KOPI DARAT
SINOPSIS
Kopi darat
pasangan online, yang sebelumnya sudah menyiapkan skenario “pelacur dan
kliennya”.
Story codes
MF, cons
DISCLAIMER
*
Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca
mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak
melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah
tanggungjawab pembaca.
*
Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat,
lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
*
Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi,
kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah
fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di
dunia nyata.
*Pemerkosaan,
pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan
penulis menentang semua itu. Penulis
harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
*
Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak
memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.
Diadaptasi dari beberapa sumber lain, terinspirasi beberapa kawan online.
Ada
komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo
dot com. Selamat membaca.
Kopi
Darat
Ninja Gaijin
Setelah mematikan mesin mobil, kulirik jam di dasbor.
Masih ada sejam lebih sebelum waktu yang dijanjikan. Lumayan, soalnya menyetir
ke kota ini bisa lama kalau kena macet di jalan. Kalau lebih awal, ada waktu
untuk berdandan dan mungkin minum dulu di kafe hotel.
Hotel J ini agak sepi karena sekarang bukan musim
liburan. Kebanyakan tamu yang terlihat itu bapak-bapak berpakaian formal.
Mungkin sedang ada konferensi atau semacamnya. Kadang aku ikut acara-acara
seperti itu juga di kantorku. Rapat atau konferensi di luar kota. Aku juga tahu
kadang teman-teman kantorku memanfaatkan kesempatan “jalan-jalan ke luar kota”
itu untuk “jajan-jajan”. Luar kota memang lebih aman. Lebih kecil kemungkinan
kepergok kenalan kalau mau berbuat macam-macam. Ironis ya. Aku sendiri janjian
dengan pacar online-ku di kota ini, bukan kota tempat tinggal kami berdua,
justru karena alasan itu: takut ketahuan!
Umurku 29 tahun—dengan status menikah, tapi pernikahanku
bermasalah dan aku sudah pisah rumah dengan suamiku. Masalahnya? Kalau di luar
kami bilang “tidak ada kecocokan” tapi sebenarnya masalahnya fisik, aku tak
bisa dipuaskan oleh suamiku. Sesudah bertahun-tahun kehidupan seks tak bahagia,
akhirnya aku tak tahan. Kami juga tak punya anak jadi tak ada beban ketika aku
memutuskan menggugat cerai. Sekarang prosesnya sedang jalan. Dan tubuhku terus
menginginkan kepuasan. Makanya aku cari-cari kesempatan.
Aku sudah pacaran di dunia maya dengan Marlon selama
beberapa bulan. Dia sedikit lebih tua dariku, menjelang 40, pernikahannya tanpa
cinta. Yang kami berdua cari itu sama: hubungan tanpa komitmen, sekadar mencari
teman melampiaskan nafsu dan fantasi. Sesudah berbulan-bulan hanya kontak di
internet dan sesekali telepon, akhirnya kami memutuskan untuk ketemuan. Aku dan
Marlon beda kota, jadi kami bikin janji ketemu di kota ini, setengah jalan
antara kotaku dan kotanya, tempat aman buat berdua, soalnya kami sama-sama
khawatir bakal kepergok kalau berkencan di kota tempat tinggal.
Di internet memang aku pasang profil palsu yang bikin
banyak cowok tertarik berkenalan. Tapi sebagian besarnya payah, sok pengalaman
atau tidak sabaran. Banyak yang jomblo horny, yang belum apa-apa langsung minta
no HP, minta ketemuan, sampai minta gituan. Semuanya dicoret. Ada beberapa yang
menarik. Tapi aku akhirnya dekat dengan Marlon. Dia sebenarnya nggak ganteng.
Tampangnya malah agak seram. (Itu kalau foto profilnya asli, ya). Cara
bicaranya bisa kasar dan mesum. Jadi apa menariknya? Justru itu. Marlon
terang-terangan bilang bahwa dia ingin kuasai aku, mendominasiku, memakaiku
buat memuaskan nafsunya. Dan sebenarnya itu yang kucari-cari dari laki-laki.
Suamiku terlalu pasif dan penakut, tidak pernah mengerti mauku.
Ide “gila” kami untuk kopi darat adalah bukan bertemu
seperti orang pacaran. Marlon mengarahkanku untuk ikut skenario yang dia bikin.
Aku akan ketemu dia di hotel, dengan berpenampilan seperti pelacur. Dia akan
“booking” aku, dan aku harus melayani dia, mengikuti semua kemauan dia, hanya
memuaskan nafsunya. Jadi buat persiapannya dia sudah mengatur cara
berpakaianku.
Dan dia cukup rinci. Dia minta aku siapkan sejumlah
pakaian yang menurutnya pas untuk peranku. Bra hitam berenda yang seksi. Kemeja
tipis menerawang warna putih. Rok pendek. High heels 15 cm yang bikin pantatku
menonjol waktu berdiri sambil memakainya. Anting-anting berbentuk lingkaran
yang besar.
Aku sudah pernah mencoba memakai semua itu di depan
webcam untuk dia lihat. Dia juga mengajariku cara berjalan dengan memakai high
heels, jalan seksi, langkah kaki sedikit saling silang, sehingga pinggulku
goyang-goyang. Dia bikin videonya ketika aku praktek jalan seperti itu
membelakangi dan menjauhi webcam, lalu dia tunjukkan ke aku. Aku geli sendiri
melihat pantatku bergeal-geol menggoda dia, sambil bangga karena Marlon mengaku
dia ereksi ketika menonton goyangan pinggulku. Sayang aku sampai sekarang belum
juga melihat dengan jelas wajahnya, karena webcam dia kurang jelas. Foto profil
yang dia pakai juga itu-itu saja.
Waktu keluar dari mobil, aku sadar permainannya sudah
mulai. Rasanya beda sekali dengan di depan komputer, di dalam rumah sendiri.
Biarpun pakai kemeja transparan (ditutup jaket), rok mini, dan high heels, aku
rasanya seperti telanjang waktu jalan dari tempat parkir ke pintu depan hotel.
Pintu dibukakan pegawai yang bertanya sopan apa aku bawa barang yang perlu dia
angkut, tapi aku bilang tidak ada. Dia mungkin tidak sadar, tapi aku bisa lihat
matanya melotot. Aku deg-degan sendiri karena merasa mungkin aku bikin dia
berpikir jorok. Muncul sepintas keinginan untuk pulang saja. Tapi sayang
rasanya. Sudah sejauh ini.
Aku langsung ke lobby tanpa mampir ke meja resepsionis,
padahal resepsionisnya sudah menyapa ramah “Ada yang bisa saya bantu?” Beberapa
laki-laki di dekat resepsionis melihatku. Di depan lobby ada papan tanda dengan
ucapan selamat datang buat peserta beberapa acara. Hotelnya selalu ramai untuk
konferensi.
Jam 2 siang. Jam orang mulai check in. Lobby cukup ramai.
Aku masuk lobby sambil berjalan seksi seperti yang diajarkan Marlon. Terasa ada
orang-orang yang menatapku. Tujuanku toilet perempuan di seberang lobby. Di
sana kulihat wajahku di cermin. Kupulas bibirku lagi dengan lipstik merah
terang lalu kutambah gloss. Kusisir rambutku yang sebahu, supaya agak megar.
Sambil melihat wajahku di cermin, aku sadar, aku sebenarnya bisa juga. Di luar
kota tempat tinggalku, aku bisa saja berubah jadi PSK. Dan asyik juga rasanya
dipandangi pakai nafsu…
Aku keluar dari toilet dan menuju bar di lobby. Di sana
dan di dekatnya ada beberapa laki-laki, berpakaian santai. Beberapa
kelihatannya memperhatikan aku masuk, lalu mencolek temannya untuk melihatku
juga. Aku duduk di kursi paling ujung di depan bar. Bartender memberiku segelas
minuman. Waktu mau kutolak, dia bilang itu welcome drink, gratis. Kubayar dia
dengan senyum menggoda.
Salah satu laki-laki yang duduk di depan bar mendekat dan
pindah duduk ke sebelahku. Basa-basi sebentar, dia ngajak kenalan. Lumayan
gagah, umur 40-an, kepalanya botak. “Iskandar,” katanya, memperkenalkan diri.
”Krista,” kupakai nama samaran yang sudah kupersiapkan. Dia bertanya aku sedang ada urusan apa. Kujawab ada janji dengan klien.
”Kalau nggak keberatan, nanti sehabis urusan kamu dengan klien itu selesai, gimana kalau kita sambung lagi obrolannya? Saya tahu ada tempat makan yang pemandangannya indah dekat sini.”
”Krista,” kupakai nama samaran yang sudah kupersiapkan. Dia bertanya aku sedang ada urusan apa. Kujawab ada janji dengan klien.
”Kalau nggak keberatan, nanti sehabis urusan kamu dengan klien itu selesai, gimana kalau kita sambung lagi obrolannya? Saya tahu ada tempat makan yang pemandangannya indah dekat sini.”
“Makasih, kedengarannya asyik. Tapi saya mau pulang
sesudah urusan dengan klien saya. Maaf ya.”
Kelihatannya semua orang di bar memperhatikan aku. Mungkin yang lain iri karena tidak seberani si Iskandar mengajakku kenalan? Iskandar sendiri tidak langsung pergi sesudah kutolak, malah mengajak ngobrol lebih lama, sambil matanya menatap ke arah dadaku dan pahaku.
Kelihatannya semua orang di bar memperhatikan aku. Mungkin yang lain iri karena tidak seberani si Iskandar mengajakku kenalan? Iskandar sendiri tidak langsung pergi sesudah kutolak, malah mengajak ngobrol lebih lama, sambil matanya menatap ke arah dadaku dan pahaku.
Saat itu kulihat seorang laki-laki jangkung menuju ke
arahku. Aku sudah pernah lihat fotonya. Itu Marlon. Dia kelihatan lebih tua dan
gempal dibanding fotonya, tapi aku rasa itu benar dia karena begitu masuk dia langsung
menatapku dan jalan ke arah aku. Kulempar senyum lebar ke arah dia.
“Sudah ya,” aku memotong obrolan dengan Iskandar, “Aku
mesti ketemu klienku.”
Iskandar menoleh dan melihat Marlon mendekatiku. Dia
langsung mundur dan pergi, sambil senyum ke arah kami.
“Kursi ini kosong kan?” tanya Marlon menunjuk kursi yang
tadi diduduki Iskandar.
“Kosong. Silakan,” kuminta dia duduk. “Baru datang, ya?”
“Saya memang baru check in,” kata Marlon, dengan nada
formal. Wajahnya kelihatan serius dan bicaranya seperti orang yang tidak akrab.
Lalu aku ingat lagi skenario yang kami siapkan. Kami bukan bertemu sebagai
teman.
Bartender menyuguhkan welcome drink untuk Marlon. Aku
jadi kagok sendiri, tidak tahu harus apa. Dia memandangi aku, menghindari
kontak mata. Akhirnya dia melanjutkan percakapan. “Kebetulan ke sini … mau
nyari hiburan.”
Kubalas dengan menyentuh dan mengelus-elus tangannya yang
ada di atas meja, sambil memberi dia senyum genit. Rasanya dengan penampilanku
seperti ini, aku sudah pas masuk ke skenario kami. “Bisa kok…” bisikku, agak
malu-malu karena aku tidak tahu apa pelacur betulan akan bicara seperti itu.”
“Masnya sukanya yang gimana?” sambil aku mencolek genit
lengan Marlon.
“Sukanya yang bisa semuanya. Kamu bisa?” Marlon menjawab.
“Bisa dong Mas. Apa sih yang ngga bisa buat Mas…” Aku
merasa badanku panas, karena mulai terbawa permainan, seolah-olah kembali ke
kegenitanku ketika chatting dengan dia. Mulai asyik!
“Beneran? Kalau gitu bisa…” Tiba-tiba tangannya mengelus
pahaku.
”Ehh… Mas dilihatin orang lho…” Aku malu, tapi berusaha menahan.
”Ehh… Mas dilihatin orang lho…” Aku malu, tapi berusaha menahan.
"Biarin aja... Kamu udah biasa kan?" katanya sambil
mengeluarkan dompet dan uang 500 ribu dari dalamnya, lalu dia menaruhnya di
depanku. “Kan aku bayar kamu.”
Marlon tersenyum. Aku ingat, minggu lalu waktu chatting dia juga ngomong begitu, “nanti aku bayar kamu.”
Marlon tersenyum. Aku ingat, minggu lalu waktu chatting dia juga ngomong begitu, “nanti aku bayar kamu.”
"Segini cukup kan?" dia lanjutkan, “Aku bisa
kasih lebih asal kamu ikutin mauku. Aku ada rapat jam lima sore nanti, tapi
boleh juga kamu temenin dulu sambil nunggu.”
“…Iya Mas,” jawabku ragu.
“Nama kamu siapa?”
“Krista,” kusebut nama samaranku. Selama ini dia kenal
aku dengan nama asliku, Afda. “Namaku Alvin.” Dia juga pakai nama samaran
rupanya.
"Oke. Mulai sekarang kamu baru boleh ngomong kalau
kusuruh ngomong. Ngerti?" Aku mengangguk, dalam hati deg-degan karena
permainan ini akhirnya mulai. Dia menghayati sekali perannya.
“Ayo ikut.” Dia mengantongi lagi uangnya, lalu berdiri dan berjalan meninggalkan bar.
Aku mengikuti dia, ke arah lift. Ketika menunggu lift, kurasakan dia
memegang-megang pantatku. Tadi juga waktu kami jalan ke lift, orang-orang
melihat kami.
Di dalam lift, dia makin berani. Dia angkat sedikit rokku
sehingga setengah pantatku tidak tertutup. Aku coba turunkan lagi rokku untuk
mengurangi rasa malu.
“Stop. Jangan sentuh rok kamu.” Aku mau memprotes, tapi
tadi dia sudah melarangku bicara, jadi aku diam saja. Lagipula dia menahan
tanganku.
Kami sampai di lantai 7. Waktu pintu lift terbuka, dia
mendorongku pelan keluar lift dengan mencengkeram pantatku. Tidak ada yang dia
bilang, tapi dia langsung belok kanan, aku mengikuti dia. Pastinya mau ke
kamar. Kamar hotel dia… Sebentar lagi
aku akan masuk ke kamar hotel pacar online-ku, pertemuan pertama di dunia nyata
sesudah sebelumnya kami begitu mesra dan nakal di dunia maya. Aku yang
sehari-hari perempuan baik-baik dan santun, sekarang jadi pelacur nakal yang
mau melayani orang yang baru pertama kali kutemui.
Begitu masuk ke kamar hotelnya, Marlon langsung menuju
jendela. Kulihat televisi kamar menyala, dan rupanya hotel ini menyediakan
tayangan film porno: pasangan yang sedang bersetubuh di atas sofa. Tadinya
Marlon kukira mau menutup tirai. Tapi dia malah membuka lebar vitrase di depan
kaca, sehingga kaca jendela itu tidak terhalang apa-apa. Untung lantainya
tinggi, jadi tidak ada yang bisa mengintip.
Dia lalu memerintahku. “Kamu jalan ke dekat jendela, aku
mau lihat kamu.” Aku jalan pelan-pelan ke jendela, goyang pinggul seperti yang
dia ajarkan. Aku lalu berputar agar dia bisa melihat seluruh sisi tubuhku. Dia
mengangguk-angguk. “Sekarang aku mau kamu buka baju,” perintahnya.
Dia duduk di ujung ranjang, mengangkang, dan membuka
resleting celananya, mengeluarkan penisnya yang setengah keras.
Aku menuruti perintahnya tanpa bicara. “Pelan-pelan
saja,” perintahnya lagi. Rasanya agak aneh, menari pelan tanpa musik, tapi
Marlon kelihatannya suka. Tanganku menggerayangi badanku sendiri, dan
pelan-pelan kuangkat rokku buat dia, sampai celana dalamku kelihatan, lalu
kuturunkan lagi. Kubelakangi dia, kusodorkan pantatku, sambil kubuka jaketku
pelan-pelan. Waktu aku melihat ke arah dia, dia mulai mengocoki sendiri anunya.
Kurasa kemaluanku sendiri membasah dan tanpa sadar aku mengelusnya.
Di film porno di TV kamar, aktrisnya sedang berposisi
merangkang, mengisap burungnya si aktor. Celana dalamku pasti sudah basah di
bagian yang kuelus-elus. Suara-suara mesum di film porno itu bikin aku makin
horny.
“Ayo buka bajunya,” perintah dia, sesudah jaket kulepas.
Aku merasa agak kagok, tapi sambil menahan malu kubuka juga blusku. Rupanya
kelihatan juga kalau aku malu. “Hmm. Kok malu? Bukannya udah biasa?”
Aku menyilangkan lengan di depan dada, menutupi bra-ku.
Dan dia langsung menyuruhku buka. “Buka lengan kamu. Aku mau lihat toket kamu.”
Kuturunkan lengan.
“Hmm gede juga ya. Aku pengen lihat kamu goyang toket
kamu."
Aku mengingat goyangan penyanyi dangdut di TV dan
coba-coba menirunya. Payudaraku ukurannya lumayan, tidak besar-besar amat tapi
juga tidak kecil. Jadi lumayan berguncang-guncang di dalam bra waktu kugoyang
badanku. Dia menjulurkan tangan dan mencolek lalu mencubit putingku. Sakit; aku
meringis. Dia cubit lagi sampai aku merintih. “Ahh,” erangku. Tapi aku bisa
merasakan juga selangkanganku membasah. Tangannya kembali ke kemaluannya, yang
sudah tegak, dan dia suruh lagi, “Sekarang lepas beha-nya.”
Kulepas bra-ku pelan-pelan dengan menyilangkan tangan
lalu mengangkatnya lewat atas kepala, lalu kulempar ke samping. Aku tak senyum,
tapi malah memberi dia tatapan mengundang. Kucolek putingku sendiri. Kugoda dia
lagi dengan kembali menggoyang badan, menggoyangkan susu.
“Bagus, bagus. Sekarang balik badan… copot roknya juga.”
Menghadap jendela, aku memelorotkan rokku pelan-pelan, memamerkan pantatku di
depan dia, yang kugoyang-goyangkan. Lalu aku balik badan, sehingga
selangkanganku, masih di balik celana dalam, menghadap mukanya.
“Basah…” gumamnya. Lalu air mukanya berubah seperti baru
dapat ide. “Sekarang kamu main sendiri sama memek kamu.”
Aku makin terbawa permainan, sehingga seperti terhipnotis
tanganku menyelip ke balik celana dalamku dan meraba-raba kemaluanku. Dia
memelorotkan celana dalamku sehingga aku tinggal memakai sepasang sepatu hak
tinggiku. Kumainkan klitorisku, kucolok kemaluanku… memekku, tadi dia sebut,
sambil tangan satunya meremas-remas payudaraku. Rasanya aneh sekali merangsang
diri sendiri di depan laki-laki ini. Tapi lama-lama aku merasa ada sesuatu yang
nikmat sedang membuncah dalam diriku.
“Bagus… Sekarang kamu sini, berlutut di depanku.” Kuikuti
perintahnya. Dia terus mengocok penisnya, yang sudah ada di depan mukaku
sekarang. Mungkin dia mau minta aku mengisapnya, tapi aku tidak berani gerak
sendiri tanpa perintah dia.
“Cium,” perintahnya sambil menunjuk penis. Kukecup pelan
batang keras itu. Hangat rasanya. Tapi dia malah memegang belakang kepalaku,
merapatkan mukaku ke penisnya. Sesak dan malu rasanya, tapi darahku berdesir.
“Kamu lagi cium apa?” tanyanya.
“Burung Mas,” jawabku malu-malu.
“Bukan burung. KONTOL,” koreksinya. Seperti menegaskan
aku salah, dia menggenggam rambutku sehingga wajahku tidak bisa menghindar,
lalu menggerakkan pinggulnya. Kontolnya menampar pipiku!
Aku kaget. Tapi kemudian melihat batang besar keras itu,
yang habis menamparku, berdiri gagah di depanku… dan dalam hati aku kagum
dengan ukurannya. Dibanding punya suamiku, punya dia lebih panjang.
“Heh kenapa bengong aja? Ini apa namanya?” tanyanya lagi.
“Burung… eh kontol…” ucapku lirih.
“Apa? Malu-malu amat ngomongnya. Gak kedengeran."
“KONTOL, Mas,” kataku agak keras. Aku tak pernah bicara
jorok dalam kehidupan sehari-hari, jadi ketika dipaksa mengucap “kontol”
keras-keras, aku merasa risi sekaligus… terangsang.
" Kenapa, kok kayak kaget ngelihat kontolku? Lonte
kayak kamu udah biasa ngelihat kontol kan?" pancingnya, memperhatikan aku
yang bengong (sebenarnya kagum).
“Eh… iya Mas… burung Mas gede… eh kontolnya…” Ah, makin
becek rasanya karena nyebut kontol lagi!
"Emang kenapa? Lonte kayak kamu biasanya pake yang
kecil ya?"
“mm…” gumamku, malu mengakui bahwa selama ini aku kenal
kontol suamiku yang lebih kecil. Tapi dia mendesak terus.
"Kok diam aja? Ayo bilang. Biasanya sama kontol
segede gimana?"
“Lebih kecil dari ini mas…”
"Pegang kontolku." Kontolnya sudah tegak
mengacung. Tanganku menggenggam kontolnya. Aihh, dalam pikiranku kata itu
berulang-ulang terus! Ternyata tidak tergenggam semua dengan satu tangan.
"Kok cuma satu tangan? Biasanya cuma segitu
ya?"
“Iya…” sambil aku memalingkan muka.
"Kamu punya suami?" Pertanyaan yang tidak
kuduga. Apa harus dijawab sesuai peran, atau sesuai dunia nyata? Aku akhirnya
mengangguk-angguk saja.
"Suka cium suami?" Aku mengangguk lagi.
"Yang kamu pake buat cium suami bibir yang mana?”
“Bibir yg mana maksudnya mas?” kutanya balik, agak genit.
"Yang kamu pake cium kontolku tadi bibir yang
mana?"
“Yang ini mas,” kutunjuk bibirku sambil agak bingung.
"Sekarang kamu cium lagi." Dia menunjuk kontolnya.
Aku ragu-ragu.
“Dicium, Mas?”
“Iya. Cium. Anggap aja lagi nyium suami kamu. Kenapa?
Emang kamu jijik ya ama bibir suami kamu?"
“Tapi kan ini bukan bibir suami aku…” rengekku manja…
tapi pas aku buka mulut, kontolnya sudah disorongkan masuk!
“Huumf.”
"Anggap aja sama. Ga beda jauh kan?" sambil dia
memaksaku mengoral. Dia masukkan sampai sedalam-dalamnya... aku tersedak dan
terbatuk. Dia menarik keluar lagi kontolnya.
"Kenapa? Ga pernah nelen kontol ya?"
“Ga pernah mas… ga pernah sampai sepanjang itu…” aku
mengaku.
"Ya udah. Sini kuajarin. Lonte harus bisa nyepong. Buka
mulut kamu."
“Iya mas…” sambil kubuka mulutku.
"Julurin lidah kamu," perintahnya. Ragu-ragu.
kubuka mulutku sambil julurkan lidah.
"Jilatin kontolku." Kupejamkan mata sambil
jilat ujung kepala kontolnya. "Ayo, jangan malu-malu gitu. Jilatin
semuanya. Batangnya, bijinya. Semua harus kena."
“Hmya,” kataku dengan lidah sibuk menjilati semua yang
dia suruh. Malu sekali rasanya. Deg-degan. Terangsang. Merasa jadi pelacur
betulan.
"Jangan merem gitu. Lihat aku. Sekarang buka mulut
kamu. Aku mau masukin kontol ini ke dalam mulut kamu." Dia sodorkan kontol
lagi di depan mulutku, dan pelan memasukkan kontolnya ke mulutku. Mulutku
sampai penuh. Tetep kutatap mata dia.
"Lonte tuh memeknya ada dua. Yang di bawah itu sama
mulutnya. Ngerti?" Kepalaku mengangguk mengiyakan sambil mataku tetap
menatap matanya.
"Sekarang kamu maju mundurin mulut kamu, gesek-gesek
kontolku, bikin enak." Kulakukan seperti perintahnya, tapi batang
panjangnya cuma bisa masuk setengah.
"Belepotan tuh lipstiknya di kontolku. Kamu tebel
amat pake lipstiknya?" Aku cuma bisa maju mundurin kepala. Memang dia
membiasakanku seperti itu. Ketika chatting sebelumnya, dia selalu memujiku
kalau aku mengirim fotoku yang sedang berlipstik.
Dia tarik kontolnya keluar. "Buka mulut, jangan
gerak."
Dia mengocok kontolnya di depanku…! Dia mendorong
kontolnya ke depan mukaku… menyuruhku mengemut bijinya sambil dia terus
mengocok. Angh… sial… aku makin nafsu karena dilecehkan seperti ini oleh pacar
online-ku ini. Basah sekali memekku rasanya!
Dia pandangi mukaku yang ketempelan kontol. "Tau
gak? Muka kamu itu cocoknya di dekat kontol kayak gini... Tapi lebih cakep
kalau..."
"NGH!"
CROTT!
Dia crot di depan mukaku! Mani hangat kentalnya kena
rambut, dahi, bibirku. Tangannya menjambak rambutku sehingga aku tidak bisa
menghindar. Aku cuma bisa tutup mata, takut kecipratan semburannya. Mulutku
juga kulepas dari bijinya.
"Eit. Belum selesai." Ejakulasinya selesai,
tapi peju berleleran di batangku. Dia menunjuknya. "Jilatin ini sampai
bersih, lonte."
Aku geleng-geleng kepala. Tapi dia memaksa.
"Jilatin, LONTE. Kalo nggak, kamu keluar kamar SEKARANG."
Ah, dia mau mengusirku dalam keadaan belepotan peju
seperti ini? Aku sedikit gentar. “J-jangan, Mas.” Jadi aku tak melawan waktu
dia menarik lagi mukaku ke dekat batangnya. Kujulurkan lidah sambil buka mulut.
Dia senang memandangiku menjilati batangnya sampai bersih. Akhirnya bersih. Aku
berbalik dan kuludahkan keluar sebagian peju yang kujilati. Mukaku berekspresi
jijik.
"Enak jilatin pejunya?"
“Enggak…” jawabku lirih.
"Kok masih ada yang dalam mulut? Ayo telan,"
perintahnya. Aku geleng-geleng kepala tidak mau menelan karena jijik, tapi dia
ancam "Kalau ga mau telan, kamu keluar kamar, ga pake baju."
Buru-buru kutelan cairan kental itu.
“Bagus. Suka rasa peju?” Aku geleng kepala lagi, malu
mengakui yang sebenarnya. "Lonte mesti suka rasa peju. Mesti mau nelen
peju. Ngerti?"
Dia tidak menunggu jawabanku, dan langsung menggiringku
ke kamar mandi. Dia suruh aku lihat mukaku sendiri yg belepotan peju
"Tuh lihat. Muka lonte tuh kayak gitu. Belepotan
peju." Dia tinggalkan aku di dalam kamar mandi di depan cermin, lalu dia balik
lagi menaruh tasku di sana.
"Muka kamu berantakan, lonte. Aku kasih dua menit,
bersihin muka, dandan lagi, terus keluar ke aku lagi, jangan telat!" Dia
keluar lagi.
Aku menyeka semua peju tersisa dengan tisu, cuci muka
buru-buru, mengeringkan wajah dengan handuk—handuk putih itu sampai bernoda
merah dan biru dan krem karena make-up tebalku. Langsung kuperbaiki lagi riasan
nakalku, bedak tebal, eye shadow biru, lipstik merah, benar-benar menor dan
murahan. Aku buru-buru keluar karena waktu hampir habis.
"Terlambat 2 detik! Balik badan!" teriaknya
waktu aku keluar.
“Maaf Mas!” jawabku sambil balik badan di depan dia. Dia
duduk di ranjang.
PLAK! PLAK! Dia menampar pantatku dua kali, lalu
memerintah, "Balik badan lagi, lihat aku. Sebagai lonte, kamu harus nurut
aku dan puasin nafsuku saja. Ngerti?"
“Iya mas.”
"Sekarang duduk di kursi itu." Dia menunjuk
kursi hotel, yang menghadap TV.
TV-nya masih menayangkan film porno. Aku duduk di sana
"Kamu bisa duduk kayak lonte nggak?" tanyanya.
“Seperti apa Mas?” kutanya balik.
“Gini caranya.” Dia bergerak ke depanku lalu memegang
kedua lututku. Aku dibuat mengangkang lebar, lalu kedua paha dan lututku
diangkat sehingga kedua kakiku menapak ke sandaran kursi, posisi “M”. Saat itu
aku tetap telanjang. Refleks, kututup kemaluanku dengan tangan karena malu
"Heh. Mau apa tangannya di situ. Mau ngobok memek
sendiri ya? Dasar lonte." Dia mencolek memekku, membuat jari-jarinya basah
dengan cairan yang sudah ada di sana, lalu menyodorkan tangannya ke depan
mukaku.
“Jilatin ini, perek,” perintahnya. Selagi kujilati cairan
vaginaku sendiri di jarinya, dia komentar, “Lonte kok cepet basah. Kamu
nikmatin yang tadi ya? Dasar mesum, cewek cabul murahan. Aku nggak peduli kamu
nikmatin atau enggak. Kamu cewek bayaran.”
Dia mendekat dan mulai memain-mainkan putingku, yang
langsung bereaksi. Dia mengelus ke bawah, ke pinggang dan perut, lalu sampai ke
memekku lagi. Dia temukan klitorisku, lalu mulai memain-mainkannya. Biarpun
tadi bilang tidak peduli kenikmatanku, dia malah merangsangku. Nafasku memburu,
dan aku mulai mendesah-desah. Tapi waktu sedikit lagi orgasme, dia berhenti
menggoda itilku. Dia lalu memain-mainkan pentilku lagi yang sudah mencuat
keras. Dia menikmati memain-mainkan aku, mengendalikan pelacurnya, boneka
seksnya.
Ahh… penasaran sekali rasanya. Aku nyaris orgasme tapi
tidak dirangsang terus. Dia lalu memerintah lagi. “Berdiri. Ke sana, ke
jendela, hadap jendela. Tangan di atas kepala, kaki ngangkang.” Aku bergerak ke
sana. Silau karena matahari, kupejamkan mata. Apa ada yang bisa melihatku
telanjang di depan kaca jendela?
Dia melangkah mendekatiku. Kurasakan dia menjamah dan
meraba-raba payudaraku dari belakang, lalu menampar bokongku cukup keras sampai
aku terlompat kaget. Dia memarahiku. “Hei, diam, jangan berubah posisi.”
Dia menampar pantatku beberapa kali lagi. Sakit, tapi aku
tak boleh gerak. Tanganku tetap menapak ke kaca. Lalu dia berhenti menampar.
Ganti kurasakan batangnya menempel ke kemaluanku. Kupikir, akhirnya terjadi
juga… dia akan menyetubuhiku.
Dengan sekali tusuk, dia memasukiku. Ahh… enak rasanya
waktu batangnya yang keras itu masuk. Aku sudah biasa dengan suamiku, yang
anunya tidak sebesar dia. Aku memang sudah basah, tapi tidak menyangka
batangnya bisa memenuhi seluruh liangku. Dia mulai menggenjot memekku dari
belakang, keras-keras! Aku gelagapan menjaga keseimbangan, takut mukaku
membentur kaca. Rasanya ujung kejantanannya sampai menyundul rahimku. Aku mulai
mengerang-erang. “Aduhh… Ohh… Enhh…”
“Suka dikontolin ya, lonte?”
Aku tidak bisa jawab, hanya mengangguk-angguk. Genjotan
dia makin kencang. Erangan dan desahanku juga. Dia tertawa, dan berkata
melecehkanku, “Dasar perek!” Dia menggenggam pinggangku. Digempur terus-terusan
oleh kontolnya yang mantap, aku mulai tak tahan. Nafsuku menggunung. Sudah lama
aku tidak klimaks. Tapi aku tidak tahu apa dia akan membolehkanku. Kugigit
bibir dan kutahan. Tapi kedutan-kedutan nikmatnya mulai muncul. Tidak bisa
distop lagi, biarpun dia cabut kontolnya dari dalam memekku. Tanpa bisa menahan
lagi, aku melolong keenakan. “Ohh… yahhh… aku dapeth….” Punggungku sampai
melengkung karena enaknya. Gelombang rasa nikmatnya seperti setrum menyebar
sampai ke ujung-ujung kuku. Tapi dia dengan cuek terus menggenjotku, tidak
peduli aku sedang orgasme. Dia pasti membayangkan mencari kenikmatan sendiri,
memakai kemaluan pelacur yang disewanya.
Kepalaku terasa berkunang-kunang sesudah orgasme dahsyat
itu. “Berhenti… dulu…” pintaku.
Dia cabut senjatanya dari dalam tubuhku; aku merosot
lunglai ke lantai. Tahu-tahu dia menjambakku, menarikku sehingga berdiri lagi,
lalu berkata ke kupingku, “Aku belum puas. Aku bisa pake memek kamu semauku,”
dan dia masukkan lagi kejantanannya. Dia melanjutkan perannya sebagai pembeliku
dan menggenjotku tanpa ada tanda-tanda mau berhenti. Untungnya kekuatanku balik
lagi. Kemudian dia cabut lagi. Kali ini dia pergi menjauh.
“Ayo sini,” panggilnya dari belakangku. Aku berbalik. Dia
duduk mengangkang di ujung ranjang. Meski sudah cukup lama, ereksinya masih
bertahan. Aku jadi melongo mengamati batang tegak yang tadi membuatku kelabakan
itu. Selama ini suamiku cenderung cepat orgasme. Dan kalau suamiku sudah
orgasme satu kali, bisa bangunnya lagi lama. Sementara pacar onlineku ini sudah
crot satu kali tadi di mukaku.
“Sini, isap lagi. Sekarang pelan-pelan, yang halus.” Aku
berlutut, membungkuk, mencium kontolnya. Sambil membayangkan bahwa batang itu
beberapa menit lalu menusuk-nusuk kemaluanku. Kujilati sampai basah.
Kukocok-kocok, kugenggam, kurasakan hangatnya. Kurasakan ukurannya.
Kutimang-timang kantong pelirnya. Lalu kukulum pucuknya. Dia mendesah, merasa
enak, memujiku “Bagus.” Kuservis kejantanannya dengan mulut nakalku… kuhisap,
kusedot, kulahap sampai ke pangkal. Kuemut bijinya, satu-satu. Dia
melenguh-lenguh keenakan. Dia genggam kepalaku sewaktu kukulum lagi batangnya.
Dia tahan dalam posisi sedalam-dalamnya. Aku sampai nyaris sesak. Akhirnya dia
lepas kepalaku. Aku terbatuk.
Selama ini kami berkomunikasi lewat internet. Chatting.
Saling goda. Saling kirim gambar porno. Kadang kupikir aneh juga hubungan kami.
Dasarnya seks—atau setidaknya harapan bahwa suatu saat ujungnya seks. Kopi
darat pertama ini, langsung urusan seks. Bahkan kencan juga bukan. Tapi sejak
idenya pertama kali tercetus, aku merasa nakal dan penasaran. Aku suka
membayangkan bertingkah seperti perempuan nakal yang jual diri, membuka paha
buat siapapun yang bayar.
Dan sekarang itu yang kulakukan. Aku yang aslinya wanita
karier yang konservatif, sopan, dan rada kaku berubah jadi liar, nakal, menarik
perhatian laki-laki, memancing nafsu.
Dia berdiri, menyuruhku telentang di atas ranjang. Lalu
dia menyentuh tubuhku, perutku. Kupandangi wajahnya. Aku senang, akhirnya kami
bertemu juga dan saling sentuh. Sebenarnya aku ingin ngobrol juga dengan dia,
tapi saat ini kami sedang dalam permainan, dan aku ingin mainkan dulu peranku
sampai tuntas. Sebenarnya dalam keadaan berhadapan seperti itu, aku mulai
merasa dia banyak bedanya dengan foto-fotonya yang pernah kulihat, tapi kupikir
itu karena kepalaku mulai ngaco sesudah orgasme. Kuberi dia senyum sambil
kubalas meraba selangkangannya.
“Ayo… jangan godain aku terus… Aku pengen dientot. Aku
pengen dimasukin kontol…” Sebenarnya itu yang ingin kukatakan. Tapi aku
dilarang bicara sebelum disuruh oleh dia. Jadilah aku hanya memegang-megang
burungnya sambil menatap matanya penuh harap. Tapi sepertinya dia tidak
keberatan kali ini aku yang berinisiatif menggoda kemaluannya. Sambil kupegang
batang itu, kusadari bahwa seharian ini kami baru bicara sebentar tapi sudah
saling bergumul, saling memberi kenikmatan. Sekarang aku memegang senjatanya,
mempersiapkan dia menyetubuhiku lagi. Sementara dia mulai meremas-remas
payudaraku. Kucoba lebih menikmati semuanya, remasan tangannya yang kuat, bau
tubuhnya yang maskulin. Kontol dia sudah sekeras-kerasnya, siap masuk memekku
lagi…
Aku cuma bisa meminta dengan ekspresiku. Sepertinya dia
mengerti. Atau dia sendiri yang mau. Bukannya kami lagi main-main dan dia jadi
tamu yang membookingku? Kuelus-elus memekku waktu dia taruh kepala burungnya di
rekahanku. Dia gosok-gosokkan kepala burung yang lumayan besar itu di sana.
Lalu dia masukkan lagi… anhh. Kuraih pantatnya dan kudorong agar cepat masuk.
Kurangkul pinggulnya dengan kakiku. Saking rapatnya, aku sampai bisa merasakan
tulang panggulnya, kantong pelirnya di badanku. Dia membalas dengan
mencengkeram pantatku.
Penisnya mulai bergerak-gerak di dalamku. Enak sekali
rasa batangnya di dalam liangku. Ahh... dia yang mengajari aku jadi nakal, jadi
lonte. Dan bagaimana tidak nakal? Baru pertama kali ketemu kami sudah tidur
bareng! Makin aku merasa nakal, makin horny rasanya. “Ohh... yahhh... terus...
entot aku...” ocehku, tak peduli lagi dengan perintah dia supaya aku tak bicara
duluan.
Sekarang genjotannya makin mantap mengguncang diriku.
Dari selangkanganku terdengar bunyi kecipak-kecipak dari penis yang mengobok
memek becekku. Aku dan dia sama-sama mendesah dan mengerang.
Bisa kurasa badanku mulai tegang dilanda rasa enak yang
menyebar dari vaginaku. Aku makin tidak tahan menerima semua sodokan dia. Aku
juga tahu pasanganku keenakan juga, melihat wajahnya dan mendengar suaranya.
Dia juga pasti sudah tidak bisa menahan lagi. Jadi kudorong dia dengan
kata-kata nakal. “Ayo Mas... Entot aku Mas... Yang kerash... Aku pengen
dikontolin Mas... dicrotin... anhh...”
Tapi malah aku duluan yang orgasme! Vaginaku
kejang-kejang, menjepit-jepit kontol dia, pinggulku bergetar, eranganku keras
dan tak terkendali. “Aaaahhn aah ah ah ahhhnggh....”
Sewaktu klimaksku mulai reda, ganti dia yang menuju
orgasme, desahannya makin tak terkendali dan cepat, begitu juga gerakannya
makin liar. Dia lalu menindihku sambil melenguh keras, “Uuhhhh,” dan terasa
semburan di dalam kewanitaanku. Dia sedang orgasme, menumpahkan gairah nafsunya
di dalam diriku. Rasanya hangat sewaktu cairan laki-lakinya menyebar dalam kemaluanku.
Akhirnya dia ambruk di atasku, lega.
Sambil masih tertancap ke badanku, dia mengungkapkan
kepuasannya. “Hmmhh... enak banget ngecrot di dalam kamu.” Dia lalu mencabut
burungnya, membiarkanku telanjang telentang dengan kemaluan penuh peju. Dia
bangun, masuk ke kamar mandi, sepertinya bebersih sebentar; aku masih capek
karena persetubuhan yang intens dan meneruskan berbaring sambil
tersenyum-senyum sendiri dengan permainan panas yang baru kami lakukan.
Dia keluar lagi dari kamar mandi ke arah meja, mengambil
dompetnya. Kulihat dia mengeluarkan beberapa lembar uang yang kemudian dia
masukkan ke dalam tasku. Aku agak bingung. Apa kami masih bermain? Memang
bagian ini tidak pernah kami bahas, tapi seharusnya dia tidak perlu membayarku
betulan. Aku kan cuma main-main saja jadi pelacur? Aku sudah puas kok. Mestinya
dia tahu.
Aku berdiri dan menuju dia yang ada di depan meja hotel,
tempat tasku berada. Terlihat di cermin di atas meja itu, rambut dan makeupku
acak-acakan, tapi ternyata bibirku tersenyum puas tanpa kusadari.
Kuambil tasku dan kulihat lembar-lembar uang yang tadi
dia masukkan. Rasanya aneh sekaligus membuatku merinding: aku dibayar sesudah
disetubuhi seperti WTS betulan. “Nggak usah, Mas,” kataku sambil merogoh ke
dalam tas mengambil uang itu untuk kukembalikan. Tapi pada waktu yang sama HP
di dalam tasku berbunyi.
Nama peneleponnya: “Marlon”.
Aku bengong. Kok dia menelepon padahal dia ada di
dekatku? Kuterima panggilannya...
“Halo? Halo Afda? Akhirnya kamu jawab juga. Aku sudah di
hotel J nih. Kamu ada di mana? Dari tadi teleponku tidak kamu jawab.”
Kuperhatikan wajah laki-laki yang barusan membayarku,
yang berdiri di sebelahku. Lalu tiba-tiba aku sadar. Biarpun mirip, dia bukan
pacar online-ku.
“AAAIIIIHHH!!!”
=====
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar