SEKAR & BAYANG IRENG
SINOPSIS
Seorang gadis pendekar berusaha membebaskan kawannya yang
diculik dedemit sakti dengan ilmu silat hitam yang tak terduga.
Story codes
MF, MFF, mc, tent, magic, nc, rape, reluc
DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang
tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum
dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan,
selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan
nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan
kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki
latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka
dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang
berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di
dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat
membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari
cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi
siapapun.
Cerita ini diadaptasi dari beberapa cerita lain.
Sekar
& Bayang Ireng
-Ninja
Gaijin-
Angin
kencang yang bertiup di tebing Laut Selatan membuat pakaian sepasang orang yang
berdiri di atasnya berkibar-kibar. Sikap tubuh mereka menunjukkan bahwa
keduanya pendekar berilmu tinggi, saling berhadapan dalam kuda-kuda dan
menghunus senjata tajam. Mereka tampak tak sedikit pun gentar dengan
mengerikannya medan di sana, tebing terjal bertepi laut berombak ganas. Salah
langkah sedikit saja, manusia maupun binatang bisa terjerumus dan hancur
menjadi kepingan-kepingan tubuh berdarah-darah.
Salah
satunya memekik keras dan menerjang orang yang dihadapinya. “Hiaaattt!!” Dari
suaranya bisa diduga bahwa dia seorang perempuan. Pendekar perempuan itu
melompat sambil menusukkan pedang, menyerang lawannya. Sepintas pakaiannya yang
terdiri atas kemben batik dan kain yang membungkus paha dan betis tampak
menghalangi gerakan, namun ketika dia bergerak tersingkaplah kain itu menunjukkan
bahwa di bawahnya dia mengenakan celana selutut. Pedangnya kemilau ditimpa
cahaya matahari sore, tak kalah mautnya dengan tebing terjal tempat dia
bertarung.
Orang
yang dihadapinya bertubuh sedikit lebih besar, wajahnya tak kelihatan karena
kepalanya terbungkus kain dan hanya menunjukkan mata. Tapi dari tubuhnya
terlihat bahwa dia laki-laki. Dia mencabut keris dan menangkis serangan si
pendekar perempuan.
TRANGG!! “Hiyatt!!” “Ugh!” “Ahh!!” “Yiaaaahh!!” Jurus
demi jurus, kedua pendekar itu bertarung di pinggir tebing. Si pendekar
perempuan lebih banyak menyerang, seolah hendak menghabisi lawan dengan sabetan
dan tusukan pedang. Lawannya yang tak membuka wajah hanya menangkis, namun tak
membiarkan satu pun serangan masuk dan melukai.
Lama-lama si perempuan mulai letih dan kesal karena
serangannya tidak ada yang masuk. Si laki-laki pun mulai menguasai keadaan. Dan
satu salah langkah membuat pedang si perempuan terpental. Dengan cepat si laki-laki menyerbu ke arah si
perempuan—sambil menjatuhkan kerisnya juga. Si laki-laki menerkam si perempuan
sehingga mereka berdua pun bergulat di tanah. Si perempuan meronta-ronta
berusaha melepaskan diri, tapi jurus pitingan si laki-laki tak dapat dia
kalahkan. Tapi dia sempat merenggut kain penutup wajah si laki-laki.
Perlawanannya baru berakhir ketika...
...si laki-laki menciumnya, menggeluti bibir si perempuan
dengan bibirnya. Teriakan-teriakan pertarungan berubah menjadi desahan nafsu.
Si perempuan memejamkan mata dan mengerang, bukan menahan sakit, melainkan berusaha
membendung birahi yang menggelora. Dia merasa lebih susah menghadapi serangan
seperti ini daripada tusukan seribu pedang. Padahal si laki-laki sudah membuang
senjatanya. Yang dia gunakan hanya bibirnya, dan tangannya yang sudah
menggerayangi, meremas kain kemben yang menutupi payudara si perempuan dan
berusaha melucuti perlindungan itu. Tapi apakah benar semua senjata telah
dilepas oleh si laki-laki? Karena si perempuan masih bisa merasakan keberadaan
senjata lain yang siap menusuk.
“Ahh... Kangmas... Aku... aku malu...” Mulut yang tadinya
meneriakkan seruan garang kini terengah lemah, mengucap kata-kata penolakan
setengah hati. Dua musuh berubah menjadi sepasang kekasih yang bibirnya saling
berpagutan, tangannya saling menjamah, tubuhnya saling belit dalam nafsu. Dan
si perempuan tiada berniat menangkis ancaman “senjata tumpul” yang dia rasa
mendesak berlapis-lapis kain yang menutupi bagian terlemahnya. Bagian yang
apabila disentuh, akan membuat dia takluk dalam asmara.
Namun apa yang dimulai ternyata tidak dituntaskan: meski
sang dara sudah terlentang pasrah dengan busana terdedah, rambut tergerai, dan
bibir terengah menahan gairah, pasangannya malah berdiri.
“Sekar,” kata si pendekar, “Sungguh, aku sangat ingin
bercinta denganmu sekarang. Tapi aku juga menemuimu hari ini untuk menyampaikan
kabar. Ayahmu memanggilku untuk ikut berlaga ke Pantai Utara melawan laskar
mancanegara yang mulai bercokol di sana. Dan sebagai prajurit aku harus
mematuhi sabda Panglima-ku, membantu beliau sekuat tenaga.”
Pendekar perempuan yang dipanggil Sekar itu melompat
berdiri sambil cemberut. “Kangmas tak mempedulikanku lagi, hanya mendengarkan
Bapak saja? Kalau begitu sana Kangmas menikah dengan Bapak, jangan denganku.”
Calon suaminya tak menggubris. “Sekar, ini demi kepentingan
yang lebih besar. Dan kamu tahu mengenai ilmu silatku... Ilmuku mengandalkan
hawa murni, dan kekuatannya bisa berkurang apabila aku bercinta dulu denganmu
sebelum berangkat. Jadi, aku harap kamu mau bersabar.”
Si pendekar merangkul Sekar, menyibak anak rambut di dahi
Sekar yang terlepas dari gelungan, dan mengecup kening kekasihnya. “Aku janji
aku akan pulang,” katanya. “Sesudahnya aku akan puaskan kamu.”
*****
Sekar
Sehari sesudah kepergian calon suaminya ke medan laga,
Sekar sudah berjalan-jalan lagi di tebing Laut Selatan, dari arah timur ke
barat. Cuaca memburuk; awan kelabu bergulung-gulung di arah barat, seolah
amukan roh-roh jahat di angkasa. Dia bosan tinggal di rumahnya. Meski rumahnya
besar dan megah, Sekar sering merasa kesepian di sana. Dia kurang betah hidup
sebagai putri pembesar yang mesti anggun dan sopan, dan lebih menyukai
kehidupan berpetualang.
Karena tak bisa bercengkrama dengan kekasihnya, Sekar
bermaksud mengunjungi kawannya, Ratri, yang tinggal di satu desa di sepanjang
tebing. Ratri ialah gadis desa yang seumuran dengannya, putri kepala desa.
Namun ketika sampai di rumah Ratri, Sekar menemukan orang-orang yang sedang
berduka.
“Huu... Den Sekar, Ratri... Ratri diculik...” Ibu Ratri
mengatakan sambil menangis tersedu.
“Siapakah yang menculik Ratri, Ibu?” tanya Sekar sambil
merangkul ibu Ratri.
“Den Sekar, mohon ampun, sebenarnya ini karena kami tidak
melakukan tugas kami sebagai kepala desa dengan benar,” kata bapak Ratri, si
kepala desa. “Desa ini telah mengalami gangguan dari sesuatu yang jahat, entah
manusia atau dedemit. Sebulan ini telah dua anak gadis yang diculik dan mereka
tak ada yang kembali. Dan kali ini anak kami Ratri pun menjadi korban, diculik
penjahat itu.”
Sekar putri seorang panglima yang telah mengenal ilmu silat
dan kanuragan sejak kecil, dan diajari sikap ksatria untuk membela yang lemah.
Mendengar ada penjahat yang menculik gadis-gadis desa saja darahnya sudah
mendidih, apalagi ketika dia tahu sahabatnya ikut menjadi korban.
“Bapak, Ibu, aku akan cari Ratri! Penjahat itu tak bisa
dibiarkan, aku harus memberantasnya sebelum dia merajalela dan mencelakai
banyak orang!”
“Duh, Den Sekar, dia seseorang yang sakti! Kami tahu di
mana dia berada, dan kami sudah pernah mencoba mengusirnya, tapi kami tak
mampu. Dia melukai dan membunuh orang-orang kami.”
“Tapi dia harus dibasmi! Aku yang akan menghadapinya.”
Pasangan suami-istri itu hanya bisa mengantar kepergian
Sekar. Dalam hati mereka memohon supaya si pendekar putri tak bernasib seperti
orang-orang lain yang mencoba melawan kekuatan jahat sakti itu.
*****
“Di sinikah tempat dia?” kata Sekar kepada dirinya
sendiri. Tadi sesudah mengambil senjata dan bersiap-siap, Sekar menuju ke
tempat yang ditunjuk kepala desa sebagai sarang si penjahat. Letaknya di ujung
tebing. Siapa sangka di sana, tepat di tepi laut, ada candi tua yang sebagian
sudah runtuh, tak terlihat dari desa karena terhalang bebatuan besar. Sekar
berdiri di bibir tebing, di atas candi itu. Sepi. Dan hampir malam.
Sebenarnya Sekar memilih waktu yang salah. Dia memilih
menantang kekuatan gelap pada waktu sandikala, ketika keseimbangan dunia sedang
bergeser...
Sekar melompat turun dan menyadari benar-benar tak ada
orang di sana selain dirinya. Dia berada di pelataran candi. Ada cahaya terang
di dalam candi. Sekar pun mendekati pagarnya. Dan ketika mengintip, Sekar pun
melihat sasarannnya. Bersama... Ratri.
Ratri
“Ratri!” Sekar menutup mulutnya dengan tangan untuk
mencegah suaranya terdengar. Sahabatnya itu telah ditemukannya, dalam keadaan
bersimpuh menghadap sosok bertubuh besar yang duduk di tengah, di depan candi
yang runtuh. Sekar tak jelas melihat wajah sosok itu, hanya bisa melihat
tubuhnya yang besar, rambutnya yang panjang berantakan, dan kedua pahanya yang
sangat besar dan panjang sehingga membuat Ratri yang berada di antara kedua
paha itu tampak kecil. Apakah dia manusia? Lengannya yang panjang dan hitam
tampak menyentuh kepala Ratri. Cahaya yang Sekar lihat berasal dari empat
pelita yang menyala di sekeliling sosok itu. Terlihatlah oleh Sekar bahwa keadaan
Ratri justru tidak seperti yang diperkirakannya. Ratri terlihat dalam keadaan
cantik, dengan rambut digelung berhias melati, wajah dirias, dan mengenakan
kemben dan kain bagus. Dan satu lagi yang dilihat Sekar: tangan di kepala Ratri
mendorong kepala Ratri makin dekat ke selangkangan sosok itu. Ratri dengan
patuh membuka mulut mendekati suatu tonjolan yang panjang besar dan hitam, dan
memasukkan tonjolan itu ke dalam mulutnya...
Tiba-tiba pelita bergoyang sehingga bayangan yang timbul
karenanya berubah. Sekar terkejut ketika sebagian bayangan itu mengenai
dirinya: rasanya seperti disentuh! Mendadak si hitam menengok ke arahnya, dan
Sekar pun bisa melihat sepasang mata yang menyala merah.
“Sungguh tak sopan!” teriak si hitam. “Mengintip seperti
itu, apa maumu hah?”
Sekar melompati pagar candi dan maju menyerang si hitam,
langsung menghunus pedang. Tapi terjadi sesuatu yang aneh. Bayangan si hitam
bergerak melilit pergelangan kakinya! Ilmu apa ini?! Sekar langsung melejit ke
atas berusaha menghindar untuk menerjang dari atas. Langkah salah! Dalam langit
yang menggelap, serangan si hitam malah susah dilihat. Tiba-tiba rambut si
hitam memanjang jadi bayangan yang melesat ke arah Sekar di udara.Pinggang
Sekar diincarnya. Sekar terbelit! Gadis itu menjerit ketika ditarik mendekat ke
si hitam.
Sekar belum menyerah, dalam keadaan ditarik mendekat itu
dia berusaha mencari peluang. “Hiaaattt!!” jeritnya selagi berusaha menebas
bayangan si hitam yang menariknya. “HUMH?” Si hitam menggerung ketika
bayangannya tertebas. Sekar mendarat dan langsung pasang kuda-kuda.
“Siapa kau! Lepaskan segera temanku Ratri!” tantang
Sekar. Musuhnya tampak seperti sosok gelap di tengah cahaya pelita, hanya
sepasang mata merah yang menonjol di tubuh besarnya yang serba hitam. Sekar menduga-duga
kesaktian macam apa yang dimiliki musuhnya. Sepertinya ilmunya berkaitan dengan
bayangan. Sekar memikirkan siasat untuk melumpuhkan ilmu itu.
“Hmm hee hee hee hee hee,” si hitam tertawa, suaranya
seram dan dalam. “Den ayu, sebut aku Bayang Ireng. Si cantik ini temanmu? Hm,
engkau pun tak kalah cantik. Daripada dia kulepaskan, bagaimana kalau kau saja
yang ikut denganku? Kalian jadi pengantinku dua-duanya. Yang ini istri tua, kau
istri muda. Kalian mau kan? Hee hee hee hee hee...”
Bayang Ireng
Tiba-tiba Sekar mendengar Ratri mengerang.
“Ummmhhh!!” Suara Ratri teredam karena mulutnya penuh
mengulum satu anggota tubuh Bayang Ireng.
“Dedemit! Kau apakan Ratri!!” seru Sekar sambil
mengacungkan pedang. Dari dekat, dia kini bisa melihat bahwa di sekeliling
tubuh Ratri ada belitan sesuatu yang terlihat seperti tali tambang hitam tebal.
Dan “tambang” itu berhubungan dengan tubuh Bayang Ireng, seperti bayangan yang
menyerangnya tadi. Ujung tambang itu nampak lenyap di... bokong Ratri.
“Aahh!! Hah...! HAHH!!” Ratri akhirnya bisa membuka mulut
dengan lega karena apapun yang dia kulum itu keluar dari mulutnya,namun dia
terengah, suaranya awalnya seperti kesakitan namun kemudian terdengar keenakan.
Wajah cantiknya mendongak, lehernya tegang, dan seluruh tubuhnya bergetar.
“Ratri... Ratri! Kenapa kamu!! Bajingan, awas kamu!”
Sekar menerjang, tak tahu Ratri sedang diapakan. Tapi mendadak bayangan Bayang
Ireng muncul lagi seperti cambuk berukuran raksasa, cepat sekali menyabet Sekar
yang sedang maju menerjang. “Hyahh!” Sekar tak bisa menghindari sabetan itu,
dia terpental sampai terguling-guling. Sekar bangkit dan mendapati dirinya
malah berada makin dekat ke Ratri. Dan dia melihat temannya dalam keadaan aneh.
Wajah Ratri tersenyum menganga lebar sampai
memperlihatkan gigi, matanya kosong seperti tanpa jiwa. Dari bibirnya mengalir
cairan putih kental. Ratri tidak kelihatan kesakitan, tapi malah merasakan
enak. Dia tak peduli Sekar ada di depannya. Sekar berusaha meraihnya. Tapi
sebelum Sekar berhasil, dia merasakan leher dan tubuhnya dililit!
“Den ayu, engkau maukah merasa apa yang dirasa istri
tuaku?” Bayang Ireng kembali berkata, suaranya tetap seram namun kini bernada
mempermainkan. “Perempuan yang kujadikan istriku bisa merasa seperti di
swargaloka. Dan tidak mau lagi dengan kenikmatan dunia yang tiada berarti ini.
Bagaimana? Hummm?”
Sekar meronta selagi lengan, atau anggota tubuh, atau
bayangan, atau entah apa yang digunakan Bayang Ireng untuk membelitnya
menariknya ke atas, membuat dirinya tak lagi menapak tanah. Dia merasakan
seperti lawannya memiliki banyak lengan yang bisa memanjang dan membelit
seperti ular, namun ujung lengan-lengan itu bisa menggenggam. Dan dia merasakan
sekujur tubuhnya digerayangi! Di atas pahanya, salah satu lengan mencengkeram
kain dan menarik...
BREETT!! Kain penutup pahanya terobek!
“Ahh!!
Lepaskan!!” Lengan Sekar sendiri masih bebas dan masih memegang pedang. Dia
langsung menebas putus bagian bayangan Bayang Ireng yang merobek kainnya, tapi
tak ayal kainnya terobek sehingga paha, betis, sampai kaki tersingkap. Sekar
memekik malu, karena sungguh tak pantas tubuh seorang perempuan terlihat.
“Hahaha...
mulus nian pahamu den ayu, sungguh sayang kalau dibungkus? Aku ingin
mengelus-elusnya.” Bayang Ireng langsung mencuatkan lagi satu lengan dari bayangannya,
membelit kaki Sekar yang tersingkap dengan erat. Sekar bergidik, seluruh lengan
Bayang Ireng itu ternyata bisa meraba-rabanya, dan menggesek sekujur paha dan
betisnya. Ujungnya berbentuk tumpul dan kini menyentuh-nyentuh cawat penutup
kemaluannya.
“Jangan kurang ajar dedemit, rasakan ini, hiaaattt!!”
Sekar berusaha melepaskan diri lagi, dia merentangkan tubuh ke belakang,
melengkungkan punggung sambil menebas. Genggaman di kakinya tidak begitu kuat
meski melekat erat sehingga Sekar mampu berjungkirbalik dan kembali menebas
Bayang Ireng. Ketika lengan yang membelit paha Sekar terputus dari bayangan
utama, Bayang Ireng menjerit kaget. Rupanya dia bisa merasa sakit kalau
bayangannya dilukai. Sekar dengan cepat memapas bagian-bagian lain yang mengikatnya,
sehingga dia berhasil bebas, namun karena posisinya tadi terangkat di udara dia
pun jatuh. Berkat latihan kanuragannya Sekar bisa jatuh dalam posisi kuda-kuda.
Namun dia jatuh di bagian tanah yang hitam... tepat di tengah bayangan utama
Bayang Ireng.
“Hoooo... HO HA HA HA HAA!!” Bayang Ireng tertawa seram
selagi memunculkan banyak tonjolan dari bayangannya di sekeliling Sekar. Sekar
berusaha kabur tapi tanpa diduga muncul lagi satu tonjolan kokoh, tepat di
bawahnya, seperti tinju yang tepat menohok ulu hati si gadis pendekar.
DHUAKK!! “Ahhh!!” Keras sekali pukulan itu sampai-sampai
tubuh Sekar terpelanting ke belakang dan dia telentang. Sekar pun kelenger
karena serangan dahsyat itu. Dia terkapar dan tak langsung bisa bangun.
Bayang Ireng muncul di hadapan Sekar. Dedemit itu berdiri
di depannya, mengangkangi tubuhnya.
“Den ayu, sungguh cantik parasmu,” puji Bayang Ireng.
“Sayang engkau berkelakuan seperti laki-laki, bertarung dan berteriak-teriak.
Lebih baik engkau jadi istriku, gundikku, seperti temanmu itu. Mau kan?”
“Ukh... jangan bercanda kau... tak sudi!” Sekar berusaha
menolak. Dia ingin bangun tapi selain mengangkanginya, rupanya Bayang Ireng
juga menggunakan bayangan untuk mengikat pinggangnya ke tanah.
“Aku Bayang Ireng, biasa menaklukkan dan membunuh orang,
kecuali perempuan cantik,” katanya. Dan Sekar melihat Ratri berdiri di sebelah
Bayang Ireng. Ratri lalu bersimpuh di sampingnya.
“Ratri! Ratri!” Sekar memanggilnya. Ratri mendekat,
mengelusnya. Pandangan kosong Ratri membuat Sekar ngeri. Bibir merah Ratri
terkatup namun terus mendekati Sekar... dan tiba-tiba...
“Mmmhh??” Ratri mencium bibir Sekar, memaksa mulut Sekar
membuka. Dan ketika itu juga Ratri meludahkan cairan yang disimpan dalam mulutnya
ke dalam mulut Sekar. Itu cairan yang Sekar kira berasal dari anggota badan
Bayang Ireng yang dikulum Ratri! Ratri terus mencium tanpa melepas, mencegah
upaya Sekar memuntahkan apa yang diludahkannya. Sekar terpaksa menelannya.
Barulah Ratri melepas bibir Sekar.
“Engkau sudah menelan bibitku, den ayu... bibitku bisa
mengubah perempuan yang menelannya menjadi sundalku...” Bayang Ireng
menjelaskan, selagi Ratri bersimpuh di sampingnya dan mengelus pahanya.
Lengan-lengan muncul lagi dan mencengkeram tepi kemben
Sekar. Dan dengan segera kemben itu direnggut sambil dirobek. Payudara indah
Sekar pun terlihat di bawah cahaya pelita. Lengan-lengan Bayang Ireng langsung
pindah meremasi keduanya.
“Hm, tubuhmu sungguh indah den ayu, payudaramu bagus,
pasti engkau telah dipelihara untuk kelak dijadikan persembahan bagi seorang
raja atau pangeran bukan?” goda Bayang Ireng. Sekar meringis merasakan bayangan
Bayang Ireng membentuk jari-jari yang meremas daging susunya dan lidah-lidah
yang menyentil pentil-pentilnya. “Kembenmu terlalu ketat membebat susumu, mari
kubebaskan, rasakan nikmatnya, den ayu!”
Sekar sebenarnya tidak amat lugu, Kangmas-nya sudah
pernah menyentuh-nyentuh susunya. Namun apa yang dia rasakan saat itu berbeda.
Payudaranya jadi jauh lebih peka. Sekar merasa enak sekaligus ngeri karena sentuhan
Bayang Ireng terasa jauh lebih merangsang daripada jamahan tunangannya yang
pernah dia rasa. Itu pasti karena cairan bibit yang dicekokkan Ratri tadi,
pikirnya.
“Ah... ah... jangan...” Sekar menolak lemah, ketika
pentilnya menanggapi rangsangan dengan menjadi tegang dan keras.
“Lihat penthilmu ngaceng, den ayu,” goda Bayang Ireng.
“Lepaskan aku... dedemit busuk!” maki Sekar tak berdaya.
“Eh? AAHHN!! Sekar menjerit kaget ketika kedua pentilnya ditarik jauh.
“Hahaha... Ada apa, den ayu? Jeritanmu sungguh nikmat!
Sukakah kalau susumu direnggut seperti itu?” kata Bayang Ireng.
“Tidak... AH!” Sekar kembali menjerit ketika payudaranya
diremas keras. Pentilnya terus dimain-mainkan, ditowel-towel.
“Jangan pura-pura, den ayu. Penthilmu tambah kencang.”
Sekar belingsatan ketika tubuhnya berkhianat, payudaranya
menikmati dilecehkan oleh dedemit hitam itu dan mulutnya terus mengerang
nikmat. Sekali-sekali mulutnya ingat menolak tapi sisa tubuhnya seolah tak lagi
punya keinginan melawan. Oh, enak sekali ketika payudaranya dimain-mainkan
seperti itu! Tidak, tidak boleh kalah dengan jamahan dedemit busuk ini!
Bayang Ireng mengamati wajah Sekar yang kacau, antara
ingin menolak dan menyerah lalu menikmati. Sambil dia mulai menggarap bagian
baru: bokong Sekar yang berada di atas bayangannya, dia gerayangi juga. Satu
bagian bayangannya mencuat di depan selangkangan Sekar lalu langsung meraba.
Masih ada halangan kain dan cawat. Itu pun disingkirkan. Ilmu Bayang Ireng yang
membuatnya bisa memiliki banyak sekali anggota badan itu membuat Sekar jadi
bulan-bulanan. Gadis pendekar itu merasakan kainnya dilepas dan cawatnya
direnggut sampai koyak. Dan terasa sesuatu menyelip di bibir kemaluannya...
mulai menggoda itilnya.
Itu bukan sentuhan yang baru bagi Sekar. Meski belum
resmi menjadi seorang istri, Sekar sudah pernah mencicip sanggama bersama
Kangmas-nya, si pendekar dengan wajah tertutup kain. Dan dia pernah merasakan
puncak kenikmatan yang diberikan lelakinya. Jadi dia sedikit-sedikit tahu apa
yang akan terjadi. Dan itu tak dia harapkan. Gesekan-gesekan lengan Bayang
Ireng di itilnya mulai membuatnya basah. Apalagi payudaranya digenggam erat.
Yang ditakutkannya terjadi juga...
“Ah... AHAA!! AHAHNN!!” Akhirnya masuk juga anggota tubuh
Bayang Ireng ke kewanitaan Sekar. Bayangan yang kini berperan jadi lingga itu
awalnya kecil, namun lantas membesar dan memanjang; Bayang Ireng bisa mengatur
ukuran dan bentuk anggota tubuh semaunya. Lalu berbagai cabang bayangan lain
ikut bermain. Sekar merasakan tubuhnya diangkat sehingga dia berposisi seperti
berdiri tegak, namun dengan kaki merentang, dan tidak menapak tanah;
lengan-lengan Bayang Ireng menopang sekaligus mengikatnya, menggantungnya
sekaligus mengendalikan tubuhnya seperti wayang. Bayang Ireng berada di
depannya dengan satu anggota tubuh mencuat dari selangkangannya masuk ke lubang
kemaluannya. Sekar lalu menjerit ketika dia merasa seluruh tubuhnya digenggam
erat oleh banyak lengan dan dipaksa bergerak naik turun menancap di lingga
Bayang Ireng. Kemaluannya, seluruh tubuhnya, dipaksa menjadi pemuas Bayang
Ireng. Kadang dia dinaikturunkan cepat, kadang lambat. Yang lebih parah, Bayang
Ireng bisa semaunya mengubah ukuran dan bentuk bagian tubuh yang menusuk Sekar.
Sekar menjerit ketika lingga dedemit itu memanjang hingga mendesak rahimnya,
atau membesar hingga merentang kemaluannya, atau mencuatkan tonjolan-tonjolan
yang menggesek dinding kemaluannya. Sekali-sekali lingga itu mengecil, membuat
Sekar lega sebentar, tapi kelegaan itu selalu langsung dihancurkan ketika
kemaluannya kembali didesak benda yang kembali memanjang keras. Sekali-sekali
dia diangkat sampai lepas dari tombak hidup itu, hanya untuk dihunjam
keras-keras beberapa saat kemudian. Jerit-jerit Sekar membahana selagi dia
terus disiksa. Akhirnya, Bayang Ireng melepasnya.
Sekar yang capek sekali ambruk ke tanah. Dia berusaha
bergerak pelan-pelan, menjauh. Dia hanya ingin kabur, dia tak mau lagi
diperkosa Bayang Ireng. Namun Bayang Ireng tak berniat melepaskannya begitu
saja. Bayangannya kembali meringkus Sekar dan mengangkatnya lagi. Sekar
dibalikkan sehingga telentang melayang, punggungnya ditopang beberapa lengan
dan pinggangnya dibelit. Sekar geleng-geleng kepala selagi dia melihat lengan,
bukan, lingga hitam Bayang Ireng yang berbentuk seperti mata tombak siap menusuk
kembali di depan pintu liang kewanitaannya yang menganga bekas didobrak.
Gelengan kepalanya adalah harapan lemah Bayang Ireng bakal mengasihaninya dan
melepasnya. Tapi mata tombak itu tetap mencoblos kemaluannya. Jerit keras
terdengar dari mulut Sekar selagi kepalanya tersentak ke belakang. Kedua
kakinya mengacung tegak ke atas lalu jatuh lagi selagi lingga Bayang Ireng
menggenjotnya tanpa ampun, keluar masuk. Namun Sekar terus merasakan juga enak
ketika payudaranya dicabuli dan titik kunci dalam kewanitaannya digesek-gesek
oleh kelamin besar Bayang Ireng. Sekar merasa seolah kehilangan akal menghadapi
semua itu. Dalam hatinya mulai timbul keinginan untuk memohon kepada Bayang
Ireng agar meremas susunya lebih keras, menusuknya makin dalam dengan lingga
yang makin besar. Dia hanya bisa menjerit dan mengerang, tak kuasa melawan. Tak
terpikir lagi oleh Sekar bahwa dia harus mengalahkan sang dedemit keji Bayang
Ireng yang telah memperbudak temannya.
“Aaah! Ngghhh! Ahh!” Sekar merasakan sesuatu membuncah dalam
dirinya. Dia tahu apa itu, dia pernah merasakannya. Meski enggan mengakuinya,
perojokan Bayang Ireng mendorongnya menuju nikmat paripurna. “Ah jangan...
Sebentar lagi...”
“Hm? Sebentar lagi?” Namun Bayang Ireng lebih keji
daripada yang Sekar duga. Ketika sesaat lagi Sekar akan memuncaki kenikmatan,
tiba-tiba lingganya mengecil dan ditarik keluar, lalu tumpuan tubuhnya dilepas.
Sekar jatuh lagi ke tanah, lelah, ketakutan, dan gemas karena gagal mencapai
puncak. Dia meringis, berbalik badan dan berposisi merangkak. Sekar menyadari
bahwa pakaian yang melekat di tubuhnya sudah koyak-koyak, tinggal sisa-sisa
kain yang menggantung. Bayang Ireng tertawa melihat mangsanya yang gelagapan,
seolah berusaha merangkak pergi. Dia membiarkan Sekar bergerak beberapa langkah
sebelum mengirim lagi beberapa anggota tubuhnya melejit menjerat paha dan
pinggang Sekar, dan kembali menerobos kemaluan Sekar yang sudah basah tak
keruan dari belakang. Dan kali ini datanglah puncak itu, Sekar merasakan
ledakan dalam birahinya yang membuatnya langsung kejang-kejang dan ambruk
tertelungkup selagi batang keras besar membobol kewanitaannya. Dia
menjerit-jerit tak tertahan. Puncak kenikmatan melanda sekujur tubuhnya, sampai
dia benar-benar lupa diri. Dia sampai tak sadar Bayang Ireng melepas seluruh
cengkeramannya, membiarkan dia menggelepar di tanah menjalani puncak birahi.
Ketika Sekar pulih kembali, dia melihat Ratri kembali
berada di dekatnya.
“Ratri...” panggilnya lemah.
“Sekar... hihihi... Kamu mau ikut aku juga jadi istri
Ndoro Bayang Ireng...?” Kata-kata Ratri sungguh tak terduga.
“Ratri... pergi... aku... kita...” Banyak yang mau Sekar
katakan, tapi dia tak kuat, lagipula dia bingung dengan pikirannya sendiri. Dia
lalu membelalak ngeri ketika di samping Ratri muncul sosok tinggi besar hitam
Bayang Ireng. Dan yang lebih membingungkannya, Ratri menoleh, mendekati Bayang
Ireng, lalu memeluk dedemit itu.
“Ayo Sekar... ikutlah denganku... Ndoro Bayang Ireng bisa
bikin aku merasa kenikmatan swarga...” kata Ratri sambil mencium bagian dada
bayangan hitam itu. “Ndoro... jadikanlah temanku Sekar ini sundalmu... aku rela
dia kau jadikan istri mudamu Ndoro...”
Bayang Ireng mendekati Sekar dan Sekar tak bisa
menghindar lagi. Sekar yang berposisi masih merangkak itu dihampirinya dari
belakang, lalu Sekar merasakan kegelapan meliputi dirinya. Jantungnya berdebar
selagi dia menyadari seluruh tubuh Bayang Ireng mendekat ke seluruh tubuhnya.
Posisi keduanya adalah posisi hewan bersetubuh, di mana si pejantan menunggangi
si betina dari belakang, namun Bayang Ireng tidak hanya menunggangi, tapi malah
seperti meliputinya, menelannya, memeluk seluruh tubuh Sekar dengan tubuhnya
sehingga nyaris seluruh tubuh Sekar tertutup bayangan hitam, hanya kepalanya
dan kedua tangannya yang masih terlihat. Di dalam bayangan itu Sekar merasakan
seluruh tubuhnya dibelai, disentuh, digerayangi, dirangsang dengan segala cara.
Dia hanya bisa mengeluh dalam hati, sementara bibirnya mengeluarkan desahan
penuh nafsu. Satu bagian tubuh Bayang Ireng masuk ke dalam kemaluannya, lalu di
dalamnya embelan itu langsung berubah menjadi lingga yang menggenjot dan
mengaduk-aduk kewanitaan Sekar. Sekar juga merasakan payudaranya seperti
disedot dan dikelitiki ribuan jari dan bibir yang meliputi. Tubuhnya gemetaran.
Bayang Ireng berubah meliputi sekujur tubuhnya seperti baju, baju yang bisa
mencabulinya. Pikiran dan tubuh Sekar segera takluk selagi dia dibuat mencapai
puncak berkali-kali. Hanya Bayang Ireng dan Ratri yang bisa mendengar jerit
kekalahan sang gadis pendekar.
*****
Setengah bulan kemudian
“Sekar, di manakah engkau?” Pendekar dengan wajah
tertutup kain itu mencari-cari tunangannya yang hilang ke segala penjuru,
melabrak berbagai tokoh sesat yang dia anggap tahu di mana Sekar berada.
Sesudah beberapa lama, dia menemukan bahwa Sekar terakhir diketahui berusaha
membebaskan Ratri temannya yang diculik dedemit yang bersarang di pinggir Laut
Selatan. Dan kini dia sudah berada di candi tua yang didatangi Sekar, menjelang
malam.
Dia menemukan pelataran candi itu diterangi empat pelita
besar, membuat ribuan bayangan menari-nari mengikuti liuk cahaya api. Suasana
hening namun di tengah pelataran terlihat satu sosok perempuan yang menari,
seolah di sekelilingnya ada gamelan yang mengiringi. Tariannya lambat, anggun,
dan mengusik birahi. Itu Sekar, tunangannya. Sekar mengenakan kain merah yang
tidak rapi menutup tubuh bawahnya, sehingga sekali-sekali paha mulusnya
tersingkap. Dia juga mengenakan kemben hitam yang seolah mendorong payudaranya
yang montok ke atas. Rambutnya disanggul besar di belakang kepala, wajahnya
dirias tebal. Andai dilihat lebih dekat, mata Sekar akan terlihat kosong.
Di hadapannya berdiri satu sosok perempuan lain. Dialah
Ratri. Namun Ratri berdiri tegak, diam, dan dia seolah tak mengenakan pakaian.
Sekujur tubuhnya tampak ditutupi bayangan hitam, begitu pula tanah yang
diinjaknya hitam kelam tertutup bayangan, biarpun berada di tengah cahaya empat
pelita. Ratri berjalan dengan acuh mendekati Sekar. Pelan-pelan bayangan yang
membungkus tubuhnya bergerak sendiri. Mulai muncul tonjolan-tonjolan kecil
berbentuk seperti lengan, sulur, atau cambuk. Tiba-tiba, bagian-bagian bayangan
itu melesat menuju Sekar. Dua langsung menjerat kedua pergelangan kaki Sekar
dan dua lagi membelit lengannya. Dua lagi menarik kembennya sampai terbuka lalu
melingkari kedua payudaranya. Sekar diangkat oleh lengan-lengan itu lalu
didorong ke depan Ratri. Kedua pahanya direntangkan sehingga Sekar pun tersedia
dalam keadaan mengangkang di depan Ratri. Dan dari bagian bayangan hitam yang
berada di bawah perut Ratri muncul dua tonjolan, dua lingga yang langsung
berebutan menusuki kemaluan Sekar dan membuat Sekar berteriak keenakan.
Bayangan yang membungkus Ratri pun buyar, sehingga
terlihatlah bahwa Ratri memang benar-benar telanjang. Bayangan itu berubah
menjadi semacam kursi yang menopang Ratri dalam keadaan mengangkang sambil
mencoblos dua lubang Ratri, yang depan dan yang belakang. Yang di depan
menusuknya sambil memunculkan cabang yang menggoda itil Ratri. Ratri
berteriak-teriak keenakan sambil menyebut sesuatu yang terdengar seperti “ndoro
bayang ireng”. Dua perempuan dijerat bayangan raksasa di tengah pelataran candi
tua itu, keduanya disetubuhi tanpa ampun, oleh dedemit sakti yang mampu berubah
wujud, dan yang lebih parah, keduanya tampak menikmatinya!
Sekar dan Ratri menjerit berbarengan ketika kedua sahabat
yang terjerat itu dibawa ke puncak swarga birahi oleh lingga-lingga cabul si
dedemit hitam. Keduanya lalu diturunkan sehingga sama-sama duduk bersebelahan
di tengah lingkaran besar bayangan hitam yang tak wajar karena mampu
mengalahkan cahaya. Dan di depan mereka, di tengah lingkaran hitam itu, satu
sosok seperti manusia bertubuh besar muncul seolah diangkat dari kelamnya dunia
bawah tanah. Sekar dan Ratri berjalan jongkok mendekati sosok itu yang sudah
mewujud lengkap seperti manusia, dengan kepala, tubuh besar, lengan-lengan
besar, kaki-kaki besar, dan sepasang lagi anggota tubuh yang besar
menggelantung di bawah perutnya—yang ini tidak seperti manusia. Sepasang lingga
itu disodorkan kepada kedua gadis yang kini bersimpuh di hadapannya. Mereka
berdua telah jatuh dalam cengkeraman Bayang Ireng, menjadi istri-istrinya,
sundal-sundalnya. Keduanya mulai menggenggam dan membelai sepasang lingga
kekasih mereka yang luar biasa itu, yang menjadikan mereka budak birahi dengan
cara yang tak bisa dilakukan manusia awam. Satu tangan Bayang Ireng memegangi
belakang kepala Ratri dan memaksa Ratri menelan batang hitam itu, sementara
Sekar dengan sukarela menjulurkan lidahnya dan menjilati batang satunya. Ratri
tak bisa memasukkan seluruh batang itu ke dalam mulutnya, maka dia mengelus
sisa panjangnya, sementara dia berjongkok dan membiarkan bayangan di bawah
dirinya mengeluarkan satu lengan yang menggoda kemaluannya. Mulutnya sesak
diisi lingga raksasa Bayang Ireng.
“HUNGGGHHH!!” Bayang Ireng menggerung keras dan seram.
Seluruh tubuhnya berdenyut-denyut. Sepasang batangnya muncrat, menyemburkan
bibit putih cair. Mulut Ratri langsung penuh dan dia tak mampu menahan
lelerannya keluar dari bibirnya, sementara wajah Sekar yang dirias langsung
ternoda cipratan-cipratan putih yang menerpa tanpa henti. Sekar malah sengaja
membuka mulut lebar-lebar, seolah ingin menangkap semburan bibit dedemit itu.
Bau tajam menguar ke udara, namun kedua gadis itu seolah mabuk dibuatnya.
Bahkan ketika semburan itu usai, keduanya masih mengisapi dan menjilati bibit
yang tersisa. Keduanya telah kehilangan jati diri, tak lagi gadis-gadis priyayi
terhormat, melainkan sepasang sundal yang tunduk pada birahi. Tersenyum dan
tertawa-tawa keduanya, di tengah swarga hitam yang menjerat jiwa.
Barulah Bayang Ireng menoleh, kedua matanya yang merah
menyala itu melihat ke arah si pendekar.
“Wahai kawan. Aku tahu engkau mencari kedua gadis ini
bukan? Ayo ke sini, kita nikmati mereka bareng,” undangnya.
Keris di pinggang si pendekar berkilatan ketika dia
menghunusnya. Dia pun langsung melompat, menyerang Bayang Ireng, menanggapi
undangan dedemit itu.
“HIAAATTT!!”
TAMAT
Diilhami
sepasang teman, yang sekarang entah mereka ke mana
0 komentar:
Posting Komentar