkang dengan lutut tertekuk. Tandy menindihnya,
mengangkat pinggul Irina ke pangkuannya sementara Irina menggenggam penis Tandy
untuk diarahkan masuk ke celah kewanitaannya.
Tandy seperti terburu-buru, langsung
menerobos sedalam-dalamnya ke kemaluan Irina yang baru sedikit basah,
membenamkan tubuh Irina dalam kasur empuk. Setelah sepenuhnya masuk, dia
berhenti, wajahnya tampak serius.
“Aahh… fuck me… entot memek Irina…” desah Irina,
berakting seperti selayaknya pelacur.
Dan Tandy kembali ejakulasi terlalu cepat,
rupanya wajahnya serius karena menahan crot. Namun dia tak tahan sesudah
mendengar godaan genit Irina dan mengeluarkan peluru-pelurunya ke dalam vagina.
Tandy ambruk di atas Irina, terengah-engah, penisnya melunak pelan-pelan sampai
akhirnya keluar sendiri dari dalam Irina.
Malam itu jatah ejakulasi Tandy sudah habis
sesudah ronde kedua. Akhirnya Irina meninggalkan Tandy yang tertidur telungkup
di ranjang. Tanpa banyak bicara, dia beranjak ke kamar mandi, membasuh dirinya
dan mengeluarkan sperma Tandy yang tak banyak dari dalam kemaluannya. Dia lalu
memakai bajunya kembali, mengecek dandanannya, lalu keluar.
Pukul setengah tiga pagi. Nisa dijemput
oleh orang suruhan Ryoko dan diantar kembali ke kosnya.
Dan esok malamnya, ketika Nisa kembali
dibooking di Hotel Scarlet oleh Igo (dengan harga lebih rendah), dia menemukan
sesuatu yang semestinya membuat dua sahabat itu kompak karena senasib.
Igo juga tidak tahan lama seperti Tandy!
*****
Nisa menutup wajahnya dengan handuk
panas sementara ia menikmati hangatnya air dalam bathtub
yang bercampur dengan ramuan aromatherapy. Ia
mencoba mengusir kepenatan yang melanda tubuhnya serta
kegalauan yang bersemayam di hati dan benaknya. Bayangan lelaki
demi lelaki yang telah menikmati tubuhnya silih berganti berdatangan, berdansa
di pelupuk matanya yang terpejam itu.
Ia terkenang beberapa lelaki yang menikmati tubuhnya. Mereka membuatnya sangat terkejut. Mereka bukan saja dari kalangan bisnis maupun eksekutif muda….
Ia terkenang beberapa lelaki yang menikmati tubuhnya. Mereka membuatnya sangat terkejut. Mereka bukan saja dari kalangan bisnis maupun eksekutif muda….
Namun satu tokoh ini… tokoh yang sangat ia
kagumi….
Nisa membenamkan tubuhnya ke dalam bath
tub, seakan mencoba melupakan kenangan itu… namun tak bisa…
Betapa kecewanya ia ketikan ia mendatangi
sebuah hotel berbintang lima, lalu naik ke sebuat president suite hanya untuk
mendapati kalau tokoh panutannya, figur pengayom yang dibanggakannya ternyata
juga tak lebih dari lelaki hidung belang… Nisa merasa sangat kecewa ketika ia harus
melayani Komisaris Besar Polisi Bambang Harjadi.
Nisa beranjak keluar dari bathtub… ia
kembali harus menjalankan tugas dari Ryoko… tugas yang sangat dibencinya saat
ini… karena ini kali ketiganya ia harus melayani sang Kombes, yang sepertinya sangat menikmati pelayanan dari dirinya, seperti juga
beberapa klien lain yang memang menjadi langganannya.
Penthouse hotel yang berbeda…
Nisa baru saja membasuh dirinya setelah
persetubuhan pertama yang dilaluinya… kali ini pasti akan ada
beberapa persetubuhan tambahan, karena sang Kombes menyewanya all night.
Nisa merasakan dinginya angin malam yang
menyeruak ke dalam penthouse mewah itu. Dengan berbalut shower robe, ia
berjalan ke arah balkon dan mendapati sang Kombes sedang memandang jauh ke arah ribuan lampu yang menerangi kota tercinta
ini.
“Kemari n’Duk… ada yang ingin aku tanyakan
kepadamu…” kata sang Kombes tanpa mengalihkan
pandangannya dari kota metropolitan di hadapannya. Nisa sedikit tertegun
mengetahui kalau feeling sang Kombes masih cukup kuat
untuk orang seusianya.
Nisa berdiri di samping lelaki yang sangat
berwibawa itu, lelaki yang memang dikaguminya itu… sambil bersidekap menahan
dinginnya udara malam, ia turut memandangi semarak kota yang
seakan tak pernah tidur itu.
“Bagaimana kemajuan kasusmu n’Duk?” tanya
sang Kombes yang jelas mengejutkan Nisa.
Sang lelaki memandang ke arah sang gadis
yang nampak pucat pasi itu dan bergetar, ia lalu merengkuh
bahu sang gadis dan mendudukannya ke kursi di teras penthouse itu.
Cukup lama keduanya terdiam…. Nisa bergetar…
ia tak tau harus menjawab apa…. Ia menangis….
“Bapak tau...?” tanya Nisa sambil terisak.
“Tentu saja n’Duk…. Karena Rasidi tak akan memilihmu tanpa perintah dariku.”
Tangis Nisa makin menjadi….
“Kenapa Pak…..? Kenapa Bapak menjebak saya?
Menjerumuskan saya?”
“Karena aku tau cuma
kamu yang bisa n’Duk… karena cuma kamu yang bisa
aku percaya… karena aku yakin cuma kamu yang mampu….”
Nisa menutup wajahnya dengan tangannya yang
bergetar….
“Tapi Bapak telah menjual saya….”
“Salah n’Duk… kamu yang menjual dirimu
sendiri… kamu sudah diberi pilihan untuk tidak ikut dalam kasus ini. Kamu yang
menginginkannya….”
Nisa memandang putus asa ke arah lelaki
itu….
“Sekarang bagaimana Pak…?
Aku harus bagaimana….?”
“Roda sudah berputar…. Kamu tak bisa mundur
lagi…..”
Nisa terdiam, ia tau
kalau yang dikatakan lelaki itu benar… ia sudah masuk begitu dalam,
ia harus menyelesaikan misi ini.
Lelaki itu kembali bertanya, “Bagaimana
kemajuan kasusmu n’Duk? Beri aku gambaran karena Rasidi seperti tidak mau melaporkan perkembangan kasus ini dengan mendalam…
sepertinya ia juga menyulitkan kamu n’Duk?”
Nothing to lose…. Nisa membenarkan hal itu, ia melaporkan segala hal
yang ia ketahui pada sang Kombes mengenani kasus Ryoko, dan juga melaporkan
bagaimana komandannya, Rasidi, selalu melecehkan dan menyulitkannya setiap ia melaporkan
perkembangan.
“Berhati-hati dengan Rasidi, n’Duk… aku merasa ia akan mencoba menjebakmu dan membongkar penyamaranmu
pada Ryoko.”
“Tapi kenapa Pak? Ia salah satu dari kita?”
tanya Nisa tak percaya.
“n’Duk… ternyata kamu begitu naïf…. Rasidi ingin mendapat bagian dari jaringan Ryoko… dan ia akan berusaha
menanamkan kukunya ke dalam jaringan Ryoko… ketika aku suruh dia merekrut kamu, aku tahu dia
keberatan karena sudah punya kandidat
sendiri… dan bukan seperti kita yang ingin menggulung Ryoko… ia ingin menjadi
bagian jaringan itu…. Ia ingin menjual gadis-gadis muda untuk menjadi anggota
Ryoko… Maka dari itu n’Duk… berhati-hatilah.”
Nisa memandang lelaki itu dengan tertegun….
Semua yang dikatakannya begitu mengguncang dirinya… ternyata benar kalau ia
tergolong naïf sehingga begitu mudah dibutakan “perintah demi tugas.”
Lelaki itu lalu bangkit dari duduknya,
mengulurkan tangan…
“Ayo n’Duk…. Temani Bapak…..”
Dan dengan hati yang tak menentu Nisa
bangkit…. Dan kembali persetubuhan terjadi….
*****
Kembali Nisa dibuat sedikit bingung dengan
alamat yang harus didatanginya, sekali ini ia harus berjuang
mencari alamat yang ternyata cukup jauh berada di luar kota,
di sebuah villa terbengkalai di daerah pegunungan, jauh dari
keramaian.
Memang Ryoko memintanya memakai
pakaian biasa, namun tetap saja Nisa merasa kalau kali ini, seperti yang
sudah-sudah, akan menjadi hari yang tidak biasa.
Dan benar dugaannya….
Ketika ia masuk ke ruang tengah villa, ia
melihat Ryoko sudah berada di sana, beserta beberapa orang lelaki yang
berseragam dokter dan perawat.
Another fetish…..
Namun kali ini dugaannya salah kerena
ketika mereka membuka jalan bagi Nisa, ia bisa melihat seorang wanita muda
sedang duduk di sebuah kursi metal, tangan dan kakinya tebelenggu… tubuhnya
telanjang, dan Nisa bisa melihat jepit buaya yang
tersambung kawat tembaga menjepit erat puting payudara dan klitoris
sang gadis yang nampak terengah-engah dengan kepala terkulai…
Ryoko menghampiri
Nisa…
“Kamu tahu….
Aku paling tidak suka dengan pembohong…. Dan aku lebih tidak suka lagi dengan
pengkhianat,” kata Ryoko sambil menekan tombol sebuah remote yang menyebabkan aliran listrik
menyengat sang gadis yang berteriak dan terlonjak kesakitan di kursi itu, Nisa
bisa melihat darah yang mengalir dari pelipis, hidung dan bibir sang gadis.
“Wartawati ini ditangkap anak buahku. Dia terlalu banyak tanya, terlalu banyak
tahu, dia mau hancurkan aku!” kata Ryoko tajam. Pandangan matanya
begitu keji, pandangan yang tak pernah dilihat Nisa sebelumnya, pandangan orang
yang mampu untuk membunuh.
“Dan yang lebih menyakitkan… dia
tahu satu rahasia….”
Jerit sang gadis kembali menggema di
ruangan itu ketika Ryoko kembali menekan tombol remote itu…
‘Berhati-hatilah
n’Duk…. Rasidi akan berusaha menghancurkanmu…’
“Dia sebut satu nama!” kata Ryoko geram….
Gadis itu memandang Nisa…. Dan berkata
lirih… “Ya… dia orangnya….”
Nisa menatap tajam ke arah sang gadis… lalu
menghujamkan pandangan yang tak kalah garangnya ke Ryoko…
Lalu tanpa diduga semua orang, Nisa membuka
seluruh pakaiannya hingga telanjang bulat, lalu pergi ke arah meja peralatan
medis yang tersedia di sana untuk tujuan yang tidak diketahuinya, namun sekali
ini perbuatan drastisnya ini bisa menyelamatkannya atau membuatnya terbunuh.
Dengan satu gerakan bagai aliran air
Nisa menyambar pisau bedah, lalu mendekati Ryoko. Ia lalu
merenggut remote dari tangan kanan Ryoko, lalu menyerahkan pisau itu ke tangan Ryoko, tatapan keduanya
tetap saling terkunci.
Nisa lalu menggengam tangan kanan Ryoko dan dengan keras menarik tangan yang memegang
pisau itu ke arah lehernya sendiri, menekankan
ujung pisau itu ke lehernya…
Nisa bisa merasakan darah mulai mengalir dari luka gores kecil di lehernya, namun
ia tak peduli… ia menantang Ryoko untuk menekan lebih dalam lagi….
“Aku dapat seorang kakak waktu kamu pungut aku… kamu penolongku…. Dan kalau kamu sudah tak lagi mempercayai aku… Ayo…. Habisi aku…. Buang bangkaiku
di mana kau suka… atau jadikan aku makanan anjing sebagimana kau suka… namun
untukku… kehilangan kepercayaanmu membuatku tak ingin hidup lagi!”
Denting pisau jatuh terdengar ketika Ryoko berhasil melepaskan cengkeraman
Nisa di tangannya… padangan mata Nisa membuatnya ketakutan…. Jauh lebih
berbahaya dari dirinya….
Ruangan itu hening….
Nisa memunguti pakaiannya lalu beranjak
pergi dari villa itu…. Hatinya berkecamuk…. Namun ia sudah berhasil menanamkan
sesuatu dalam benak Ryoko… she is special…
*****
Dua hari setelah insiden itu, Ryoko datang
ke kamar kos Nisa. Ia membawa beberapa foto.
“Maaf, Irina, aku kemarin meragukanmu… ternyata wartawati keparat itu mengarang cerita supaya aku mencelakaimu… dia bilang kamu polisi yang menyusup.Memang pernah ada polisi yang
memang ingin menjadi partnerku tapi aku tolak… Tapi akhirnya aku sadar kalau dia bohong, mungkin
supaya bisa lolos…” kata Ryoko sambil memeluk Nisa.
Nisa terdiam… ia memandangi foto-foto itu dengan tatapan dingin.
“Irina….” kata
Ryoko pelan….
“Perkataanku tetap… kau adalah kakak yang
tak pernah aku miliki…. Aku menghormatimu,” kata
Nisa tanpa mengangkat pandangannya.
Ryoko tersenyum.
“Baiklah… kalau kau sudah mau lagi… kabari aku…. Tuan
Bambang Harjadi menginginkanmu…” katanya lagi sambil melangkah keluar kamar kos, meninggalkan Nisa, meninggalkan foto-foto yang bergeletakan di atas meja… foto yang menggambarkan operasi body
modification yang mereka lakukan pada sang wartawati…
Gadis itu tak akan lagi bisa keluar dari
lingkaran Ryoko… tak ada lagi yang akan mengenalinya, dan tak ada lagi yang
dapat dilakukannya selain membiarkan tubuhnya menjadi pemuas…. Untuk
selamanya….
Dan kini kesempatan untuk menghajar Rasidi semakin dekat…
*****
“Ada satu petunjuk
yang mungkin ada sangkutannya dengan penyelidikan kamu,” kata komandan Nisa,
Rasidi. Dia mendatangi Nisa di kamar kos untuk mengecek anggotanya itu. Dia
mengambil satu lembar data dari dalam map. Ada foto seorang perempuan muda di
sana. “Ini kasus yang sudah beberapa bulan. Ada laporan kehilangan orang. Dia
wartawati majalah berita yang sedang investigasi kasus korupsi. Memang belum
tentu ada hubungannya, tapi salah satu orang yang sedang dia usut itu diduga
dekat dengan Ryoko. Langganannya.”
“Pejabat?”
celetuk Nisa.
“Iya. Orangnya
kurang terkenal, ada indikasi sudah biasa korupsi, tapi licin jadi tidak pernah
kena kasus. Kamu tahulah orang pers, kalau sudah penasaran mereka bisa lebih
usil dari kita. Majalahnya mau bongkar korupsi orang ini. Eh malah wartawati
yang menginvestigasinya hilang. Memang belum tentu ada hubungannya. Bisa saja
si wartawati hilang tanpa ada hubungan dengan Ryoko. Kamu cari tahu ya.”
“Siap
komandan.”
“Kamu lagi
siap-siap kerja ya?” celetuk Rasidi. Memang, dia datang ketika Nisa baru saja
selesai berdandan.
“Iya...”
“Sip,” kata
Rasidi, “Udah pas banget tampang kamu. Lanjutkan, ya.”
“Siap
komandan,” kata Nisa sambil menggemertakkan giginya. Sesudah diberitahu
kenyataan oleh Kombes Bambang, Nisa mulai memandang atasan langsungnya itu dengan
berbeda.
“Kalau boleh
tau, kamu sudah sama siapa aja?” tanya Rasidi. Nisa menyebut beberapa nama. Eddy.
Tandy. Kombes Bambang tidak disebutnya.
“Hmm. Bisa
nyenggol ke mana-mana nih ya... Kalau bisa sih bersih. Yang kita incar cuma
Ryoko. Lainnya, kamu tau kan, di hukum kita ga ada larangan orang make jasa
PSK. Terus, ada hal-hal yang bisa buat bukti?”
“Smartphone
dia, terus aliran dana ke rekening bank dia. Kelihatannya sebagian yang pakai
jasa anak buah dia transfer uang langsung ke dia.”
“Ada tempat
khusus dia biasa operasi?”
“Nggak ada. Dia
sendiri ada beberapa tempat tinggal. Alamatnya di sini, sini, sini,” Nisa
menulis beberapa alamat, yang dia pernah datangi, “tapi nggak tau tempat-tempat
itu punya dia atau bukan.”
“Tamu ada yang
pakai anak buah dia di tempat-tempat itu?”
“Nggak. Selalu
di luar. Hotel, rumah tamu, villa... Mobil juga pernah...” kata Nisa. Dia mengingat
seorang klien yang pernah menyetubuhinya di atas kap mobil mewah yang masih panas
sementara teman-teman kliennya itu menyoraki, menyemangati si klien untuk terus
memacu kejantanannya di dalam tubuh Nisa yang menahan panas kap mesin. Nisa
ingat bagaimana punggungnya terasa panas, juga payudara dan perutnya, ketika lelaki itu
membalikkan tubuhnya kemudian menyodominya dengan kasar.
“Oke. Ini buat
masukan operasi selanjutnya. Omong-omong yang mau ditemuin sekarang orangnya
siapa?”
“Orang baru,
belum kenal.”
“Oke. Aku tinggal
dulu. Terus kabari kalau ada kemajuan.”
“Siap
komandan.”
Nisa terus
menatap tajam ke Komisaris Rasidi selagi yang bersangkutan meninggalkannya. Apa
sebenarnya yang diinginkan? Diapakan saja data dari dirinya? Apakah Rasidi
memang benar-benar mau menggulung bisnis Ryoko? Kalaupun iya, apakah untuk
mengambil bagian atau menyingkirkan saingan, seperti kata Kombes Bambang
Harjadi?
Tiba-tiba Nisa
merasa ingin bertemu lagi dengan perwira senior itu. Dia butuh bimbingan,
ketika atasan langsungnya tak lagi bisa dia percayai.
Dan, Nisa harus
mengakui, Kombes Bambang tahu caranya memperlakukan perempuan... biarpun dia
merasa bahwa bagi laki-laki itu, perempuan ideal adalah yang menjadi abdi
pemuas nafsunya.
Nisa memeluk
dirinya sendiri sambil terpejam.
*****
Sesudahnya Nisa
menuju tempat tugas terbarunya. Kata-kata Komisaris Rasidi tadi tidak
mengagetkannya. Dia tahu ada di mana wartawati yang hilang itu, Savitri. Malah
dia akan bertemu Savitri malam itu...
Acara kali ini
beda: Ryoko memintanya datang ke satu rumah mewah, lagi-lagi tempat baru. Entah
tempat milik siapa. Pukul enam sore tepat, dia datang ke tempat yang dimaksud.
Rumah mewah itu penuh barang antik. Entah rumah siapa. Ryoko mengenakan gaun
malam hitam yang cantik, bergaya cocktail dress ketat memeluk pinggang dengan bagian
rok panjang bertepi pink. Bagian bahunya terbuka, sementara di punggung
terbelah menjadi bentuk V yang dihias tali-tali. Rambutnya dikonde kecil di
belakang, make-upnya menambah kuat kecantikan alami. Sementara “Irina”
mengenakan jaket panjang hitam. Di bawah jaket yang menutup sampai ke lutut itu
dia memakai sepatu but sebetis. Rambut panjangnya (sekarang hitam lagi) digerai
dan ditata sehingga tak menutupi wajahnya yang dirias dramatis: bulu mata palsu
panjang, eyeliner hitam tebal, lipstik merah darah. Dalam rombongan Ryoko dan Irina
ada dua orang lagi. Satu adalah seorang laki-laki jangkung berjas dan
berkacamata hitam dan satu orang lagi yang tidak jelas sosoknya karena tertutup
pakaian hitam bertudung. Laki-laki itu salah seorang asisten Ryoko.
Irina |
“Selamat
datang,” Seorang laki-laki yang ada di dalam rumah menyambut mereka. “Selamat
datang di rumah saya. Ayo, kita langsung saja ke ruang saya.” Laki-laki itu
bertubuh jangkung juga, dan berkepala botak. Atau lebih tepatnya, nyaris tak
ada rambut apapun di wajahnya—tanpa kumis, jenggot, dan cambang, bahkan alisnya
pun tipis. Dan di balik kemeja mahal yang dikenakannya tubuhnya tampak sangat
tegap. Mungkin orang yang biasa berolahraga keras. Irina mengira umurnya 40-an.
Ketika memasuki
ruang pribadi laki-laki botak tanpa alis itu, Irina terkesan. Ryoko juga
terlihat terkesan. Kantor pribadi laki-laki itu sangat mewah dan penuh
barang-barang seni. Empat sisinya dihias lukisan besar. Lantainya tertutup
karpet merah empuk bermotif rumit. Sofa beludru di dua sisi. Meja megah dengan
permukaan granit.
“Ini
benar-benar mewah, Pak Prabu,” Ryoko berkomentar. Nama orang itu juga terkesan
ningrat, dengan sederet gelar keturunan dan akademis-hukum terpampang di papan
nama di atas meja granit itu. Dan dia memang seorang pengacara terkenal.
Kadang-kadang wajahnya muncul di acara “Dewan Advokat” di salah satu stasiun
televisi. Nisa benci acara itu, isinya sekelompok orang yang ngomong keras
tanpa ada maknanya.
“Saya punya
teman desainer interior yang bantu saya bikin rumah ini,” Prabu memberitahu.
“Kalau mau, ini kartu nama dia.” Ketika Ryoko dan Nisa melihat kartu nama itu,
ternyata desainer interior yang dimaksud adalah pemilik gedung berisi toko
perabotan super mewah.
Prabu
mempersilakan Ryoko dan Nisa berkeliling mengagumi benda-benda seni dalam
ruangan pribadinya. Nisa berhenti di hadapan satu patung bidadari telanjang
yang bersimpuh di atas daun. Diperhatikannya bahwa di dalam ruangan itu mungkin
ada lima patung perempuan telanjang, semuanya bertubuh indah, dengan dada
membusung, pinggul menarik, dan bibir sensual.
“Ah, ya, yang
paling saya suka memang patung-patung ini,” kata Prabu.
“Semuanya tidak
seperti nyata, Pak Prabu,” Ryoko menanggapi. “Perempuan biasa badannya nggak
akan sebagus itu, lho...”
“Itulah seni,”
Prabu memberi kuliah. “Seni mewujudkan idealisme kita, impian kita. Kata Plato
semua hal di dunia ini hanya bayangan tak sempurna dari arketipe di dunia
ideal. Perempuan juga begitu, kan? Di dunia nyata yang ada perempuan-perempuan
tidak sempurna. Tapi sudah hakikatnya perempuan ingin mempercantik diri, karena
mereka membayangkan ingin mendekati ideal itu. Iya kan? Makanya industri baju,
salon, kosmetik, dan bedah kecantikan maju pesat.”
“Ah, Pak Prabu.
Ujung-ujungnya kan ke laki-laki juga. Laki-laki kan yang menginginkan perempuan
tampil sempurna? Mau dibungkus dengan filsafat apapun, semua laki-laki normal
tetap suka kecantikan. Yang kaya, yang miskin, yang pintar, yang bodoh,
semuanya mencari yang cantik dan seksi. Bullshit kalau ada yang mengaku bisa
mengalahkan kecenderungan dasar itu demi nilai-nilai lain. Makanya, yang
berkoar menjunjung tinggi ideologi saja diam-diam masih nyari yang muda dan
nakal kan?” tangkis Ryoko.
“Hahaha, kamu
memang paling tahu laki-laki,” Prabu tergelak.
“Tapi beda kan
antara patung dengan betulannya,” Ryoko melanjutkan. “Patung cuma bisa
dipandangi... Dielus-elus seperti ini tidak ada reaksinya,” katanya sambil
mengusap salah satu patung bidadari telanjang.
“Makanya,” kata
Prabu. “Bagaimana dengan pesananku, sudah selesai kan? Kamu bilang butuh waktu
tiga bulan untuk persiapannya. Sekarang sudah tiga bulan.”
“Don’t worry, I
put your money into good use,” jawab Ryoko. “Irina?”
Irina bergerak
ke belakang, ke arah sosok bertudung dalam rombongan Ryoko, lalu menuntunnya ke
depan Prabu. Lalu Irina membuka jubah bertudung yang menutupi dia...
“Ummh!”
Gumam teredam
perempuan terdengar ketika sosok itu diungkap. Hanya gumam yang bisa
dikeluarkannya karena mulutnya dibungkam ball gag.
Dulu namanya
Savitri. Tapi sekarang tidak ada lagi yang mengenalinya.
*****
Pada saat
pemimpin redaksi bertanya siapa yang mau investigasi, Savitri langsung
mengajukan diri. Dia baru saja menyelesaikan masa percobaan dan ingin segera
membangun reputasi sebagai jurnalis. Setelah sebelumnya hanya ditugasi meliput
kasus-kasus kriminal kecil dan mewawancara tokoh-tokoh kurang penting, Savitri
merasa investigasi kasus korupsi adalah pencarian berita yang lebih menarik.
Lagipula laporan investigasi bisa dimuat berhalaman-halaman di majalahnya dan kerap
menjadi cover story. Beda dengan berita-berita tulisannya terdahulu yang cuma
terbit satu paragraf dan kecil-kecil.
Maka Savitri
pun mulai menginvestigasi kasus korupsi pengadaan kartu identitas yang
melibatkan pejabat departemen bernama Drs Agam, MM, MBA, MSc itu. Orang yang
suka menulis gelar lebih panjang daripada nama aslinya itu diduga mendapat
keuntungan karena tender tidak fair yang melibatkan perusahaan miliknya. Aparat
resmi belum bergerak, tapi majalah tempat Savitri bekerja sudah mendapat tip
dari seorang bawahan Agam.
Savitri mulai
membuntuti Agam dan mengorek keterangan. Dan ketahuanlah beberapa sisi
sensasional kasus tersebut yang membuat investigasinya berbelok. Agam adalah
pelanggan Ryoko. Nyaris tiap minggu sang pejabat menikmati tubuh anak buah
Ryoko, baik dengan uangnya sendiri maupun sebagai traktiran dari pihak-pihak
yang butuh bantuannya. Savitri jadi tertarik sekalian membongkar bisnis
prostitusi kelas tinggi Ryoko.
Pemimpin
redaksi sempat memperingatkan Savitri agar hati-hati kalau melangkah terlalu
jauh: kasusnya sensitif dan bisa menyinggung kepentingan banyak pihak. Namun
Savitri yang sudah getol pantang menyerah. Dia bahkan sempat adu mulut dengan
pemrednya yang dianggap tidak berani mengungkap lebih banyak.
Savitri mulai
memasukkan bisnis Ryoko dalam investigasinya. Pengawasannya terhadap Agam saja
sudah bisa menghasilkan data mengenai beberapa anak buah Ryoko. Suatu ketika,
dengan menyamar jadi petugas room service hotel tempat Agam menginap, Savitri
sempat mencuri-curi memotret salah seorangnya. Namanya Irina.
Ketika Savitri
mengamati foto Irina di kantornya, ada seorang wartwan senior yang menceletuk
bahwa wajah Irina mirip dengan istri seorang teroris yang tahun lalu diciduk.
Savitri penasaran, dan sesudah membuka arsip liputan seniornya, dia yakin bahwa
istri si teroris dan Irina adalah orang yang sama. Tapi bagaimana mungkin?
Pertama-tama Savitri menduga istri teroris itu terjerumus dunia hitam sesudah
suaminya ditangkap, divonis, dan dihukum mati. Tapi kemudian Savitri menganggap
skenario itu kecil kemungkinannya. Apakah Irina sebenarnya intel?
Savitri
menyelusup makin jauh. Kasus Agam mulai ditinggalkannya karena bisnis Ryoko
lebih menarik, ia kemudian berkenalan dengan seorang komandan polisi, Komisaris Rasidi,
yang memberikan bocoran mengenai Irina pada dirinya dengan fakta yang telah
dipelintir sedemikian rupa, sehingga Savitri makin percaya kalau ada polwan
yang telah menjual diri kepada Ryoko dan menjadi Irina. Namun karena kurang jam terbang, investigasinya mulai tercium oleh Ryoko.
Dan ketika itulah dia terjebak. Suatu hari, Savitri berhasil mengajak bertemu
salah seorang anak buah Ryoko untuk wawancara rahasia di satu kafe. Tapi
ternyata di kafe itu Savitri lengah. Dia dibius lewat minuman, dan sesudahnya
tak pernah melapor lagi ke kantor redaksi majalahnya. Sesudah satu minggu
hilang, pemimpin redaksinya dan keluarga Savitri mengajukan laporan kehilangan
orang ke polisi.
BERSAMBUNG