DEMI TUGAS 4
SINOPSIS
Seorang polwan
ditugaskan menyamar untuk menyusup ke dalam sindikat prostitusi kelas tinggi.
Namun misinya tak se-sederhana yang diduga.
Story codes
MF, M+/F, FF,
MFF, M+/FF, anal, bd, b-mod, cr, dp, tort
DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas
dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap
tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah
tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh,
tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang
(profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini
adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa
di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata
adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat
membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan
tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.
Demi Tugas 4
Ninja Gaijin
& Pimp Lord
Sementara di kediaman Prabu....
Savitri/Thalia |
"Bagaimana boneka terbaruku Pak
Bambang?" kata Prabu sang pengacara sambil menarik kekang yang melingkar
di leher Thalia alias Savitri. Gadis itu berjalan perlahan mengikuti tarikan
kekang, tangannya terangkat ke belakang kepalanya membuat payudaranya semakin
membusung. Prabu kemudian memerintahkan gadis itu berdiri memajang dirinya
dengan kaki membuka dan tangan tetap berada di belakang kepalanya di hadapan
sang kombes yang duduk di sebuah kursi dengan ukiran mewah. Tangan sang kombes
bertopang di sandaran tangan kursi mewah itu, kedua telapak tangannya bertemu di
depan mulut, membut Savitri hanya bisa melihat mata tajam sang kombes yang
menatapnya dengan expresi yang tak dapat dibacanya.
"Seleramu memang benar-benar unik, Dik
Prabu." kata Kombes Bambang Harjadi sambil memandang ke arah Savitri. Kembali
terbentuk rencana di benaknya yang mungkin diberkati Ares, sang dewa perang
yang memang digambarkan sebagai ahli strategi.
"Tentunya bonekamu ini sebanding
dengan modal yang kamu keluarkan," katanya lagi.
Prabu menjentikkan jarinya. Savitri segera
menjatuhkan diri, merangkak ke arah sang tuan yang duduk di kursi di seberang
sang kombes.
Savitri kemudian berjongkok, mengangkangi
sepatu kulit sang tuan yang duduk bertopang kaki lalu dengan patuh menggerakkan
pinggulnya sehingga cairan vaginanya yang basah itu menjadi semir bagi kulit
sepatu sang tuan yang berujar sambil tertawa, "Sangat sebanding, Pak.
Sangat sebanding...."
"Jadi bagaimana Pak? Semua proposal
saya sudah Bapak terima kan. Ada hal yang ingin bapak tambahkan?" tanya
Prabu pada KomBes Bambang yang wajahnya masih tetap tanpa ekspresi. Prabu sang
pengacara kondang yang terbiasa menjatuhkan mental lawan pun tak berani
bertindak gegabah dengan lelaki di hadapannya.
Keduanya terdiam, hanya desahan dan erangan
lirih Savitri yang kini sedang memoles sepatu sang tuan yang sebelahnya dengan vaginanya yang semakin
basah itu yang mengisi keheningan ruangan pribadi Prabu.
"Aku rasa proposalmu sudah cukup baik,
Dik. Tinggal bagaimana kita menjalankannya sesuai rencana agar kita bisa
menambah koleksi kegemaran kita masing-masing. Bukan begitu, Dik?"
Keduanya tersenyum penuh arti. Ya.
Pundi-pundi keduanya akan bertambah dengan rencana mereka....
Prabu memandang ke arah sang kombes.
"Apa Bapak mau bermain dengan boneka
baruku?" tanyanya dengan hati-hati, takut menyinggung sang kombes.
Kombes Bambang tersenyum. "Aku memang
punya rencana untuk meminjam dia sebentar..."
Prabu tersenyum penuh arti, "Kalau
begitu... silakan gunakan kamar tamu kami Pak... biar Bapak bisa lebih
tenang." Dia mengajak sang KomBes ke arah satu kamar tamu mewah, sementara
Savitri dengan patuh merangkak mengikuti kedua lelaki itu.
"Silakan Pak... selamat menikmati,"
kata Prabu, mempersilakan Kombes Bambang untuk menikmati bonekanya.
Ketika sudah berada di depan kamar mewah
itu, sang Kombes memandang sekeliling, lalu dengan santai ia mengeluarkan alat
seperti remote control dari dalam saku celananya dan menekan satu tombol alat
itu.
Beeeppp!
crack... craaaccckkk... craaacckkk....
Terdengar letupan beberapa komponen listrik
dari dalam kamar maupun sekeliling tempat mereka berdiri.
"Akan aku ganti semua alat penyadap
dan kamera pengintaimu Dik Prabu..." kata sang kombes dengan tenang sambil
mengambil kekang Savitri, lalu menutup pintu kamar.
Prabu tertegun. Setahu dirinya, alat
seperti itu hanya dimiliki Bruce Wayne dalam film Batman... apakah alat itu
benar-benar ada?
Namun ketika ia melihat bahwa ruang
pengintainya berada dalam keadaan total shutdown, ia semakin yakin kalau ia tak
bisa bermain-main dengan Kombes Bambang Harjadi.
*****
Savitri/Thalia |
"Siapa namamu?" tanya sang Kombes
sambil memerintahkan Savitri untuk kembali berdiri dan berputar pelan,
memeperlihatkan seluruh tubuhnya yang sudah diubah total itu.
"Thalia, Tuan..."
"Nama yang indah... sayang kamu juga
harus mengganti namamu yang dasarnya sudah indah, Savitri..."
Savitri jatuh terduduk... matanya membelalak
tak percaya.... Orang ini tahu....
Savitri menangis.....
Sang Kombes membiarkan sang gadis menangisi
nasibnya.... setelah ia tenang sang kombes kemudian berkata.
"
Apa kamu mau membalaskan dendammu
pada Ryoko?"
Savitri mengangguk dan berkata lirih...
"Juga pada pelacur yang tak membuat aku disiksa seperti ini...."
Sang Kombes menganggukkan
kepalanya..."Kalau begitu... ceritakan semua yang kamu tahu.... dan aku
akan memberimu kesempatan untuk menghancurkan mereka berdua...."
Mata Savitri memancarkan secercah
harapan... ia tau walaupun ia tidak bisa kembali ke kehidupannya yang dulu,
setidaknya ia bisa menghancurkan hidup mereka yang telah membuatnya menjadi
boneka seks seperti ini....
Namun bukan Kombes Bambang Harjadi namanya
apabila tidak bisa mendapat semua yang diinginkannya. Dia tahu, sesudah diubah,
keadaan mental Savitri sangat goyah. Dan dalam keadaan seperti itu, apapun
perintah dan sugestinya akan diterima dan dilaksanakan. Sesudah memberi
segudang janji kepada Savitri, sang petinggi pun meminta bayaran di muka.
Savitri pun rela memberi apa saja kepadanya.
Dan Savitri pun melenguh pasrah selagi
Kombes Bambang menyodok-nyodokkan penisnya dengan kasar ke dalam mulutnya,
perwira itu menikmati gesekan bibir lembut si boneka seks di kemaluannya.
Pastilah Prabu telah meminta modifikasi itu juga. Dia mencoba membayangkan
pelatihan apa yang telah diterima gadis itu, selagi Savitri menatap polos ke
matanya. Bibir merah Savitri mengelus senjata sang kombes yang segera menembak,
dan gadis budak nafsu itu tak membiarkan satu pun peluru yang ditembakkan
lepas, semua masuk ke dalam kerongkongan dan perutnya.
Dengan kasar sang perwira lalu mendorong
gadis itu sampai tersungkur telungkup di lantai, namun kedua payudara Savitri
yang telah digembungkan secara artifisial itu membuat jatuhnya empuk, terdorong
ke atas sampai menyangga sedikit wajahnya. Bambang Harjadi mendekati lonte yang
tersungkur itu lalu mencolokkan jari ke kemaluan Savitri, memutar-mutarnya
sedikit sambil memastikan bahwa gadis itu telah basah. Pantat Savitri
bergoyang-goyang selagi digoda seperti itu. Sepasang payudara besarnya
tergencet di bawah tubuh. Dengan segera Kombes Bambang merasakan senjatanya
siap digunakan lagi.
Sekali lagi pemrograman “Thalia” beraksi
ketika Savitri malah meraih ke belakang dan membukakan celah kewanitaannya bagi
laki-laki di belakangnya itu. Dan sang perwira menyambut baik tawaran dari
perempuan yang telah dijadikan boneka seks itu. Dia langsung mencengkeram kedua
sisi pantat Savitri dan menusuk vaginanya yang dibukakan.
Bambang Harjadi menyetubuhi Thalia dengan
gencar, mengacak-acak kewanitaan si boneka seks. Buah dada raksasa Thalia
bergoyang maju mundur selagi kedua lengannya ditelikung ke belakang dan ditarik
agar dia dapat ditusuk makin dalam. Persis ketika hendak mencapai klimaks, sang
perwira mencolok lubang dubur Thalia dengan jari, membuat Thalia tersentak.
Sambil tersenyum penuh kemenangan Bambang Harjadi merangsang lubang belakang
Thalia sambil menggenjot keras dan berejakulasi dalam rahim gadis mainan si
pengacara itu.
Sang perwira langsung mencabut senjatanya
dari liang kewanitaan Thalia yang penuh sperma dan menyuruh Thalia berbalik
badan. Wajah Thalia tetap berbinar ketika Kombes Bambang menyuruhnya
membersihkan senjata yang baru menembak dalam vagina itu dengan mulut. Selagi
Thalia menjilati dengan patuh, sambil memandangi laki-laki yang baru
menyetubuhinya, Bambang Harjadi membayangkan perempuan lain.
Juanisa.
>>>>
Malam itu, di kehangatan kamar Kombes
Bambang Harjadi...
Nisa |
Nisa duduk di kursi di hadapan meja sang
Kombes. Tubuhnya hanya terbalut selimut setelah pergumulan liar beberapa saat
sebelumnya, sementara sang Kombes berada di kursi empuk, mengepulkan asap
cerutu, menghirup kopi hangat, dan membaca surat kabar yang kemudian
dilemparkannya ke hadapan Nisa.
“Savitri....” batin gadis itu....
Dibacanya berita yang menyebutkan bahwa ada
jaringan prostitusi yang melibatkan ribuan gadis dari berbagai kalangan,
termasuk seorang penegak hukum....
Nisa memandang sang bapak yang matanya
menatap tajam ke pada dirinya...
"Sudah waktunya, n'Duk," kata
sang Kombes pelan. "Apakah kamu bimbang?"
Nisa memahami pertanyaan pengayomnya itu. Dari
semua penyamaran yang sudah dilakukannya, tugas kali ini yang memang membuat ia
mengorbankan jiwa dan raga. Dirinya benar-benar berubah... ia memang menjadi
pelacur bagi Ryoko.
Ia mengasihi Ryoko... kebaikannya...
kepercayaannya....
Juga tak bisa dipungkiri, tubuhnya kini terbiasa
dengan pemuasan nafsu, merasakah tubuh telanjang berbagai laki-laki yang tak
dikenal berdekapan dengan tubuhnya, merasakan kelelakian mereka memasuki relung
tubuhnya....
Namun ketika ia menatap mata tajam sang
Kombes, kesadarannya seakan pulih. Dengan tegas ia menjawab.
"Pengabdianku untuk Bapak."
Sang Kombes tersenyum. Skema serangan
diatur....
Dinginnya marmer lantai kamar sang Kombes
tak menghalangi keliaran percintaan kedua insan itu.
>>>>
Ryoko |
"Good job, Irina... aku semakin yakin
kalau kamu mampu," kata Ryoko ketika Nisa berbincang dengannya di villa
mewah tempat mereka biasa mengucilkan diri. Tubuh keduanya berpelukan erat di
depan perapian, keringat di tubuh mereka memantulkan cahaya perapian yang
temaram, keringat hasil persetubuhan keduanya yang sangat erotis dan sensual
itu.
Beberapa saat sebelumnya mereka berpagutan,
tangan saling meremas tubuh masing-masing, lidah mereka saling menjelajah,
mereka saling merangsang, mengoreki vagina... menjilati anus... memberi
stimulus.... dan merasakan nikmat orgasme yang datang silih berganti.
Ryoko memang melihat sesuatu di diri Irina
yang ia tau bisa diandalkan, keberaniannya, nalurinya... dan dengan bimbingan
yang diberikannya, kini Irina telah mampu mencari seorang klien yang sangat
berkelas, seorang pengusaha yang sangat dekat dengan sejumlah petinggi... dan
untuk service kali ini ia akan ikut terjun melihat Irina menjalankan bisnis...
>>>>
Nisa memang bermaksud membuat Ryoko makin
terikat dengannya. Oleh karena itu Nisa memanfaatkan sebaik-baiknya keterbukaan
Ryoko dengan dirinya, termasuk dalam seks.
Namun dia kadang merenung, apa sebenarnya
hubungannya dengan Ryoko sekarang. Kini mereka berdua telah sering saling
cumbu, saling memberi kenikmatan, atau menikmati laki-laki yang sama
berbarengan. Ketika sekarang dia terkulai lemas dalam pelukan Ryoko sambil
menceritakan bagaimana dia telah memikat sang pengusaha, itu sudah bukan
percakapan biasa antara atasan dan bawahan lagi.
Nisa |
Tapi bisnis tetap bisnis. Dan sang
pengusaha itu telah membuat Ryoko makin kaya beberapa ratus juta rupiah dari
booking fee Irina.
“Dia punya ide-ide gila…” Nisa mulai
berkata. “Dia pengen lihat live show, pengen lihat aku main sama cewe lain,
pengen lihat aku di-gangbang teman-temannya… Dan dia pasti bakal bayar berapa
aja yang kuminta.”
“Jangan sampai lepas kesempatannya, Irina…”
Ryoko membalas sambil membelai rambut Nisa.
“Mmmhh… jadi kita setujuin aja?” ujar Nisa
sambil mendesah manja.
“Iya dong… Kamu bisa kan menuhin semua
permintaannya?” kata Ryoko.
“Yang sama cewek lain itu…” kata Nisa,
“…emm… kalau sama kamu, kamu mau nggak?”
Ryoko terdiam. Sudah lama sekali dia tidak
turun sendiri. Dia berpikir selagi Nisa menggerayangi dan menciumi tubuhnya.
“…ahh… aku pengennya sama ka-muu…” pinta
Nisa manja sambil mengulum telinga Ryoko. Ryoko mulai terpancing.
“Dia bisa bayar berapa sih paling mahal…?”
tanya Ryoko, berusaha tetap memikirkan bisnis di tengah godaan Nisa.
“Aku rasa kalau kita minta Porsche atau Ferrari
juga bakal dikasih sama dia,” kata Nisa sambil mengedip genit.
“Boleh juga…” kata Ryoko, sambil dia
kemudian kembali menggeluti Nisa yang terus menggodanya.
*****
Malam berikutnya, di satu restoran.
"Selamat malam, Pak Masno...
perkenalkan ini kolega saya, Ryo..." kata Irina sambil memperkenalkan
Ryoko pada lelaki nyaris botak bertampang mesum itu.
"Selamat malam, Mbak Ryo... saya Masno.
Senang rasanya saya berkenalan dengan anda."
Ryoko tersenyum. Ketiganya kemudian
terlibat percakapan ringan sebelum mereka menuju inti pembicaraan.
"So, Irina... seperti yang saya pernah
sampaikan dulu, apa Mbak Ryo ini bersedia melakukan apa yang saya utarakan
dulu?" tanya Masno.
Ryoko tersenyum lebar, memandang ke arah Masno
dan berkata, "Boleh saja."
“Kalau begitu kita atur waktu dan tempatnya
bersama teman-teman yang lain ya…” kata Masno.
*****
Masno adalah langganan Irina. Dia seorang
pengusaha impor mobil mewah. Untuk meraup untung lebih banyak dia menggunakan
jalur “bebas biaya” yaitu berkolusi dengan sejumlah staf kedutaan asing dan
orang departemen untuk memasukkan mobil mahal tanpa perlu membayar banyak uang
untuk negara karena mobil-mobil itu dicatat sebagai pesanan diplomat asing. Jalur
itu relatif sulit ditembus hukum karena perwakilan negara lain memiliki
kekebalan diplomatik dan segala urusan mereka tidak mudah diotak-atik aparat.
Masno mengajak sekongkol sejumlah ekspat dari negara-negara kecil dan kurang
terkenal karena mereka kurang diawasi dan kadang kurang dibayar oleh negaranya.
Untuk melancarkan bisnis Masno royal
meng-entertain teman-temannya. Dan akhir-akhir ini Irina jadi “piala bergilir”
bagi sejumlah laki-laki berbagai bangsa. Namun Irina tak lupa akan misinya.
Polwan yang menyamar itu tahu Masno punya kesukaan tertentu dalam seks: dia
suka menonton orang berhubungan seks sekaligus suka juga ditonton. Jadi pada
suatu kali sesudah menyervis Masno, Irina memberi usul mengadakan pesta seks
kepada Masno. Ajak semua temannya bareng, nanti Irina akan melayani mereka
semua. Dan, untuk membuat Masno makin tertarik: Irina akan mengajak seorang
teman perempuan yang terpercaya untuk mendokumentasikan pesta seks itu.
Sekaligus bonus show lesbi antara Irina dan teman perempuan itu.
Maka, pada suatu Jumat sore…
*****
Pesona kedua perempuan yang datang ke yacht mewah Masno memang tak bisa
ditolak. Mereka sudah memukau sejak turun dari mobil dan melangkah di dermaga
menuju kapal kecil itu menghampiri Masno dan tiga temannya. Keempat laki-laki
itu langsung ngiler melihat Irina dan Ryoko.
Ryoko si “geisha madame” tampil dengan
kimono biru hitam selutut dan rambut ditata konde kecil di atas kepala dengan
dua tusuk konde. Wajahnya yang alami putih tampak segar dengan pemerah pipi;
eyeliner dan lipstik merah memperdramatis penampilannya. Irina serba pink: blus
transparan pink dan dalaman tube top pink juga, rok mini ketat, ditambah stoking warna gelap
dan sepatu hak tinggi warna hitam. Riasannya lebih
tebal, dengan smokey eyes dan lipstik merah darah. Rambutnya kini mencapai sedikit di bawah bahu, menjuntai dengan ujung
bergelombang, diwarnai coklat. Keduanya membawa koper kecil beroda; akhir minggu itu
akan dihabiskan di atas kapal. Ryoko membawa peralatan dokumentasi dan pakaian
secukupnya. Irina membawa “pakaian kerja”: beraneka kostum dan perlengkapan
sesuai permintaan Masno dan teman-temannya.
“Tantangan” Irina kepada Masno untuk
mengadakan pesta seks dijawab oleh sang importir. Dia menyanggupi saja ketika Irina
meminta bayaran salah satu mobil mewah impor bekasnya, yang dikatakan “supaya
teman saya mau”. Tentu saja Masno tak hendak menikmati Irina sendirian.
Kesempatan itu juga dia gunakan untuk urusan bisnis. Tiga orang laki-laki lain
hadir di sana, untuk deal terbaru Masno.
Di dalam yacht itu empat laki-laki dan dua
perempuan saling mengucap selamat sambil bersulang, mengadu gelas-gelas berisi
wine sebelum kemudian menenggak habis isinya. Para laki-laki itu sedang
bahagia, sesudah deal bisnis dengan Masno yang menguntungkan semuanya. Sekarang
tinggal menikmati hiburan istimewa yang disediakan.
Ketiganya teman-teman sekongkol Masno dalam
bisnis impor ilegal mobil mewah. Yang pertama Rozi, berumur lima puluhan dan
berambut kelabu, seorang pejabat tua yang kenyang mengorupsi anggaran terkait
kerjasama luar negeri; “kenyang”-nya itu mungkin menyebabkan perutnya yang
gemuk. Dua lainnya adalah orang asing, staf kedutaan dua negara sahabat: Kim
Leng, dari satu negara Asia Tenggara, dan Javad, dari negara Asia Barat. Kim
Leng bertubuh pendek, kecil, dan botak, sementara Javad tegap dan brewokan.
Keduanya empat puluhan. Negara asal Kim Leng terhitung miskin sehingga para
diplomatnya tidak dibayar besar; itulah yang membuat dia mau membantu Masno.
Sementara Masno mengenal Javad sebagai seseorang yang suka kenikmatan, yang
dilarang keras di negaranya sendiri.
Kenikmatan berupa makanan lezat dan minuman
beralkohol sudah tersedia, dan perempuannya… Masno tidak segan-segan keluar
banyak.
“Gimana, enak kan, Bapak-bapak? Oh ya
kalian udah pada kenal sama Irina kan?” kata Masno.
“Hahaha, iya dong!” kata Rozi. “Terakhir
dua bulan lalu, ya, Irina? Habis itu aku sakit pinggang seminggu! Huahahaha!!”
Kim Leng dan Javad cengar-cengir. Keduanya termasuk staf lama sehingga tidak
canggung berbahasa lokal. Dan keduanya juga sudah pernah mencicipi Irina.
“Irina paling tahu kita semua,” celetuk Kim
Leng. Masno menimpali, “Hei, Irina, tunjukin sama kami dong apa yang kamu kasih
sama Pak Rozi waktu itu!”
Irina pura-pura mengeluh dan mendesah, lalu
menengok ke Ryoko yang diperkenalkan kepada keempat laki-laki sebagai “Ryo”.
“Ayo, Irina!” Javad ikut-ikutan. “Tunjukin
lagi buat kami!”
Irina bergerak pelan dan menggoda, lalu
membuka blus transparannya sehingga kemben di bawahnya terlihat. Kemben itu
perlahan-lahan dipelorotkannya, mengungkap bagian atas sepasang payudara yang
kencang sempurna. Keempat laki-laki tak ada yang tak memperhatikan keindahan
itu.
“Fantastic,” kata Javad sambil dia meremas
satu payudara Irina yang masih setengah tertutup.
Irina menengadah sedikit dan merintih
lirih. Ryoko di sebelahnya, mengagumi keahlian dan akting anak buahnya yang
terpercaya itu.
“Kiss me babe,” kata Javad sambil
mendekatkan wajah brewokannya ke wajah Irina. Irina menurut dan menyodorkan
bibirnya untuk dicium bibir Javad. Lidah keduanya saling bergulat dalam mulut. Sesudah semenit, keduanya berhenti untuk mengambil nafas. “Mau cium yang
lain?” tantang Javad.
“Oi, sabar,
sabar,” Masno memotong. “Nanti acara utamanya sesudah makan ya?” Javad tampak
kurang senang tapi tak mempermasalahkan. Irina lalu membetulkan lagi posisi
kembennya.
Yacht bergerak
meninggalkan dermaga. Mereka tak menuju ke mana-mana, hanya melaut demi privasi
yang lebih besar. Semuanya merasa aman... tak tersentuh...
Makan malam di
atas kapal berlalu begitu saja, dan ketiga teman Masno lebih menunggu-nunggu
hiburan utama. Irina memesona keempat laki-laki di sana dengan kecantikannya.
Dia menggoda mereka semua; Rozi tak bisa menahan tangannya untuk tidak
mengelus-elus paha Irina di bawah meja. Ditambah lagi, wine membuat pikiran
mereka makin panas.
Di yacht itu
juga ada beberapa orang lain: seorang pelayan perempuan dan dua orang awak yang
bertugas mengemudikan. Si pelayan membereskan makanan dan minuman lalu pergi
dari kabin utama. Tatanan perabot di sana adalah meja datar rendah dikelilingi
sofa di tiga sisi. Irina duduk di atas meja, di tengah ruangan. Semua laki-laki
di sana sudah mengelus-elus kemaluan mereka yang mengeras di balik celana.
Ryoko, seperti
sudah disepakati sebelumnya, bertindak sebagai sutradara sekaligus operator.
Dia menyingkir ke pojok ruangan, tempat ada sound system, dan di sana bertindak
seperti DJ yang memutar musik. “Hadirin sekalian, kami tampilkan, Miss IRINAAA!!”
serunya, berpura-pura jadi pembawa acara. Ryoko memutar musik club. Irina
berdiri di atas meja mulai bergoyang seksi di atasnya. Dia membelakangi para
penonton dan menggoyang pantatnya di depan muka mereka. Dia membiarkan Masno
dan Rozi meremas-remas pantatnya. Dia menggesek-gesekkan tubuhnya ke tubuh Kim
Leng dan Javad. Masno merangkulnya dari belakang dan meremas dadanya. Rozi dan
Kim Leng mengelus-elus pahanya. Javad yang paling tak sabaran sudah buka
celana; Irina menggoda kejantanan Javad dengan pantatnya.
“Ryo, sinii,” Irina
memanggil dengan manja. “Ayo main sama aku...”
Kedua perempuan
itu kini telah begitu dekat secara seksual sehingga Ryoko tak ragu. Si germo
maju dan bergabung dengan Irina di atas meja. Ryoko langsung merangkul dan
mencium bibir Irina. Irina kaget dengan gerak cepat Ryoko namun langsung
terbawa dan membalas ciuman itu dengan penuh semangat. Para laki-laki
tercengang dengan apa yang mereka lihat. Ryoko lalu bergerak ke belakang Irina
dan memegangi tube top Irina. Pelan-pelan Ryoko memelorotkan kemben Irina.
Nafas para penonton nyaris berhenti melihat sepasang payudara indah kencang
dengan puting yang sudah keras.
“Mmm~” gumam
Ryoko. “Susu kamu bagus deh. Tawarin dong sama bapak-bapak.”
“Om, mau pegang
nggaa~k?” kata Irina menggoda para laki-laki.
Ryoko bergeser
ke samping Irina sambil tersenyum nakal lalu memegang salah satu payudara Irina.
Lalu dia menyorongkan wajahnya ke depan untuk menjilat kulit halus payudara si
pelacur. Sambil dia melirik melihat para penonton yang ternganga. Irina
terpejam dan mengerang lembut selagi merasakan lidah Ryoko membelai
payudaranya. Desahannya makin keras ketika dia merasakan Ryoko melahap
putingnya. Dia menggeliat selagi kenikmatan menjalar dari sana ke kemaluannya
yang mulai membasah.
“Enak?” tanya
Ryoko.
“Ahnn...
enaak...” kata Irina.
“Eit, ga boleh
keenakan dulu,” kata Ryoko sambil kembali ke belakang Irina. Dia lalu
mengangkat rok mini Irina, mengungkap celana dalam si polwan yang menyamar itu.
“Ingat kamu di sini buat apa. Kamu lagi apa di sini, Irina?” kata Ryoko sambil
tangannya menyelip ke balik celana dalam ke klitoris Irina.
“Ahhh,” desah Irina.
“Ayo dijawab,”
Ryoko mempergencar godaan ke klitoris Irina. “Lagi apa kamu di sini?”
“Lagi
kerjaa...” jawab Irina.
“Kerja apa?”
“Jadi...
melayani...” ucap Irina pura-pura malu.
“Jadi LONTE!”
kata Ryoko keras sambil melengkungkan jarinya dan menjolok lubang vagina Irina.
“Ayo bilang gitu ke bapak-bapak.”
“Ahahh! Iya... Irina
ada di sini jadi lonte...Ah!” Irina berkata sambil memeknya diacak-acak. Ryoko
merasakan jarinya basah. Irina terangsang.
“AH... ah
enak... Bapak-bapak... Irina di sini jadi lontenya bapak-bapak... NGH! Nggg!
Memek... memek Irina enak...” Irina mulai meracau karena keenakan.
“Iya, Irina,
kamu lonte... Artinya... Sebelum keenakan kamu harus ladenin bapak-bapak ini
dulu! Kamu tahu harus apa kan?” perintah Ryoko sambil melepas tangannya dari
kemaluan Irina.
Polwan itu
tersenyum kecil dan melangkah turun dari meja, menuju Masno yang duduk di
tengah teman-temannya. Dia berlutut di depan Masno lalu menoleh ke Masno, lalu
ke Ryoko. Masno mengerti. “Mbak Ryo, silakan mulai.”
Ryoko juga
turun dari meja. Itu tanda baginya untuk tugas utama: sebagai juru kamera. Dia
mengeluarkan handycam, menyalakannya, lalu memberi tanda jempol ke Irina. Irina
pun mulai beraksi dengan membuka resleting celana Masno. Ryoko mulai
memvideokan.
Akting Irina
sebagai bintang film porno amatir boleh juga. Dia pura-pura kagum dengan ereksi
Masno yang sebenarnya biasa-biasa saja, lalu menggesek-gesekkan wajahnya dengan
ekspresi mesum ke penis Masno sebelum kemudian memasukkan batang itu ke
mulutnya. “Anj... Uah enak!” Masno sampai nyaris memaki merasakan hangat rongga
mulut Irina di sekeliling burungnya. Satu tangannya bergerak untuk mencengkeram
kepala si pelacur.
Yang paling tua
di antara mereka, Rozi, berdiri dan mendekati Irina di lantai ruangan. Dia sudah
gemas ingin menggerayangi Irina dari tadi. Sementara Irina menyetubuhi kemaluan
Masno dengan mulutnya, Rozi menciumi punggung Irina sambil melepas celana dalam
Irina untuk mengusap-usap vagina. Kim Leng sudah buka celana dan mengocok
kemaluannya sendiri. Irina mengulum kantong pelir Masno, sementara Javad yang
juga sudah tak bercelana berlutut di belakangnya sambil menggesek-gesekkan
senjatanya—paling panjang di antara semua orang di sana—ke belahan pantat Irina.
Ryoko
memvideokan itu, dan memancing Irina: “Irina, ayo bilang, ‘Om, entot aku
dong.’”
“Om, entot aku
doong,” kata Irina.
“Bilang itu
sambil nyepong,” perintah Ryoko lagi. Irina kembali mengulum kejantanan Masno
sambil berkata dengan tak jelas, “Mmom mnfopp agf don.”
Masno tak tahan
mendengar kata-kata nakal Irina. “Ahh aku mau crot!” serunya “Telen yah!” Dia
pun orgasme selagi kepala burungnya digenggam Irina dengan bibir. Irina
menampung semburan-semburan peju Masno. Yang terakhir mendarat di mukanya
karena Masno menarik keluar penis dari mulutnya. Irina tak menghindar.
“Tunjukin ke
kamera,” kata Rozi sambil mengarahkan wajah Irina ke kamera video Ryoko. Irina
membuka mulut lebar-lebar, memamerkan genangan putih dalam mulutnya, yang
kemudian dia telan seolah-olah makanan lezat. Sisa peju masih menempel di
wajahnya.
Masno yang puas
menyingkir untuk memberi kesempatan kepada teman-temannya. Rozi bersiap. Irina
mau menyeka sperma yang masih ada di mukanya tapi distop Ryoko. “Biarin aja
itu,” kata Ryoko, “Aku suka ngelihat kamu habis dipake...”
*****
Sepanjang malam
Irina melayani empat laki-laki itu, sampai semuanya tertidur keletihan. Dan
pagi berikutnya, sarapan disediakan bagi semuanya dengan suguhan hiburan berupa
tayangan video aksi Irina malam sebelumnya, hasil syuting Ryoko.
“Aku nggak cuma
pelacur sekarang... aku jadi bintang porno juga...” Irina membatin sambil
bersandar lemah ke Ryoko, sementara Ryoko mengelus-elusnya.
Yang tak Irina
ketahui, film pornonya tak hanya ditonton di atas perahu mewah itu...
*****
Adegan yang
tampil di layar adalah Irina yang mengangkang di atas tubuh telanjang seorang
laki-laki setengah baya yang telentang. Kemaluan Irina menjepit erat penis
laki-laki itu selagi bergerak naik turun, dan ekspresi mesum Irina tertangkap
jelas di kamera.
Penontonnya
seorang laki-laki setengah baya juga, juga telanjang, hanya saja posisinya
berbeda. Ia tegak, sementara perempuan muda yang disetubuhinya-lah yang
telentang. Tubuh gadis itu tergeletak pasrah di atas kain batik yang tadi
membungkus tubuhnya, sementara si laki-laki menyetubuhinya dengan acuh.
Perlahan dia menggenjot, tanpa memandang ke mata pasangannya. Perhatiannya
fokus ke TV di kamar yang menayangkan sang aktris film porno amatir yang
ditontonnya, Irina. Dia mengagumi kecantikan Irina, juga betapa Irina
menghayati perannya. Dia terpikir mengenai seorang aktor asing yang berperan
sebagai seorang penjahat psikopat, yang begitu tenggelam dalam perannya
sehingga sesudah filmnya selesai sang bintang terperangkap dalam perannya,
sehingga menjadi resah dan gelisah tak terkira hingga akhirnya tewas akibat
mengonsumsi obat penenang berlebihan.
Seperti itulah
efek yang dia lihat terjadi pada Ipda Juanisa...
Gadis yang
disetubuhinya menjerit lemah, G-spotnya menyerah karena dihajar dengan intens
dan memutuskan untuk meledakkan orgasme. Si gadis dalam hati bersyukur karena
tuannya masih mengingat dirinya, meski akhir-akhir ini lebih sering bersenggama
dengan perempuan dalam film itu.
“Anhhh...!
Ndoro... saya... keluar ndoroo...”
Sang laki-laki,
sang perwira, tampak tetap acuh meski si gadis, si pelayan, menggeliat-geliat
keenakan di ujung kejantanannya. Setelah geliatnya berhenti, barulah dia
menengok ke bawah, tetap acuh, ke wajah si gadis yang baru dilanda kenikmatan.
“Aku juga,
Nduk,” katanya singkat.
“Keluarin di
dalam saya saja, Ndoro...” pinta si gadis pasrah.
Sang perwira
menembakkan benihnya dalam kewanitaan si pelayan. Tembakannya berkali-kali
dengan banyak peluru, dan si gadis merasakan kehangatan memenuhi bagian dalam.
Pada saat yang sama Irina di layar tampak sedang membuka lebar kemaluannya yang
juga baru menerima semburan peju lawan mainnya, dan dengan cabulnya dia
membiarkan cairan putih di sana mengalir dan menetes keluar.
Telepon
berbunyi.
“Siapkan
penyambutan,” kata si laki-laki. Dia lalu menghubungi orang lain.
“Dik Prabu, apa
dik Taufiq sudah nonton kiriman saya?”
Suara di
telepon menjawab, “Sudah Pak Bambang. Sekarang Taufiq lagi, emm, reunian sama
mantan anak buahnya. Savitri.”
Kombes Bambang
Harjadi mendengar suara tawa di teleponnya, lalu mendengar desahan perempuan. Dia
ingat, itu desahan Thalia alias Savitri, yang kiranya sedang disuguhkan Prabu
kepada mantan atasannya, seorang tokoh media.
“Kalau begitu
tolong kasih tahu dik Taufiq ya dik Prabu. Semoga berkenan untuk meliput berita
besar ini.”
Bambang Harjadi
menutup pembicaraan. Di depannya tergeletak seorang perempuan dengan paha
mengangkang dan rekahan basah. Dan mau tak mau dia pun merenung mengenai
perempuan-perempuan dalam hidupnya akhir-akhir ini...
*****
Pelabuhan,
tengah hari
Bunyi peluit
kapal menembus udara selagi satu yacht kecil mendekat ke dermaga. Beberapa
orang pekerja di dermaga tampak siap menyambut yacht itu, yang pulang ke
pelabuhan membawa sejumlah penumpang yang sudah puas berpesta. Seorang awak
kapal melempar dua utas tambang ke dermaga, dan orang-orang di dermaga
mengikatkan tambang itu ke pasak-pasak baja sehingga mengamankan kapal. Tak
lama kemudian para penumpang mulai keluar dari kapal. Masno adalah yang pertama
kali turun ke dermaga, lalu Rozi, Kim Leng, Javad.
Baru saja dia
menginjakkan kaki di lantai kayu dermaga, Masno tiba-tiba ditarik seorang
pekerja yang tadi mengikat tambang yacht. “Polisi! Jangan bergerak, Anda semua
kami tangkap!” Si pengusaha itu langsung diringkus. Para pekerja di dermaga,
yang sebenarnya polisi yang menyamar, langsung berlompatan menaiki yacht dan
berusaha menangkap yang lain-lain. Petugas-petugas berseragam juga bermunculan.
Rozi dan Kim Leng langsung diringkus dan diborgol. Javad yang berada paling
belakang, di pintu kabin, langsung berbalik dan berusaha lari, tapi dua orang
polisi dengan cekatan menubruk dan meringkusnya.
Mendengar
ribut-ribut, Ryoko dan Nisa di dalam kabin tersentak.
“Ayo lari!”
seru Ryoko sambil menarik Nisa dan menuju sisi lain kapal. Saking gesitnya
Ryoko, Nisa belum sempat bereaksi. Gerakannya seolah dia sudah punya refleks
untuk mencari jalan kabur secepat mungkin.
“Berhenti!”
Ketika Ryoko membuka pintu kabin, terdengar teriakan dari seorang polisi yang
berposisi dekat sana. Sialnya, si polisi berada di posisi yang kurang
menguntungkan—di balik pintu, sehingga Ryoko justru menggebrak pintu
keras-keras untuk menghantamnya. Si polisi terhuyung, dan waktu beberapa detik
itu cukup bagi Ryoko untuk keluar dan sekalian memanfaatkan ketidakseimbangan
si polisi untuk menjatuhkannya ke dalam air.
“Ayo ikut aku, Irina!”
seru Ryoko sambil melompat turun ke cabang dermaga di sisi lain yacht. Jelas
Ryoko berusaha kabur. Irina mengikuti.
Sudah waktunya, n’Duk.
Nisa melihat
punggung Ryoko di depannya. Dan terpintas di benaknya betapa Ryoko telah begitu
baik pada dirinya beberapa bulan ini. Juga berbagai kenikmatan yang diberikan
oleh Ryoko.
Apakah kamu bimbang?
Kata-kata
Kombes Bambang Harjadi pun teringat. Demikian pula sumpahnya terhadap
pekerjaannya yang sejati.
Polwan.
Dan tugasnya
adalah menegakkan hukum.
Nisa menerjang
Ryoko dari belakang. Keduanya jatuh berdebam di lantai kayu dermaga. Ryoko
terkaget menyadari siapa yang menjatuhkannya.
“IRINA??!!”
jeritnya. Namun dia segera berguling menghindar ketika melihat tangan Nisa
berusaha menelikung.
“Jangan melawan,”
Nisa mencoba memperingatkan. Beberapa polisi mendekat.
“Kamu...” Ryoko
akhirnya menyadari rahasia Irina...
“ANJIING!!”
Ryoko yang
posisinya sudah terpojok itu menggila. Secepat kilat tendangannya mengincar
wajah Nisa; nyaris wajah Nisa memar apabila dia telat menghindar. Nisa balas
memukul, dan Ryoko menangkis. Nisa akhirnya mendapat kesempatan untuk menjajal
kemampuan bela diri Ryoko.
Namun entah
kenapa, para polisi di sekitarnya lebih sibuk dengan Masno dan kawan-kawan
serta mengamankan awak yacht. Tak seorang pun maju membantu Nisa meringkus
Ryoko. Dia berjuang sendiri.
Ryoko kembali
melancarkan tendangan ke arah pinggang Nisa, dan kali ini Nisa telat
menghindar. Dia roboh dan Ryoko langsung menerkamnya. Emosi menguasai Ryoko
sehingga serangan berikutnya yang mengenai Nisa adalah tamparan ke wajah.
“Kenapa?!
Kenapa mesti KAMU??!!” jerit Ryoko selagi dia menjambak Nisa. Bibir Nisa
berdarah ketika satu lagi tamparan keras Ryoko mendarat di sana. Dan Ryoko juga
menarik bajunya. Ketika itu Nisa mengenakan blus berkancing dan rok pendek.
Kelengahan
akibat emosi itu bisa dimanfaatkan Nisa. Sodokan lututnya ke perut Ryoko
membuat dia bisa menyingkirkan Ryoko dari atas tubuhnya. Cepat-cepat dia
berusaha berdiri lagi, menyeka darah dari bibirnya, sambil berusaha mengambil
nafas. Dia merasa beberapa utas rambutnya tercabut ketika Ryoko tadi menjambak,
dan hampir semua kancing blusnya sudah copot.
Nisa menatap
mata Ryoko yang kini menyorot penuh kebencian. Ryoko tak punya pilihan lagi,
dia menerjang duluan. Nisa menghindar dan berhasil mengarahkan tendangan ke
pinggang Ryoko—tapi ternyata tidak kena! Yang terjadi malah sikut Ryoko
menghajar ulu hatinya, membuat Nisa menjerit kesakitan. Dan mendadak tubuh Nisa
terangkat... Ryoko membantingnya ke lantai!
Nisa kesal
kepada dirinya sendiri selagi dia terkapar di lantai dermaga. Memang, penugasan
penyamarannya selama berbulan-bulan membuat dia kurang latihan. Dan kini lutut
Ryoko mendesak perutnya sementara si germo mencekik lehernya. Tatapan tajam
Ryoko seolah ingin menusuk menembus mata dan kepala Nisa selagi Nisa susah
payah menahan tangan Ryoko menghentikan nafasnya...
Dan di sudut
mata si germo menitik air mata, kesedihan karena dikhianati seseorang yang
sungguh-sungguh ia anggap dekat, seperti adik sendiri, bukan barang dagangan
seperti perempuan lain yang ia jual...
“IRINAAA!!”
jerit Ryoko, ketika pergumulan mereka berdua dihentikan oleh para polisi yang
akhirnya turun tangan. Bersamaan dengan itu sejumlah kilatan kamera
mengabadikan Ryoko dan Nisa yang sedang dipisahkan oleh para polisi. Nisa
kelelahan, berantakan, tak peduli dia sedang difoto dalam keadaan baju
acak-acakan. Para wartawan itu datang atas petunjuk komandan polisi setempat
mengenai penggerebekan, namun yang awalnya mereka kira kasus biasa ternyata
sesuatu yang sensasional. Apalagi mereka sudah diberitahu mengenai satu video
terkait penangkapan itu.
*****
Di tempat parkir pelabuhan, jauh dari hiruk
pikuk keramaian polisi dan pencari berita...
"Dik Prabu, satu penghalang sudah kita
singkirkan. Rencana kita berjalan mulus. Selamat," kata Kombes Bambang
Harjadi.
"Semua hanya bisa terlaksana karena
bapak juga," balas Prabu, si pengacara.
“Bagaimana dengan Savitri?” tanya sang
Kombes.
“Kebetulan teman-teman saya di Bangkok
bersedia ‘mengurus’ dia,” kata Prabu. “Sayang juga harus menyingkirkan dia.
Tapi kita tinggal beli mainan baru, kan? Lagipula kalau kangen kita tinggal
terbang ke sana dan datangi club tempat dia disimpan.”
Keduanya
terbahak dan pergi.
*****
"ANAK DURHAKA! PELACUR! LONTE! BIKIN
MALU KELUARGA!"
Juanisa hanya bisa terdiam. Ia tidak
menundukkan kepalanya seperti kebanyakan wanita yang sedang menghadapi cacian
seperti itu, terlebih yang datang dari orangtuanya sendiri.
Ia hanya diam, ia tak lagi mendengar
bentakan dan teriakan ayahnya.
Ia tak lagi mengindahkan telunjuk sang ayah
yang mengacung menghukum dirinya...
Ia tak lagi memandang sosok sang ibu yang
terisak, terduduk di tengah rumah mereka yang sederhana itu....
Ia seakan kosong... hanya sebuah mortal shell tanpa jiwa...
Lemparan koran dengan isian berita
penggerebegan bertebaran di sekitarnya... mengenai wajahnya...
Ia tak lagi perduli...
Isi berita yang jelas sangat berbeda dengan
kenyataan yang ada...
Pelacur
yang sakit hati membalas dendam pada sang germo!
Pelacuran
kelas berat terbongkar: seorang pelacur mengakui semuanya...!
Dan siapakan pelacur itu jika bukan dirinya
yang dimaksud.....
Pemberitaan media yang mengumbar habis jati
dirinya, yang jelas dibocorkan oleh Savitri membuatnya tak lagi bisa
berkutik...
Dan bukan hanya telunjuk sang ayah...
Keluarga besarnya...
Para bibi yang memang dari dulu mencibir
kecantikannya…
Para paman yang merasa diri mereka sangat
suci, walau kenyataannya mereka juga sering bermain gila di belakang
istri-istri mereka...
Para sepupu....
Juanisa hanya diam....
Pikirannya menerawang....
*****
"Saudari saksi... apakah Anda benar
bernama Juanisa Putri?" tanya ketua majelis hakim yang memimpin sidang
atas terdakwa Ryoko.
Juanisa langsung mencelos mengetahui adanya
kemungkinan kalau semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Ia melihat sosok Prabu
yang duduk di deretan pembela yang disewa Ryoko.
"Ya benar, nama saya Juanisa Putri,"
kata sang gadis yang berusaha tenang walau hatinya begitu berkecamuk.
"Pekerjaan anda adalah anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia?"
"Benar."
"Pangkat anda?"
"Inspektur dua."
"Apakah anda mengenal terdakwa Faria
Rosalin?"
Mata kedua wanita itu bertemu... satu
dengan tatapan ingin membunuh dan yang satu kini nampak kosong...
"Ya saya mengenal terdakwa dengan nama
Ryoko..." katanya pelan.
"Apakah anda mengetahui pekerjaan
terdakwa?"
"Ya...."
"Coba jelaskan di muka sidang mengenai
pengetahuan anda akan pekerjaan saudari terdakwa."
"Faria Rosalin atau Ryoko berprofesi
sebagai seorang mucikari yang melakukan praktik prostitusi," kata Nisa
dengan suara yang sedikit bergetar....
Sang hakim memandang ke arah pembela.
"Silakan jika Anda ingin menanyai
saksi."
Prabu mengambil mikrofon. Juanisa memandang
tegang, Ryoko menampilkan senyum iblisnya. Persidangan sebenarnya sekarang
dimulai.
"Saudari saksi... Anda berkata kalau Anda
seorang polisi wanita," kata Prabu sebagai pembuka. "Bagaimana Anda
bisa mengenal begitu baik akan aktivitas terdakwa?"
"Saya ditugaskan untuk menyamar dan
menginfiltrasi kelompok Ryoko."
“Maksudnya Anda menjadi anak buah saudari
terdakwa yang Anda sebut sebagai mucikari? Dengan kata lain Anda menjadi
PELACUR?” Prabu sengaja menyebut profesi samaran Nisa itu keras-keras.
“…Iya,” jawab Nisa dengan berat.
"Siapa yang memberi anda tugas?"
Juanisa terdiam.... kelebatan nama muncul
di kepalanya...
"Komisaris Rasidi...."
"Sayang sekali, Komisaris Rasidi telah
gugur dalam tugas di Papua, bukan begitu Ipda Juanisa?"
Sang gadis tertegun. Bagaimana....?
"Tidak mungkin urusan sekaliber ini
hanya diorganisir oleh seorang komisaris, dan Anda pasti mengetahui siapa yang
mengorganisir operasi ini."
Tidak....
aku tidak bisa menjerumuskan Bapak.... beliau sangat berharga.... batin Nisa...
"Maaf, tapi atasan langsung saya
adalah Komisaris Rasidi," jawab Nisa tegas.
"Kalau begitu saya bisa saja meragukan
kredibilitas anda sebagai seorang saksi," serang Prabu lagi.
"Dengan tewasnya Rasidi, kita tidak
akan pernah bisa tahu apakah Anda memang ditugaskan atau Anda dengan sukarela
menjadi anak buah terdakwa."
Tangan Nisa bergetar ketika ia memegang
mike...
Dan Prabu masih terus menyerang
kredibilitasnya.
"Coba ceritakan bagaimana anda bisa
sampai masuk dalam kelompok terdakwa."
Suara Nisa kadang tersendat, bergetar dan
nyaris tak terdengar ketika ia harus kembali mengulang semua pengorbanan yang
dilakukannya sehingga beberapa kali Prabu harus meminta Nisa untuk mengulangi
detail yang ingin sekali ia lupakan...
"Saudari Nisa... berdasarkan
keterangan Saudari, nampak jelas kalau Anda berinisiatif untuk masuk dalam kelompok
terdakwa."
"Tidak Pak... semua karena tugas,"
bantah Nisa terbata...
"Seorang polwan tentu akan mencoba
beribu cara untuk menolak melayani lelaki seperti yang Anda lakukan namun tetap
memiliki integritas dan determinasi dalam melaksanakan tugas," serang
Prabu.
"Tidak Pak... saya..."
"Saya meminta catatan mengenai operasi
ini dari kesatuan anda, dan tidak pernah ada surat perintah untuk melakukan
pengintaian atau infiltrasi."
Nisa terkesiap. Black ops? Tidak mungkin...
Semua data jelas. Laporan tertulisnya lengkap....
"Sepertinya Anda sudah menggunakan
kewenangan Anda sebagai abdi negara untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri
dan kemudian menggunakan kewenangan Anda setelah penggerebekan terjadi,"
cecar Prabu lagi.
"Tidak!" bantah Nisa. "Tidak
benar... saya mendapat perintah... saya menjalankan perintah!"
Nisa panik.. sebenarnya ini persidangan
siapa?
Siapakah terdakwanya?
Kenapa semuanya menyerang dirinya?
Bahkan JPU dan hakim tak ada yang
menghentikan cecaran Prabu.
Kenapa?
"Kalau begitu di depan sidang
pengadilan dan masyarakat yang menyaksikan, sebagai saksi yang telah disumpah
untuk memberikan keterangan sebenar-benarnya... Jawab!"
Nisa terdiam..
"Apa Saudari mendapat bayaran dari
pelayanan yang Saudari berikan pada para lelaki hidung belang itu?"
Kini Nisa tak lagi bisa duduk tegak...
kepalanya tertunduk dan ia mulai terisak.
Ketua hakim berkata, "Harap Saudari
menjawab pertanyaan tersebut."
Nisa terisak, dengan terbata ia menjawab…
"I... Iya yang mulia... saya mendapat
bayaran dari para lelaki yang saya layani...."
"Nah sekarang setelah kenyataan
terungkap di ruang publik," lanjut Prabu tanpa memberi kesempatan Nisa
untuk menarik nafas, "jelaskan bagaimana jaringan terdakwa
beroperasi..."
Maka dengan gamblang Nisa yang merasa harga
dirinya sudah sangat dijatuhkan menjelaskan apa yang ia alami selama menjalani
'profesinya' di bawah asuhan Ryoko. Bagaimana proses perekrutan, pembagian
tugas, pemilihan klien... tipe pelayanan yang diberikan...
Dan dengan pertanyaan Prabu yang meminta rincian
tipe pelayanan yang diberikan Nisa kepada para klien, kelelakian seluruh
pengunjung sidang, termasuk panitera, JPU, dan hakim mulai terusik.
Walau terdengar hujatan dari kaum wanita
maupun cibiran lelaki, namun tak dipungkiri, mereka sedikit banyak terangsang
oleh cerita Nisa....
***
PLAK!
Tamparan sang bunda membuat Nisa kembali ke
saat ini, di tengah sidang besar keluarga yang selama ini sangat tak pernah
terjadi...
Keluarga yang sebenarnya saling membenci
satu sama lain...
Mereka sebenarnya tak pernah perduli dengan
dirinya. Apalagi dengan profesinya di unit reserse membuatnya tak bisa banyak
memaparkan tugasnya.
Nisa merasakan bibirnya pedih dan berdarah
akibat tamparan sang bunda. Namun tamparan itu tak lagi dirasakan. Ia sudah tahu
kalau ia akan kehilangan segalanya....
Sejak ia mengambil tugas itu, ia sudah tahu
risiko yang akan diterimanya.
Kehilangan keluarga…
Pekerjaan…
Nama baik...
Segalanya...
****
Nisa mencoba tegar berdiri di di tengah
sidang disiplin ketika keputusan akan dibcakan...
"Setelah mempertimbangkan segala
seuatunya dengan seksama, dengan memperhatikan fakta yang ada selama
persidangan, kami memutuskan bahwa Ipda Juanisa Putri secara sah dan benar
terbukti melanggar kode etik kepolisian, melakukan pencemaran nama institusi
dengan terbukti secara sah menyalahgunakan kewenangan dan melakukan tindakan
asusila dengan melakukan tindakan prostitusi dengan berkedok tugas.
Dengan ini memutuskan memberhentikan dengan
tidak hormat Ipda Juanisa Putri dan keputusan ini berlaku pada tanggal
dibacakannya keputusan ini."
Ketukan palu pimpinan sidang bagaikan godam
besar yang dihantamkan ke hati Nisa. Tak ada pembelaan untuk dirinya... namun
apa yang bisa diharapkannya? Ia sendiri sudah memutuskan untuk tidak
menyangkutpautkan sang panutan dalam kekisruhan yang terjadi ini. Baginya
Bambang Harjadi adalah sosok yang harus ia jaga, walaupun berarti ia akan
kehilangan segalanya...
Dan kehormatannya sebagai perempuan
benar-benar ditiadakan hari itu...
Seagaimana layaknya kepada mereka yang
diberhentikan secara tidak hormat, perwira pimpinan sidang mendatangi Nisa yang
berdiri tegak walau nampak jelas bergetar...
Ia melepaskan tanda kesatuan, kepangkatan
dan topi sang gadis...
Dan...
Nisa menangis namun tetap bersikap sempurna
ketika pimpinan sidang melucuti pakaian dinas yang dipakainya... hingga tinggal
menyisakan bra menutupi bulatan payudaranya...
Walau ketelanjangannya tidak berlangsung lama
karena sang perwira kemudian memakaikan hem putih pada sang gadis, namun kemulusan
dan keindahan tubuh sang gadis tertampang jelas untuk mata para rekan kerja yang
selama ini hanya membayangkan kemulusan tubuh sang Ipda...
*****
"PERGI KAU ANAK DURHAKA! AKU HARAMKAN
KAMU JADI ANAK KAMI! JANGAN SEKALI-KALI LAGI DATANG KE RUMAH INI DAN AKU
HARAMKAN KAMU UNTUK MENANGISI KUBURAN KAMI!!"
Nisa diam...
Ia melangkahkan kaki keluar dari rumah yang
dipenuhi tangisan dan teriakan histeris...
"Nisa... ayo... ikut Paman," ujar
salah seorang pamannya yang dari tadi memang menanti di luar, nampak tak ikut
dalam penghujatan yang diterimanya. Dengan lunglai sang gadis mengikuti sang
paman, yang memacu kendaraannya menuju ke arah luar kota, ke sebuah villa di
kawasan pegunungan.
"Ayo, sayang... masuklah dulu... kamu
bisa menenangkan dirimu di sini untuk sementara..."
"Terima kasih paman..." kata Nisa
lirih sambil masuk ke dalam villa.
Ia tak melihat seringai penuh kemenangan
sang paman ketika ia membiarkan sang gadis masuk lebih dulu, ebelum ia menutup
pintu dan menguncinya.
"Halo Nisa.... "
Mata Nisa tertegun memandang tiga sepupu
dan tiga keponakannya yang masih bersekolah di SMU, semuanya berkumpul di dalam
villa itu.
Nisa mendadak merasakan bahaya. Ia berbalik
dan menabrak tubuh sang paman yang kini nampak beringas itu...
Segera keenam kerabatnya mengepung tubuh
sang gadis yang meronta sejadinya. Namun Nisa jelas kalah tenaga dan sama
sekali tidak siap untuk menghadapi serangan mendadak itu. Dalam waktu tak lama
bunyi pakaian yang tercabik mengisi ruang tengah villa... ditingkahi jeritan
sang gadis dan tawa kekeh para lelaki buas yang lagi tak memiliki kesadaran
kalau yang sekarang sedang mereka gumuli adalah saudara mereka sendiri...
Tak lama kemudian Nisa menjadi bulan-bulanan
mereka...
Nisa menangis karena frustasinya. Bukan
karena seluruh lubang kenikmatan di tubuhnya kembali menjadi sarang penis,
namun kenyataan bahwa anggota keluarganya sendiri kini memperkosanya
benar-benar menyakitkan hatinya.
Bahkan lebih perih dari ketika pemerkosaan
yang dilakukan Rasidi dan rekan-rekannya, walau sama brutalnya... sama
liarnya...
***
Selama tiga hari sang gadis disekap dalam
villa itu, dan selama tiga hari neraka jahanam menghampiri dirinya. Pamannya
membawa teman.... Juga sepupunya... Juga keponakannya...
Nisa sangat lemah. Ia sangat sakit, baik
badan maupun hatinya. Ia sudah hancur... ia sudah merasa kalau ia memang hanya
seonggok daging untuk memuaskan nafsu para lelaki.
Hanya sekedar penampungan sperma...
Dini hari...
Dengan langkah yang tertatih dan dengan
menahan nyeri di selangkangannya sang gadis meninggalkan villa terkutuk yang
sudah sepi itu. Para pemerkosanya sudah bosan dengan tubuhnya dan
meninggalkannya begitu saja....
Dengan pakaian seadanya sang gadis menyetop
kendaraan pengangkut sayur yang baru berangkat dan membawanya kembali ke kota.
****
BERSAMBUNG