Jumat, 18 Juni 2010

Bijin-Kei, Siasat Paras Elok

BIJIN-KEI, SIASAT PARAS ELOK

SINOPSIS
Jepang abad ke-15. Seorang jenderal samurai menerima kunjungan tak terduga dari seorang oiran…

Story codes
MF, cons

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.

Cerita ini adalah modifikasi “Bijin-kei: Beautiful Woman Stratagem” karya penulis yang dipasang di greyarchive dan adultfanfiction dot net.

Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.

Bijin-Kei, Siasat Paras Elok
-Ninja Gaijin-

PROVINSI BIZEN, JEPANG, ABAD KE-15

Hujan. Sudah dua hari hujan lebat mengguyur satu kamp tentara klan Urakami di perbukitan utara Bizen. Pemimpin kamp itu, Ukita Choichiro, jenderal kepercayaan Daimyo Urakami, menggerutu karena kehilangan kesempatan dua hari melatih pasukannya. Latihan memang tidak bisa dilakukan waktu hujan, karena yang dilatih adalah penggunaan senjata api. Tentunya repot menyalakan korek api dan sumbu untuk menyulut mesiu di tengah hujan. Selain itu, senjata dan mesiu yang berharga akan basah.

Perbukitan yang dinamai “Kediaman Dewa Hujan” oleh warga setempat itu memang terpencil dan sulit dijangkau, karena itulah Daimyo Urakami yang menguasai Bizen sengaja membuat kamp tersembunyi di sana untuk melatih pasukan senapan secara rahasia. Sang Daimyo diam-diam membeli sejumlah besar senapan dari pedagang Portugis di Kyushu, dan bermaksud membentuk pasukan senapan sebagai senjata rahasia untuk menghadapi daimyo-daimyo penguasa provinsi Mimasaka dan Harima tetangganya. Keunggulan senjata akan menjamin kemenangan, tapi kepemilikan senjata api harus dirahasiakan dari pesaing. Tapi rupanya pemilihan “Kediaman Dewa Hujan” sebagai tempat latihan tidak menguntungkan, karena sering terjadi hujan yang menghambat latihan 100 orang samurai yang akan dijadikan pasukan penembak.

Ukita sedang mengamati hujan yang tak kunjung habis dengan dua ajudannya di depan bangunan utama yang menghadapi lapangan tempat latihan. Kamp itu berisi lapangan, bangunan utama yang merangkap tempat tinggal komandan, gudang tempat penyimpanan senjata dan mesiu, serta barak.

“Apa kita bisa minta pindah ke tempat yang lebih kering?” tanya seorang ajudan.

“Tidak bisa. Di sini tempat paling aman di Bizen, dan kita harus bisa memanfaatkan apa yang tersedia,” jawab Ukita pendek, menyembunyikan kekesalannya sendiri. Dia baru sadar betapa repotnya mengatur jadwal latihan setelah menyadari bahwa tempat latihannya setiap beberapa hari diguyur hujan. Dia mulai bertanya-tanya apakah penugasannya ini sebenarnya semacam hukuman dari Daimyo Urakami.

Seorang pengawal gerbang depan yang basah kuyup berlari-lari menyeberang lapangan menuju Ukita. Dia melapor, “Jenderal, ada rombongan datang. Empat orang, dua membawa tandu. Mohon petunjuk!”

Ini tempat rahasia, jadi mustahil orang-orang itu cuma lewat, pikir Ukita. “Tanyakan siapa mereka. Kalau mencurigakan, habisi!” perintahnya kepada si pengawal.

Si pengawal pergi dan setelah beberapa saat kembali dengan membawa rombongan itu. Di belakangnya ada empat orang; yang paling depan adalah seorang perempuan setengah baya yang membawa payung, kemudian dua orang laki-laki yang mengusung tandu tertutup, dan terakhir seorang gadis muda yang juga berpayung dan membawa buntelan besar. “Jenderal, mereka ini…” si pengawal berusaha menjelaskan tapi perempuan yang ada di depan rombongan mengambil-alih.

“Ukita-dono, kami diutus Yang Mulia Daimyo Urakami. Mohon persilakan kami masuk, sudah sepantasnya Anda tidak membiarkan perempuan menunggu di tengah hujan,” kata perempuan setengah baya itu sambil menggamit lengan Ukita dan menggandengnya. Melihat sikap perempuan itu, Ukita merasa tamunya memang orang penting dan mempersilakan mereka masuk. Kedua pengusung membawa tandu masuk ruangan utama dan kemudian menurunkan tandu.

“Salam hormat kepada Ukita-dono,” perempuan yang memimpin rombongan membungkuk di depan Ukita dan mulai berbicara. “Atas keinginan Yang Mulia Daimyo Urakami kami datang ke sini, karena beliau berkenan menganugerahkan ganjaran kepada Anda sebagai bawahannya yang setia. Puanku merasa amat terhormat atas diberikannya kesempatan melayani Ukita-sama.”

Ukita masih bingung memahami ucapan kelewat santun perempuan itu, namun kebingungan itu langsung berubah jadi rasa terpukau ketika dia melihat sosok yang keluar dari dalam tandu.

“Inilah puanku Yasuha, oiran kelas satu dari Shimabara, Kyoto,” kata si pemimpin rombongan.

*****

Sosok yang melangkah keluar dari tandu dan bersimpuh memberi hormat di hadapan Ukita membuat Ukita terperangah. Berpakaian kimono mewah, dengan rambut disanggul besar berhias banyak pernak-pernik dan wajah putih karena riasan, Yasuha memancarkan keanggunan dan keindahan selagi dia memperkenalkan diri dengan teramat sopan kepada Ukita.

“Selamat siang Ukita-dono, hamba Yasuha dari Shimabara datang menghadap Tuan atas suruhan Yang Mulia Daimyo, dengan perintah supaya hamba melakukan yang terbaik untuk menghibur Ukita-dono, sebagaimana disampaikan dalam surat ini dari Yang Mulia Daimyo,” kata Yasuha dengan langgam merdu dan sangat teratur. Perempuan pemimpin rombongan, yang rupanya pembantu Yasuha, mempersembahkan amplop dengan segel bercap lambang keluarga Urakami. Ajudan Ukita menerima amplop itu, memeriksanya, lalu menyerahkannya kepada Ukita. Ukita membacanya:

“Kepada bawahanku yang setia, Ukita Choichiro,

Telah berlalu waktu cukup lama sejak engkau mulai bertugas melatih pasukan senapan, dan aku selalu menantikan tambahan kekuatan yang akan mereka berikan kepada tentara Urakami. Baru-baru ini aku menyadari betapa beratnya keadaan alam yang engkau hadapi. Aku tidak ingin engkau berprasangka buruk bahwa aku sengaja memberimu tugas yang tak mudah. Jauh dari itu, aku mempercayaimu penuh dengan tugas maha penting ini. Untuk menunjukkan ketulusanmu aku telah memutuskan untuk memberimu hadiah. Kuduga engkau mungkin akan senang ditemani, jadi aku telah membeli jasa Yasuha, oiran paling terkenal di sekitar daerahku. Aku telah menyuruh Yasuha melayani segala kebutuhanmu, dan dia akan tinggal selama tujuh hari. Kuharap pemberianku dapat membayar segala kerepotan yang telah engkau alami.

Urakami Kagefumi, Daimyo Bizen”

Awalnya Ukita sedikit curiga, namun setelah membaca surat itu kecurigaannya sirna. Dia menengok ke ajudannya dan menyuruh tuliskan surat balasan yang menyatakan telah menerima kedatangan rombongan Yasuha, lalu kembali menoleh ke arah Yasuha. Dan sesudahnya dia enggan memalingkan pandangannya dari perempuan cantik yang bersimpuh di depannya itu.

Sungguh kontras sosok kedua manusia yang sedang berhadapan itu! Ukita Choichiro adalah jenderal berpengalaman yang sudah kenyang bertempur membela junjungannya, keluarga Urakami, dan sudah berkali-kali terluka karena itu. Walaupun berpakaian samurai biasa, dengan gaya rambut khas samurai yang plontos di depan dan dikuncir di belakang, penampilan Ukita tidak bisa tidak menarik perhatian. Dia memakai penutup mata untuk menutupi mata kanannya yang sudah rusak karena pernah kena sabet katana. Sabetan yang sama juga menyisakan bekas luka mengerikan dari sudut mata ke arah belakang sampai ke telinga kanannya, yang bagian atasnya juga sudah hilang. Dia mendapatkan luka itu ketika melindungi putra sang Daimyo yang diserang ronin, samurai tak bertuan, dalam perjalanan. Selain luka itu, banyak bekas luka lain yang malang-melintang di sekujur tubuhnya, dan kelingking tangan kirinya juga sudah puntung. Ukita sangat berani dalam bertarung dan tak segan-segan menerima serangan dengan tubuhnya demi menjatuhkan lawan. Dia disegani kawan dan ditakuti lawan; celakanya mukanya yang rusak itu juga membuat dia ditakuti perempuan, sampai-sampai salah seorang putri keluarga Urakami yang mau dijodohkan dengannya menolak dan sampai mengancam akan bunuh diri.

Oiran adalah sebutan untuk wanita penghibur kelas tinggi dalam Dunia Terapung, sebutan untuk industri kenikmatan. Merekalah perempuan paling bergaya dan berkelas pada zaman itu, dihormati kaum laki-laki dan dikagumi kaum perempuan, hidup dalam dunia penuh glamor dan kemewahan. Harga mereka sangat tinggi, hanya orang-orang yang berkuasa dan berkedudukan tinggi yang mampu membayar mereka. Dan bukan hanya uang yang diperlukan untuk membeli jasa mereka—mereka dapat menolak orang yang hanya kaya tapi tak memiliki status, misalnya kaum pedagang. Mereka paling menyukai klien dari kalangan samurai. Menikmati jasa oiran juga dianggap lambang status. Kehidupan oiran jauh lebih baik daripada kehidupan pelacur yang berstatus kelas rendah, yang tidak bisa memilih klien; mereka yang berstatus paling rendah bahkan harus menawarkan jasa di jalan dan kadang mesti melayani kaum budak. Geisha, yang kelak menjadi lebih terkenal daripada oiran, juga masih lebih rendah statusnya; biarpun geisha memakai rias wajah putih yang sama dengan oiran, tata rambut dan kimono geisha lebih sederhana.

Karena itu, tidaklah mengherankan apabila Ukita Choichiro belum pernah melihat perempuan yang lebih cantik daripada Yasuha. Ukita tak bisa menebak umur Yasuha dari melihat wajah yang tertutup pupur putih itu, tapi sang oiran kira-kira berumur tak lebih daripada tigapuluh tahun, walau pastinya bukan remaja belasan tahun, karena bagi seorang pelacur, diperlukan pengalaman dan keahlian untuk mencapai tingkat oiran. Tersebar bau wangi dari tubuh Yasuha, memanjakan hidung Ukita. Rambutnya yang hitam mengkilat disasak sehingga mengembang membingkai muka dan ditata membentuk dua konde setengah lingkaran di atas kepala. Satu sisir hias besar menancap di tengah atas kepalanya, sementara di kiri-kanan tercantol masing-masing dua tusuk konde berwarna emas. Dia mengenakan kimono luar berwarna campuran merah tua-merah muda bermotif bunga sakura dan berlengan sangat lebar. Di balik kerah kimono luarnya terlihat sedikit kimono dalam berwarna merah gelap. Yasuha selalu menunduk sopan. Ketika Ukita menyuruhnya mengangkat wajah, sang oiran pelan-pelan mendongak, memperlihatkan wajahnya yang bulat telur dan seputih salju. Alisnya dilukis hitam, keliling matanya pun dibuat tajam dengan celak hitam dan perona merah. Namun yang paling mencolok di tengah wajah putihnya jelas sepasang bibirnya yang diwarnai merah cerah.

Kedua ajudan Ukita, yang berdiri agak di belakang Yasuha, seperti panas dingin karena mendapat pemandangan luar biasa. Salah satu pesona oiran adalah karena keberanian mereka menampilkan cukup banyak bagian tubuh, misalnya seperti yang dilakukan Yasuha saat itu: kerah belakang kimononya terbuka cukup jauh ke belakang sehingga tengkuknya dan sebagian punggungnya terlihat, menampilkan bagian berbentuk “lidah ular” di belakang leher yang tak tertutup polesan putih. Ketika tadi Yasuha melangkah keluar dari tandu pun mereka dapat melihat kakinya yang mungil, mengenakan sandal kayu, tak terbungkus kaus kaki. Pada zaman itu, jarang sekali perempuan yang menampilkan kulitnya sebanyak itu di muka umum!

“Ukita-dono?” ucapan Yasuha memecah kesunyian, mengagetkan Ukita yang terpesona.

“Eh, oh, ya,” jenderal berwajah rusak itu menjawab dengan kagok. “Tuan Daimyo sungguh baik hati. Yasuha-san, Anda pasti amat lelah setelah perjalanan panjang. Ada kamar kosong yang cukup besar di lantai dua bangunan ini. Anda bisa pakai kamar itu selagi berada di sini.”

“Terima kasih. Suatu kehormatan bagi hamba dapat melayani Ukita-dono,” ujar Yasuha, masih dengan nada kelewat sopan. “Hamba ingin tahu apakah Ukita-dono menginginkan kehadiran hamba malam ini.”

“Boleh juga,” Ukita mengatakan itu dengan sangat datar, sambil berusaha menutupi perasaan yang meluap dalam hatinya. Dia masih belum percaya bahwa junjungannya telah memberinya imbalan berupa hiburan dari seorang oiran ternama.

“Baiklah,” kata Yasuha. “Kami akan menaruh barang-barang dulu dan mempersiapkan segala hal.” Lalu Yasuha menunduk, berdiri, dan beranjak pergi bersama rombongannya, meninggalkan Ukita.

*****

Ketika senja…

Ukita Choichiro berjalan menuju ruang utama. Ketika dia membuka pintu, dilihatnya Yasuha sudah duduk di sana bersama kedua asistennya. Melihat Ukita datang, Yasuha langsung memberi tanda kepada asistennya yang muda untuk memetik kecapi, memainkan musik. Ukita langsung terliputi oleh suasana romantis yang disiapkan Yasuha. Melodi kecapi membelai telinganya, wewangian memanjakan hidungnya, dan penampilan Yasuha memuaskan matanya. Yasuha berdiri dan mengantar Ukita ke tempat duduknya di balik meja kecil berkaki pendek. Ruangan itu diterangi beberapa lentera yang memberi cahaya lembut. Itulah alasan mengapa para geisha dan oiran memulas putih wajah mereka. Wajah putih Yasuha seolah bersinar dalam temaram, memaksa perhatian Ukita tertuju hanya kepadanya.

“Anda sungguh cantik, Yasuha-san. Belum pernah aku melihat perempuan yang lebih cantik dari Anda,” puji Ukita ketika Yasuha menuangkan sake ke dalam cangkirnya.

“Ukita-dono terlalu memuji hamba,” jawab Yasuha dengan rendah hati, sambil tersenyum. “Ada banyak perempuan lain di Edo dan Kyoto yang kecantikannya melebihi saya, dan saya ibarat perempuan petani saja apabila dibandingkan dengan mereka.”

Sambil mengagumi senyum Yasuha, Ukita menyesap sake yang dituangkan sang oiran. Dilihatnya Yasuha memandangi dirinya, seolah mempelajari.

“Hamba hendak bernyanyi untuk Ukita-dono, apabila Tuan mau,” saran Yasuha.

“Silakan,” Ukita setuju. Diiringi kecapi, Yasuha menyanyikan dua lagu. Ukita seolah tersihir oleh nyanyian dan kecantikan Yasuha. Dia bertepuk tangan ketika sang oiran selesai menyanyi.

“Indah sekali, Yasuha-san,” puji Ukita.

“Terima kasih, Ukita-dono,” kata Yasuha. Pembantu Yasuha yang tua masuk ke ruangan, membawa hidangan untuk makan malam Ukita. Dia menyajikannya di hadapan Ukita. Yasuha mengisi kembali cangkir sake Ukita dan duduk di samping Ukita yang menikmati hidangan.

Setelah Ukita makan, Yasuha duduk di sampingnya dan menjadi teman berbincang-bincang sambil terus menyuguhkan sake. Yasuha mendengarkan Ukita bercerita tentang kampung halamannya, lalu sepak-terjangnya sebagai bawahan keluarga Urakami.

“…jadi waktu itu iring-iringan Tuan Muda-ku dicegat sepuluh orang ronin di hutan sebelah timur Bizen. Yang mengawal waktu itu hanya sedikit, dan banyak kawanku yang ditewaskan para ronin itu. Aku sendiri bisa menjatuhkan separonya. Tapi para ronin itu sangat ganas dan satu orang hampir berhasil melukai Tuan Muda. Terpaksa kuterima bacokan orang itu, dan itu sebabnya mata kananku rusak dan kuping kananku putus sebagian.

“Ukita-dono sungguh pemberani,” puji Yasuha. Yang tidak diduga Ukita, Yasuha mengulurkan tangan dan membelai bekas luka bacokan yang baru diceritakan. Ukita kaget, tapi dilihatnya Yasuha langsung menarik lagi tangannya dan bersikap seperti biasa.

“Kalau yang di leher Anda ini, bagaimana ceritanya?” lanjut Yasuha. Ukita meneguk lagi secangkir sake dan melanjutkan bercerita. Makin lama Ukita merasa makin nyaman dengan kehadiran sang oiran, apalagi dia memang suka menceritakan tentang pertempuran-pertempuran yang dialaminya. Ukita bahkan tak segan untuk membuka baju dan memperlihatkan dada dan punggungnya yang penuh bekas luka, sementara Yasuha terus mendengarkan dan sekali-sekali menyentuh bekas-bekas luka di tubuh Ukita.

“…kalau yang di perut ini, bekas kena panah, tapi langsung kucabut sendiri. Terimakasih, Yasuha-san,” kata Ukita sambil menerima cangkir yang disuguhkan sang oiran. Ukita meminum isi cangkir itu tapi kaget ketika dia merasakan isinya teh, bukan sake.

“Lho, kok diganti teh?” ujar Ukita terkejut.

“Hamba kira Tuan sebaiknya jangan mabuk malam ini…” kata Yasuha, lalu perempuan itu tiba-tiba mendekat dan berbisik, “…karena Tuan akan kurang bisa menikmati hamba kalau Tuan mabuk.”

Kaget juga Tanegashima karena kata-kata Yasuha yang berani itu, namun sang oiran sudah kembali ke sikap kelewat sopannya yang biasa. “Yasuha ada di sini hanya demi kesenangan Tuan. Hamba bersedia mendengarkan segala kesulitan Tuan, melakukan segala yang Tuan suruh, dan berupaya membantu Tuan bersantai. Jadi mohon Anda jangan sungkan, Tuan.”

Mereka meneruskan ngobrol sebentar sesudahnya, dan ketika merasa waktunya sudah tepat, Yasuha mohon diri dan mengatakan akan bersiap menemui Ukita. Ukita kembali ke kamarnya.

*****

Malam, di luar kamar pribadi Ukita…

Yasuha disambut seorang pengawal di luar kamar. Sang oiran sudah berganti pakaian, menukar kimono mewahnya dengan baju yang lebih sederhana, putih keperakan dan tipis, hanya selapis tanpa apa-apa lagi di bawahnya. Tata rambut dan rias wajahnya tak berubah.

Si pengawal membungkuk memberi hormat dan mempersilakan Yasuha masuk.

Langit bergemuruh. Hujan akan turun lagi.

Ukita sedang duduk di tengah kamarnya, di atas futon (kasur), mengenakan kimono untuk tidur, ketika Yasuha masuk. Yasuha menutup pintu dan kemudian berdiri di depan Ukita, tampak begitu elok. Kamar itu hanya diterangi beberapa lentera, tapi cahayanya sudah cukup sehingga Ukita dapat memandangi dan menikmati kecantikan Yasuha. Paras Yasuha seolah bersinar, karena begitu putihnya, sementara jeli matanya dan merah bibirnya memancarkan pesona. Kimono putih tipis yang dikenakannya membungkus tubuh yang sempurna, dan obi (sabuk) merah yang mengikat kimono itu terikat di depan—pertanda bagi para wanita penghibur, seolah hendak memudahkan laki-laki membukanya.

“Kemarilah, Yasuha-san,” panggil Ukita. Yasuha mendekat dan pandangan keduanya saling bertemu. Ukita kehabisan kata-kata untuk memuji sang oiran. Dia juga agak ragu, bagaimana sebaiknya menghadapi Yasuha. Perempuan ini adalah salah seorang perempuan paling terkenal di seantero negeri dan dia tak mau dianggap tak tahu adat. Namun Yasuha sepertinya sadar akan keraguan Ukita. Oiran yang ayu itu tersenyum dan berkata, “Ukita-dono, jika Anda menghendaki, Yasuha bisa menangani segalanya malam ini. Anda tak usah sungkan.”

“Silakan,” bisik Ukita.

Setelah menerima izin, Yasuha mendekati Ukita. Berdebar-debar hati Ukita selagi makhluk paling cantik yang pernah dia lihat mendekati dirinya. Ukita bersandar selagi Yasuha makin dekat. Yasuha kini berada sangat dekat dengan Ukita, dan meraih tangan Ukita. Tangan itu dipandunya menyentuh dadanya. Ukita menanggapi dengan meremas-remas buah dada Yasuha di balik kimononya, lalu menyelipkan tangan ke balik kimono tipis Yasuha untuk menyentuh langsung kulit Yasuha. Ukita bukan orang yang tak berpengalaman, dia juga mulai mengulum-ngulum telinga Yasuha sambil membisikkan kata-kata mesra. Yasuha membalas dengan mulai mendesah manja. Kemudian Ukita menyibak kimono Yasuha dan mengeluarkan satu payudara sang oiran. Dia memain-mainkan pentil Yasuha yang mengeras. Selanjutnya dia menyibak kembali sisi lain kimono Yasuha, menyingkap payudara sebelahnya, sambil berpindah ke belakang Yasuha. Dari belakang, Ukita meremas-remas kedua payudara Yasuha sambil menggerumiti pundak sang oiran. Karena tubuh atasnya sudah setengah telanjang, tampaklah di seputar bahu dan dada Yasuha batas antara lapisan bedak putih yang menutupi wajah dan lehernya dengan kulit tubuhnya yang berwarna lebih gelap. Yasuha terengah, mendesah, menengok dan berusaha menempelkan wajahnya ke wajah Ukita yang terus menggarap pundak dan lehernya.

Puas menggerayangi payudara Yasuha, kedua tangan Ukita meraih ke bawah dan menemukan simpul obi Yasuha. Tanpa membuang waktu dibukanya simpul itu dan dilepasnya segera sabuk yang mengikat kimono sang oiran. Setelah membantu membebaskan tubuh indah Yasuha dari belitan sabuk dan kimono, Ukita tak segan-segan menggerayangi seluruh tubuh itu, hanya menghindari rambut dan wajah Yasuha agar tak merusak dandanan rumit sang oiran. Selagi Ukita mengelus pinggang dan pinggul Yasuha, dinikmatinya erangan lembut Yasuha.

Yasuha tiba-tiba menggenggam kedua tangan Ukita dan menjauhkan keduanya dari tubuhnya. Dia menoleh, tersenyum nakal, lalu beringsut maju sehingga tubuhnya menjauh dari Ukita. Kemudian dia berbalik dan melepas kimono tidur Ukita, sehingga kini mereka berdua sama-sama nyaris telanjang. Diperhatikannya tubuh Ukita yang penuh bekas luka, sungguh tubuh seorang petarung yang tak kenal takut. Ditelusurinya beberapa bekas luka Ukita dengan jemarinya yang halus, mulai dari leher, bahu, dada, perut, terus ke bawah… dan sampai pula tangan Yasuha ke jendulan di balik cawat Ukita. Yasuha tersenyum, dan membuka cawat itu, mengeluarkan kejantanan Ukita. Disentuhnya batang dan biji Ukita, selagi wajahnya mendekat.

“Akan hamba tunjukkan keahlian hamba,” kata Yasuha, lalu dijilatnya ujung batang Ukita. Setelah beberapa kali jilat, Yasuha membuka mulut dan menyepong kejantanan sang samurai. Sungguh erotis, pikir Ukita ketika melihat bibir merah Yasuha membelai batangnya dan wajah putih sang oiran maju-mundur di selangkangannya. Ukita menikmati permainan bibir, lidah, gigi dan juga jemari Yasuha, dan dia bertanya-tanya apakah keahlian ini yang membuat Yasuha menjadi penghibur kelas satu. Rangsangan Yasuha sungguh ampuh, dan cepat sekali mendorong Ukita ke batas kemampuannya. Tanpa dapat menahan, Ukita tiba-tiba memuncratkan benihnya dalam mulut Yasuha. Sang oiran itu ternyata tak melepas kulumannya, dia menghisap seluruh mani yang dikeluarkan Ukita. Setelah selesai, dengan lembut Yasuha mengeluarkan kejantanan Ukita dari mulutnya dan menyeka tetesan mani di sudut bibirnya.

Yasuha melihat kejantanan Ukita mulai lemas, namun dia siap membuatnya tegak kembali. “Ukita-dono,” rayu Yasuha selagi kembali merapat ke tubuh Ukita, “inilah leher, dada, dan perut hamba. Silakan Anda sentuh sekehendak Anda. Silakan jilat dan gigit dan remas…”

Ukita langsung menghujani tubuh Yasuha dengan ciuman dan gigitan. Digenggamnya tubuh Yasuha, lalu sang oiran itu pun didorong dengan lembut sehingga terbaring di futon, sementara Ukita sendiri berubah posisi di atas tubuh wanita penghibur kelas tinggi itu. Ukita terus meraba, menggerayangi, meremas, menggigit-gigit. Dilihatnya puting Yasuha mengeras setelah dia jilati. Disaksikannya Yasuha menggeliat dan merintih selagi dia mencupang leher dan dadanya. Mata Yasuha terpejam dan bibir merah Yasuha setengah terbuka, mengeluarkan suara-suara kenikmatan. “Bagaimana, Yasuha-san?” tanya Ukita.

“Sungguh nikmat, Ukita-dono…” kata Yasuha sambil mendesah, dan menggerakkan pinggulnya ke atas sehingga bibir luar kemaluannya menyentuh selangkangan Ukita. Pada waktu yang sama, tangan kiri Yasuha juga bergerilya ke sana, menggenggam dan mengocok kejantanan Ukita supaya tegak kembali. Tangan kanannya meraih belakang leher Ukita, mendekatkan tubuh Ukita. Dia berbisik kepada Ukita, “Oh… Anda sungguh perkasa Ukita-dono… mohon jamah tubuh hamba…”

Yasuha membawa tangan pasangannya ke gerbang kewanitaannya. Ukita bisa merasakan kehangatan kewanitaan Yasuha, serta cairan yang membasahi tempat itu. Tangan Yasuha membimbing tangan Ukita meraup cairan itu, lalu menggerakkannya ke arah muka mereka berdua. Ukita dalam posisi berhadap-hadapan dengan Yasuha, dan jemari mereka berdua yang basah berada di antara muka keduanya. “Apakah Ukita-dono ingin merasakannya?” tanya Yasuha. Ukita tak menjawab tapi dia menjilat cairan kewanitaan Yasuha yang berlumuran dari jemari mereka berdua, sementara Yasuha ikut melakukan hal yang sama.

“Manisnya,” gumam Ukita. Yasuha tersenyum, pelan-pelan mendorong Ukita menjauh, lalu menggeser tubuhnya sehingga kini sepenuhnya berada di atas futon. Dia duduk, menarik sepasang kakinya yang indah mendekat ke tubuhnya, lalu mengangkat tinggi-tinggi keduanya, sampai memperlihatkan bagian bawah pantatnya kepada Ukita. Pelan-pelan Yasuha meregangkan kedua pahanya, kaki kanan dan kirinya bergerak saling menjauh melintasi lengkungan di udara sampai akhirnya dia berposisi mengangkang, kedua tungkainya membentuk sudut tumpul yang membuka ke atas, kewanitaannya yang tercukur bersih tersaji menantang di tengah-tengah sudut itu. Tangan kiri Yasuha meraih celah kewanitaannya, jemarinya membuka bibir bawahnya pelan-pelan sambil memain-mainkan kelentitnya. Caranya memain-mainkan kemaluannya sendiri hanya membuat dia makin basah, sehingga cairan kewanitaannya mengalir turun sampai melewati lubang duburnya dan membasahi sarung futon yang dia duduki. Yasuha menjilat bibirnya sendiri selagi sepasang matanya yang lapar menatap Ukita. Ukita menelan ludah sambil menonton pertunjukan cabul itu.

“Maukah Tuan?” undang Yasuha. “Yasuha akan bawa Anda ke kenikmatan tertinggi…”

Sambil menyeringai lebar, dengan terburu-buru Ukita langsung menerkam Yasuha, saking tak sabarnya dia untuk merasakan perempuan itu setelah digoda sejak kedatangan Yasuha. Yasuha menggerakkan kakinya ke depan seolah hendak menyambut kedatangan Ukita. Kedua kaki Yasuha merangkul dan menarik tubuh Ukita sementara tangannya menyambut kejantanan Ukita. Ukita masuk dengan mudah, gerbang yang sudah becek itu terasa gampang dimasuki namun setelah di dalam, amat sempit dan kesat.

Sambil bergerak maju-mundur mengentot Yasuha, berganti-ganti antara cepat dan lambat, Ukita terheran-heran dengan betapa peretnya liang kewanitaan Yasuha. Sebagai seorang pelacur, tentunya sudah tak terhitung laki-laki yang memasuki kewanitaan Yasuha. Ukita sendiri tahu kendornya pelacur-pelacur kelas rendah yang kadang dia pakai apabila sedang ditugaskan di lapangan (karena hanya yang kelas rendah saja yang umumnya tersedia bagi tentara yang bergerak); bersetubuh dengan pelacur murahan tidak ada rasanya, menurutnya. Tapi si oiran ini, rasanya seolah dia sedang bersenggama dengan perawan saja. Agaknya kuatnya jepitan Yasuha termasuk satu hal yang melambungkan statusnya di Dunia Terapung. Ataukah para pelacur kelas tinggi punya rahasia untuk menjaga mutu alat kerja utama mereka?

“Ahn… ahhh… ohh… Ukita…-dono… ungh…”

Ukita melihat ekspresi wajah Yasuha yang seputih salju itu berganti-ganti, antara sakit dan nikmat. Dirasakannya kaki Yasuha yang mengunci tubuhnya mendorong tubuhnya lebih dekat, seolah tak ingin melepasnya.

“Ehhh… enak sekali… ayolah Tuan…” Senyum Yasuha terkembang sementara matanya terpejam, kata-katanya terlontar seolah tanpa dia pikirkan dulu. Ukita hampir kehilangan akal merasakan bagaimana bagian dalam kewanitaan Yasuha memijat-mijat dan merapat-merenggang secara bergantian di seputar kejantanannya, seolah-olah memijat batangnya. Belum pernah dia rasakan perempuan yang bisa melakukan itu. Apakah itu salah satu rahasia Dunia Terapung? Ukita memikirkan itu sambil mengulum telinga kanan Yasuha, serta membenamkan hidungnya ke gelung rambut Yasuha yang wangi.

Yasuha berubah posisi, kedua kakinya pindah dari punggung Ukita, sekarang kedua betisnya dia sandarkan ke bahu Ukita. Ukita menarik mundur batangnya sampai hampir keluar, lalu mendesak sedalam mungkin. Dia mengulangi gerakan itu beberapa kali, dan setiap kali mendesak, Yasuha menjerit lirih tanpa tertahan. Pinggul Yasuha terus bergoyang mengimbangi gerakan Ukita, kedua tangannya sekarang ada di samping kepala dan menggenggam sarung futon, sementara sepasang payudaranya berguncang-guncang mengikuti gerak Ukita. Ukita memang lumayan perkasa, sudah cukup lama persetubuhan mereka tapi dia tampak bisa bertahan. Sementara Yasuha tampak sudah tak peduli lagi kalau di luar sana mungkin ada orang, dan mulai bersuara lebih keras seolah-olah ingin didengar semua orang di situ. Reaksinya makin luar, dia mulai menyentakkan kepala ke kanan-kiri sambil meremas-remas payudaranya sendiri. Teriakan-teriakannya yang penuh nafsu menerobos dinding kertas dan kayu ruangan itu, membuat penjaga kamar Ukita di depan pintu tak bisa tidak mengocok anunya sendiri sambil membayangkan keelokan sang oiran.

Keringat membasahi sekujur tubuh Yasuha dan Ukita selagi keduanya bertempur sengit demi kenikmatan. Ketika merasa bahwa dia hanya tinggal menunggu waktu saja untuk mencapai puncak, Ukita mempercepat gerakannya, menusuk Yasuha makin brutal dengan “pedang pusaka”-nya selagi jerit rintih sakit campur nikmat sang oiran bergema memecah malam. Puncaknya sampai ketika Ukita muncrat di dalam rahim Yasuha, mengosongkan benih yang tersimpan dalam tubuhnya dalam beberapa sempburan sambil melenguh lega.

Dan bagaimana dengan Yasuha?

Yasuha menjerit keras dan lama, wajahnya banjir keringat, dan liang kewanitaannya menjepit erat kejantanan Ukita yang meledak di dalamnya, memeras semua isinya. Ukita merasa dia berhasil membuat sang oiran mencapai puncak kenikmatan juga, dan merasa agak lega.

Sang oiran melakukan sesuatu yang sedari tadi tidak dilakukannya. Dia meraih wajah Ukita dan mencium bibirnya. Ukita, yang menahan diri karena dia menganggap Yasuha mungkin tak suka kalau dia melakukan sesuatu yang bisa merusak rias wajah sempurna itu, menyambut bibir dan lidah sang oiran dengan senang hati.

Bijin-kei, Siasat Paras Elok. Satu di antara 36 siasat perang legendaris Cina. Perempuan cantik dengan segala pesonanya adalah kelemahan laki-laki. Jenderal paling perkasa maupun ahli siasat paling pandai pun bisa jadi lemah dan bodoh apabila sudah terkena sihir paras elok. Rencana yang matang bisa buyar, kota-kota dan negara-negara bisa runtuh, anak bisa dibuat mengkhianati ayahnya, hanya karena perempuan. Sungguh siasat maut yang sulit sekali dihindari laki-laki.

Itulah siasat yang dijalankan Yasuha.

Selagi perhatian Ukita terebut oleh lidah dan bibirnya, Yasuha meraih salah satu tusuk konde yang tertancap di rambutnya, lalu secepat kilat menancapkan tusuk konde itu ke belakang leher Ukita! Ukita menjerit, tapi karena kepalanya ditahan oleh tangan Yasuha, suara jeritannya teredam. Yasuha menggerakkan tusuk konde yang tertancap di belakang kepala Ukita ke kanan-kiri beberapa kali. Dia tahu bahwa di belakang kepala terdapat tempat lemah yang juga menjadi pusat pergerakan tubuh manusia. Tusukan di sana bisa lebih cepat melumpuhkan dan membunuh orang daripada tusukan di pembuluh darah besar di leher, yang menghasilkan muncratan darah bertekanan tinggi tetapi tidak langsung menghabisi sasaran.

Setetes darah mengalir dari belakang kepala Ukita Choichiro, menetes ke tubuh Yasuha. Sang jenderal andalan keluarga Urakami itu tewas dengan luka di belakang kepala, tubuhnya lemas menindih Yasuha. Yasuha segera bangkit dan menggulingkan mayat Ukita dari atas tubuhnya. Dilihatnya bayangan beberapa sosok berdiri di luar kamar.

Dengan percaya diri, sang oiran yang baru menjadi pembunuh itu berjalan ke arah pintu kamar, tanpa mengenakan lagi kimononya. Dibukanya sedikit pintu kamar, dan yang pertama dilihatnya adalah si penjaga kamar yang sudah tergolek di samping pintu, mati dengan lidah terjulur keluar karena dicekik, dan pembunuhnya di belakangnya, seorang ninja berpakaian serba hitam yang masih memegangi tali yang dipakai mencekik.

“Beres?” tanya ninja itu, yang sebelumnya berperan sebagai pemimpin rombongan Yasuha. Yasuha mengangguk, lalu menerima sebuah buntelan dari ninja lain yang ada di sana. Di dekat pintu itu, sekarang ada empat orang berpakaian ninja, mereka ini tadinya adalah dua perempuan pengiring Yasuha dan dua laki-laki pengusung tandu. Di dalam buntelan yang diterima Yasuha ada sebuah pil dan segumpal kain. Yasuha segera menelan pil itu, yang berisi zat perangsang dan pemulih tenaga, kemudian membuka gumpalan kain itu yang ternyata adalah satu setel baju ketat dari bahan jaring yang rapat. Dibantu kawannya, Yasuha mencabuti pernak-pernik rambutnya dan menguraikan rambutnya dari tataan khas oiran, sehingga rambut panjangnya tergerai sampai ke punggung bawah, lalu dengan cepat kawannya mengubah tata rambut Yasuha sehingga menjadi konde kecil ringkas di belakang kepala yang terbungkus kain, sementara Yasuha mengenakan baju jaring itu dengan memasukkan kakinya dulu, seperti memasang kaus kaki tetapi sampai membungkus seluruh tubuh sampai ke dada dan leher.

“Kita pergi sekarang?” tanya si ninja perempuan kepada Yasuha.

“Sebentar,” kata Yasuha, yang merasakan sedikit tak nyaman di selangkangannya. Dia meraih ke bawah lalu dengan cueknya merobek sebagian baju ketatnya yang menutupi kemaluannya. Dibiarkannya kemaluannya tak tertutup sambil mengalirkan mani Ukita yang masih banyak di dalam sana.

“Nah, ini mendingan,” kata Yasuha sambil menerima sepotong kain hitam yang kemudian diikatkannya di seputar muka, menutupi bagian bawah mukanya. Mereka harus segera meninggalkan tempat itu dan menghilang dalam kegelapan malam. Walaupun sudah bermandi keringat tadi, masih ada sisa riasan putih di wajah Yasuha dan itu tetap bisa menarik perhatian, jadi dia perlu menutup wajahnya.

Sementara Yasuha bersiap-siap, dua orang ninja lain membuka jendela ke arah luar lalu merayap ke atap ruang utama. Yasuha dan sisanya menyusul mereka ke atap. Kedua ninja yang datang pertama sudah menyulut kembang api. Mereka berlima melesat pergi dari atas atap bangunan terbesar di kamp militer itu setelah kembang api yang disulut itu terbang dan meledak.

Yasuha dan kawan-kawannya sebenarnya adalah ninja yang disewa oleh seorang daimyo musuh keluarga Urakami untuk menyabot kamp pelatihan rahasia keluarga Urakami. Kembang api yang mereka luncurkan itu merupakan tanda bagi pasukan daimyo itu yang mengepung dan sudah bersiap menyerang kamp militer Urakami. Kamp itu pun segera diserang. Para samurai Urakami di sana kalang-kabut setelah mendapati pemimpin mereka, Ukita Choichiro, tiba-tiba sudah jadi mayat di kamarnya sendiri. Kamp itu segera ditaklukkan. Seluruh senjata api yang disimpan di sana direbut dan kelak akan digunakan untuk mengalahkan keluarga Urakami dalam kelanjutan zaman peperangan antar daimyo di Nippon.

Namun itu semua urusan kaum samurai. Bagi kelima ninja yang berlompatan dari pohon ke pohon menjauhi kamp militer itu, tugas mereka selesai setelah Ukita dibunuh. Kegagahan Ukita tak dapat menyelamatkan dirinya dari siasat paras elok Yasuha.

“Yasuha” berada paling belakang, mengikuti teman-temannya yang membuka jalan. Di dalam hatinya hanya ada perasaan puas karena berhasil menuntaskan tugas. Dan esok hari, akan ada pekerjaan serupa. Namanya sendiri sebenarnya bukan Yasuha. Sebagai salah satu perempuan tercantik di klan-nya, dia bertugas menjalankan misi yang memerlukan kecantikan. Perannya sudah membuat dia memikat dan meniduri entah berapa banyak laki-laki, dan banyak di antaranya yang harus dia habisi. Hari ini dia berhasil menjalankan tugas tanpa masalah. Tapi tugas-tugas berikutnya, siapa tahu? Kehidupan ninja memang brutal dan keras. Dan bagi kaum perempuan ninja, kecantikan tiada gunanya selain untuk senjata.

TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar