DEMI
TUGAS 5 [FINAL]
SINOPSIS
Seorang
polwan ditugaskan menyamar untuk menyusup ke dalam sindikat prostitusi kelas
tinggi. Namun misinya tak se-sederhana yang diduga.
Story
codes
MF,
M+/F, FF, MFF, M+/FF, anal, bd, b-mod, cr, dp, tort
DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi
adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika
pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah
mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif.
Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka
dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan
memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan
mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang
berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan
trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat
membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang
apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber
pendapatan bagi siapapun.
Demi
Tugas 5 [final]
Ninja
Gaijin & Pimp Lord
Hujan
menyambut kembalinya Nisa ke kota. Tapi ke mana tujuannya? Rumah orangtuanya sendiri
sudah tidak lagi menyambutnya. Keluarga besar? Kejadian barusan sudah
menghancurkan kepercayaannya pada keluarga besarnya.
Dengan
uang tersisa, Nisa mencari angkutan ke tempat tinggalnya yang terakhir, asrama
polwan. Sesudah kasus Ryoko selesai, Nisa memang kembali ke sana. Tapi dia
hanya mendapat sodoran tas berisi barang pribadinya dan komentar dingin dari
penjaga di depan.
“Karena sudah dipecat, Anda sudah tidak berhak tinggal di
sini lagi. Ini barang-barang Anda.”
Satu lagi tujuan Nisa. Kombespol Bambang
Harjadi.
Nisa
nyaris kehabisan uang. Tapi dia berhasil sampai juga di rumah besar Bambang
Harjadi yang sepi. Lagi-lagi…
“Bapak
tidak ada di tempat, sedang ke luar negeri,” kata bintara penjaga rumah dari
balik kaca sempit pos jaga.
“Kapan
pulangnya?”
“Maaf,
Mbak ini perlunya apa ya? Bapak ke luar negeri untuk tugas negara. Kalau tidak
ada keperluan penting, saya tidak bisa bantu.”
Nisa
tidak bisa bertanya lebih lanjut karena si penjaga langsung menutup tirai jendela
kaca pos jaga.
Habis…!
Sesudah
institusi dan keluarga, Bambang Harjadi pun telah meninggalkannya. Tidak ada
lagi manusia yang mau menolong Juanisa. Dengan langkah gontai dan jiwa
terguncang dia berjalan terseok menjauhi rumah Kombes Bambang, aliran air
matanya tak terlihat di tengah guyuran hujan lebat.
Andai ada Ryoko…
Ryoko sudah kau khianati!
Tapi dia penjahat!
Apa bedanya dengan dirimu? Biarpun penjahat, justru Ryoko
tak pernah mengkhianatimu kan?
Mana orang-orang baik? Mana keluargamu? Mana lembagamu?
Mereka orang baik kan? Bukankah justru orang-orang baik mengkhianatimu?
Hampir
dua jam Nisa berjalan tak tentu arah, dan hujan tetap turun dengan deras. Nisa
sudah tak peduli lagi, ia benar-benar kehilangan pegangan. Berkali-kali dia
terpeleset, dan terciprat ketika kendaraan melintas di sampingnya.
TEET
TEEET!
Nisa
menoleh. Seorang pengendara motor berada di sebelahnya, dan berkata kepadanya,
“Ojek,
Non?”
Sejenak
Nisa tertegun. Lalu dia memutuskan untuk naik ojek itu. Ke manapun dibawa, dia
tak peduli…
“Ke
mana?”
Nisa
menggumam tak jelas. Tapi si tukang ojek seolah mengerti… dan ojek pun melaju
menembus hujan, di tengah kota yang menuju senja.
*****
Menjelang
malam…
“Pemirsa.
Skandal penggerebekan jaringan prostitusi Ryoko yang melibatkan oknum polwan
kembali membuka babak baru ketika beberapa hari ini di masyarakat mulai beredar
video porno yang diduga dibintangi JP, oknum polwan tersebut. Meski demikian
Kepolisian menyatakan video itu tidak ada hubungannya dengan kasus ini dan
bukan melibatkan JP. JP sendiri diketahui telah diberhentikan secara tidak
hormat karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik…” Siaran berita malam
terus menayangkan hal-hal yang menohok Nisa.
“Maati’iiin
TV-nyaaa…” suara Nisa mengeluh panjang ditingkahi gelak tawa beberapa
laki-laki. Mereka semua sedang berada di satu warung kecil di kawasan kumuh, di
tengah asap rokok, kulit kacang, dan botol-botol minuman keras. Nada bicara
Nisa melantur karena dia sendiri sudah tak kuat mengangkat kepalanya dari meja.
Dia mabuk. Dia dibawa ke warung itu oleh si tukang ojek dan dibikin mabuk.
“Eh
gue ada videonya yang ada di tivi itu loh!” seru seorang laki-laki di dekat
Nisa. “Gue dikasih sama si Kus tukang pulsa di depan. Mau nonton nggak?”
Teman-temannya
merubung. Orang itu memutar video di HP-nya. Bunyinya diperkeras. Dan
terdengarlah desah nafsu Nisa di dalam warung itu.
“Oh!
Ahh! Entot akuu!! Ngh! Nguhh!”
Para
laki-laki itu, tukang ojek, preman, pedagang asongan, tukang parkir, pengangguran, tertawa
dan berkomentar jorok melihat hiburan kecil di tengah dinginnya hujan yang
berlanjut sampai malam dan mengguyur warung itu.
“Eh
Non, mau ikut lihat film seru nggak?” Si tukang ojek yang tadi memboncengkan
Nisa mengangkat kepala Nisa sehingga Nisa bisa melihat video di HP temannya.
Seorang temannya lagi, sepertinya preman, mengelus paha Nisa. Nisa yang mabuk
tak kuasa melawan ketika dipermainkan seperti itu. Di atas meja warung juga ada
koran murahan yang memajang beberapa foto Nisa ketika sedang menyamar menjadi
pelacurnya Ryoko. Video itu jelas dari kamera video Ryoko yang disita pada saat
penangkapan di pelabuhan, dan foto-foto berasal dari penyelidikan Savitri.
Andai Nisa masih berpikiran jernih, dia layak curiga dengan bocornya semua
bukti itu ke pers—pasti ada permainan orang dalam. Namun bergelas-gelas minuman
keras sudah mengaburkan akalnya.
Si
preman meraih wajah Nisa dan menciumnya dengan paksa. Bau alkohol di satu mulut
bertemu bau alkohol di mulut lain. Teman-temannya malah tepuk tangan dan
menyemangati. Mereka tidak tahu, tidak peduli, siapa perempuan cantik kebingungan
yang dibawa si tukang ojek ke tempat nongkrong mereka itu. Alkohol dan video
porno memancing birahi mereka dan kebetulan ada perempuan…
“Lonte
yang lu bawa cakep ya. Mirip sama yang di video!” kata si pemilik HP.
“Sembarangan
lu, yang di video kan polwan?”
“Eh
udah tengah malem nih. Gue mau tutup!” kata seseorang, sepertinya pemilik
warung.
“Ayo bayar, jangan pada ngutang! Lu pada buka botol aja sampai sepuluh…”
Si
tukang ojek lalu bilang, “Sori Bang, gue kagak ada duit. Ni cewek aja numpang
nggak bayar. Tapi kalo gue bayar pake dia aja gimana?”
“Maksud
lu apa bayar pake dia?” kata si pemilik warung.
“Lu
boleh pake ni cewe semau lu, gimana?” si tukang ojek menawarkan.
Sementara
si tukang ojek berusaha ‘menjual’ Nisa, si preman terus menciumi dan menggerayangi
Nisa. Dia lalu memaksa Nisa meminum segelas miras lagi.
“Oke,”
kata si pemilik warung sambil memperhatikan tamu perempuannya yang mabuk itu.
“Tapi gue duluan yang pake dia. Gue kagak mau bekas elu pada.”
“Tutup
dulu warungnya,” kata si tukang ojek. Si
pemilik warung langsung menutup pintu dan jendela warung. Orang-orang di sana
menyingkirkan semua yang ada di atas meja, lalu mengangkat tubuh Nisa dan
menaruhnya telentang di atas meja, disiapkan untuk menjadi tempat pelampiasan
nafsu.
*****
Pagi...
Nisa
terbangun dari tidur dengan kepala sakit, hangover. Tubuhnya terasa linu,
seluruh ototnya pegal. Dapat dia rasakan kulit punggungnya menyentuh alas kayu—
Dia
sadar dia tertidur telanjang. Pelan-pelan dia membuka mata dan dilihatnya
cahaya matahari yang sudah agak tinggi. “Ahh...” rintihnya, merasa kepalanya
sakit.
“Sudah
bangun?” terdengar suara perempuan di dekatnya.
“Kepala...
sakit...” keluh Nisa.
“Kebanyakan
minum sampai ketiduran di sini ya?”
“Auhh...
ngga tau... Badan... sakit semua...” Nisa cuma bisa bicara putus-putus. Dia
belum melihat siapa perempuan yang bicara dengannya.
“Sampai
ga pake baju gini. Ayo, bangun, pake baju dulu.”
Nisa
bangun dengan susah payah, lalu memakai lagi bajunya yang berserakan. Dia pun
sadar di dalam vaginanya ada sisa-sisa sperma. Dia teringat kejadian-kejadian
serupa ketika masih menyamar, dia tertidur sesudah melayani laki-laki,
ditinggal begitu saja dengan benih mereka dalam dirinya.
“Ada...
kamar mandi di sini?”
“Ada
air di belakang,” kata si perempuan sambil menunjuk. Nisa kini bisa melihat
dia: perempuan 40-an dengan rambut keriting, wajah keras yang masih sedikit
menyisakan kecantikan, tank top lusuh, dan kuku bercat merah yang tak rapi.
Nisa
menuju belakang warung, di sana ada WC jongkok sederhana yang jorok dengan ember
dan gayung. Menahan jijik, dia membersihkan diri seperlunya, lalu kembali ke
tengah warung.
“Katanya
Alip kamu mau nyari kerja di wisma?”
“Alip?
Wisma?”
“Tukang
ojek. Tadi pagi dia bilang bawa kamu ke sini katanya kamu mau nyari kerja.”
Nisa
agak bingung.
“Bingung?
Baru pertama ke sini yah? Tempat ini namanya Kalirotan,” si perempuan
menjelaskan, sambil menyalakan rokok.
“Kalirotan.
Oh...” Nisa tahu nama itu. Nama salah satu lokalisasi kelas bawah di kotanya.
Statusnya setengah legal.
“Oh iya
kenalin. Nuri...” kata perempuan itu sambil menyalami. “Bener mau kerja di
wisma? Kamu lumayan cakep. Di tempatku aja mau?”
Nisa
termenung mencerna tawaran perempuan itu.
*****
“NGENTOT!!”
“MINGGAT
LU BANGKE!!”
BUKK!
BRAK! DUGG!!
Seorang
laki-laki terjatuh di jalanan. Dua orang laki-laki lain menendang dan
menginjaknya. Laki-laki yang jatuh itu susah payah berdiri dan akhirnya
berhasil kabur. Dua orang yang menyerangnya memaki-maki.
“Ooii
ribut-ribut apa sih itu?” teriak Mami Nuri dari dalam warung tendanya.
“Orang
main ga bayar Mbak!” orang yang tadi menendangi berteriak membalas.
“Berisik
amat sih,” omel Mami Nuri sambil melongok ke jalan. Seorang laki-laki berdiri
di luar warung. Bapak-bapak setengah baya, kumisan, dengan rambut tipis dan
kemeja lusuh. Tampangnya seperti pegawai rendahan, laki-laki yang gagal meraih
sukses padahal umur produktifnya hampir habis. Tetap saja Mami Nuri
menyambutnya dengan baik, mempersilakannya duduk di sofa depan dan tanpa
diminta langsung membukakan botol minuman. Mami Nuri lalu memanggil anak
buahnya. Lima orang perempuan langsung mendekat dan memajang diri di depan si
bapak. Bentuk mereka bermacam-macam, dari ABG kurus kering sampai STW montok.
Bau macam-macam parfum murahan bertabrakan di hidung si bapak. Para pelacur
kelas bawah itu berusaha tampil seksi, mengumbar belahan dada dan paha, namun
kesan murahan tidak bisa hilang.
Tapi si
bapak merasa ini malam keberuntungannya. Di lokalisasi kelas bawah yang dia
kunjungi itu, ternyata ada juga yang lumayan. Dia menunjuk perempuan yang
berada di tengah. Perempuan itu mengenakan blus tanpa lengan putih tipis dengan
bra hitam berenda membayang di baliknya, rok superpendek kotak-kotak, sepatu
hak tinggi. Rambut panjangnya dikuncir ekor kuda, sehingga sepasang telinganya
yang digelantungi anting lingkaran terlihat. Meski dandanannya semenor yang
lain, dengan bedak tebal, lipstik merah, eyeshadow biru, dan bulu mata palsu,
wajahnya tetap lebih cantik. Si bapak memilih dia.
Nisa |
Si
bapak memilih Nisa.
Sudah
dua minggu Nisa berada di sana, melacur di warung remang-remang Mami Nuri. Dia
benar-benar merasa tak punya harga diri lagi sesudah dipermalukan di mata
publik, dipecat, dibuang orangtua, dikhianati keluarga, dan terakhir digilir
oleh sekelompok begundal kelas teri ketika mabuk. Maka dia pun tak berpikir
macam-macam ketika Mami Nuri menawarkan pekerjaan.
Dia tak
lagi merasa dirinya perempuan baik-baik. Apalah lagi dia selain seperti yang
dituduhkan seluruh dunia, semua orang kepadanya? Dia pelacur. Lonte. WTS.
Di
sinilah tempat yang pantas baginya, di mana semua orang di dalamnya tak punya
harga diri. Di mana semua perempuannya mengangkangkan kaki demi uang.
Nisa
tersenyum dan menggandeng si bapak keluar dari warung remang-remang Mami Nuri,
sesudah si bapak membayar minuman yang tidak diminta dan harganya kemahalan.
Mereka menuju kamar tempat kencan—sebenarnya tenda tertutup dengan ranjang
bambu dan kasur di dalamnya. Dari tenda-tenda lain terdengar desahan dan
rintihan palsu para pelacur murahan yang sedang bekerja. Satu-dua preman
berjaga di sana.
Seperti
itulah kehidupan Nisa sekarang, hakikatnya sama dengan pekerjaannya di bawah
Ryoko dulu, namun kelasnya jauh berbeda. Dari kamar hotel bintang lima ke
warung tenda. Dari jutaan ke seratusan ribu. Dari pengusaha, pejabat, petinggi
ke sopir, kuli, preman.
Nisa
tak repot-repot mengajak bicara atau berkenalan si bapak, dia langsung melucuti
pakaian laki-laki hidung belang itu, kemudian menelanjangi diri. Untuk
memancing nafsu, dia menciumi sekujur tubuh si bapak yang langsung berbaring di
ranjang. Tangan, lengan, ketiak, leher, belakang telinga. Turun ke dada, perut,
dan akhirnya kemaluan. Si mantan polwan langsung menjulurkan lidahnya dan
menjilati kepala burung si bapak seperti menikmati lolipop. Keahlian blowjobnya
yang sangat terasah ketika bekerja untuk Ryoko tak hilang. Sesudah membasahi
seluruh kepala burung itu dengan liur, lidahnya bergerak turun sepanjang
batang, menggelitik pelir, dan turun terus sampai lubang anus. Si hidung belang
merasa geli-geli nikmat dibegitukan, dia benar-benar beruntung mendapat servis
kelas tinggi di tempat murahan itu.
Lalu
Nisa mengangkangi tubuh si bapak dan menancapkan penis yang basah dengan liur
itu dalam vaginanya. Dia sudah tidak berpikir menggunakan kondom—dia tak peduli
lagi dengan dirinya, tak peduli risiko hamil ataupun penyakit. Nisa tersenyum
palsu selagi dia mulai menggoyang-goyang tamunya pelan, lalu dia menundukkan
tubuh ke depan sambil merangkul kepala si bapak agar menikmati payudaranya. Si
bapak dengan bahagia menyusu kepada Nisa. “Uhhh!! Isep Mas!” rayu Nisa.
Yang
agak di luar dugaan, ternyata ereksi si bapak tahan lama. Nisa menggenjotnya
sampai dia sendiri orgasme, tapi tamunya tetap tegang. Mereka kemudian tukar
posisi jadi misionaris, dan si bapak menggenjotnya cukup lama, mungkin 20
menit, sampai dia mandi keringat dan si bapak pucat.
“Kok
gak keluar-keluar sih! Pake obat kuat ya?” maki Nisa kesal. Si bapak nyengir.
Ternyata kejantanan hasil dibeli dalam bungkusan! Sekali lagi Nisa orgasme,
tapi dia tak menikmatinya. Vaginanya sudah terasa kering karena kelamaan
dipakai.
Akhirnya
si bapak ejakulasi juga, meski disambut wajah cemberut Nisa. Sialan! Umpatnya
dalam hati.
Bapak
itu menaruh uang di atas ranjang dan mengeloyor pergi. Nisa terkapar
mengangkang, nyeri...
Namun
pekerjaannya belum selesai.
Kecantikan
alami Nisa telah membuat para lelaki hidung belang menyemut ingin menikmati
kemulusan tubuhnya. Dan baru saja Nisa bangkit dan mengenakan handuk untuk
menutupi tubuh bugilnya, pintu bilik tempat pertempurannya tadi sudah membuka
dengan paksa. Tiga orang preman mabuk dan berwajah sangar masuk dengan
seenaknya, Salah seorang dari mereka yang sepertinya pemimpin gerombolan itu lalu
membuka resleting celana jeans lusuhnya. Nisa masih terlalu lemah untuk melawan,
selangkangannya masih perih setelah digempur penis bandot tua pelanggan sebelumnya,
dan ia memang tak ingin lagi melawan...
Ia
membiarkan saja si preman menjambak rambutnya, memaksanya berlutut di lantai
yang hanya diaci seadanya. Lututnya sedikit sakit karena terbentur semen kasar,
dan perih ketika ia dipaksa beringsut mendekati selangkangan sang preman.
Preman
itu sama sekali tidak berperasaan, dengan kasar ia menjejalkan penis kotor dan
bau miliknya ke dalam mulut indah sang gadis yang kini tersedak, dan berusaha
sebaiknya untuk memuaskan lelaki yang telah membayar tubuhnya untuk memberikan
pelayanan terbaik. Sementara dua temannya mulai menelanjangi diri mereka
sendiri, lalu mulai mengelilingi Nisa... lalu memaksa sang gadis men-deepthroat
penis mereka juga.
Ah...
seandainya Nisa tahu kalau para preman itu sama sekali tak membayar satu rupiah
pun untuk menikmati tubuh indahnya! Seandainya Nisa tahu kalau Mami Nuri
sekarang sedang mengurut dada karena harus membiarkan primadonanya dijadikan
upah uang keamanan yang memang rutin ditagih para preman…. Dan Mami Nuri hanya
bisa mendesah mendengar rintihan Nisa, erangan sang gadis, serta jerit tertahan
perempuan itu seiring tubuhnya yang diperlakukan bagai binatang oleh ketiga
preman.
Akhirnya
Mami Nuri hanya bisa terisak pelan ketika ia masuk ke dalam kamar dan melihat
Nisa telentang pingsan tak berdaya, semprotan sperma memenuhi wajah, payudara
dan bagian tubuhnya yang lain... Vagina sang gadis memar, dan anusnya
membuka...
*****
Hampir
lima bulan Nisa menjalani profesi sebagai pelacur kelas teri. Namun
kecantikannya tak pudar, bahkan kenggunannya makin terpancar walau ia tak
mengenakan banyak riasan seperti rekan-rekannya yang berdandan sangat menor
demi menarik perhatian lelaki hidung belang. Riasan Nisa yang sederhana, bahkan
nyaris tak bermake-up malah membutanya menjadi sangat anggun, dan menyebabkan
banyak lelaki yang menginginkan pelayanan dari dirinya. Kecantikan alaminya,
kepasrahan total yang dilakukannya membuat pelanggannya begitu menyukai
dirinya...
Dan
begitu total pelayanan yang diberikan Nisa hingga para pelanggannya tak lagi
mengetahui kalau sang gadis mulai memalsukan orgasmenya.
Ya,
seperti pada umumnya para pelacur yang terlalu sering melayani laki-laki, Nisa
pun mulai merasa rangsangan pada vaginanya mulai berkurang... hingga ia mulai
berakting untuk membuat para tamunya merasa bagai laki-laki hebat. Walau
kenyataannya jika bukan karena obat kuat, maka dalam hitungan 3 sampai 5 menit
maka para lelaki itu sudah berejakulasi dalam rahimnya...
Dan
selama lima bulan itu, kepopuleran yang diperoleh Nisa mulai membuat seorang pelacur
yang sebenarnya masih lebih muda dari Nisa merasa tersaingi. Karena sebelum Nisa
datang dirinya-lah primadona di seluruh kompleks Kalirotan.
"Bang..."
desah Mira, pelacur belia itu sambil membelai dada bidang Margo, kepala preman
Kalirotan yang sangat disegani.
"Apa?"
kata Margo pelan namun dengan nada tegas.
"Aku
ngga suka sama si Nisa..." desah Mira dengan manja, bibirnya yang bergincu
merah manyun bagai anak kecil yang ingin diperhatikan.
"Nisa
yang mana?" tanya Margo sambil lalu, walau sebenarnya ia sudah bisa
menebak perempuan mana yang disebut Mira, karena ia sendiri telah beberapa kali
mencicipi kehangatan dan pelayanan total sang gadis yang diberikan secara
cuma-cuma sebagai bonus pembayaran uang keamanan dari Mami Nuri. Termasuk
ketika dengan tanpa jijik dan risih perempuan itu menjilat bersih penisnya yang
baru saja menghamburkan benih di anus sang gadis...
"Itu,
bang... yang di tempat Mami Nuri...."
Iya... aku tahu… ujar Margo dalam hatinya. Ia kini dalam dilema.
Bagaimana
tidak, lima bulan yang lalu, ketika ia sedang menunggu anak buahnya menyetor
hasil keamanan di warung langganannya, mendadak kepalanya ditutup kantung hitam
dan sebuah sengatan taser di uluhatinya membuatnya limbung sehingga ia tak bisa
melawan ketika diseret ke dalam mobil dan dibawa pergi dari Kalirotan.
Sinar
lampu yang diarahkan ke wajahnya membuatnya silau. Tangannya terborgol ke
belakang kursi. Margo sudah tak aneh lagi dengan ruang interogasi. Ia sudah
beberapa kali harus duduk dalam ruangan seperti itu, bernegosiasi untuk
keamanan Kalirotan yang sesungguhnya...
Namun
kali ini permintaan, bukan... perintah yang diterimanya cukup unik...
Ia
malah belum mengenal siapa interogatornya kali ini. Suara pria itu begitu
dalam, bahkan ia pun mengakui kalau ia jadi menaruh hormat pada orang itu.
"Margo,
sekarang ini di Kalirotan ada orang baru, namanya Juanisa Putri,” kata lelaki
itu sebagai permulaan. Margo yang biasanya tak sabaran dan berani melawan kini
memilih menyimak.
"Ia
sekarang tinggal di tempat Nuri. Aku mau, kau awasi dia... Kau dan anak buahmu
boleh memakai dia sebagai jasa uang keamanan seperti yang biasa kau lakukan."
Hembusan
cerutu Kuba menerpa wajah Margo. Orang
ini hebat, pikir Margo... ia bertemu lawan yang jauh lebih tangguh daripada
dirinya.
"Anak
buahku juga akan sering datang seperti biasa, meminta jatah darimu... dan kamu
akan antar mereka untuk menikmati perempuan itu. Aku mau perempuan itu dijarah
habis-habisan... kau harus atur hingga tamunya jadi lebih banyak dari tempat
yang lain, walau sebenarnya tanpa bantuanmu pun dia sudah pasti akan jadi
primadona di sana... Sebarkan berita, sebarkan tentang dirinya...
kecantikannya, kemolekannya..."
Margo
akhirnya memberanikan diri untuk bertanya... "Kenapa kau ingin menghancurkan
perempuan itu begitu rupa... apa salahnya padamu?"
Lelaki
itu menjawab, "Aku ingin menghancurkan dirinya, hingga bila waktunya sudah
tiba... ia akan patuh seutuhnya pada diriku... Namun, seblum ia mendapatkan
posisi yang terhormat di telapak kakiku... ia harus merasakan apa itu namanya
neraka dunia, apa itu neraka jahanam..."
Margo
bergidik. Lelaki ini gila, pikirnya.
*****
Dering
Sony Experia Ultra hasil curian bergetar halus di samping meja butut dalam
kamar Margo, dan membuat Margo kembali ke alam sadarnya. Ia mengambil HP itu
dan tertegun...
"Ya?"
jawab Margo.
"Baik...
Siap... Baik... Laksanakan..."
Mira
melihat kalau Margo jadi pucat setelah menerima telepon itu... dan Mira belum
pernah melihat Margo setakut itu.
"Siapa
Bang?" tanya pelacur itu manja. Margo menghalau gadis itu.
"KELUAR!"
bentaknya, membuat Mira takut.
"Ada
apa Bang?"
"Keluar
kataku! Aku mau urus Nisa, kau boleh ikut lihat dia disiksa. Tapi sekarang, keluar!"
Mira
segera keluar dari rumah Margo yang sederhana itu, namun hatinya sedikit puas
karena ia bisa menghasut Margo untuk menghancurkan Nisa. Ia tak lagi peduli
dengan Margo yang kini terduduk pucat.
Percakapan
tadi membuat Margo sangat takut. Lelaki itu benar-benar iblis...
"Margo...
tentunya sekarang Mira sudah memberi tubuhnya padamu sebagai bayaran untuk
menghancurkan Nisa..." kata lelaki itu, yang membuat Margo terdiam.
Bagaimana ia bisa tahu?
"Kau
akan melakukan apa yang ia minta... kau bawa Nisa ke gudang kosong, ajak kesepuluh
panglima wilayahmu... silakan siksa Nisa, perkosa habis-habisan, tapi jangan
sampai dia mati... Kau boleh ajak Mira, biar dia juga ikut menyiksa Nisa untuk
melampiaskan dendamnya..."
"Namun
satu saja perintahku kau langgar... MATI!"
*****
Nisa
yang sedang belanja sayuran, hanya mengenakan tank top dan celana pendek, tak
terlalu memperhatikan Mira yang datang mendekatinya. Ia menganggap wanita itu
sama seperti dirinya... hanya penampungan sperma.
"Eh
Nisa..." sapa Mira berlagak ramah. "Belanja?”
Nisa
hanya tersenyum simpul, ia sedang tidak ingin berbasa-basi. Bahkan sebenarnya ia
sendiri tak banyak memiliki teman di Kalirotan. Ia menjadi lebih tertutup dalam
pergaulan. Yang ia ingin lakukan hanyalah membuka pahanya lebar-lebar, dan
membiarkan para lelaki hidung belang kelas teri menikmati vagina, lubang
anusnya dan mulutnya secara maksimal.
"Nisa...
saya mau minta tolong sebentar, saya mau ambil barang di gang sebelah, saya
males sendiri... maklum banyak yang suka godain, hihihi!"
Nisa
yang enggan ingin sekali menolak, namun Mira mencekal lengannya dan menariknya
ke tempat yang agak sepi sebelum menodongkan pisau ke pinggang Nisa.
"Ikut
gua, anjing! Atau gua tusuk elo di sini!" bentak Mira.
Nisa
terpaksa mengikuti langkah Mira ke arah gang yang ia tahu merupakan bagian
terkejam di Kalirotan, dan tak ada satupun PSK yang cukup waras untuk
menjajakan diri di tempat itu...
Mira mendorong Nisa masuk ke dalam satu rumah yang
lebih mirip gudang, Dorongannya cukup keras sehingga Nisa terjerembab jatuh
masuk ke dalam rumah yang gelap itu. Ketika sang gadis bangkit, ia dapat
mendengar kalau pintu di belakangnya ditutup.
Untuk
sekejap, kegelapan total.
Byaaaar!
Nyala
lampu yang mendadak itu membuat sang gadis mengerjap karena silau. Dan ketika
ia sudah bisa memperoleh kembali pengelihatannya....
Margo
dan sepuluh panglimanya telah mengepungnya. Mira kemudian melangkah ke tengah
lingkaran, ia mendekati Nisa dan…
PLAK!
Tamparan
keras sang pelacur yang tak disangka oleh Nisa membuat Nisa terhuyung. Lalu pukulan
dan tendangan bertubi-tubi Mira membuat Nisa terjengkang.
Mira
yang seakan kesetanan menerjang Nisa yang terjengkang, jatuh terlentang di
lantai gudang. Mira menduduki perut Nisa, dan dengan membabi buta memukuli
wajah Nisa, menjambak rambut gadis itu, dan membenturkannya ke lantai gudang. Cakaran
Mira yang sengaja mengincar wajah Nisa meninggalkan bekas di wajah mulus sang mantan
polwan.
Pada
awalnya Nisa memilih pasrah. Namun nalurinya untuk bertahan kembali muncul.
Begitu mendapat peluang, Nisa segera memberikan perlawanan. Ia balas mencakar,
menjambak, meninju dan menendang Mira.
Para
lelaki tertawa melecehkan, ya... kecuali Margo...
Ia
memandang gaya perkelahian kedua pelacur di hadapannya itu.... terutama Nisa,
pelacur yang sangat diperhatikan oleh sang perwira.
Aneh... gaya berkelahinya begitu biasa,
batin Margo... Malah lebih mirip pelacur
berkelahi....
Ya,
Nisa kini tak lagi bertarung bagai seorang polwan. Ia kini hanya bertarung
berdasarkan naluri survival... dan ini cukup mengherankan Margo, yang
mengharapkan kalau pelacur yang sangat diperhatikan ini memiliki keahlian bertarung
yang bisa membuat sang perwira terkesima.
Namun,
sesederhana apapaun Cat Fight yang tersaji, jelas nampak kalau Mira mulai kewalahan.
Nisa sendiri mulai nampak kembali ke style bertarungnya yang dulu.
Margo
memberi tanda kepada seoang anak buahnya yang dengan sigap menelikung Nisa,
menjambak rambutnya hingga sang gadis meringis dan mengaduh kesakitan.
Mira
menyeka darah dari bibirnya yang terluka oleh tonjokan Nisa, merapikan
rambutnya yang kusut sambil mendekati sang gadis yang meronta kesakitan.
BAM!
Mira
menghajar wajah Nisa, menyebabkan bibir pecah.
BAM!
Pelipis
sang gadis.
BAM!
Hidung
Nisa... hingga mimisan...
dan
SCRATCH!
Kuku
Mira yang cukup panjang menggores wajah Nisa hingga meninggalkan guratan
melintang dari kening kanan ke pipi kiri hingga ke rahang sang gadis...
Mira
tersenyum iblis melihat wajah Nisa yang sudah dibuatnya cacad itu. Namun ia
belum puas... Ia mengepalkan tangannya dan…
BUGH!
Nisa
sampai muntah dan megap-megap. Mira menghajar telak di uluhatinya. Panglima Margo
melepaskan sang gadis yang segera jatuh terduduk, dan Mira memberikan tendangan
keras ke rusuk sang gadis, menyebabkan Nisa terjengkang dan meringkuk kesakitan.
"Mira!
Cukup!"
Suara
Margo yang tegas menghentikan langkah Mira. Ternyata Mira sudah menggenggam
sebilah pisau cutter. Tadi cutter itu digunakan untuk menodong Nisa.
Mira
memandang Nisa yang merintih menahan sakit di perutnya. Tangan yang menggenggam
cutter itu bergetar... Dan Mira melangkah maju.
Kini
Margo sendiri yang menghajar Mira dangan sekuat tenaga. Sang gadis terjengkang,
menjerit kesakitan.
Ia
memerintahkan lima panglimanya untuk memberi pelajaran pada Mira, yang kini
beringsut ketakutan. Samar-samar Nisa mendengar pukulan, tendangan, jerit Mira,
bunyi cabikan pakaian. Namun kini ia harus memikirkan dirinya sendri yang tidak
lebih baik. Margo mendekati dirinya bersama lima panglimanya yang lain. Ia
mencoba merayap menjauh, namun sebuah kaki yang menginjak telapak tangannya
dengan keras membuatnya menjerit kesakitan.
Nisa
memandang belati komando yang dipegang Margo, belati dengan baja pilihan yang
sangat mengkilat. Dengan tubuh tertelungkup, Nisa haya bisa merinding merasakan
dinginnya baja yang digesekkan di balik celananya...
Baja
dingin itu menjalari pantanya yang sangat digilai banyak lelaki yang menikmati
tubuhnya... bokong sekal yang seakan menggoda setiap lelaki untuk meremasi
bongkahan itu, menamparinya, mengigitinya, bahkan menjilatinya... Dan terutama
lubang indah yang seakan tak pernah membuka lebar itu yang menjadi pelabuhan penis-penis
yang sangat jarang memperoleh kenikmatan serupa, baik dari istri sah mereka
maupun pelacur lain yang memilih untuk tak membiarkan lubang pembuangan mereka
dimasuki penis.
Nisa
bisa merasakan baja itu mengangkat bahan celana pendeknya, dan bunyi robekan
perlahan terdengar, menandakan kalau kini kain penutup selangkangannya mulai
tercabik dan membuat selangkangan indahnya terpapar dinginnya lantai gudang
yang kotor dan dingin.
Dengan
tubuh yang masih ditahan tengkurap di lantai gudang kembali Nisa bisa merasakan
dinginnya baja belati merayapi punggungnya... kemudian...
Sreeeeeeek!
Bahan
tanktop tipis itu tak sebanding dengan kuatnya baja belati, hingga dengan
beberapa gerakan saja tubuhnya terpampang bebas di hadapan lelaki bajingan yang
selalu memperlakukan para pekerja seks komersial bagai onggokan daging pemuas
nafsu. Nisa masih tertelungkup di dinginnya lantai gudang yang kotor dan kasar
karena hanya berupa lapisan adukan semen tanpa tegel atau keramik. Payudaranya,
perut ratanya, pahanya perih karena tergesek lantai...
Nisa
bisa mendengar bunyi sabuk yang dibuka. Ia mempersiapkan dirinya....
CTAAAAR!
Nisa
mengigil... tangannya yang dipegangi mengepal dan menggigil... kepala sabuk
yang terbuat dari besi itu yang mendera tubuhnya.
CTAAAR!
CTAAAR!
Nisa
menjerit sejadinya ketika Margo mencambuki punggungnya, pantatnya, belakang
pahanya...
Dan
jeritannya makin kuat ketika Margo memerintahkan anak buahnya untuk membalik
tubuhnya, lalu tanpa belas kasihan mencambuki Nisa, di payudaranya, perutnya,
rusuknya, dan di vaginanya....
Jerit
kesakitan dan teriakan minta ampun Nisa sama sekali tak digubris oleh Margo
yang seakan melepaskan kegeraman yang ditahannya selama ini. Ketika lelaki itu
selseai, tubuh sang gadis babak belur penuh luka sabetan kepala sabuk, sebagian
bilur di tubuh sang gadis mengeluarkan darah.
Margo
lalu berlutut di hadapan selangkangan sang gadis, menurunkan celana, dan
mengeluarkan penisnya... Lalu dengan seenaknya menghujamkan penisnya ke vagina
Nisa yang memar akibat sabetan sabuk yang berulang di sana. Nisa hanya bisa
menggeliat kesakitan, penis Margo menerobos kewanitaannya yang kering. Tubuh
Margo yang menempel di tubuhnya membuat sang gadis mendesis karena keringat
sang kepala preman membuat perih bilur dan luka di tubuhnya....
Nisa
hanya menggeletar menahan perih ketika akhirnya Margo menarik keluar penis yang
telah membuang sperma ke dalam rahimnya.
"Nikmatin
tuh perek... sekarang....."
Perintah
Margo belum lagi selesai ketika kesepuluh anak buahnya segera merangsek Nisa
yang hanya bisa merintih perih, meringis serta menjerit kesakitan. Sementara
sang kepala preman sendiri beranjak ke arah sosok tubuh di sudut lain gudang
itu. Sosok Mira yang sangat menyedihkan. Pelipis mata sang gadis pecah,
hidungnya patah, beberapa giginya tanggal, lengannya nampak patah dan dislokasi.
Pelajaran
yang diberikan anak buahnya memang kejam... namun itu perlu.
Margo
berjongkok dekat tubuh babak belur Mira yang masih bernafas walau hanya
sesekali.
"Aku
sudah melarangmu, Mira... tapi kamu menentang aku...." katanya sambil
bangkit, menarik sebelah kaki Mira menuju pintu belakang gudang. Margo menarik
tubuh Mira bagai menarik karung rongsokan ke sebuah kandang di atas panggung
yang tertutup terpal.
Margo
mengangkat tubuh lemah Mira...
"Lihat
baik-baik, Mira... Ini hukuman buatmu," katanya sambil membuka terpal.
Mata
Mira yang bengkak sedikit membelalak melihat isi kandang yang bisa menampung dua
orang dewasa itu.
Cicit
tikus-tikus ganas dalam kandang yang terkejut karena paparan matahari membuat
Mira bergidik, Ya... hukumannya baru saja dimulai... dengan tubuh seperti itu,
ia tak bisa meronta atau berontak, ia hanya bisa pasrah ketika tubuhnya
diangkat Margo dan dicampakkan ke dalam kandang tikus itu.
Mira
merasakan sakit, namun ia tak lagi mampu bergerak, berteriak atau meronta... Ia
hanya bisa merasakan kesakitan tanpa mampu melakukan apa-apa... merasakan
tubuhnya perlahan menjadi santapan tikus-tikus kelaparan itu....
*****
Margo
memandang anak buahnya yang sedang menggarap Nisa. Dua penis anak buahnya sedang
menghajar anus sang gadis secara bersamaan, sementara mulut sang gadis dipaksa
mengoral penis demi penis yang disodokkan secara kasar...
Vagina
sang gadis tak lebih baik nasibnya... seorang anak buahnya sedang menggasak
vagina sang gadis dengan kepalannya, dan ia menggerakkan tangannya dengan
sangat kasar.
Margo
memandang ke arah kegilaan di hadapannya, hingga laras sebuah pistol yang
menempel di belakang kepalanya membuatnya tersadar....
Dan
seakan pasukan siluman yang keluar dari neraka, puluhan prajurit dengan seragam
kamuflase lengkap menodong kesepuluh anak buahnya....
Kini
Margo berdiri di hadapan sepuluh anak buahnya yang berlutut dengan tangan
berada di belakang kepala. Margo tersenyum bangga melihat ekspresi wajah para
kepercayaannya yang tak mengenal takut itu... Ekspresi terakhir yang dilihatnya
sebelum sebutir peluru yang menembus dahinya membuat nyawanya terbang
meninggalkan tubuhnya...
Dan
sosok sang bos preman yang berdebam di lantai gudang menjadi gambaran terakhir
yang dilihat kesepuluh panglima wilayah yang tak lama juga mengikuti jejak sang
pemimpin meninggalkan dunia fana ini dengan rasa bangga telah menjadi bagian kelompok
yang sangat ditakuti, yang tak mungkin kalah kecuali dicurangi seperti itu...
****
Pemimpin
regu menghampiri sosok yang sedang mengembalikan pistol yang baru saja
menghabisi nyawa Margo ke sarungnya.
"Lokasi
sudah diamankan, semua ancaman sudah dinetralisir, laporan selesai"
Lelaki
itu mengangguk dan pasukan tadi segera keluar gudang.
Lelaki
itu mendekati sosok tubuh Nisa yang sangat lemah.... Mata Nisa yang tertutup
sperma membuka perlahan...
Mulut Nisa
berkata lirih.... "Ba...paaaak?"
*****
Nisa
terbangun di ranjang empuk. Ia meraba bagian lengannya yang terasa sakit dan
mendapati jarum I.V di sana.
Matanya
mengerjap, dan samar-samar ia melihat kamar tempatnya dirawat, rumah sakit
dengan fasiitas bagai hotel bintang lima...
Perawat
silih berganti merawat tubuhnya, memulihkan semua luka. Mereka semua dan para
dokter berupaya dengan sepenuh tenaga untuk mengembalikan kondisi Nisa seperti
sedia kala. Dan pekerjaan mereka tidak mengecewakan. Ketika Nisa bertelanjang
bulat di kamar mandi rumah sakit dan memandang pantulan dirinya di cermin, ia
kagum. Tak ada satu cacat pun yang tak diperbaiki, hingga bekas-bekas luka di
tubuhnya baru kelihatan kalau diperhatikan dari sangat dekat.
Kemudian,
dokter yang merawatnya datang dan berkata, "Selamat Nona, sebentar lagi
anda sudah boleh pulang."
Nisa
kembali tercenung... Ke mana ia akan pulang?
Dengan
lesu Nisa memakan makanan rumah sakit dan meminum obat yang diberikan padanya. Dan
entah mengapa ia merasa sangat letih.... sangat sangat letih...
****
Ranjang ini jadi lebih empuk,
batin Nisa sambil membuka matanya...
Dan Nisa
melompat bangkit dari tempat tidur itu, segera menjatuhkan diri bersimpuh....
Ia
menangis sambil memeluk kaki lelaki yang berdiri dengan wibawa tinggi.
Laki-laki
itu akhirnya datang menjemput.
"Bapaaaak…"
tangis Nisa di kaki Kombes Bambang Harjadi, tangis sedih, tangis bahagia....
****
Satu
tahun kemudian.
Kombes
(Purn) Bambang Harjadi sedang memandang laporan di hadapannya. Ia tersenyum
kebapakan pada Nisa yang menyerahkan laporan itu padanya.
Laporan
rutin saja, mengenai pemasukan dan pengeluaran. Dari jejaring pelacuran yang
dulu dikuasai Ryoko, namun sekarang sudah menjadi ladang pemasukan dirinya,
dengan hasil yang sangat memuaskan. Dan lebih daripada itu, segala rahasia para
klien kini menjadi miliknya, sehingga dia makin hebat dalam berkuasa di balik
layar biarpun dia kini telah pensiun. Tidak mengapa mengakhiri karier penegak
hukum dengan pangkat terakhir tak mencapai
bintang; toh mereka-mereka yang menyandang bintang di bahu bisa dia pegang
sewaktu-waktu, karena semua kartu ada di tangannya.
Tahun
lalu Ryoko divonis ringan, hanya satu tahun penjara. Memang itulah hukuman
maksimal bagi mucikari. Ada pasal-pasal dengan ancaman hukuman lebih berat
terkait kejahatan trafficking/perdagangan manusia, maksimal 15 tahun, namun
pengacaranya, Prabu, berhasil menangkis dakwaan itu, terbantu kesaksian Nisa
dulu yang menyatakan bahwa dia melacur di bawah Ryoko dengan sukarela. Ryoko telah
menjalani masa hukuman dan bebas. Namun Prabu menyarankan agar segera
menyingkir; maka dalam waktu singkat, dengan alasan menikahi seorang asing,
Ryoko pun pindah ke luar negeri, tanpa niat kembali ke tanah air
selama-lamanya.
Nisa
telah menyerahkan seluruh hidupnya kepada Bambang Harjadi. Sepenuhnya dia
mengabdi kepada perwira yang dianggapnya sebagai dewa penolong. Itulah
rentannya seseorang yang pernah hancur sehancur-hancurnya. Dalam keadaan
terburuk, mereka akan menggapai ke mana saja, mencari apapun yang dapat
dijadikan pegangan. Dan dari keadaan hancur luluh, akan terbentuk jati diri
yang baru yang bisa jadi sangat berbeda dengan yang sebelumnya.
Maka
ketika pengabdian yang diminta Bambang Harjadi pada Nisa adalah mengurusi
jejaring prostitusinya, Nisa bersedia tanpa ragu. Penghancuran dirinya yang
dulu telah tuntas, sosok Ipda Juanisa Putri selaku penegak hukum yang lurus dan
memegang teguh nilai-nilai telah mati. Yang menggantikannya adalah pribadi Nisa
yang baru. Nisa yang dibentuk oleh tugas terakhirnya dan segala pengalaman
sesudahnya. Perempuan dengan moralitas yang sangat berbeda, yang menyadari
potensi keindahan tubuhnya dan daya tariknya untuk mendapatkan keuntungan.
Perempuan yang tahu cara menguasai dan mempermainkan nafsu laki-laki, tak
segan-segan menjual kehormatan diri maupun sesama perempuan demi mendapat apa
yang diinginkannya. Dia menjadi seperti Ryoko yang pernah dikhianatinya, dan
tak segan-segan memanipulasi perempuan lain sebagaimana dia memperlakukan
Savitri dulu.
Hampir
semua nilai luhur yang ditanamkan didikan keluarga dan profesinya dulu telah
dia buang, seiring rasa dikhianati yang menusuk dirinya ketika keluarga dan
lembaganya menolak dia ketika dia berada di posisi terendah. Yang menggantikan
adalah rasa terima kasih sangat besar dan pengabdian kepada sang penyelamatnya,
siapa lagi kalau bukan Bambang Harjadi, yang telah menjadi pegangannya sejak
dia menyamar, kemudian memungutnya dari kehancuran dan membentuknya kembali.
Maka
Nisa pun kini hidup untuk kekasihnya, Bambang Harjadi, melakukan segala
perintahnya, membentuk kembali jati diri seperti diinginkan penyelamatnya itu,
ingin selalu memuaskan dan menyenangkan sang pegangan hidupnya.
Wajah
dan tubuhnya telah pulih meski sempat dicederai para penghuni dunia bawah
lokalisasi Kalirotan. Namun Nisa memilih mengubah konsep penampilannya, seiring
jati dirinya yang baru, sesuai kesukaan dan keinginan Bambang Harjadi.
Bambang
Harjadi melihat di hadapannya bersimpuh dua perempuan yang mengabdi kepadanya.
Indah, pelayan setianya yang telah lama mengurusi semua kebutuhannya; dan
Juanisa Putri, yang telah lama diincarnya. Kedua perempuan itu berpenampilan
sama, dengan rambut disanggul, tubuh dibalut kemben dan kain, bahu dan tengkuk
kuning mulus dan wangi menyampaikan sensualitas tradisional yang sangat disukai
sang perwira. Dia merasa seperti seorang raja zaman dulu di tengah
selir-selirnya.
Sang
perwira tersenyum puas, dan senyumannya makin terkembang ketika ia melihat
kedua pelayannya dengan anggun melepas busana, lalu saling berpagutan dan
memandang kepadanya dengan tatapan nakal...
Kombes
Bambang Harjadi tak pernah salah memilih orang....
TAMAT
Mei-Nov
13